SlideShare a Scribd company logo
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “ULUMUL HADIST “ ini dengan tepat waktu.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
Pada kesempatan ini, dengan tulis ikhlas penyusun menyampaikan terima kasih
yang tak terhingga kepada kedua orangtua penyusun, Bapak /Ibu Dosen dan teman-teman
yang telah memberikan bantuan dan partisipasinya baik dalam bentuk moril maupun
materiil untuk keberhasilan dalam penyusunan makalah ini.
selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para
pembaca. Amin.
Hormat Kami,
Penyusun
DAFTAR ISI
HalamanJudul
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................... 2
BAB I........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................ 3
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah............................................................................................................. 3
BAB II.......................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 4
Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi..........................................................................4
1. Hadits Mutawatir..........................................................................................................4
2. Hadits Ahad...................................................................................................................... 6
BAB III.................................................................................................................................... 14
PENUTUP............................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 14
B. Saran-saran.................................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang
kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama
masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.
Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi
pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits
ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan
membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas
BAB II
PEMBAHASAN
Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke
dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr
Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan
bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir
dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.
Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama
sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
‫ا‬َ‫مـ‬
َ‫ان‬َ‫ك‬
‫ن‬َ‫ع‬
‫س‬‫و‬ُ‫س‬‫ح‬َ‫م‬
َ‫ر‬َ‫ب‬‫خ‬َ‫أ‬
ِ‫ه‬ِ‫ب‬
‫ة‬َ‫ع‬‫ا‬َ‫مــ‬َ‫ج‬
‫ا‬‫و‬ُ‫غ‬َ‫لـ‬َ‫ب‬
‫ى‬ِ‫ف‬
ِ‫ة‬ َ‫ر‬‫ث‬َ‫لكـ‬‫ا‬
‫ا‬‫غـ‬َ‫ل‬‫ب‬َ‫م‬
ُ‫ل‬‫ي‬ ِ‫ح‬ُ‫ت‬
َ‫ة‬َ‫د‬‫ا‬َ‫ع‬‫ل‬‫ا‬
‫م‬ُ‫ه‬ُ‫ؤ‬ُ‫ط‬‫ا‬ َ‫و‬َ‫ت‬
‫ى‬َ‫لـ‬َ‫ع‬
ِ‫ب‬ِ‫ذ‬‫ـ‬َ‫لكـ‬‫ا‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan
oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi
mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-
syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak
termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang
shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara
dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat
gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10
itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan
jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus
benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita
itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau
hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
َ‫ل‬‫ا‬َ‫قـ‬
ُ‫ل‬‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬
‫هللا‬
ِ‫ه‬‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬
َ‫م‬َّ‫ل‬َ‫س‬ َ‫و‬
‫ن‬َ‫م‬
َ‫ب‬َ‫ذ‬َ‫ك‬
َّ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬
‫أ‬ َّ‫و‬َ‫ب‬َ‫ت‬َ‫ي‬‫ل‬َ‫فـ‬
ُ‫ه‬َ‫د‬َ‫ع‬‫ق‬َ‫م‬
َ‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ار‬َّ‫ن‬‫ال‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits
yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai
makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
‫قال‬
‫ابو‬
‫مسى‬
‫م‬
‫رفع‬
‫رسول‬
‫هللا‬
‫صلى‬
‫عليه‬
‫وسلم‬
‫يديه‬
‫حتى‬
‫رؤي‬
‫بياض‬
‫ابطه‬
‫فى‬
‫شئ‬
‫من‬
‫دعائه‬
‫إال‬
‫فى‬
‫اإلستسقاء‬
‫(رواه‬
‫البخارى‬
)‫ومسلم‬
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir
‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir
lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak
mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits
mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut
Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya
harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi,
sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta
terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai
berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad
bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi,
kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah
hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits
mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu
masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
ُ‫ه‬‫ا‬ َ‫و‬َ‫ار‬َ‫مـ‬
َ‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ه‬َ‫ب‬‫ا‬َ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬
ٌ‫د‬َ‫د‬َ‫ع‬
‫ال‬
ُ‫غ‬ُ‫ل‬‫ب‬َ‫ي‬
َّ‫د‬َ‫ح‬
‫ر‬ِ‫ت‬‫ا‬ َ‫ـو‬َ‫ت‬
َ‫د‬‫ع‬َ‫ب‬
ِ‫ه‬َ‫ب‬‫ا‬َ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬
‫ن‬ِ‫م‬ َ‫و‬
‫م‬ِ‫ه‬ِ‫د‬‫ع‬َ‫ب‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang
berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun
matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬
ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ء‬‫ا‬َ‫ج‬
ُ‫ه‬َ‫ع‬‫م‬ُ‫ج‬‫ل‬‫ا‬
‫ل‬ِ‫س‬‫غ‬َ‫ي‬‫ل‬َ‫ف‬
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits
Nabi yang berbunyi:
َ‫ال‬
َ‫ر‬َ‫ر‬َ‫ض‬
َ‫ال‬ َ‫و‬
َ‫ار‬َ‫ر‬ِ‫ـ‬‫ضــ‬
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-
syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
ُ‫ب‬َ‫ل‬َ‫ط‬
ِ‫م‬‫ل‬ِ‫ع‬‫ل‬‫ا‬
ٌ‫ه‬‫ــ‬َ‫ض‬‫ي‬ ِ‫ر‬َ‫ف‬
‫ي‬َ‫ل‬‫ـ‬َ‫عــ‬
ِ‫ل‬ُ‫ك‬
‫م‬ِ‫ل‬‫س‬ُ‫م‬
‫ــــه‬َ‫م‬ِ‫ل‬‫س‬ُ‫م‬ َ‫و‬
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah
SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan
Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan
juga dikalangan orang awam, seperti :
ُ‫م‬ِ‫ل‬‫س‬ُ‫م‬‫ل‬‫ا‬ ََ
‫ن‬َ‫م‬
َ‫م‬ِ‫ل‬‫ـــــ‬َ‫س‬
‫س‬ُ‫م‬‫ل‬‫ا‬
َ‫ن‬‫و‬ُ‫م‬ِ‫ل‬
‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ه‬ِ‫ن‬‫ـا‬َ‫ســـ‬ِ‫ل‬
ِ‫ه‬ِ‫د‬‫ي‬ َ‫و‬
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
‫ي‬َ‫ه‬َ‫ن‬
َ‫ل‬‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬
ِ‫هللا‬
‫ي‬َّ‫ل‬َ‫ص‬
ِ‫هللا‬
ِ‫ه‬‫ــــ‬‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬
َ‫م‬َّ‫ل‬َ‫س‬ َ‫و‬
‫ن‬َ‫ع‬
ِ‫ع‬‫ي‬َ‫ب‬
ِ‫ر‬َ‫َر‬‫غ‬‫ل‬‫ا‬
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬
َ‫م‬َ‫ك‬َ‫ح‬
ُ‫م‬ِ‫ك‬‫ا‬َ‫ح‬‫ل‬‫ا‬
َّ‫م‬ُ‫ث‬
َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬‫اج‬
َ‫اب‬َ‫ص‬َ‫أ‬‫ـــ‬َ‫ف‬
ُ‫ه‬‫ــ‬َ‫لـ‬َ‫ف‬
ِ‫ان‬َ‫ر‬‫ج‬َ‫أ‬
‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫و‬
َ‫م‬‫ــــ‬َ‫ك‬َ‫ح‬
َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬‫اج‬َ‫ف‬
َّ‫م‬ُ‫ث‬
َ‫أ‬َ‫ط‬‫َــــ‬‫خ‬َ‫أ‬
ُ‫ه‬َ‫لـ‬َ‫ف‬
ٌ‫ر‬‫ج‬َ‫أ‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan
kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala
kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala
Ijtihad).
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
ُ‫ت‬‫ن‬ُ‫ك‬
‫ا‬‫ز‬‫ن‬َ‫ك‬
‫ًّا‬‫ي‬ِ‫ف‬‫خ‬َ‫م‬
ُ‫ت‬‫ب‬َ‫ب‬‫ح‬َ‫أ‬َ‫ف‬
‫ن‬َ‫أ‬
َ‫ف‬ ِ‫ر‬‫ع‬ُ‫أ‬
ُ‫ت‬‫ق‬َ‫َلـ‬‫خ‬َ‫ف‬
َ‫ق‬‫َل‬‫خ‬‫ل‬‫ا‬
‫ي‬ِ‫ب‬َ‫ف‬
‫ي‬ِ‫ن‬‫و‬ُ‫ف‬َ‫ر‬َ‫ع‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag
paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan
Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”.
Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang
dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat
terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat
terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama
yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga
orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits
Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada
tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
َ‫ال‬
ُ‫ن‬ِ‫م‬‫ُؤ‬‫ي‬
ُ‫د‬َ‫ح‬َ‫أ‬
‫م‬ُ‫ك‬
‫ي‬َّ‫ت‬َ‫ح‬
َ‫ن‬‫و‬ُ‫ك‬َ‫أ‬
َّ‫ب‬َ‫ح‬َ‫أ‬
ِ‫ه‬‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬
‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ه‬ِ‫د‬‫ـ‬ِ‫ل‬‫ا‬ َ‫و‬
ِ‫ه‬ِ‫د‬ِ‫ـ‬‫لـ‬ َ‫و‬ َ‫و‬
ِ
‫ـاس‬َّ‫ـ‬‫الن‬ َ‫و‬
َ‫ن‬‫ي‬ِ‫ع‬َ‫م‬‫ج‬َ‫أ‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada
dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam
tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun
selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau
mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu
berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu.
Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir
sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian
yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau
menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang
banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya
sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu
diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah
atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah,
beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
· Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan
dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
· Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1)
sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4)
matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫الحسن‬ ) bermakna al-jamal (‫)الجمال‬ yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara
beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-
Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
ُ‫ر‬َ‫ب‬َ‫خ‬ َ‫و‬
َ‫د‬‫ا‬َ‫ح‬‫آل‬‫ا‬
ِ‫ل‬‫َق‬‫ن‬ِ‫ب‬
ِ‫ل‬‫د‬َ‫ع‬
‫ام‬َ‫ت‬
ِ‫ط‬‫ب‬َّ‫ض‬‫ال‬
ُ‫ل‬ ِ
‫ص‬َّ‫ت‬ُ‫م‬
ِ‫د‬َ‫ن‬َّ‫س‬‫ال‬
ُ‫ر‬‫َي‬‫غ‬
‫ل‬َّ‫ل‬َ‫ع‬ُ‫م‬
َ‫ال‬ َ‫و‬
‫َاذ‬‫ش‬
َ‫و‬ُ‫ه‬
ِ‫ح‬‫ي‬ ِ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬
.ِ‫ه‬ِ‫ت‬‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ل‬
‫ن‬ِ‫اء‬َ‫ف‬
َّ‫َف‬‫خ‬
ُ‫ط‬‫ب‬َ‫ض‬‫ال‬
ُ‫ن‬‫س‬ُ‫ح‬‫ل‬َ‫ف‬
ِ‫ه‬ِ‫ت‬‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ل‬
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika
kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
َ‫و‬ُ‫ه‬
‫ا‬َ‫م‬
َ‫ل‬َ‫ص‬َّ‫ت‬‫ا‬
ُ‫ه‬ُ‫د‬َ‫ن‬َ‫س‬
ِ‫ل‬‫َق‬‫ن‬ِ‫ب‬
ِ‫ل‬‫د‬َ‫ع‬‫ل‬‫ا‬
‫ي‬ِ‫ذ‬‫ال‬
َّ‫ل‬َ‫ق‬
ُ‫ه‬ُ‫ط‬‫ب‬َ‫ض‬
َّ‫ل‬َ‫خ‬ َ‫و‬
َ‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ذ‬‫و‬ُ‫ذ‬‫الش‬
ِ‫ه‬َّ‫ل‬ِ‫ع‬‫ل‬‫ا‬ َ‫و‬
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus
zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika
disbanding dengan hadits shahih.
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-
Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi
Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
ُ‫ار‬َ‫م‬‫ع‬َ‫أ‬
‫ي‬ِ‫ت‬َّ‫م‬ُ‫ا‬
‫ا‬َ‫م‬
َ‫ن‬‫ي‬َ‫ب‬
َ‫ن‬‫ي‬ِ‫ت‬ِ‫الس‬
َ‫ِلي‬‫ا‬
َ‫ن‬‫ي‬ِ‫ع‬‫ب‬َّ‫س‬‫ال‬
‫م‬ُ‫ه‬‫ل‬َ‫ق‬َ‫أ‬ َ‫و‬
‫ن‬َ‫م‬
ُ‫ز‬‫و‬ُ‫ج‬َ‫ي‬
َ‫ك‬ِ‫ل‬‫ا‬َ‫ذ‬
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun
terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih
ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
َ‫و‬ُ‫ه‬
ُ‫ث‬‫ي‬ِ‫د‬َ‫ح‬‫ل‬‫ا‬
ُ‫ف‬‫ي‬ِ‫ع‬َّ‫ض‬‫ال‬
‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬
َ‫ي‬ِ‫و‬ُ‫ر‬
‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ق‬‫ي‬ ِ‫ر‬َ‫ط‬
‫ي‬َ‫ر‬‫خ‬ُ‫أ‬
ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫ث‬ِ‫م‬
‫و‬َ‫أ‬
‫ي‬ َ‫و‬‫ق‬َ‫أ‬
ُ‫ه‬‫ن‬ِ‫م‬
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau
lebih kuat.
َ‫و‬ُ‫ه‬
ُ‫ف‬‫ي‬ِ‫ع‬َّ‫ض‬‫ال‬
‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬
‫ت‬َ‫د‬َّ‫د‬َ‫ع‬َ‫ت‬
ُ‫ه‬ُ‫ق‬ُ‫ر‬ُ‫ط‬
‫م‬َ‫لـ‬ َ‫و‬
‫ن‬ُ‫ك‬َ‫ي‬
ُ‫ب‬َ‫ب‬َ‫س‬
ِ‫ه‬ِ‫ف‬‫ع‬َ‫ض‬
َ‫ق‬‫س‬ِ‫ف‬
‫ي‬ِ‫و‬‫ا‬َّ‫الر‬
ُ‫ه‬ُ‫ب‬‫ذ‬ِ‫ك‬‫و‬َ‫أ‬
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena
fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi
hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan
kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).
Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫)الضعيف‬ berarti
lemah lawan dari Al-Qawi (‫)القوي‬ yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena
sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.
Dalam istilah hadits dhaif adalah :
َ‫و‬ُ‫ه‬
‫ا‬َ‫م‬
‫م‬َ‫ل‬
‫ع‬َ‫م‬‫ج‬َ‫ي‬
ُ‫ه‬َ‫ف‬ ِ
‫ص‬
ِ‫ن‬َ‫س‬َ‫ح‬‫ال‬
ِ‫د‬‫ق‬َ‫ف‬ِ‫ب‬
‫ط‬‫َر‬‫ش‬
‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ه‬ِ‫ط‬‫و‬ُ‫ر‬ُ‫ش‬
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
َ‫و‬ُ‫ه‬
‫ا‬َ‫م‬
‫م‬َ‫ل‬
‫ع‬َ‫م‬‫ج‬َ‫ي‬
ُ‫ه‬َ‫ف‬ ِ
‫ص‬
ِ‫ح‬‫ي‬ ِ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬
ِ‫ن‬َ‫س‬َ‫ح‬‫ل‬‫ا‬ َ‫و‬
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil),
Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan
(syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari
Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
‫ن‬َ‫م‬ َ‫و‬
‫ي‬َ‫ت‬َ‫أ‬
‫ا‬َ‫ض‬ِ‫ئ‬‫ا‬َ‫ح‬
‫ه‬َ‫أ‬َ‫ر‬‫ام‬ِ‫و‬َ‫أ‬
‫ن‬ِ‫م‬
ِ‫ُر‬‫ب‬ُ‫د‬
‫و‬َ‫أ‬
‫َا‬‫ن‬ِ‫ه‬‫ا‬َ‫ك‬
‫د‬َ‫ق‬َ‫ف‬
َ‫ر‬َ‫ف‬َ‫ك‬
‫ا‬َ‫م‬ِ‫ب‬
َ‫ل‬ ِ‫ز‬‫ن‬ُ‫ا‬
‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬
‫د‬َّ‫م‬َ‫ح‬ُ‫م‬
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari
jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : ٌ‫ن‬ِ‫ي‬َ‫ل‬ ِ‫ه‬‫ي‬ِ‫ف‬ padanya lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits
dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan
yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta.
Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa
menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman
dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya
dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan
(tamridh) misalnya : َ‫ي‬ِ‫و‬ُ‫ر‬ diriwayatkan, َ‫ل‬ِ‫ق‬ُ‫ن‬ dipindahkan, َ‫ي‬ِ‫و‬‫ُر‬‫ي‬ ‫ا‬ِ‫م‬‫ي‬ِ‫ف‬ pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail
al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas
dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi,
Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
· Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh
dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq
dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
· Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam
(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
· Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati
semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak
terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya
tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits
dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian
mudhatahrib.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3
bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi
menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi
lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud
adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul
ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan
suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita
termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

