SlideShare a Scribd company logo
i
STUDI ILMU
HADITS
Penyusun:
Bahrum Subagia
ii
STUDI ILMU HADITS
Penyusun
Bahrum Subagia
Penyunting
Ibnu Muhammad
Perwajahan Isi
B.S. Gia
Penata Letak
Bahgia
Desain Sampul
Abu Aisyah
Penerbit
Pustaka Kayyis
Bogor: JL. KH. Sholeh Iskandar Km.2. Bogor 16162
Telp. 087770252778
e-mail: pustakaqayis@yahoo.com
cetakan pertama 1435 H/ 2014 M
iii
Kata Pengantar
Puji syukur, kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang telah banyak memberi kenikmatan. Shalawat dan
salam, semoga tersampaikan kepada Rasulullah Muhammad
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang cinta kepada umatnya.
Alhamdulillah, saya berucap syukur dengan
diterbitkannya buku ini. Sebenarnya buku ini sangat begitu
sederhana membahas pengantar ilmu hadits. Buku ini
merupakan pengantar bagi siapa saja yang mau memperdalam
ilmu hadits.
Tulisan dalam buku ini bukanlah hasil saya peribadi.
Saya hanya menyusunnya dari tulisan-tulisan yang banyak
tersebar di internet. Saya hanya mengemasnya dalam bentuk
e-book agar dapat dijadikan panduan untuk pemula dan dapat
dijadikan refernensi.
Semoga, amalan yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi
kaum muslimin di Indonesai. Amin ya Allah yaa rabbal ‘alamin.
Salam,
Penulis
iv
Daftar isi
Kata Pengantar...............................................................................iii
Mengenal Ilmu Hadits.....................................................................1
Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi.....................4
1. Hadits Mutawatir ............................................................4
2. Hadits Ahad ....................................................................4
Menurut Macam Periwayatannya ...............................................6
1. Hadits yang bersambung sanadnya.................................6
2. Hadits yang terputus sanadnya........................................6
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi .................7
1. Hadits Maudhu'...............................................................7
2. Hadits Matruk .................................................................8
3. Hadits Mungkar ..............................................................8
4. Hadits Mu'allal................................................................8
5. Hadits Mudhthorib..........................................................8
6. Hadits Maqlub.................................................................8
7. Hadits Munqalib..............................................................9
8. Hadits Mudraj.................................................................9
9. Hadits Syadz....................................................................9
10. Hadits Muharraf..........................................................9
11. Hadits Mushahhaf .......................................................9
12. Hadits Mubham...........................................................9
13. Hadits Mukhtalith......................................................10
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif?........................10
Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits.......................11
v
1. Muttafaq 'Alaih .............................................................11
2. As Sab'ah.......................................................................11
3. As Sittah ........................................................................12
4. Al Khamsah...................................................................12
5. Al Arba'ah.....................................................................12
6. Ats tsalatsah..................................................................12
7. Perawi ...........................................................................12
8. Sanad dan Matan...........................................................12
Beberapa kitab hadits yang masyhur /populer ..........................15
Pembagian As-Sunnah Menurut Sampainya Kepada Kita........15
Sejarah Singkat Beberapa Ahli Hadits..........................................17
1. Imam Malik.......................................................................17
2. Imam Hanafi .....................................................................23
3. Imam Syafi'i......................................................................34
4. Imam Hanbali....................................................................45
5. Imam Bukhari ...................................................................61
6. Imam Muslim....................................................................73
7. Imam Tirmizi ....................................................................82
8. Imam Al Baihaqi...............................................................88
9. Imam An-Nawawi.............................................................92
10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani .................97
Referensi .....................................................................................101
1
Mengenal Ilmu Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad Shalallahu
'alaihi wa sallam yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam
agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, di mana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur'an.
Atsar ialah sesuatu yang disandarkan kepada para
sahabat nabi muhammad saw.
Taqrir ialah keadaan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi
wa sallam yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan
atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan
oleh para sahabat di hadapan beliau.
Sahabat ialah orang yang bertemu Rasulullah Shalallahu
'alaihi wa sallam dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau
masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati
dalam keadaan islam.
Tabi'in ialah orang yang menjumpai sahabat, baik
perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan
beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering
dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam
Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
2
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di
bawah ini.
1. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
a. Hadits Mutawatir
b. Hadits Ahad
1) Hadits Shahih
2) Hadits Hasan
3) Hadits Dha'if
2. Menurut Macam Periwayatannya
a. Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu'
atau Maushul)
b. Hadits yang terputus sanadnya
1) Hadits Mu'allaq
2) Hadits Mursal
3) Hadits Mudallas
4) Hadits Munqathi
5) Hadits Mu'dhol
3. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
a. Hadits Maudhu'
b. Hadits Matruk
c. Hadits Mungkar
d. Hadits Mu'allal
e. Hadits Mudhthorib
f. Hadits Maqlub
g. Hadits Munqalib
h. Hadits Mudraj
i. Hadits Syadz
j. Hadits Muharraf
k. Hadits Mushahhaf
l. Hadits Mubham
m. Hadits Mukhtalith
3
4. Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
5. Beberapa kitab hadits yang masyhur/populer
4
Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya
Perawi
1. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk
berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh
panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang
semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai
hadits Mutawatir:
- Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca
indera.
- Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang
menurut adat kebiasaan, tidak mungkin berdusta.
Sifatnya Qath'iy.
- Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi
yang sama.
2. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih
tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau
tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama
membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih
dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian
membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu: shahih,
hasan, dan dhaif. Berikut ini penjelasannya.
5
a. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang
bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil
lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz
(tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan
tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut :
1) Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-
Qur'an.
2) Harus bersambung sanadnya
3) Diriwayatkan oleh orang/perawi yang adil. Arti Adil
dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4
syarat untuk dinilai adil, yaitu:
- Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui
perbuatan maksiat.
- Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai
agama dan sopan santun.
- Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang
dapat menggugurkan iman kepada kadar dan
mengakibatkan penyesalan.
- Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab
yang bertentangan dengan dasar Syara'.
4) Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatan-
nya)
5) Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain
yang lebih shahih)
6) Tidak cacat walaupun tersembunyi.
6
b. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan
dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak
syadz.
c. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz
dan cacat.
Menurut Macam Periwayatannya
1. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya
hingga Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini
disebut hadits Marfu' atau Maushul.
2. Hadits yang terputus sanadnya
a. Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu
hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau
lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits
dha'if.
b. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad
Shalallahu 'alaihi wa sallam tanpa menyebutkan sahabat
tempat menerima hadits itu.
7
c. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan
seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik
dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini
ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
d. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang
gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain
sahabat dan tabi'in.
e. Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi
Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam atau dari Sahabat
tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya.
Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas
adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat
perawi
1. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya
terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits
itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas
disebut hadits.
8
2. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang
hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan
perawi itu dituduh berdusta.
3. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
4. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits
yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut
Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang
nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya.
Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang
dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau
cacat).
5. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan
matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang
dikompromikan.
6. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan
mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa
sanad (silsilah) maupun matan (isi).
9
7. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga
pengertiannya berubah.
8. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik
keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
9. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan
hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi
(periwayat/pembawa) yang terpercaya pula. Demikian
menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang
dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama
hadits disebut juga hadits Mahfudz.
10. Hadits Muharraf
Adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi
disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih
tetapnya bentuk tulisannya.
11. Hadits Mushahhaf
Adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan
titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
12. Hadits Mubham
Adalah hadits yang di dalam matan atau sanadnya
terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki
atau perempuan.
10
13. Hadits Mukhtalith
Adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya,
disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau
hilang kitab-kitabnya.
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif
yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun
kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisih-
kan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah.
Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat pertama, melarang secara mutlak
meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetap-
kan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama.
Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.
Pendapat kedua, membolehkan, kendatipun dengan me-
lepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelema-
hannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan
amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetap-
kan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan
untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam, seperti Ahmad bin Hambal, Abdullah bin al
Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang
halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan
kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan
tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami
perlunak rawi-rawinya."
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits
yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk
11
fadla'ilul amal. Ia memberikan tiga syarat dalam hal
meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk
hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta,
tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah
kendatipun untuk fadla'ilul amal.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut,
masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang
dapat diamalkan (shahih dan hasan).
Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau
menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber
kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata
mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
1. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal
juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
2. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
a. Imam Ahmad
b. Imam Bukhari
c. Imam Muslim
d. Imam Abu Daud
e. Imam Tirmidzi
f. Imam Nasa'i
g. Imam Ibnu Majah
12
3. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali
Imam Ahmad bin Hanbal.
4. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali
Imam Bukhari dan Imam Muslim.
5. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah,
kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
6. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali
Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
7. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
8. Sanad dan Matan
a. Sanad
Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran,
maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada
matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan
menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal
(sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat.
Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari
dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan
hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-
13
Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang
meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.
Gambaran Sanad
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan
sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam
didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini
(seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang
atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada
orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya
hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim,
Bukhari, Abu Dawud, dan lain-lain.
Contoh: Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shalallahu
'alaihi wa sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada
saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan
B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata
diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan
kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya
(awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas
yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.
Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang
datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad,
mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas
nama Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang dipelopori oleh
orang-orang Syi’ah.
Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin
(wafat tahun 110 H) Rahimahullah berkata, “Mereka (yakni
14
para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad,
tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada
kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya
Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang
menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”1
Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap
sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat
hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima
hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.
Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah
berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya
tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa
yang ia inginkan"2
Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan
pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan,
apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang
membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.
b. Matan
Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, dan keras.
Secara istilah, matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi
Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, maupun berupa
perbuatan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam yang
diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
1
Muqaddimah Shahih Muslim.
2
Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).
15
Beberapa kitab hadits yang masyhur /populer
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Riyadhus Shalihin
Pembagian As-Sunnah Menurut Sampainya
Kepada Kita3
As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari segi sampainya dibagi
menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah
berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan
dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk
berdusta.
Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:
1. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang
dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat
pasti.
2. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret,
seperti penyaksian atau mendengar langsung, seperti:
"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
"roaitu" = aku melihat
"roainaa" = kami melihat
3
Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-
Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia,
Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005
16
3. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut
adat mereka berdusta.
4. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai
awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad, rawi
yang meriwayatkannya minimal 10 orang.4
Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke
derajat mutawatir. Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga
macam.
1. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan 3 sanad.
2. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2
sanad.
3. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1
sanad.5
4
Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).
5
Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud
Thah-han (hal. 22-31).
17
Sejarah Singkat Beberapa Ahli Hadits
1. Imam Malik
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani
Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik
mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang
diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang
memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat
kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya.
Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang
pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu,
sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan
ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu
tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan
kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang
pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah
bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan
rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman
bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada
tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga
Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun
sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah
Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah
anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada
18
tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat
terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits
terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak
berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa
Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah
lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela
mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam
sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar
biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang
mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil
mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian
hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik
pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-
pamannya. Ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal
seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad,
Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad
bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin
Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga
Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak
ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang
empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun,
dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar,
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu
dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya.
19
Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam
Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentra-
man, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini
dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur
keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut.
Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits
dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata,
''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja.
Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa
yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik
menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya
dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang
masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta
seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia)
kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru
berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah
melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya
bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa.
Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangan-
nya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina
sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera
Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran
darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya.
Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak,
ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak
sang penguasa.
20
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan
dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar
penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk
menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk
meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan
itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota
Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah
mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan
sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik
lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir
hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk
berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat
ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik
lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang
shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium
tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah
menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah
tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat
hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia
menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu
Hanifah yang mengunjunginya.
Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan
hadits-hadits pilihan. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di
kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar
Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia
disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci
kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
21
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta'
tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur.
Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur
meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membuku-
kannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun,
karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut,
akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-
775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan
yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini
merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam
Malik memang menekankan betul terujinya para perawi.
Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat
penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits.
Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam
Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang
berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai
persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia
juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang
disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik
dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra,
Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu
Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu
Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al
Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi),
dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as
Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
22
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits,
mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek
kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan,
sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki
adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa
sallam, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli
al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah
(kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil
tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah,
Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini
Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang
disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini
menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini
mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut
Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-
satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
23
2. Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy
merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam
dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah
seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam
dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat
Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang
mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin
Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah
dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran
Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu
Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir
dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar,
yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi
mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan
bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali
Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya
pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu
masih kecil, dan kami berharap Allah Subhanahu wa ta'ala
mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah
At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain
sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang
berada di rumah Amr bin Harits.
24
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur
tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan
enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu
memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih
sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya,
disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga
melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam
bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan
dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka
kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala
datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan
meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang
merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit,
Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah
bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin
Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru
fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad
bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang
meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7
sahabat.
Beliau pernah bercerita, “Tatkala pergi ke kota Bashrah,
saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang
sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala di
antara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu
masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku
memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia
meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
25
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja
dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah
satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar
menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak
permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak
110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia
mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan
meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya
berdasarkan abjad di antaranya Ibrahin bin Thahman seorang
alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah,
Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-
Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn
Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah
temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman
bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok,
Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin
Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin
Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-
Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad
bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani,
Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun,
Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan
lain-lain.
Penilaian Para Ulama Terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu
Hanifah, di antaranya:
26
Pertama, Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah
orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang
dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”.
Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah
adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga
berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang
yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
Kedua, Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah
Subhanahu wa ta'ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah
dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang
biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang
yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku
berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang
yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah,
saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun
kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah,
dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan
kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata,
“Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang
paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah
menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar
telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian
imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu
Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya
adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari
ketiganya”.
Ketiga, Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah
berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang
hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia
27
mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat
seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-
tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
Keempat, Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin
mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih
hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
Kelima, Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah
seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah
seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu,
sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik,
menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga
mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
Keenam, Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak
mendustakan Allah Subhanahu wa ta'ala, tidaklah kami
mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu
Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
Ketujuh, Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu
Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada
syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang
jahil tentangnya”.
Kedelapan, Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu
mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki
atau orang yang jahil”.
Kesembilan, Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah
merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang
yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
28
Beberapa Penilaian Negatif Yang Ditujukan Kepada
Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik
dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian
negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya:
Pertama, Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits,
tidak banyak hadits shahihnya”.
Kedua, Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-
Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat
hafalan haditsnya”.
Ketiga, Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah
orang yang miskin di dalam hadits”.
Keempat, Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan
bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah
iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada
dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan
amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-
amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia
termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini
adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan
menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah
dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah
pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lisan tidak
bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan
dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan
ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak
menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi
29
kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang
jelas dan yang samar, dan yang semisalnya.
Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka
menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang
terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan
kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab
“Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan
bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-
dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak
mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di
neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami
mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan
memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang
merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan
murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-
nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya;
dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan
kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia
meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah
kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan
mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”
Kelima, sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan
tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-
Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu
adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an
adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq
…,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah
Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah
makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
30
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian
negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa
dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-
Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang
banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abu Hanifah -
dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh telah diteliti semua
riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut
lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya.
Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-
ashabiyyah madzhabiyyah,… dan betapa banyak dari para
imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf
(pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila pembaca
menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat
yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka
bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul
Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya
Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari
Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-
Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela
Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak
pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang
adil”
Beberapa Nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama
berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan
pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh
telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya
pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-
beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu,
31
yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid
terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Di
antara nasehat-nasehat beliau adalah:
“Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut
menjadi madzhabku.”
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan
kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para
imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu
untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka
terkadang di antara para imam ada yang menyelisihi sunnah
yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka
memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan
sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab
mereka semuanya”.
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai
pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana
kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram
bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan
pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami
adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan
kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi
harinya.”
Dan dalam riwayat lain,
“Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau
catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu
pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku
32
berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan
pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian
perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui
dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka
terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi
pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat
yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini!
Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta,
untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti
mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka
mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu
dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang
ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan
setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu
Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan
dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits
mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru
dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits
tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara
qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana
hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan
penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-
pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut
tabiin masih terpencar-pencar di sana-sini. Maka banyak
terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalau dibanding
dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam
permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut.
berbeda dengan para imam yang lainnya, …”.
33
Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan
tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian
halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia
menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan
ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak
membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak
boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian
orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia
merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin
yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
“Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi
kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan
perkataanku.”
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada
masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-
2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi
qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja
tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan
kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan
dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H
dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang
bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
34
3. Imam Syafi'i
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu
Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin
Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd
bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf
bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah
pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih
termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah
daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia
seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah
lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di
wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan
masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang
namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut
sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi.
As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior)
yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah Shalallahu
'alaihi wa sallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin
Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu
menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits
bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab
murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan
ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka
membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
35
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa
Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab,
tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat
tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih
keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang
lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang
memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi
menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita
yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi.
Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki
kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula,
Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim
sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah
dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang
menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi,
yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota
Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah
Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina.
Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat
lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-
riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa
beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di
wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa
ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri
36
itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah
Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang
mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya & Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat
Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada
seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar
setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam
menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah
tempat menghafal Al-Qur'an), saya melihat guru yang
mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Al-Qur'an,
maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal
semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal
bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata
kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai
penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada.
Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah
berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau
kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu.
Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit,
pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh
dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma
yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada
saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa
37
beliau telah menghafal Al-Qur'an pada saat berusia 7 tahun,
lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam
Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung
dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan
syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah
pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal
kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka.
Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil
menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair
mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal
yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang
pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.
Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya.
Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu
Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain
bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun
tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-
ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin
Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli
hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id
bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini,
beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’
Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari
keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai
menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat
38
60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang
dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk
berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke
Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para
ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas,
penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana
menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca
al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau
menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil
ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179 H. Di
samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama
Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin
Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian
melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau
mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin
Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman
inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi
oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman,
nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan
kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu
sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang
yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi
mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka
menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama
orang-orang dari kalangan Alawiyah.
39
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada
masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil
merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi
pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah.
Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam
memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani
Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam
pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i
secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka
berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada
mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat
sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang
bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda
dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i
menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini
ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman ,
dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini
kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau
kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-
perintah yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun hadits-hadits
shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas
membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli
fiqih madzhab mereka.
40
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia
hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan
dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang
‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu
dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah
menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan
kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia
menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika
sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan
ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan
-ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya
beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan
bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan
mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya,
mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu
Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada
Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin
‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah
meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke
Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia
mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah
mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama
beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal.
41
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam
Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i
memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-
khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh
dari ayat-ayat Al-Qur'an dan lain-lain. Maka beliau pun menulis
kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau
kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya
dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana.
Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para
ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan
kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat
angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi
oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau
datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar
20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang
tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian
pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai
menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut
ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau
hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau
hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh
para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-
pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i
adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau
tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf
ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami
42
masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli
kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam
memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga
memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah
beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka
membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada
para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama
untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Al-
Qur'an itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk
penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah
Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam
Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati
kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerah-
kan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat
sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar
ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi
kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir
kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul
Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama
masalah akidah selalu menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu
menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya
hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah
43
mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian
berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmen-
nya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat
gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau
kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau
dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara
(mutakallim) dengan bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah,
maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya,
maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad
berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan
sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku
yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu
kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata,
“Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan
ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i
membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami
sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi
fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul
dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta
dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan
mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang
meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu,
beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan
darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam
44
Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan
tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan
kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat
Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau,
“Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas
sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-
mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan
kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu,
hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab.
Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian,
sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang
tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan
jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan
oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-
Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-
Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran
dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
45
4. Imam Hanbali
"Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai
selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan
dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah
selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah
merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang
mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa."
Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain
adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan
mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran
seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati.
Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini
memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang
satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan
banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah
didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari,
Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits
standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia
dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wa sallam lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak
diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama
berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin
Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar
kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya
kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab
46
tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan
susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan.
Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya
sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al
Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi
tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al
Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits
yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan
datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat
855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu.
Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam
Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal
dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-
Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama
Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di
berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah
dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin
Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin
Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda
mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena
kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua
pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya,
setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia
rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk
menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua
yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia
baru menikah setelah usia 40 tahun.
47
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan
dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah
meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan
dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun
meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan
seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah.
Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan,
Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun
beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah
seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi
akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia
berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia
lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,”
katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal,
salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang
kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat
dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari
ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'”
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian.
Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan
Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan
aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan
ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut
Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau
ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan
itu.
48
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham
tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh
Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul.
Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan
ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap
Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat
umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya
makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara
kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan
Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin
terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar
kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain
Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah,
Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan
Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn
Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual,
khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab
tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada
masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada
Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab
Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar
penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash
(Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia
akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak
berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang
diketahui tidak ada yang menentangnya.
49
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan
memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-
Qur'an dan Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Jika
ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan
Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah
satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan
kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam
sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif
(hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah).
Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan
kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak
ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di
Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di
Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12
H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim
(w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak
orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab
Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab
tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai
lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai
kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal
Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al
Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin
Hanbal.
Sejarah Singkat Imam Hanbali
Nasab dan Kelahirannya
50
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin
Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban
bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin
‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau
pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota
Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan
Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun
164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda,
30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau,
Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota
Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan
karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak
yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik
asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan
untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah
mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka
sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i,
yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang
51
tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar
mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di
kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat
peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang
berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh
dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para
qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Al-Qur'an dan mempelajari ilmu-
ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau
melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak
mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi
beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan
beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri,
terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau
pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi
sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera
mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu
sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai
shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada
keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau
mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan
Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun
179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota
Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu
52
hingga tahun 186 H. Beliau melakukan mulazamah kepada
syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy
hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh
putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim
sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan
(mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan
selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan
mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan
selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak
mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i
sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang
menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan
sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau
mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin
‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin
Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat
bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya
untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat
pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits,
dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru
menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata
kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai
semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau
menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku
masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah
53
keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan
kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum
muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di
sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan
lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari
beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih,
Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-
lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad,
dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah
dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau
mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir,
tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang
yang muqaddam dan muakhkhar dalam Al-Qur'an, tentang
jawaban-jawaban dalam Al-Qur'an. Beliau juga menyusun
kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab
ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah (Bantahan kepada
Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab
al-Wara ‘wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah
Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut,
agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi
Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i,
“Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda,
tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk
mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusul-
kan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi
Imam Ahmad menolaknya.
54
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad
dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-
perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka
beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau
Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini
menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i
karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan)
Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut
orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa
daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah
melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang
bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan
keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?”
Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang
60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah
dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits
kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah
melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada
seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin
Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika
menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati
beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah,
padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah
seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam
huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
55
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang
mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi
seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul.
Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan
cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang
waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas
tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan
unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-
orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-
Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru
sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan
mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa
Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan
India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan
cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam
akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok
yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti
Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan
lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat
sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun.
Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu
mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan
menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya
pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat
kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada
tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
56
muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini
kemakhlukan Al-Qur'an.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-
Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang
kemakhlukan Al-Qur'an. Selama hidupnya, tidak ada seorang
pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana
dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar
Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku
bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Al-Qur'an itu
makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan
orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.”
Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke
tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-
Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya.
Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-
Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat
kemakhlukan Al-Qur'an, al-Makmun sampai mengadakan ujian
kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak
terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan
dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah
dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah
menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota
maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah
terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal
itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Al-Qur'an, termasuk di antaranya Imam Ahmad.
Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa
Al-Qur'an itu kalamullah, bukan makhluk.
57
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahan-
nya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke
hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya
digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad
bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke
Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad
dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang
kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam
Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke
tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari
al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Al-
Qur'an dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia
pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari
penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-
konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Al-
Qur'an, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan
yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk
sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam
penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau
30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan
tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus
orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap
sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-
Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki
beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras
dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima
Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak
gunung yang menjulang dengan kokohnya.
58
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau
dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan.
Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau
kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid
sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak
berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun
masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-
konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan
yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk
keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu
dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-
Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik mengganti-
kannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian
tentang kemakhlukan Al-Qur'an masih dilangsungkan.
Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut.
Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan
atas pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur'an dan ancaman
hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan
hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah,
orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumu-
man itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu
dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana ter-
dengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama
59
nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan
hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin
menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu
rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk
berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat
tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 H, beliau menghadap
kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau.
Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau
sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu
orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada
yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang
menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat
banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjuk-
kan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.
Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada
ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah
(tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh
Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang
tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika
sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan
keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu,
maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya
karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-
Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad,
“Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki,
60
tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada
Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada
Yaumul Mihnah”.
61
5. Imam Bukhari
Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di
Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-
Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau
lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari
Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih
beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah
memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.
Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan
keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat
melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau
kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa
berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau.
Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang
usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur
diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama
dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-
Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan
hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi.
Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil
Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits).
Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk
kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang
waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu
62
pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad.
Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar
seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar
seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga
dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah
jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut
Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay
dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967),
pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi
merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima
besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat
beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa
ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-
hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-
ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram.
Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan
merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan
ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu
sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun
beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti "al-
Mubarak" dan "al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad-
Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia
16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci
Mekkah dan Madinah, di mana di kedua kota suci itu beliau
mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia
18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as
63
Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman
Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun
hadits-hadits shahih dalam satu kitab, di mana dari satu juta
hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi
menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam
memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin
Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad
bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad
bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289
ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui
oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini
menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid
lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh.
Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat
catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak
mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari,
karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta
kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau
membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan
selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah
mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala
15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat
mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah
didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji
ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama
64
tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar-
balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata
hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali
secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu
mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang
benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut
di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan
urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya.
Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau
mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam
Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni
olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir,
sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak
pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan
itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong
dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak
panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah
wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat
dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18
tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan
ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau
menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau
pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam
Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam di waktu malam
bulan purnama".
65
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-
Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At
Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al
Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul
Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah.
Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental
adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan
nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari
berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wa sallam., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil
memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya.
Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir,
ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis
habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah Shalallahu
'alaihi wa sallam. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku
untuk melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya
tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah
penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan
keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan
menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara
pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits
yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan
memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga
kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits
tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya, "Aku susun
66
kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16
tahun."
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya,
diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi,
Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj
(pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim
menceritakan, "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari)
datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala
daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan
sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya."
Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua
atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin
Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata, "Barang siapa
hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok
pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih,
Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk
mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits,
mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota
yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah,
Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad,
Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar
Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia
bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau
mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian
diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan
seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat)
67
dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi
(periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari
menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya
Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi
dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan.
Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup
halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas
kebohongannya ia berkata, "Perlu dipertimbangkan, para
ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu"
sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia
menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak
meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau
berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan
hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang
diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu
dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga
Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara
teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap
mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia
berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada
di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah,
Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah
mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali,
ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan
tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan
Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadis

More Related Content

What's hot

Al Mutazilah
Al MutazilahAl Mutazilah
Sejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabat
Sejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabatSejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabat
Sejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabat
Khairul Muttaqin
 
PP PSI1D Sejarah penulisan alquran
PP PSI1D Sejarah penulisan alquranPP PSI1D Sejarah penulisan alquran
PP PSI1D Sejarah penulisan alquran
qoida malik
 
Ulumul hadits 1 (Pengantar)
Ulumul hadits 1 (Pengantar)Ulumul hadits 1 (Pengantar)
Ulumul hadits 1 (Pengantar)
Doddy Elzha Al Jambary
 
Ppt hadits
Ppt haditsPpt hadits
Ppt hadits
Abdiet D'paradise
 
Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)
Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)
Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)
Feryka puri
 
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahistihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
Marhamah Saleh
 
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
Khusnul Kotimah
 
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnyaHadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Riana Arum
 
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranPengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Marhamah Saleh
 
1. pengertian hadits khabar dan atsar
1. pengertian hadits khabar dan atsar1. pengertian hadits khabar dan atsar
1. pengertian hadits khabar dan atsar
Fakhri Cool
 
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnyaRuang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
sholihiyyah
 
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Azzahra Azzahra
 
Kaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyahKaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah
Muhammad Ade Riza
 
Tafsir pada masa nabi saw dan sahabat
Tafsir pada masa nabi saw dan sahabatTafsir pada masa nabi saw dan sahabat
Tafsir pada masa nabi saw dan sahabat
Jumal Ahmad
 
Hasyim Asy'ari
Hasyim Asy'ariHasyim Asy'ari
Hasyim Asy'ari
Illiyin Studio
 
Power point makkiyah madaniyah
Power point makkiyah madaniyahPower point makkiyah madaniyah
Power point makkiyah madaniyah
rizkyintan
 
Hadits Dha'if dan Hadits Maudhu
Hadits Dha'if dan Hadits MaudhuHadits Dha'if dan Hadits Maudhu
Hadits Dha'if dan Hadits Maudhu
Fakhri Cool
 
Metodologi tafsir
Metodologi tafsirMetodologi tafsir
Metodologi tafsir
Mar'ah Salamah
 
Perkembamngan hadits pada masa rasulullah
Perkembamngan hadits pada masa rasulullahPerkembamngan hadits pada masa rasulullah
Perkembamngan hadits pada masa rasulullah
juniska efendi
 

What's hot (20)

Al Mutazilah
Al MutazilahAl Mutazilah
Al Mutazilah
 
Sejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabat
Sejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabatSejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabat
Sejarah perkembangan hadits pada masa nabi, sahabat
 
PP PSI1D Sejarah penulisan alquran
PP PSI1D Sejarah penulisan alquranPP PSI1D Sejarah penulisan alquran
PP PSI1D Sejarah penulisan alquran
 
Ulumul hadits 1 (Pengantar)
Ulumul hadits 1 (Pengantar)Ulumul hadits 1 (Pengantar)
Ulumul hadits 1 (Pengantar)
 
Ppt hadits
Ppt haditsPpt hadits
Ppt hadits
 
Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)
Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)
Kata Kerja Dalam Bahasa Arab (Fiil)
 
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahistihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
 
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
 
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnyaHadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
 
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranPengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
 
1. pengertian hadits khabar dan atsar
1. pengertian hadits khabar dan atsar1. pengertian hadits khabar dan atsar
1. pengertian hadits khabar dan atsar
 
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnyaRuang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
 
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
 
Kaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyahKaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah
 
Tafsir pada masa nabi saw dan sahabat
Tafsir pada masa nabi saw dan sahabatTafsir pada masa nabi saw dan sahabat
Tafsir pada masa nabi saw dan sahabat
 
Hasyim Asy'ari
Hasyim Asy'ariHasyim Asy'ari
Hasyim Asy'ari
 
Power point makkiyah madaniyah
Power point makkiyah madaniyahPower point makkiyah madaniyah
Power point makkiyah madaniyah
 
Hadits Dha'if dan Hadits Maudhu
Hadits Dha'if dan Hadits MaudhuHadits Dha'if dan Hadits Maudhu
Hadits Dha'if dan Hadits Maudhu
 
Metodologi tafsir
Metodologi tafsirMetodologi tafsir
Metodologi tafsir
 
Perkembamngan hadits pada masa rasulullah
Perkembamngan hadits pada masa rasulullahPerkembamngan hadits pada masa rasulullah
Perkembamngan hadits pada masa rasulullah
 

Viewers also liked

1 kerangka standarisasi bahasa arab
1 kerangka standarisasi bahasa arab1 kerangka standarisasi bahasa arab
1 kerangka standarisasi bahasa arab
NiningHartati NiningHartati
 
Ppt Dilalah ilmu mantiq
Ppt Dilalah ilmu mantiqPpt Dilalah ilmu mantiq
Ppt Dilalah ilmu mantiq
khumairoh
 
Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)
Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)
Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)Kakram Gc
 
Zakat serta Pembagiannya
Zakat serta PembagiannyaZakat serta Pembagiannya
Zakat serta Pembagiannya
Meri Septiani
 
Hadist sahih imam muslim
Hadist sahih imam muslimHadist sahih imam muslim
Hadist sahih imam muslimAyenk Yenk
 
(9) cendikiawan muslim
(9) cendikiawan muslim(9) cendikiawan muslim
(9) cendikiawan muslimAnis Hamizah
 
Hadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmu
Hadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmuHadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmu
Hadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmu
wahidin_kia
 
Meraih hidup bahagia cet 2
Meraih hidup bahagia cet 2Meraih hidup bahagia cet 2
Meraih hidup bahagia cet 2BahRum Subagia
 
№120 (09_2014)
№120 (09_2014)№120 (09_2014)
№121 (10_2014)
№121 (10_2014)№121 (10_2014)
How green tea helps to burn fat
How green tea helps to burn fatHow green tea helps to burn fat
How green tea helps to burn fat
Fat2FitSteps
 
№124 (01_2015)
№124 (01_2015)№124 (01_2015)

Viewers also liked (15)

1 kerangka standarisasi bahasa arab
1 kerangka standarisasi bahasa arab1 kerangka standarisasi bahasa arab
1 kerangka standarisasi bahasa arab
 
Ppt Dilalah ilmu mantiq
Ppt Dilalah ilmu mantiqPpt Dilalah ilmu mantiq
Ppt Dilalah ilmu mantiq
 
Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)
Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)
Panduan Latihan Tokoh (Tamadun)
 
Zakat serta Pembagiannya
Zakat serta PembagiannyaZakat serta Pembagiannya
Zakat serta Pembagiannya
 
Hadist sahih imam muslim
Hadist sahih imam muslimHadist sahih imam muslim
Hadist sahih imam muslim
 
(9) cendikiawan muslim
(9) cendikiawan muslim(9) cendikiawan muslim
(9) cendikiawan muslim
 
Hadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmu
Hadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmuHadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmu
Hadis tarbawi : Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang berilmu
 
Meraih hidup bahagia cet 2
Meraih hidup bahagia cet 2Meraih hidup bahagia cet 2
Meraih hidup bahagia cet 2
 
№120 (09_2014)
№120 (09_2014)№120 (09_2014)
№120 (09_2014)
 
2013_12
2013_122013_12
2013_12
 
№121 (10_2014)
№121 (10_2014)№121 (10_2014)
№121 (10_2014)
 
2013_4
2013_42013_4
2013_4
 
How green tea helps to burn fat
How green tea helps to burn fatHow green tea helps to burn fat
How green tea helps to burn fat
 
№124 (01_2015)
№124 (01_2015)№124 (01_2015)
№124 (01_2015)
 
2013_5
2013_52013_5
2013_5
 

Similar to Studi ilmu hadis

dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuudasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
Locked Mount
 
Makalah materi 6 (kel 4)
Makalah materi 6 (kel 4)Makalah materi 6 (kel 4)
Makalah materi 6 (kel 4)
NavenAbsurd
 
Makalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ih
Makalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ihMakalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ih
Makalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ih
qoida malik
 
