Dokumen tersebut membahas tentang thalasemia, penyakit genetik yang diturunkan yang disebabkan oleh kelainan produksi rantai globin hemoglobin. Terdapat dua jenis thalasemia utama yaitu thalasemia alfa dan beta, yang masing-masing disebabkan oleh mutasi pada gen rantai alfa dan beta globin. Penderita thalasemia mengalami anemia ringan hingga berat tergantung jenis dan derajat mutasinya, yang dapat menyebabkan gangguan pertumbu
1. REFERAT THALASEMIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan
Pembimbing :
dr. Budi Andri Ferdian, Sp.A
Oleh :
Bobi Ahmad Sahid, S.Ked
17360245
KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD Dr. R.M. DJOELHAM KOTA BINJAI
TAHUN 2017
2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia. Dari
250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia Beta.1
Sementara itu di Indonesia Jumlah penderita Thalasemia hingga tahun 2009
naik menjadi 8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir
90% para penderita penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari
kalangan masyarakat miskin. Kejadian thalasemia sampai saat ini tidak bisa
terkontrol terkait faktor genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya
tindakan screening untuk thalasemia khususnya di Indonesia.2
Thalasemia pertama kali ditemukan pada tahun 1925 ketika Dr. Thomas B.
Cooley mendeskripsikan 5 anak anak dengan anemia berat, splenomegali, dan
biasanya ditemukan abnormal pada tulang yang disebut kelainan eritroblastik atau
anemia Mediterania karena sirkulasi sel darah merah dan nukleasi. Pada tahun 1932
Whipple dan Bradford menciptakan istilah thalasemia dari bahasa yunani yaitu
thalassa, yang artinya laut (laut tengah) untuk mendeskripsikan ini. Beberapa waktu
kemudian, anemia mikrositik ringan dideskripsikan pada keluarga pasien anemia
Cooley, dan segera menyadari bahwa kelainan ini disebabkan oleh gen abnormal
heterozigot. Ketika homozigot, dihasilkan anemia Cooley yang berat.3
3. Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan. Pada penderita
thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran (hemolisis). penghancuran terjadi
karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin atau rantai globin. Hemoglobin
orang dewasa terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari seluruh hemoglobinya.
HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian
terbesar dari hemoglobin (95%). Pada penderita thalasemia kelainan genetik
terdapat pada pembentukan rantai globin yang salah sehingga eritrosit lebih cepat
lisis. Akibatnya penderita harus menjalani tranfusi darah seumur hidup. Selain
transfusi darah rutin, juga dibutuhkan agent pengikat besi (Iron Chelating Agent)
yang harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika
tindakan ini tidak dilakukan maka besi akan menumpuk pada berbagai jaringan dan
organ vital seperti jantung, otak, hati dan ginjal yang merupakan komplikasi
kematian dini.4
4. BAB Il
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defnisi
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh
kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat
membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak
atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia.3
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem
terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai
polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2
rantai beta (β).6 Penderita Thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari
protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak
terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut
oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia
mengalami anemia sepanjang hidupnya.4
Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai
alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin.
Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari
kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis yang paling
5. berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor. Penderita Thalasemia mayor akan
mengalami anemia dikarenakan penghancuran hemoglobin dan membuat penderita
harus menjalani transfusi darah seumur hidup setiap bulan sekali.3
Thalasemia diwariskan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Apabila
salah satu dari orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka
kemungkinan anaknya 50% sehat dan 50% carrier Thalasemia. Apabila kedua orang
tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya 25%
sehat, 25% menderita Thalasemia mayor dan 50% carrier Thalasemia.4
2.2 Klasifikasi Thalasemia
Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu :
Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi
rantai-polipeptida.4
2.2.1 Thalasemia Alfa4
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama
sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b. Thalasemia Alfa Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia ringan
dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
6. c. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak
ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan
perbesaran limpa (splinomegali).
d. Thalasemia Alfa Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi
yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat
rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang
diproduksi. Janin yang menderita alfa Thalasemia mayor pada awal
kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan,
perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau
meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2.2.2 Thalasemia Beta4
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai
globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a. Thalasemia Beta Trait (Minor)
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah
yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung
dari derajat mutasi gen yang terjadi.