More Related Content

What's hot

Pembagian Hadis dari Segi Kualitas
Pembagian Hadis dari Segi KualitasPembagian Hadis dari Segi Kualitas
Pembagian Hadis dari Segi Kualitas
Suya Yahya
 
Bidayah wan nihayah ibnu katsir
Bidayah wan nihayah   ibnu katsirBidayah wan nihayah   ibnu katsir
Bidayah wan nihayah ibnu katsir
abemat1
 
Jika Hadits Shahih Saling Bertentangan
Jika Hadits Shahih Saling BertentanganJika Hadits Shahih Saling Bertentangan
Jika Hadits Shahih Saling Bertentangan
Suedi Ahmad
 
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmatMemahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
Muhsin Hariyanto
 

What's hot (20)

Hadits Ahad
Hadits AhadHadits Ahad
Hadits Ahad
 
Qiraat Sab'ah
Qiraat Sab'ahQiraat Sab'ah
Qiraat Sab'ah
 
Qiraat sab'ah
Qiraat sab'ahQiraat sab'ah
Qiraat sab'ah
 
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARITAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
 
Gentha yudha-UAS-Pendidikan Agama 2B E1D019087
Gentha yudha-UAS-Pendidikan Agama 2B E1D019087Gentha yudha-UAS-Pendidikan Agama 2B E1D019087
Gentha yudha-UAS-Pendidikan Agama 2B E1D019087
 
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nyaPembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
 
Makalah hadist
Makalah hadist Makalah hadist
Makalah hadist
 
makalah ulumul qur'an 2
makalah ulumul qur'an 2makalah ulumul qur'an 2
makalah ulumul qur'an 2
 
PERKEMBANGAN HADITS
PERKEMBANGAN HADITSPERKEMBANGAN HADITS
PERKEMBANGAN HADITS
 
MAKALAH PEMBUKUAN DAN PENERJEMAHAN AL-QUR'AN
MAKALAH PEMBUKUAN DAN PENERJEMAHAN AL-QUR'ANMAKALAH PEMBUKUAN DAN PENERJEMAHAN AL-QUR'AN
MAKALAH PEMBUKUAN DAN PENERJEMAHAN AL-QUR'AN
 
Mahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsirMahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsir
 
Pembagian Hadis dari Segi Kualitas
Pembagian Hadis dari Segi KualitasPembagian Hadis dari Segi Kualitas
Pembagian Hadis dari Segi Kualitas
 
Makalah bersama
Makalah bersamaMakalah bersama
Makalah bersama
 
Makalah kutub al sittah
Makalah kutub al sittahMakalah kutub al sittah
Makalah kutub al sittah
 
Bidayah wan nihayah ibnu katsir
Bidayah wan nihayah   ibnu katsirBidayah wan nihayah   ibnu katsir
Bidayah wan nihayah ibnu katsir
 
Tafsir bil ma’tsur, tafsir bir ra’yi dan 2 blogss
Tafsir bil ma’tsur, tafsir bir ra’yi dan 2 blogssTafsir bil ma’tsur, tafsir bir ra’yi dan 2 blogss
Tafsir bil ma’tsur, tafsir bir ra’yi dan 2 blogss
 
Jika Hadits Shahih Saling Bertentangan
Jika Hadits Shahih Saling BertentanganJika Hadits Shahih Saling Bertentangan
Jika Hadits Shahih Saling Bertentangan
 
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmatMemahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
 
Studi ilmu hadis
Studi ilmu hadisStudi ilmu hadis
Studi ilmu hadis
 
Hadits Shahih & Dhoif
Hadits Shahih & DhoifHadits Shahih & Dhoif
Hadits Shahih & Dhoif
 

Similar to Makalah ulmul hadis

Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnyaHadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Riana Arum
 
TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...
TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...
TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...
AbdoelHakeem
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
Moh Yakub
 

Similar to Makalah ulmul hadis (20)

Klasifikasi Hadist Ditinjau dari Aspek Kuantitas dan Kualitasnya
Klasifikasi Hadist Ditinjau dari Aspek Kuantitas dan KualitasnyaKlasifikasi Hadist Ditinjau dari Aspek Kuantitas dan Kualitasnya
Klasifikasi Hadist Ditinjau dari Aspek Kuantitas dan Kualitasnya
 
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnyaHadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya
 
Panduan Evaluasi Sholat dan Hadits Shahih - Mengevaluasi Cara Sholat Kita
Panduan Evaluasi Sholat dan Hadits Shahih - Mengevaluasi Cara Sholat KitaPanduan Evaluasi Sholat dan Hadits Shahih - Mengevaluasi Cara Sholat Kita
Panduan Evaluasi Sholat dan Hadits Shahih - Mengevaluasi Cara Sholat Kita
 
TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...
TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...
TUGAS QURDIS_KELOMPOK 5_KELAS X4 (PEMAHAMAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN KU...
 
