PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
Setengah permasalahan ketenagakerjaan umi hanik
1. umihanik.blogspot.com
Setengah Permasalahan Ketenagakerjaan
Umi Hanik*
Bertepatan dengan May Day1, yakni Hari Buruh Internasional yang jatuh tiap 1 Mei dan diperingati
oleh seluruh buruh di penjuru dunia, masalah ketenagakerjaan kembali disentil dan menjadi
pembicaraan utama berbagai media. Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dianggap
sebagai penyelamat tenaga kerja nasional namun pada kenyataannya tak kunjung jelas
implementasinya meski telah ditetapkan sejak empat tahun yang lalu. Tentu saja hal ini banyak
mengundang berbagai kritik. Buruh menagih janji pemerintah.
Betul bahwa ketenagakerjaan senantiasa menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan.
Permasalahan yang khas dan berbagai rekomendasi diusulkan untuk penanganannya, namun
masalah tetap saja ada dan menimbulkan tandatanya tiap tahunnya, ada yang belum pas.
Berbicara tentang masalah ketenagakerjaan, pengangguran merupakan salah satu masalah terbesar
yang tak bisa dilepaskan dari persoalan ketenagakerjaan. Tinggi/rendahnya tingkat pengangguran
merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang menggambarkan keberhasilan perekonomian
suatu negara. Anwar, Arsjad (2004) mencoba mengurai masalah pengangguran tersebut melalui
salah satu memoarnya dipenghujung 2004. Anwar melihat tingkat pengangguran suatu negara
terkait erat dengan tingkat pengangguran terbuka (open unemployment)2. Besar kecilnya tingkat
pengangguran terbuka tak terpisahkan dari definisi penduduk yang bekerja3. Dari definisi waktu
1
(Wikipedia) May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak
industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama
di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya
upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Pemogokan
pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para
pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19
sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas
pekerja di Amerika Serikat. Ada dua orang yang dianggap telah menyumbangkan gagasan untuk menghormati para
pekerja, Peter McGuire dan Matthew Maguire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey. Pada tahun 1872,
McGuire dan 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut mengurangan jam kerja. McGuire lalu melanjutkan
dengan berbicara dengan para pekerja and para pengangguran, melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan
dan uang lembur. McGuire menjadi terkenal dengan sebutan "pengganggu ketenangan masyarakat". Pada tahun 1881,
McGuire pindah ke St. Louis, Missouri dan memulai untuk mengorganisasi para tukang kayu. Akhirnya didirikanlah sebuah
persatuan yang terdiri atas tukang kayu di Chicago, dengan McGuire sebagai Sekretaris Umum dari "United Brotherhood of
Carpenters and Joiners of America". Ide untuk mengorganisasikan pekerja menurut bidang keahlian mereka kemudian
merebak ke seluruh negara. McGuire dan para pekerja di kota-kota lain merencanakan hari libur untuk Para pekerja di
setiap Senin Pertama Bulan September di antara Hari Kemerdekaan dan hari Pengucapan Syukur. Pada tanggal 5
September 1882, parade Hari Buruh pertama diadakan di kota New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa
spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam
menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian
merayakannya. Pada 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama yang menjadikannya hari libur umum. Pada 1894.
Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September
hari libur umum resmi nasional. Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss,
dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja
menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS:
Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres merubah
tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia. Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas
pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan
momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di
era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi
oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872 [1], menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1
Mei 1886.
2
Yakni yang mengukur rasio penduduk yang sedang mencari pekerjaan terhadap angkatan kerja
3
Di Indonesia, definisi penduduk yang bekerja dibedakan atas kriteria Sensus Penduduk (SP) 1961, SP 1971, dan SP 1980
serta tahun sesudahnya. SP 1961 mendefinisikan bekerja sebagai penduduk yang melakukan pekerjaan minimal 2 bulan
(tanpa menyebutkan jam kerja/hari) dalam 6 bulan sebelum sensus diadakan. SP 71 mendefinisikannya seminggu sebelum
sensus diadakan bekerja minimal 2 hari (tanpa menyebutkan jam kerja/hari). Sementara untuk SP 81 dan tahun-tahun
umihanik.blogspot.com
2. umihanik.blogspot.com
bekerja yang dianut oleh BPS dan menjadi rujukan utama database ketenagakerjaan, jelas tidak
terhindarkan banyaknya penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal (8 jam/hari) dalam
kriteria penduduk bekerja di Indonesia.