Qiraat sab'ah
Qiraat sab'ahQiraat sab'ah
Qiraat sab'ah
MythaChan
 
Qiraat sab'ah
Qiraat sab'ahQiraat sab'ah
Qiraat sab'ah
MythaChan
 
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)
DeniKesuma1
 
pengantar studi islam
pengantar studi islampengantar studi islam
pengantar studi islam
uin suska riau
 
Bab 7
Bab 7Bab 7
Makalah ulumul hadits
Makalah ulumul haditsMakalah ulumul hadits
Makalah ulumul hadits
Muhammad Fatih
 
Makalah ulumul hadist
Makalah ulumul hadistMakalah ulumul hadist
Makalah ulumul hadist
Amalia Damayanti
 
Kajian kitab riyadl as sholihin
Kajian kitab riyadl as sholihinKajian kitab riyadl as sholihin
Kajian kitab riyadl as sholihin
Ikhwan Mangku Bumi
 
Makalah ulmul hadis
Makalah ulmul hadisMakalah ulmul hadis
Makalah ulmul hadis
cristianogawoh
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
Ahmad Husein
 
Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas sanad (1).ppt
Klasifikasi hadis ditinjau dari segi  kuantitas dan kualitas sanad (1).pptKlasifikasi hadis ditinjau dari segi  kuantitas dan kualitas sanad (1).ppt
Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas sanad (1).ppt
Faizakbar251
 
Takhrij hadis
Takhrij hadisTakhrij hadis
Takhrij hadis
Early Ridho Kismawadi
 
Takhrij hadis
Takhrij hadisTakhrij hadis
Takhrij hadis
Early Ridho Kismawadi
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Zukét Printing
 

Similar to Studi ilmu hadis (20)

dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuudasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
 
Makalah aik (hadits)
Makalah aik (hadits)Makalah aik (hadits)
Makalah aik (hadits)
 
Makalah materi 6 (kel 4)
Makalah materi 6 (kel 4)Makalah materi 6 (kel 4)
Makalah materi 6 (kel 4)
 
Makalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ih
Makalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ihMakalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ih
Makalah kelompok iii kodifikasi periode ketiga prodi ih
 
Qiraat sab'ah
Qiraat sab'ahQiraat sab'ah
Qiraat sab'ah
 
Qiraat sab'ah
Qiraat sab'ahQiraat sab'ah
Qiraat sab'ah
 
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS 1 (SHAHIH DAN HASAN)
 
pengantar studi islam
pengantar studi islampengantar studi islam
pengantar studi islam
 
Bab 7
Bab 7Bab 7
Bab 7
 
Makalah ulumul hadits
Makalah ulumul haditsMakalah ulumul hadits
Makalah ulumul hadits
 
Makalah ulumul hadist
Makalah ulumul hadistMakalah ulumul hadist
Makalah ulumul hadist
 
Kajian kitab riyadl as sholihin
Kajian kitab riyadl as sholihinKajian kitab riyadl as sholihin
Kajian kitab riyadl as sholihin
 
Makalah ulmul hadis
Makalah ulmul hadisMakalah ulmul hadis
Makalah ulmul hadis
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas sanad (1).ppt
Klasifikasi hadis ditinjau dari segi  kuantitas dan kualitas sanad (1).pptKlasifikasi hadis ditinjau dari segi  kuantitas dan kualitas sanad (1).ppt
Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas sanad (1).ppt
 
Tugas ulumul hadits
Tugas ulumul haditsTugas ulumul hadits
Tugas ulumul hadits
 
Takhrij hadis
Takhrij hadisTakhrij hadis
Takhrij hadis
 
Takhrij hadis
Takhrij hadisTakhrij hadis
Takhrij hadis
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
 

More from BahRum Subagia

10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga
BahRum Subagia
 
Sti 1 akidah akhlak
Sti 1 akidah akhlakSti 1 akidah akhlak
Sti 1 akidah akhlak
BahRum Subagia
 
Panduan islam dalam mencari rejeki
Panduan islam dalam mencari rejekiPanduan islam dalam mencari rejeki
Panduan islam dalam mencari rejeki
BahRum Subagia
 
Sultan Muhammad Al Fatih
Sultan Muhammad Al FatihSultan Muhammad Al Fatih
Sultan Muhammad Al FatihBahRum Subagia
 
Kata kata positif dalam mendidik Anak
Kata kata positif dalam mendidik AnakKata kata positif dalam mendidik Anak
Kata kata positif dalam mendidik AnakBahRum Subagia
 
Catatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusi
Catatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusiCatatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusi
Catatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusi
BahRum Subagia
 
Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA 2014
Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA  2014Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA  2014
Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA 2014
BahRum Subagia
 
Dzikir setelah shalat
Dzikir setelah shalatDzikir setelah shalat
Dzikir setelah shalat
BahRum Subagia
 
Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)
Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)
Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)BahRum Subagia
 
Kisah abu dahdah
Kisah abu dahdahKisah abu dahdah
Kisah abu dahdah
BahRum Subagia
 
Power fiqh siyasah (2)
Power fiqh siyasah (2)Power fiqh siyasah (2)
Power fiqh siyasah (2)
BahRum Subagia
 
Dengan amalan sederhana, raih banyak pahala
Dengan amalan sederhana, raih banyak pahalaDengan amalan sederhana, raih banyak pahala
Dengan amalan sederhana, raih banyak pahalaBahRum Subagia
 
Komunikasi kelompok dalam perspektif psikologi
Komunikasi kelompok dalam perspektif psikologiKomunikasi kelompok dalam perspektif psikologi
Komunikasi kelompok dalam perspektif psikologi
BahRum Subagia
 
Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)
Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)
Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)BahRum Subagia
 
Revisi tafsir al quran
Revisi tafsir al quranRevisi tafsir al quran
Revisi tafsir al quranBahRum Subagia
 
Satu hari satu doa (1)
Satu hari satu doa (1)Satu hari satu doa (1)
Satu hari satu doa (1)BahRum Subagia
 
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
BahRum Subagia
 
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
BahRum Subagia
 

More from BahRum Subagia (20)

10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga10 sahabat yang dijamin masuk surga
10 sahabat yang dijamin masuk surga
 
Sti 1 akidah akhlak
Sti 1 akidah akhlakSti 1 akidah akhlak
Sti 1 akidah akhlak
 
Panduan islam dalam mencari rejeki
Panduan islam dalam mencari rejekiPanduan islam dalam mencari rejeki
Panduan islam dalam mencari rejeki
 
Sultan Muhammad Al Fatih
Sultan Muhammad Al FatihSultan Muhammad Al Fatih
Sultan Muhammad Al Fatih
 
Kata kata positif dalam mendidik Anak
Kata kata positif dalam mendidik AnakKata kata positif dalam mendidik Anak
Kata kata positif dalam mendidik Anak
 
Catatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusi
Catatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusiCatatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusi
Catatan Parenting: Strategi 1 fokus pada solusi
 
Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA 2014
Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA  2014Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA  2014
Laporan Praktek Kerja Lapangan KPI UIKA 2014
 
Dzikir setelah shalat
Dzikir setelah shalatDzikir setelah shalat
Dzikir setelah shalat
 
Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)
Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)
Fikih dakwah dan pemikiran dakwah di indonesia (2)
 
Kisah abu dahdah
Kisah abu dahdahKisah abu dahdah
Kisah abu dahdah
 
Power fiqh siyasah (2)
Power fiqh siyasah (2)Power fiqh siyasah (2)
Power fiqh siyasah (2)
 