Al quran hadist ~ ''hadis ditinjau dari kualitas & kuantitasnya''
Al quran hadist ~ ''hadis ditinjau dari kualitas & kuantitasnya'' Al quran hadist ~ ''hadis ditinjau dari kualitas & kuantitasnya''
Al quran hadist ~ ''hadis ditinjau dari kualitas & kuantitasnya''
 
Makalah aik (hadits)
Makalah aik (hadits)Makalah aik (hadits)
Makalah aik (hadits)
 
hadits mutawatir dan ahad.pptx
hadits mutawatir dan ahad.pptxhadits mutawatir dan ahad.pptx
hadits mutawatir dan ahad.pptx
 
Ppt hadits
Ppt haditsPpt hadits
Ppt hadits
 
Qurdist 10 semester2 hadist segi kuantitas
Qurdist 10 semester2 hadist segi kuantitasQurdist 10 semester2 hadist segi kuantitas
Qurdist 10 semester2 hadist segi kuantitas
 
qurdits kelas 10 semester 2 klasifikasi hadits menurut kualitas
qurdits kelas 10 semester 2 klasifikasi hadits menurut kualitasqurdits kelas 10 semester 2 klasifikasi hadits menurut kualitas
qurdits kelas 10 semester 2 klasifikasi hadits menurut kualitas
 
Tugas ulumul hadits
Tugas ulumul haditsTugas ulumul hadits
Tugas ulumul hadits
 
Makalah materi 6 (kel 4)
Makalah materi 6 (kel 4)Makalah materi 6 (kel 4)
Makalah materi 6 (kel 4)
 
Qiraat sab'ah
Qiraat sab'ahQiraat sab'ah
Qiraat sab'ah
 
PPT KELOMPOK 11.pptx
PPT KELOMPOK 11.pptxPPT KELOMPOK 11.pptx
PPT KELOMPOK 11.pptx
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuudasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
dasar-dasar pengetahuan tentang Hadits Nabiuuuuuu
 
Urutan surat dan ayat al qur'an asliiiiiii
Urutan surat dan ayat al qur'an asliiiiiiiUrutan surat dan ayat al qur'an asliiiiiii
Urutan surat dan ayat al qur'an asliiiiiii
 
Ijtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfIjtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdf
 

Recently uploaded

PETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdf
PETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdfPETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdf
PETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdf
Hernowo Subiantoro
 

Recently uploaded (20)

Najwa Qarina_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Najwa Qarina_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfNajwa Qarina_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Najwa Qarina_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
 
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
 
tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
tugas  modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptxtugas  modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
 
PETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdf
PETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdfPETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdf
PETUNJUK TEKNIS PPDB JATIM 2024-sign.pdf
 
Solusi Masalah Pendidikan Kelompok 9 Wawasan Pendidikan.pptx
Solusi Masalah Pendidikan Kelompok 9 Wawasan Pendidikan.pptxSolusi Masalah Pendidikan Kelompok 9 Wawasan Pendidikan.pptx
Solusi Masalah Pendidikan Kelompok 9 Wawasan Pendidikan.pptx
 
Solusi dan Strategi ATHG yang di hadapi Indonesia (Kelas 11).pptx
Solusi dan Strategi ATHG yang di hadapi Indonesia (Kelas 11).pptxSolusi dan Strategi ATHG yang di hadapi Indonesia (Kelas 11).pptx
Solusi dan Strategi ATHG yang di hadapi Indonesia (Kelas 11).pptx
 
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERILAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
 
perumusan visi, misi dan tujuan sekolah.ppt
perumusan visi, misi dan tujuan sekolah.pptperumusan visi, misi dan tujuan sekolah.ppt
perumusan visi, misi dan tujuan sekolah.ppt
 
Modul Pembentukan Disiplin Rohani (PDR) 2024
Modul Pembentukan Disiplin Rohani (PDR) 2024Modul Pembentukan Disiplin Rohani (PDR) 2024
Modul Pembentukan Disiplin Rohani (PDR) 2024
 
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANGKERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
 
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
 
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfSusi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
 
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdfALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
 
Sosialisme Kapitalis Karl Marx (Dosen Pengampu: Khoirin Nisai Shalihati)
Sosialisme Kapitalis Karl Marx (Dosen Pengampu: Khoirin Nisai Shalihati)Sosialisme Kapitalis Karl Marx (Dosen Pengampu: Khoirin Nisai Shalihati)
Sosialisme Kapitalis Karl Marx (Dosen Pengampu: Khoirin Nisai Shalihati)
 
Naufal Khawariz_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Naufal Khawariz_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfNaufal Khawariz_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Naufal Khawariz_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
 
Seminar: Sekolah Alkitab Liburan (SAL) 2024
Seminar: Sekolah Alkitab Liburan (SAL) 2024Seminar: Sekolah Alkitab Liburan (SAL) 2024
Seminar: Sekolah Alkitab Liburan (SAL) 2024
 
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptxPPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
 
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptxPresentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
 
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBIVISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
 