7. c. Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia)
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
anemia yang berat. Penderita Thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif maupun kematian. Penderita
Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan
medis demi kelangsungan hidupnya.4
2.3 Patogenesis Thalasemia
2.3.1 Thalasemia Alfa.5
Alfa globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah
yang membawa oksigen ke sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hemoglobin terdiri
dari 4 komponen alfa globin dan 2 komponen beta globin.
HBA1 (Hemoglobin, α-1) adalah gen yang memberikan instruksi untuk
membuat protein yang disebut alfa globin. Protein ini juga diproduksi dari gen
yang hampir identik yang disebut HBA2 (Hemoglobin, α-2). Kedua gen alfa
globin terletak dalam sebuah kromosom 16 yang dikenal sebagai lokus alfa
globin.
Pada manusia normal terdapat 4 copy gen alfa globin. Sedangkan pada
penderita Thalasemia, terjadi mutasi pada gen alfa globin. Apabila terjadi mutasi
pada 1 gen α, maka tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang tersebut
8. membawa sifat Thalasemia atau disebut carrier (trait) Thalasemia. Apabila
terjadi mutasi pada 2 gen α, maka akan menderita Thalasemia ringan yang tidak
menunjukkan gejala berat. Sedangkan mutasi yang terjadi pada 3 gen α akan
menyebabkan penderita mengalami anemia berat, yang disebut juga Hemoglobin
H Disease. Mutasi yang terjadi pada 4 gen α akan berakibat fatal pada bayi
karena alfa globin tidak dihasilkan sama sekali.
2.3.2 Thalasemia Beta.5
Beta Globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Gen HBB
(Hemoglobin Beta) yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang
disebut beta globin. Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan
menyebabkan Thalasemia beta. Tanpa beta globin, hemoglobin tidak dapat
terbentuk dan akan mengganggu perkembangan sel-sel darah merah.
Kekurangan sel darah merah akan menghambat oksigen yang akan dibawa dan
membuat tubuh kekurangan oksigen.
Pada manusia normal terdapat 2 copy gen beta globin yang terdapat pada
kromosom 11. Dan mutasi yang terjadi pada gen beta globin akan menyebabkan
Thalasemia. Jika seseorang hanya memiliki 1 gen beta globin yang normal dan 1
gen beta globin sudah termutasi, maka orang tersebut carrier Thalasemia (trait).
2.4 Gambaran Klinis Thalasemia
Tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan
oksigen di dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat sel-
sel darah merah dan hemoglobin.6
9. Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau
gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak terlalu banyak
sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja dengan normal. Penderita
Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan dapat
membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan menjadi anemia
kekurangan zat besi.6
Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami anemia ringan
sampai dengan sedang. Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah kesehatan
lainnya :
a. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak
b. Masalah tulang, Thalasemia dapat menyebabkan sumsum tulang tidak
berkembang. Hal ini menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang
menjadi rapuh (Osteoporosis). Osteoporosis adalah suatu kondisi dimana tulang
menjadi sangat rapuh dan mudah patah.
c. Pembesaran limpa.6
Penderita hemoglobin H disease dapat mengalami anemia dengan tingkat
yang berat. Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya.