Dengan amalan sederhana, raih banyak pahala
Dengan amalan sederhana, raih banyak pahalaDengan amalan sederhana, raih banyak pahala
Dengan amalan sederhana, raih banyak pahala
 
Komunikasi kelompok dalam perspektif psikologi
Komunikasi kelompok dalam perspektif psikologiKomunikasi kelompok dalam perspektif psikologi
Komunikasi kelompok dalam perspektif psikologi
 
Hukum musik
Hukum musikHukum musik
Hukum musik
 
Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)
Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)
Makalah mata kuliah manajemen dakwah (orientalisme)
 
Revisi tafsir al quran
Revisi tafsir al quranRevisi tafsir al quran
Revisi tafsir al quran
 
Satu hari satu doa (1)
Satu hari satu doa (1)Satu hari satu doa (1)
Satu hari satu doa (1)
 
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
 
Fiqih dakwah
Fiqih dakwahFiqih dakwah
Fiqih dakwah
 
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
Liberalisasi pemikiran final (ust mujahid)
 

Studi ilmu hadis

  • 1.
  • 3. ii STUDI ILMU HADITS Penyusun Bahrum Subagia Penyunting Ibnu Muhammad Perwajahan Isi B.S. Gia Penata Letak Bahgia Desain Sampul Abu Aisyah Penerbit Pustaka Kayyis Bogor: JL. KH. Sholeh Iskandar Km.2. Bogor 16162 Telp. 087770252778 e-mail: pustakaqayis@yahoo.com cetakan pertama 1435 H/ 2014 M
  • 4. iii Kata Pengantar Puji syukur, kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah banyak memberi kenikmatan. Shalawat dan salam, semoga tersampaikan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang cinta kepada umatnya. Alhamdulillah, saya berucap syukur dengan diterbitkannya buku ini. Sebenarnya buku ini sangat begitu sederhana membahas pengantar ilmu hadits. Buku ini merupakan pengantar bagi siapa saja yang mau memperdalam ilmu hadits. Tulisan dalam buku ini bukanlah hasil saya peribadi. Saya hanya menyusunnya dari tulisan-tulisan yang banyak tersebar di internet. Saya hanya mengemasnya dalam bentuk e-book agar dapat dijadikan panduan untuk pemula dan dapat dijadikan refernensi. Semoga, amalan yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kaum muslimin di Indonesai. Amin ya Allah yaa rabbal ‘alamin. Salam, Penulis
  • 5. iv Daftar isi Kata Pengantar...............................................................................iii Mengenal Ilmu Hadits.....................................................................1 Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi.....................4 1. Hadits Mutawatir ............................................................4 2. Hadits Ahad ....................................................................4 Menurut Macam Periwayatannya ...............................................6 1. Hadits yang bersambung sanadnya.................................6 2. Hadits yang terputus sanadnya........................................6 Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi .................7 1. Hadits Maudhu'...............................................................7 2. Hadits Matruk .................................................................8 3. Hadits Mungkar ..............................................................8 4. Hadits Mu'allal................................................................8 5. Hadits Mudhthorib..........................................................8 6. Hadits Maqlub.................................................................8 7. Hadits Munqalib..............................................................9 8. Hadits Mudraj.................................................................9 9. Hadits Syadz....................................................................9 10. Hadits Muharraf..........................................................9 11. Hadits Mushahhaf .......................................................9 12. Hadits Mubham...........................................................9 13. Hadits Mukhtalith......................................................10 Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif?........................10 Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits.......................11
  • 6. v 1. Muttafaq 'Alaih .............................................................11 2. As Sab'ah.......................................................................11 3. As Sittah ........................................................................12 4. Al Khamsah...................................................................12 5. Al Arba'ah.....................................................................12 6. Ats tsalatsah..................................................................12 7. Perawi ...........................................................................12 8. Sanad dan Matan...........................................................12 Beberapa kitab hadits yang masyhur /populer ..........................15 Pembagian As-Sunnah Menurut Sampainya Kepada Kita........15 Sejarah Singkat Beberapa Ahli Hadits..........................................17 1. Imam Malik.......................................................................17 2. Imam Hanafi .....................................................................23 3. Imam Syafi'i......................................................................34 4. Imam Hanbali....................................................................45 5. Imam Bukhari ...................................................................61 6. Imam Muslim....................................................................73 7. Imam Tirmizi ....................................................................82 8. Imam Al Baihaqi...............................................................88 9. Imam An-Nawawi.............................................................92 10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani .................97 Referensi .....................................................................................101
  • 7. 1 Mengenal Ilmu Hadits Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, di mana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Atsar ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat nabi muhammad saw. Taqrir ialah keadaan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Sahabat ialah orang yang bertemu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam. Tabi'in ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam. Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
  • 8. 2 Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini. 1. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi a. Hadits Mutawatir b. Hadits Ahad 1) Hadits Shahih 2) Hadits Hasan 3) Hadits Dha'if 2. Menurut Macam Periwayatannya a. Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul) b. Hadits yang terputus sanadnya 1) Hadits Mu'allaq 2) Hadits Mursal 3) Hadits Mudallas 4) Hadits Munqathi 5) Hadits Mu'dhol 3. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi a. Hadits Maudhu' b. Hadits Matruk c. Hadits Mungkar d. Hadits Mu'allal e. Hadits Mudhthorib f. Hadits Maqlub g. Hadits Munqalib h. Hadits Mudraj i. Hadits Syadz j. Hadits Muharraf k. Hadits Mushahhaf l. Hadits Mubham m. Hadits Mukhtalith
  • 9. 3 4. Beberapa pengertian dalam ilmu hadits 5. Beberapa kitab hadits yang masyhur/populer
  • 10. 4 Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi 1. Hadits Mutawatir Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir: - Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. - Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy. - Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama. 2. Hadits Ahad Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu: shahih, hasan, dan dhaif. Berikut ini penjelasannya.
  • 11. 5 a. Hadits Shahih Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : 1) Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al- Qur'an. 2) Harus bersambung sanadnya 3) Diriwayatkan oleh orang/perawi yang adil. Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu: - Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat. - Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun. - Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan. - Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'. 4) Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatan- nya) 5) Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) 6) Tidak cacat walaupun tersembunyi.
  • 12. 6 b. Hadits Hasan Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz. c. Hadits Dha'if Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. Menurut Macam Periwayatannya 1. Hadits yang bersambung sanadnya Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul. 2. Hadits yang terputus sanadnya a. Hadits Mu'allaq Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if. b. Hadits Mursal Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
  • 13. 7 c. Hadits Mudallas Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya. d. Hadits Munqathi Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in. e. Hadits Mu'dhol Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi 1. Hadits Maudhu' Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
  • 14. 8 2. Hadits Matruk Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta. 3. Hadits Mungkar Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur. 4. Hadits Mu'allal Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat). 5. Hadits Mudhthorib Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan. 6. Hadits Maqlub Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
  • 15. 9 7. Hadits Munqalib Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah. 8. Hadits Mudraj Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya. 9. Hadits Syadz Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat/pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz. 10. Hadits Muharraf Adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya. 11. Hadits Mushahhaf Adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah. 12. Hadits Mubham Adalah hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
  • 16. 10 13. Hadits Mukhtalith Adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya. Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif? Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisih- kan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu: Pendapat pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetap- kan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby. Pendapat kedua, membolehkan, kendatipun dengan me- lepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelema- hannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetap- kan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah). Para imam, seperti Ahmad bin Hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya." Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk
  • 17. 11 fadla'ilul amal. Ia memberikan tiga syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu: Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan). Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits 1. Muttafaq 'Alaih Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim. 2. As Sab'ah As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu: a. Imam Ahmad b. Imam Bukhari c. Imam Muslim d. Imam Abu Daud e. Imam Tirmidzi f. Imam Nasa'i g. Imam Ibnu Majah
  • 18. 12 3. As Sittah Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal. 4. Al Khamsah Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim. 5. Al Arba'ah Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim. 6. Ats tsalatsah Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah. 7. Perawi Yaitu orang yang meriwayatkan hadits. 8. Sanad dan Matan a. Sanad Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-
  • 19. 13 Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad. Gambaran Sanad Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dan lain-lain. Contoh: Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad. Awal Sanad dan akhir Sanad Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D. Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah. Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) Rahimahullah berkata, “Mereka (yakni
  • 20. 14 para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”1 Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya. Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"2 Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits. b. Matan Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, dan keras. Secara istilah, matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya. 1 Muqaddimah Shahih Muslim. 2 Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).
  • 21. 15 Beberapa kitab hadits yang masyhur /populer 1. Shahih Bukhari 2. Shahih Muslim 3. Riyadhus Shalihin Pembagian As-Sunnah Menurut Sampainya Kepada Kita3 As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta. Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu: 1. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat pasti. 2. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau mendengar langsung, seperti: "sami'tu" = aku mendengar "sami'na" = kami mendengar "roaitu" = aku melihat "roainaa" = kami melihat 3 Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As- Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005
  • 22. 16 3. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta. 4. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang.4 Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam. 1. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad. 2. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad. 3. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.5 4 Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20). 5 Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-31).
  • 23. 17 Sejarah Singkat Beberapa Ahli Hadits 1. Imam Malik Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.'' Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil. Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada
  • 24. 18 tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya. Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia. Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman- pamannya. Ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi. Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya.
  • 25. 19 Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentra- man, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.'' Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai. Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangan- nya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
  • 26. 20 Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji. Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya. Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