Makalah ulmul hadis

  • 1. KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ULUMUL HADIST “ ini dengan tepat waktu. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini. Pada kesempatan ini, dengan tulis ikhlas penyusun menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua penyusun, Bapak /Ibu Dosen dan teman-teman yang telah memberikan bantuan dan partisipasinya baik dalam bentuk moril maupun materiil untuk keberhasilan dalam penyusunan makalah ini. selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para pembaca. Amin. Hormat Kami, Penyusun
  • 2. DAFTAR ISI HalamanJudul KATA PENGANTAR.................................................................................................................... 1 DAFTAR ISI............................................................................................................................... 2 BAB I........................................................................................................................................3 PENDAHULUAN........................................................................................................................ 3 A. Latar Belakang.................................................................................................................. 3 B. Rumusan Masalah............................................................................................................. 3 BAB II.......................................................................................................................................4 PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 4 Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi..........................................................................4 1. Hadits Mutawatir..........................................................................................................4 2. Hadits Ahad...................................................................................................................... 6 BAB III.................................................................................................................................... 14 PENUTUP............................................................................................................................... 14 A. Kesimpulan .................................................................................................................... 14 B. Saran-saran.................................................................................................................... 14
  • 3. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits. Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan. Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja. B. Rumusan Masalah 1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi 2. Pembagian hadits dari segi kualitas
  • 4. BAB II PEMBAHASAN Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad. 1. Hadits Mutawatir a. Pengertian Hadits Mutawatir Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir. Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah : ‫ا‬َ‫مـ‬ َ‫ان‬َ‫ك‬ ‫ن‬َ‫ع‬ ‫س‬‫و‬ُ‫س‬‫ح‬َ‫م‬ َ‫ر‬َ‫ب‬‫خ‬َ‫أ‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬ ‫ة‬َ‫ع‬‫ا‬َ‫مــ‬َ‫ج‬ ‫ا‬‫و‬ُ‫غ‬َ‫لـ‬َ‫ب‬ ‫ى‬ِ‫ف‬ ِ‫ة‬ َ‫ر‬‫ث‬َ‫لكـ‬‫ا‬ ‫ا‬‫غـ‬َ‫ل‬‫ب‬َ‫م‬ ُ‫ل‬‫ي‬ ِ‫ح‬ُ‫ت‬ َ‫ة‬َ‫د‬‫ا‬َ‫ع‬‫ل‬‫ا‬ ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫ؤ‬ُ‫ط‬‫ا‬ َ‫و‬َ‫ت‬ ‫ى‬َ‫لـ‬َ‫ع‬ ِ‫ب‬ِ‫ذ‬‫ـ‬َ‫لكـ‬‫ا‬ Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong. Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat- syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
  • 5. b. Syarat Hadits Mutawatir 1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang. 2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan. 3) Berdasarkan tanggapan pancaindra Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir. c. Macam-macam mutawatir Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu : 1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh : َ‫ل‬‫ا‬َ‫قـ‬ ُ‫ل‬‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬ ‫هللا‬ ِ‫ه‬‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫م‬َّ‫ل‬َ‫س‬ َ‫و‬ ‫ن‬َ‫م‬ َ‫ب‬َ‫ذ‬َ‫ك‬ َّ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ‫أ‬ َّ‫و‬َ‫ب‬َ‫ت‬َ‫ي‬‫ل‬َ‫فـ‬ ُ‫ه‬َ‫د‬َ‫ع‬‫ق‬َ‫م‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ار‬َّ‫ن‬‫ال‬ Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka. Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat. 2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a. ‫قال‬ ‫ابو‬ ‫مسى‬ ‫م‬ ‫رفع‬ ‫رسول‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ‫عليه‬ ‫وسلم‬ ‫يديه‬ ‫حتى‬ ‫رؤي‬ ‫بياض‬ ‫ابطه‬ ‫فى‬ ‫شئ‬ ‫من‬ ‫دعائه‬ ‫إال‬ ‫فى‬ ‫اإلستسقاء‬ ‫(رواه‬ ‫البخارى‬ )‫ومسلم‬ Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim) 3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