Penderita akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya
seperti :
a. Pucat dan lesu
b. Nafsu makan menurun
c. Urin lebih pekat
d. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
e. Kulit berwarna kekuningan
10. f. Pembesaran hati dan limpa
g. Masalah tulang (terutama tulang wajah)
Gambar 2.1 Karakteristik Wajah Penderita Thalasemia
2.5 Epidemiologi Thalasemia
2.5.1 Distribusi dan Frekuensi Thalasemia Berdasarkan Orang
Dalam penelitiannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta,
Humris Pleyte menemukan bahwa dari 192 kasus Thalasemia sebanyak 59,4%
kasus sudah dapat ditegakkan diagnosanya sebelum anak berusia 1 tahun, 33,3%
kasus ditegakkan diagnosanya saat anak berusia 1-2 tahun dan 7,3% kasus
ditegakkan diagnosanya pada saat anak berusia 2-4 tahun.8
Berdasarkan data penderita Thalasemia yang berobat di Pusat
Thalasemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dari tahun
1993 sampai dengan 2007 terdapat 1.267 kasus, yaitu 499 kasus (39,38%)
berusia 0-5 tahun, 394 kasus (31,1%) berusia 6-10 tahun, 224 kasus (17,68%)
berusia 11-15 tahun, 104 kasus (8,04%) berusia 16-20 tahun, dan 46 kasus
(3,63%) berusia > 20 tahun.8
11. Berdasarkan penelitian Peony di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) pada tahun 2004, dari 68 kasus Thalasemia yang diteliti, 35 kasus
(51,5%) diantaranya terjadi pada laki-laki, dan 33 kasus (48,5%) terjadi pada
perempuan.8
Berdasarkan data penderita yang berobat di Pusat Thalasemia RSCM
tahun 1993= 2007 terdapat 694 kasus (54,78%) laki-laki dan 573 kasus
(45,22%) perempuan.8
2.5.2 Distribusi dan Frekuensi Thalasemia Berdasarkan Tempat
Thalasemia ditemukan pertama kali di Mediterania, tetapi saat ini
Thalasemia ditemukan hampir di seluruh dunia. Thalasemia diidentifikasi di
Eropa Selatan, dari Portugal ke Spanyol, Italia dan Yunani, serta beberapa kasus
di Eropa tengah dan Uni Soviet. Thalasemia juga ditemukan di beberapa negara
bagian Asia, seperti Iran, Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia,
Indonesia dan Cina Selatan.7
Perpindahan penduduk dan pernikahan antar suku bangsa menjadikan
Thalasemia menyebar luas di seluruh belahan dunia, termasuk di Eropa Utara,
dimana Thalasemia yang sebelumnya tidak ditemukan hingga menjadi masalah
kesehatan serius bagi penduduknya.7
Carrier Thalasemia juga ditemukan di seluruh dunia. Thalasemia alfa
ditemukan dalam jumlah besar di Asia tenggara, seperti Thailand, Indonesia,
Laos, Vietnam, Singapura, Filiphina, Kamboja, dan Malaysia. Carrier
Thalasemia juga banyak ditemukan di China, India, Afrika, Mediterania,
Yunani, dan Italia.7
12. Thalasemia beta merupakan jenis Thalasemia yang paling banyak
ditemukan di dunia. Thalasemia beta sangat sering terjadi di Mediterania dan
beberapa bagian di Timur Tengah, India, Pakistan, dan Asia Tenggara, dengan
frekuensi antara 2-30%.7
2.5.3 Distribusi dan Frekuensi Thalasemia Berdasarkan Waktu
Pada tahun 1955, Lie-Injo Luan Eng dan Yo Kian Tjai melaporkan
adanya 3 orang anak yang menderita Thalasemia mayor dan 4 tahun kemudian
ditemukan 23 orang anak yang menderita Thalasemia di Indonesia. Dalam kurun
waktu 17 tahun, yaitu dari tahun 1961 sampai dengan 1978 telah ditemukan
lebih dari 300 penderita Thalasemia.7
Menurut penelitian Weatherall tahun 2001, prevalensi carrier Thalasemia
α adalah 10-20% di Afrika, 40% di Timur Tengah dan India, dan mencapai 80%
di Papua Nugini Utara dan beberapa populasi di timur laut India.3 Berdasarkan
laporan World Health Organization (WHO) tahun 2006 sekitar 7% penduduk
dunia diduga carrier Thalasemia, dan sekitar 300.000-500.000 bayi lahir dengan
kelainan ini setiap tahunnya.7
Kasus-kasus serupa juga banyak dilaporkan dari berbagai rumah sakit di
Indonesia, diantaranya Manurung pada tahun 1978 dari bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan telah melaporkan
13 kasus. Selain itu, Sumantri, Untario, dan Sunarto pada tahun yang sama dari
bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro Semarang, Universitas
Airlangga, dan Universitas Gajah Mada juga melaporkan adanya kasus
Thalasemia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi
nasional Thalasemia di Indonesia adalah 0,1%.8
13. 2.5.4 Determinan Thalasemia
a. Genetik
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen alfa globin
dan gen beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan kromosom 11. Pada
manusia, kromosom selalu ditemukan berpasangan. Kelainan sebelah gen globin
disebut carrier Thalasemia. Seorang carrier Thalasemia tampak sehat, sebab
masih ada sebelah gen globin yang normal dan dapat berfungsi dengan baik.
Seorang carrier Thalasemia biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kelainan
gen globin yang terjadi pada kedua kromosom disebut Thalasemia mayor
(homozigot). Kedua belah gen yang mengalami kelainan berasal dari kedua
orang tua yang masing-masing carrier Thalasemia.9
Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari
ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing
carrier Thalasemia, maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama, anak mendapatkan gen globin yang
berubah (gen Thalasemia) dari ayah dan ibunya, sehingga anak akan menderita
Thalasemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen Thalasemia dari
ibu atau ayahnya, maka anak akan menjadi carrier Thalasemia. Kemungkinan
lainnya adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya,
sehingga anak tersebut tidak menderita Thalasemia ataupun membawa sifat
Thalasemia.9
b. Umur
Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier Thalasemia. Anak-
anak dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan mengalami
14. anemia pada usia 3 – 18 bulan. Penderita memerlukan transfusi darah secara
berkala seumur hidupnya. Apabila penderita Thalasemia mayor tidak dirawat,
maka hidup mereka biasanya hanya bertahan antara 1 – 8 tahun.
Pada Thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berusia dibawah 1 tahun. Sedangkan pada Thalasemia minor
yang gejalanya ringan, biasanya datang berobat pada usia 4 – 6 tahun.9
2.6 Pencegahan Thalasemia.8
2.6.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mencegah seseorang agar tidak menderita
Thalasemia ataupun menjadi carrier Thalasemia. Pencegahan primer yang dapat
dilakukan adalah konseling genetik pranikah. Konseling ini ditujukan kepada
pasangan pranikah terutama pada populasi yang beresiko tinggi agar mereka
memeriksakan diri apakah mereka carrier Thalasemia atau tidak. Konseling ini
juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat penderita Thalasemia.
Tujuan utama konseling pranikah ini adalah mencegah terjadinya pernikahan
antar carrier Thalasemia karena berpeluang 50% untuk mendapat keturunan
carrier Thalasemia, 25% Thalasemia mayor, dan 25% bebas Thalasemia.
2.6.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan
Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan
sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus
homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan
50% lainnya normal. Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan
15. amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus
homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus
provokotus
2.6.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi bagi penderita Thalasemia. Pencegahan tersier bagi
penderita Thalasemia adalah dengan mendirikan pusat rehabilitasi medis bagi
penderita Thalasemia. Saat ini telah berdiri Yayasan Penderita Thalasemia
Indonesia di Jakarta. Yayasan ini bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi
penderita Thalasemia yang kurang mampu. Selain itu, yayasan ini juga menjadi
wadah untuk bertukar informasi, fikiran dan pengalaman dalam mengatasi
masalah kesehatan dan psikologis pada penderita Thalasemia.
