Farmakoterapi Infeksi : Studi Kasus Tatalaksana TBC MDR
1. 1
Nama : Nesha Mutiara
NPM : 2017210155
No Absen : 40
Kelas : Farmakoterapi Infeksi dan Tumor (C)
Kasus: Tuan Faizal adalah penderita TB putus obat, dua hari yang lalu datang ke RS dengan
keluhan batuk berdarah, sesak nafas, tidak nafsu makan, dan lemas. Data pasien yang diperoleh:
- Usia 58 tahun
- Berat badan 45 kg
- Tinggi badan 160 cm
- Tekanan darah 120/70 mmHg
Hasil lab:
- BTA positif
- Foto rontgen infiltrate
- Test kultur kuman, dan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman resisten
terhadap golongan antibiotik rifampisin, aminoglikosida, dan kuinolon.
Diagnosis dokter: Pasien TB, MDR
Penyelesaian:
Berdasarkan analisis kasus, pasien termasuk kategori 2 penderita TB karena hasil lab BTA
positif dan telah diobati namun pengobatannya terputus. Pasien juga menderita resisten ganda
(MDR) kategori sekunder terhadap golongan antibiotik rifampisin, aminoglikosida, dan kuinolon
sehingga pengobatannya tidak berkhasiat dan tidak dapat dilanjutkan. Adanya infiltrate pada
paru berdasarkan foto rontgen menandakan pasien menderita TB aktif. Berdasarkan riwayat
pengobatan, pasien menderita MDR terhadap obat anti tuberculosis (OAT) lini pertama:
rifampisin dan OAT lini kedua: aminoglikosida dan kuinolon.
2. 2
Subyektif Obyektif Profil Obat Assessment Referensi Plan
Lemas, tidak
nafsu makan
Tekanan darah
120/70 mmHg,
indeks massa
tubuh 17,58
(berat badan
kurang)
Rifampisin Sudah resisten,
rifampisin
mempercepat
metabolisme
kuinolon
ISO
Farmakoterapi
Buku I
Pro: dokter
disarankan tidak
menggunakan
rifampisin
Lemas, tidak
nafsu makan
Hipomagnesemia Aminoglikosida Sudah resisten ISO
Farmakoterapi
Buku I
Pro: dokter
disarankan tidak
menggunakan
aminoglikosida
Lemas, tidak
nafsu makan
Uremia Kuinolon Sudah resisten ISO
Farmakoterapi
Buku I
Pro: dokter
disarankan tidak
menggunakan
kuinolon
Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, pemberian
pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain yang dapat
digunakan. Saat ini paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif minimal 2-3 OAT dari
obat lini pertama ditambah obat lain lini kedua selama minimal 12 bulan. Oleh karena itu saya
merekomendasikan kombinasi obat lini pertama: isoniazid (INH), pyrazinamide,
ethambutol dengan obat lini kedua: cycloserine.
Pengobatan akan dievaluasi sebagai berikut:
1. Evaluasi Klinik
- Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan
- Evaluasi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
- Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
3. 3
2. Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
- Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap
- Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin; fungsi ginjal: ureum, kreatinin, dan glukosa darah;
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
- Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
- Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
3. Evaluasi Radiologik
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan, dan pada akhir pengobatan.
Pengobatan TB kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut:
- Penderita menghentikan pengobatannya > 2 minggu:
Berobat > 4 bulan, BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT
STOP
Berobat > 4 bulan, BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
Berobat < 4 bulan, BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
Berobat < 4 bulan, berhenti obat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadwal.
4. 4
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis
di Indonesia.
2. Sukandar, E.Y., 2013. ISO Farmakoterapi Buku 1. Jakarta: ISFI Penerbitan.