Dengan demikian, kondisi under employment mungkin lebih krusial dibandingkan dengan kondisi
open unemployment dalam permasalahan pengangguran. Artinya, sesungguhnya masalah
pengangguran di Indonesia jauh lebih besar dibanding yang selama ini dipublikasikan oleh
pemerintah dan sebagaimana kita ketahui melalui media.
Adapun terkait struktur penduduk bekerja di Indonesia, BPS mengelompokkan berdasarkan
lapangan pekerjaan, status pekerjaan dan jenis pekerjaan. Pengelompokan penduduk bekerja
menurut lapangan pekerjaan utama dibagi atas sembilan sektor usaha utama yakni: (1) Pertanian,
(2) Pertambangan dan penggalian, (3) Industri pengolahan, (4) Gas, listrik dan air bersih, (5)
Bangunan, (6) Perdagangan, restoran dan hotel, (7) Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi, (8)
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) Jasa kemasyarakatan.
Sedangkan untuk konsep status pekerjaan utama di Indonesia untuk tahun-tahun sebelum 2001
dibagi ke dalam lima kelompok yakni: (1) Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain, (2) Berusaha
dengan dibantu pekerja keluarga dan/atau karyawan tidak tetap, (3) Berusaha dengan karyawan
tetap, (4) Karyawan dengan upah dan gaji, (5) Pekerja keluarga. Status pekerjaan yang masuk dalam
kelompok 1, 2 dan 5 merupakan status pekerjaan dengan kategori informal. Adapun status
pekerjaan kelompok 3 dan 4 masuk dalam kategori kegiatan formal.
Namun setelah tahun 2001 BPS merubah pengelompokannya menjadi tujuh kelompok status, yakni:
(1) Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain, (2) Berusaha dengan dibantu pekerja keluarga
dan/atau karyawan tidak tetap, (3) Berusaha dengan karyawan tetap, (4) Karyawan dengan upah
dan gaji, (5) Pekerja bebas pertanian, (6) Pekerja bebas bukan pertanian dan (7) Pekerja keluarga.
Menurut pengelompokan tersebut, status pekerjaan kelompok 1,2 dan 7 termasuk dalam kategori
kegiatan informal. Sementara itu untuk status pekerjaan kelompok 3, 4, 5 dan 6 termasuk dalam
kegiatan formal.
Terdapat catatan khusus yang coba dipotret oleh BPS melalui perubahan status tersebut yakni untuk
kelompok 5 dan 6 (pekerja bebas) terdapat indikasi bahwa kontinuitas memperoleh pekerjaan dalam
kelompok ini cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan status pekerjaan 4. Dengan demikian
kelompok ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan semi informal.
Perlunya pembedaan kegiatan informal dan formal berkaitan dengan kebutuhan untuk memotret
kemampuan suatu negara dalam penciptaan kesempatan kerja. Dapat dipahami bahwa kegiatan
informal lebih fleksibel dalam menyerap tenaga kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan,
sementara kegiatan formal lebih kaku (rigid), dimana kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja
tergantung pada tingkat produksi yang diciptakan.
Selanjutnya, dalam rangka mendapatkan gambaran lebih jelas terkait data ketenagakerjaan, BPS
berkepentingan untuk memotret pekerjaan berdasarkan jenis pekerjaan utama. Jenis pekerjaan
tersebut dibedakan atas: (0/1) Tenaga profesional, teknisi, (2) Tenaga ketatalaksanaan/manajer, (3)
Tenaga administrasi, (4) Tenaga usaha penjualan, (5) Tenaga usaha jasa, (6) Petani dan nelayan,
(7/8/9) Operator alat pengangkutan, tenaga kasar, tenaga yang langsung berhubungan dengan
kegiatan produksi.
sesudahnya; didefinisikan seminggu sebelum sensus bekerja minimal 1 jam.
umihanik.blogspot.com
3. umihanik.blogspot.com
Jenis pekerjaan kelompok 0/1 s/d 5 lebih populer disebut sebagai jenis pekerjaan white collar,
sedangkan sebutan blue collar diperuntukkan bagi jenis pekerjaan yang termasuk dalam kelompok
6,7/8/9. Terkait penggunaan istilah dalam pengelompokan tersebut sekaligus untuk mewakili
kelompok yang ada ditengah-tengahnya maka digunakan pula istilah grey collar yang ditujukan bagi
jenis pekerjaan kelompok 4. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka para pedagang kaki
lima (PKL) dan sebagian jenis pekerjaan kelompok 5 yang merupakan pembantu rumah tangga (PRT).