  • 6. shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali. Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya. Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut : 1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits. 2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H) 2. Hadits Ahad Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir. Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz. A. Hadits Masyhur Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain : ُ‫ه‬‫ا‬ َ‫و‬َ‫ار‬َ‫مـ‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬َ‫ب‬‫ا‬َ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬ ٌ‫د‬َ‫د‬َ‫ع‬ ‫ال‬ ُ‫غ‬ُ‫ل‬‫ب‬َ‫ي‬ َّ‫د‬َ‫ح‬ ‫ر‬ِ‫ت‬‫ا‬ َ‫ـو‬َ‫ت‬ َ‫د‬‫ع‬َ‫ب‬ ِ‫ه‬َ‫ب‬‫ا‬َ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬ ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫و‬ ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫د‬‫ع‬َ‫ب‬ “Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
  • 7. Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar. ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ء‬‫ا‬َ‫ج‬ ُ‫ه‬َ‫ع‬‫م‬ُ‫ج‬‫ل‬‫ا‬ ‫ل‬ِ‫س‬‫غ‬َ‫ي‬‫ل‬َ‫ف‬ “Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.” Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi: َ‫ال‬ َ‫ر‬َ‫ر‬َ‫ض‬ َ‫ال‬ َ‫و‬ َ‫ار‬َ‫ر‬ِ‫ـ‬‫ضــ‬ “tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.” Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat- syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits : ُ‫ب‬َ‫ل‬َ‫ط‬ ِ‫م‬‫ل‬ِ‫ع‬‫ل‬‫ا‬ ٌ‫ه‬‫ــ‬َ‫ض‬‫ي‬ ِ‫ر‬َ‫ف‬ ‫ي‬َ‫ل‬‫ـ‬َ‫عــ‬ ِ‫ل‬ُ‫ك‬ ‫م‬ِ‫ل‬‫س‬ُ‫م‬ ‫ــــه‬َ‫م‬ِ‫ل‬‫س‬ُ‫م‬ َ‫و‬ “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.” Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam : 1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll). 2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti : ُ‫م‬ِ‫ل‬‫س‬ُ‫م‬‫ل‬‫ا‬ ََ ‫ن‬َ‫م‬ َ‫م‬ِ‫ل‬‫ـــــ‬َ‫س‬ ‫س‬ُ‫م‬‫ل‬‫ا‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫م‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬ِ‫ن‬‫ـا‬َ‫ســـ‬ِ‫ل‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬‫ي‬ َ‫و‬ 3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti : ‫ي‬َ‫ه‬َ‫ن‬ َ‫ل‬‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬ ِ‫هللا‬ ‫ي‬َّ‫ل‬َ‫ص‬ ِ‫هللا‬ ِ‫ه‬‫ــــ‬‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫م‬َّ‫ل‬َ‫س‬ َ‫و‬ ‫ن‬َ‫ع‬ ِ‫ع‬‫ي‬َ‫ب‬ ِ‫ر‬َ‫َر‬‫غ‬‫ل‬‫ا‬ “Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.” 4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti : ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫م‬َ‫ك‬َ‫ح‬ ُ‫م‬ِ‫ك‬‫ا‬َ‫ح‬‫ل‬‫ا‬ َّ‫م‬ُ‫ث‬ َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬‫اج‬ َ‫اب‬َ‫ص‬َ‫أ‬‫ـــ‬َ‫ف‬ ُ‫ه‬‫ــ‬َ‫لـ‬َ‫ف‬ ِ‫ان‬َ‫ر‬‫ج‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫و‬ َ‫م‬‫ــــ‬َ‫ك‬َ‫ح‬ َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬‫اج‬َ‫ف‬ َّ‫م‬ُ‫ث‬ َ‫أ‬َ‫ط‬‫َــــ‬‫خ‬َ‫أ‬ ُ‫ه‬َ‫لـ‬َ‫ف‬ ٌ‫ر‬‫ج‬َ‫أ‬ “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad). 5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti : ُ‫ت‬‫ن‬ُ‫ك‬ ‫ا‬‫ز‬‫ن‬َ‫ك‬ ‫ًّا‬‫ي‬ِ‫ف‬‫خ‬َ‫م‬ ُ‫ت‬‫ب‬َ‫ب‬‫ح‬َ‫أ‬َ‫ف‬ ‫ن‬َ‫أ‬ َ‫ف‬ ِ‫ر‬‫ع‬ُ‫أ‬ ُ‫ت‬‫ق‬َ‫َلـ‬‫خ‬َ‫ف‬ َ‫ق‬‫َل‬‫خ‬‫ل‬‫ا‬ ‫ي‬ِ‫ب‬َ‫ف‬ ‫ي‬ِ‫ن‬‫و‬ُ‫ف‬َ‫ر‬َ‫ع‬ “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
  • 8. 6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”. B. Hadits Ghairu Masyhur Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.” Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.” Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz : َ‫ال‬ ُ‫ن‬ِ‫م‬‫ُؤ‬‫ي‬ ُ‫د‬َ‫ح‬َ‫أ‬ ‫م‬ُ‫ك‬ ‫ي‬َّ‫ت‬َ‫ح‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ك‬َ‫أ‬ َّ‫ب‬َ‫ح‬َ‫أ‬ ِ‫ه‬‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬‫ـ‬ِ‫ل‬‫ا‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬ِ‫ـ‬‫لـ‬ َ‫و‬ َ‫و‬ ِ ‫ـاس‬َّ‫ـ‬‫الن‬ َ‫و‬ َ‫ن‬‫ي‬ِ‫ع‬َ‫م‬‫ج‬َ‫أ‬ “tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim) Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”. Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”. Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad. B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