  • 27. 21 Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membuku- kannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754- 775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M). Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan. Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
  • 28. 22 Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu). Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu- satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
  • 29. 23 2. Imam Hanafi Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi. Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia. Perkembangannya Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah Subhanahu wa ta'ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
  • 30. 24 Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya. Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat. Beliau pernah bercerita, “Tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala di antara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
  • 31. 25 Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya. Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad di antaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al- Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al- Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain. Penilaian Para Ulama Terhadap Abu Hanifah Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, di antaranya:
  • 32. 26 Pertama, Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”. Kedua, Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”. Ketiga, Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia
  • 33. 27 mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat- tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”. Keempat, Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah” Kelima, Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh. Keenam, Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah Subhanahu wa ta'ala, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”. Ketujuh, Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”. Kedelapan, Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”. Kesembilan, Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
  • 34. 28 Beberapa Penilaian Negatif Yang Ditujukan Kepada Abu Hanifah Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya: Pertama, Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”. Kedua, Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An- Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”. Ketiga, Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”. Keempat, Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman. Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal- amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lisan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi
  • 35. 29 kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya. Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa- dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia- nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.” Kelima, sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al- Qur’an itu makhluq. Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
  • 36. 30 Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al- Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450. Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abu Hanifah - dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh telah diteliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber- ashabiyyah madzhabiyyah,… dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila pembaca menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al- Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil” Beberapa Nasehat Imam Abu Hanifah Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda- beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu,
  • 37. 31 yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Di antara nasehat-nasehat beliau adalah: “Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku.” Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang di antara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”. “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya.” Dan dalam riwayat lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku
  • 38. 32 berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya. Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!. Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah- pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar di sana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalau dibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”.
  • 39. 33 Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”. “Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.” Wafatnya Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke- 2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
  • 40. 34 3. Imam Syafi'i Nama dan Nasab Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib. Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam. Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
  • 41. 35 kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath. Waktu dan Tempat Kelahirannya Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman. Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat- riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri
  • 42. 36 itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan. Pertumbuhannya & Pengembaraannya Mencari Ilmu Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Al-Qur'an), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Al-Qur'an, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru. Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa
  • 43. 37 beliau telah menghafal Al-Qur'an pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah. Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama- ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat
  • 44. 38 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran. Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179 H. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi. Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
  • 45. 39 Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit. Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah- perintah yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
  • 46. 40 Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad. Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
  • 47. 41 Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar- khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Al-Qur'an dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah. Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja. Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah. Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan- pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami
  • 48. 42 masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka. Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Al- Qur'an itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerah- kan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana. Keteguhannya Membela Sunnah Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah akidah selalu menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah
  • 49. 43 mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmen- nya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah dan memilih ilmu kalam. Wafatnya Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam
  • 50. 44 Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas. Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara- mutiara yang halus” Karangan-Karangannya Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al- Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar- Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
  • 51. 45 4. Imam Hanbali "Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu. Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lewat hadits-haditsnya. Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala. Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab
  • 52. 46 tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang. Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al- Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad. Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik. Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
  • 53. 47 Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said. Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya. Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'” Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
  • 54. 48 Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara. Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram. Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah. Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
  • 55. 49 Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al- Qur'an dan Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya. Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas. Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah. Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal. Sejarah Singkat Imam Hanbali Nasab dan Kelahirannya
  • 56. 50 Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima. Masa Menuntut Ilmu Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang
  • 57. 51 tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan. Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya. Setamatnya menghafal Al-Qur'an dan mempelajari ilmu- ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’” Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu
  • 58. 52 hingga tahun 186 H. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih. Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.” Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah
  • 59. 53 keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain- lain. Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Al-Qur'an, tentang jawaban-jawaban dalam Al-Qur'an. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah. Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusul- kan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
  • 60. 54 Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi- perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya. Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.” Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh. Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
  • 61. 55 Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang- orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al- Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain. Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
  • 62. 56 muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Al-Qur'an. Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al- Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur'an. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.” Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al- Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al- Makmun, mereka mampu melakukannya. Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Al-Qur'an, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Al-Qur'an, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Al-Qur'an itu kalamullah, bukan makhluk.
  • 63. 57 Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahan- nya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun. Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Al- Qur'an dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco- konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Al- Qur'an, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu. Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al- Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
  • 64. 58 Sakit dan Wafatnya Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat. Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco- konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al- Watsiq meninggal tahun 232. Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik mengganti- kannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Al-Qur'an masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur'an dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumu- man itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana ter- dengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama
  • 65. 59 nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz. Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 H, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjuk- kan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”. Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al- Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki,
  • 66. 60 tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
  • 67. 61 5. Imam Bukhari Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al- Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total. Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An- Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu
  • 68. 62 pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina. Keluarga dan Guru Imam Bukhari Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati- hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu- ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil. Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti "al- Mubarak" dan "al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad- Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, di mana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as
  • 69. 63 Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, di mana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya. Kejeniusan Imam Bukhari Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat. Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama
  • 70. 64 tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar- balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar. Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Karya-karya Imam Bukhari Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam di waktu malam bulan purnama".
  • 71. 65 Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al- Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih." Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya, "Aku susun
  • 72. 66 kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun." Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan, "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata, "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya." Penelitian Hadits Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits. Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat)
  • 73. 67 dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari. Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan". Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."