Dalam setiap lapangan pekerjaan terdapat baik kegiatan informal maupun formal, namun demikian
dari ke-9 kelompok lapangan pekerjaan umumnya masih didominasi oleh kegiatan informal (> 50%).
Dan dari kegiatan tersebut terlihat terutama pada sub sektor pertanian; perdagangan, hotel dan
restoran; serta pengangkutan dan komunikasi. Demikian juga untuk kategori data menurut tingkat
pendidikan yang ditamatkan yang juga menginformasikan jumlah penduduk yang bekerja dalam
kegiatan formal maupun informal. Namun demikian dari data Sakernas 4, kita mendapatkan
gambaran bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan s/d SLTP lebih dominan bekerja di kegiatan
informal, sementara penduduk dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan setingkat lebih tinggi
yakni SLTA ke atas lebih banyak bekerja di kegiatan formal.
Dengan membandingkan data Sakernas dan data produksi (PDB) triwulan III setiap tahunnya,
sekaligus kita juga dapat menarik kesimpulan bahwa pendapat yang mengatakan “setiap kenaikan
PDB sebesar 1% akan menciptakan 400.000 kesempatan kerja baru” kurang tepat. Menurut data
pada periode 2001-2002, meskipun PDB tumbuh sebesar 4,92%, tetapi tambahan jumlah penduduk
yang bekerja hanya sebesar 911.749 orang. Sebaliknya saat perekonomian mengalami pertumbuhan
negatif pada periode 1997-1998, jumlah penduduk yang bekerja malah mengalami kenaikan sebesar
2,27 juta orang. Jika diamati lebih jauh, selama periode 1997-1998, kenaikan penduduk yang bekerja
terutama terjadi di kegiatan informal, sementara untuk kegiatan formal sebaliknya mengalami
penurunan. Meskipun status pekerjaan 3 mengalami kenaikan, namun tidak dapat menutupi
penurunan tajam yang terjadi pada status pekerjaan 4.
Untuk periode 2001-2002, secara sepintas jumlah penduduk yang bekerja di kegiatan formal (dan
informal) mengalami kenaikan. Namun jangan senang dahulu, karena sesungguhnya kenaikan yang
terjadi pada kegiatan formal tersebut lebih banyak disebabkan naiknya status pekerjaan kelompok 5
dan 6 (kegiatan semi informal), sementara status pekerjaan 4 mengalami penurunan. Artinya bukan
merupakan prestasi ketenagakerjaan yang cemerlang, karena sebenarnya semu.
Penurunan penduduk yang bekerja pada status pekerjaan 4 selama periode 2001-2002 terutama
terjadi pada penduduk dengan tingkat pendidikan s/d SLTP, sementara penurunan penduduk yang
bekerja pada status pekerjaan 4 dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas lebih rendah. Ditengarai
penurunan ini erat kaitannya dengan reaksi para pengusaha terhadap kebijakan Upah Minimum
Propinsi (UMP) dan UU Tenaga Kerja yang baru. Kenaikan UMP dan mahalnya ‘biaya’ PHK
mendorong para pengusaha melakukan outsourcing dengan mengurangi pegawai tetap dan
penggunaan teknologi yang labor saving.
Ini baru setengah dari permasalahan ketenagakerjaan yang ada. Dibutuhkan nurani dan kemauan
kuat untuk memperbaiki yang setengah dan menuntaskan setengah permasalahan lainnya untuk
potret ketenagakerjaan nasional yang menggembirakan dan mensejahterakan pekerjanya.
*) Pemerhati Kebijakan Publik
4
Kependekan dari Survey Angkatan Kerja Nasional dan dibukukan ke dalam Buku Statistik Ketenagakerjaan Nasional
“Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia” yang diterbitkan tiap Bulan Agustus tiap tahunnya
umihanik.blogspot.com