  • 9. Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak. Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. 1. Hadits shahih Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut : · Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”. · Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.” Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat. 2. Hadits Hasan a. Pengertian dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫الحسن‬ ) bermakna al-jamal (‫)الجمال‬ yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al- Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu : ُ‫ر‬َ‫ب‬َ‫خ‬ َ‫و‬ َ‫د‬‫ا‬َ‫ح‬‫آل‬‫ا‬ ِ‫ل‬‫َق‬‫ن‬ِ‫ب‬ ِ‫ل‬‫د‬َ‫ع‬ ‫ام‬َ‫ت‬ ِ‫ط‬‫ب‬َّ‫ض‬‫ال‬ ُ‫ل‬ ِ ‫ص‬َّ‫ت‬ُ‫م‬ ِ‫د‬َ‫ن‬َّ‫س‬‫ال‬ ُ‫ر‬‫َي‬‫غ‬ ‫ل‬َّ‫ل‬َ‫ع‬ُ‫م‬ َ‫ال‬ َ‫و‬ ‫َاذ‬‫ش‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ِ‫ح‬‫ي‬ ِ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬ .ِ‫ه‬ِ‫ت‬‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫اء‬َ‫ف‬ َّ‫َف‬‫خ‬ ُ‫ط‬‫ب‬َ‫ض‬‫ال‬ ُ‫ن‬‫س‬ُ‫ح‬‫ل‬َ‫ف‬ ِ‫ه‬ِ‫ت‬‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ل‬ khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih. Dengan kata lain hadits hasan adalah : َ‫و‬ُ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫ل‬َ‫ص‬َّ‫ت‬‫ا‬ ُ‫ه‬ُ‫د‬َ‫ن‬َ‫س‬ ِ‫ل‬‫َق‬‫ن‬ِ‫ب‬ ِ‫ل‬‫د‬َ‫ع‬‫ل‬‫ا‬ ‫ي‬ِ‫ذ‬‫ال‬ َّ‫ل‬َ‫ق‬ ُ‫ه‬ُ‫ط‬‫ب‬َ‫ض‬ َّ‫ل‬َ‫خ‬ َ‫و‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ذ‬‫و‬ُ‫ذ‬‫الش‬ ِ‫ه‬َّ‫ل‬ِ‫ع‬‫ل‬‫ا‬ َ‫و‬
  • 10. Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat. Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih. b. Contoh hadits Hasan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al- Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda : ُ‫ار‬َ‫م‬‫ع‬َ‫أ‬ ‫ي‬ِ‫ت‬َّ‫م‬ُ‫ا‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫ن‬‫ي‬َ‫ب‬ َ‫ن‬‫ي‬ِ‫ت‬ِ‫الس‬ َ‫ِلي‬‫ا‬ َ‫ن‬‫ي‬ِ‫ع‬‫ب‬َّ‫س‬‫ال‬ ‫م‬ُ‫ه‬‫ل‬َ‫ق‬َ‫أ‬ َ‫و‬ ‫ن‬َ‫م‬ ُ‫ز‬‫و‬ُ‫ج‬َ‫ي‬ َ‫ك‬ِ‫ل‬‫ا‬َ‫ذ‬ “Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu. c. Macam-macam Hadits Hasan Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih. Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas. Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah : َ‫و‬ُ‫ه‬ ُ‫ث‬‫ي‬ِ‫د‬َ‫ح‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫ف‬‫ي‬ِ‫ع‬َّ‫ض‬‫ال‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫ي‬ِ‫و‬ُ‫ر‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ق‬‫ي‬ ِ‫ر‬َ‫ط‬ ‫ي‬َ‫ر‬‫خ‬ُ‫أ‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫ث‬ِ‫م‬ ‫و‬َ‫أ‬ ‫ي‬ َ‫و‬‫ق‬َ‫أ‬ ُ‫ه‬‫ن‬ِ‫م‬ “adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat. َ‫و‬ُ‫ه‬ ُ‫ف‬‫ي‬ِ‫ع‬َّ‫ض‬‫ال‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ ‫ت‬َ‫د‬َّ‫د‬َ‫ع‬َ‫ت‬ ُ‫ه‬ُ‫ق‬ُ‫ر‬ُ‫ط‬ ‫م‬َ‫لـ‬ َ‫و‬ ‫ن‬ُ‫ك‬َ‫ي‬ ُ‫ب‬َ‫ب‬َ‫س‬ ِ‫ه‬ِ‫ف‬‫ع‬َ‫ض‬ َ‫ق‬‫س‬ِ‫ف‬ ‫ي‬ِ‫و‬‫ا‬َّ‫الر‬ ُ‫ه‬ُ‫ب‬‫ذ‬ِ‫ك‬‫و‬َ‫أ‬ “adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi. Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu : 1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat. 2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi. d. Kehujjahan hadits Hasan
  • 11. Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. 3. Hadits Dhaif a. Pengertian Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫)الضعيف‬ berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫)القوي‬ yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah : َ‫و‬ُ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫م‬َ‫ل‬ ‫ع‬َ‫م‬‫ج‬َ‫ي‬ ُ‫ه‬َ‫ف‬ ِ ‫ص‬ ِ‫ن‬َ‫س‬َ‫ح‬‫ال‬ ِ‫د‬‫ق‬َ‫ف‬ِ‫ب‬ ‫ط‬‫َر‬‫ش‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬ِ‫ط‬‫و‬ُ‫ر‬ُ‫ش‬ Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama : َ‫و‬ُ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫م‬َ‫ل‬ ‫ع‬َ‫م‬‫ج‬َ‫ي‬ ُ‫ه‬َ‫ف‬ ِ ‫ص‬ ِ‫ح‬‫ي‬ ِ‫ح‬َّ‫ص‬‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫س‬َ‫ح‬‫ل‬‫ا‬ َ‫و‬ Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan. b. contoh hadits dhaif hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda : ‫ن‬َ‫م‬ َ‫و‬ ‫ي‬َ‫ت‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ض‬ِ‫ئ‬‫ا‬َ‫ح‬ ‫ه‬َ‫أ‬َ‫ر‬‫ام‬ِ‫و‬َ‫أ‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ُر‬‫ب‬ُ‫د‬ ‫و‬َ‫أ‬ ‫َا‬‫ن‬ِ‫ه‬‫ا‬َ‫ك‬ ‫د‬َ‫ق‬َ‫ف‬ َ‫ر‬َ‫ف‬َ‫ك‬ ‫ا‬َ‫م‬ِ‫ب‬ َ‫ل‬ ِ‫ز‬‫ن‬ُ‫ا‬ ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ‫د‬َّ‫م‬َ‫ح‬ُ‫م‬ barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : ٌ‫ن‬ِ‫ي‬َ‫ل‬ ِ‫ه‬‫ي‬ِ‫ف‬ padanya lemah. c. Hukum periwayatan hadits dhaif
  • 12. Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu : 1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah 2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain. Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : َ‫ي‬ِ‫و‬ُ‫ر‬ diriwayatkan, َ‫ل‬ِ‫ق‬ُ‫ن‬ dipindahkan, َ‫ي‬ِ‫و‬‫ُر‬‫ي‬ ‫ا‬ِ‫م‬‫ي‬ِ‫ف‬ pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath). d. Pengamalan hadits dhaif Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu : 1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam. 2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama. 3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut : · Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar). · Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya). · Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath. e. Tingkatan hadits dhaif
  • 13. Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
  • 14. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz. Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif. B. Saran-saran Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.