2.7 Diagnosis Thalasemia.6
2.7.1 Anamnesis
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu
makan, gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran hati
dan limpa. Umumnya, keluhan ini muncul pada usia 6 bulan.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita Thalasemia berupa pucat, bentuk muka
mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, dan splenomegali
dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar.
16. 2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
a. Thalasemia Alfa Trait
Pasien dengan 2 gen globin alfa akan mengalami anemia ringan,
dengan nilai hematokrit antara 28% sampai dengan 40%. Kadar volume
eritrosit rata-rata (MCV) rendah, yaitu antara 60-75 fL. Apusan darah tepi
menunjukkan abnormalitas ringan, meliputi mikrosit, hipokromi, kadang
terdapat sel target, dan akantosit (sel dengan tonjolan membulat yang
berjarak tidak teratur). Angka retikulosit dan parameter besi dalam batas
normal. Elektroforesis hemoglobin menunjukkan tidak adanya peningkatan
pada hemoglobin A2 atau hemoglobin F dan tidak didapatkan hemoglobin H
disease. Alfa Thalasemia trait seringkali didiagnosis pada pasien dengan
anemia ringan, mikrositosis nyata, dan tidak terdapat peningkatan
hemoglobin A2 atau hemoglobin F.
b. Hemoglobin H Disease
Pada pasien ini terdapat anemia hemolitik dengan derajat bervariasi,
dengan kadar hematokrit 28% sampai 32%. Kadar MCV rendah, yaitu 60-70
fL. Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas dengan hipokromi,
mikrositosis, sel target dan poikilositosis. Angka retikulosit meningkat.
Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya hemoglobin yang
bermigrasi cepat (hemoglobin H) dalam jumlah 10-40% dari hemoglobin.
Apusan darah tepi dapat diperjelas dengan cat khusus untuk menunjukkan
adanya hemoglobin H.
17. c. Thalasemia Beta Minor
Seperti pada pasien Thalasemia alfa trait, pasien akan mengalami
anemia ringan dengan hematokrit berkisar antara 28%-40%. Kadar MCV
berkisar antara 55- 75 fL, dan angka eritrosit bisa normal atau meningkat.
Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas ringan dengan hipokromi,
mikrositosis, dan sel target. Berbeda dengan Thalasemia alfa, pada
Thalasemia beta minor bisa terdapat basophil stippling. Angka retikulosit
bisa normal atau sedikit meningkat. Elektroforesis hemoglobin
menunjukkan peningkatan hemoglobin A2 berkisar antara 4-8% dan
terkadang terjadi peningkatan hemoglobin F antara 1-5%.
d. Thalasemia Beta Mayor
Thalasemia beta mayor menyebabkan anemia berat dan tanpa
transfusi, hematokrit dapat turun sampai dibawah 10%. Apusan darah tepi
menunjukkan abnormalitas, poikilositosis berat, hipokromi, mikositosis, sel
target, basofil stippling dan eritrosit berinti. Hemoglobin A sangat sedikit
bahkan tidak ditemukan. Hemoglobin A2 ditemukan dalam jumlah yang
sangat bervariasi, dan hemoglobin utama yang dapat ditemukan adalah
hemoglobin F.
2.8 Skrining.6
Skrining merupakan pemantauan perjalanan penyakit dan pemantauan
hasil terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini meliputi Hematologi rutin untuk
mengetahui kadar Hb dan ukuran sel darah, gambaran darah tepi untuk melihat
bentuk, warna, dan kematangan sel-sel darah, feritin dan iron serum (SI) untuk
18. melihat status besi, analisis hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis
Thalasemia, serta analisis DNA untuk diagnosis prenatal (pada janin).
2.9 Penatalaksanaan Thalasemia.3,4,5,6,10,11
2.9.1 Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau saturasi transferin lebih dari 50%,
atau sekitar 10 – 20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25 – 50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8 – 12 jam dengan
minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
1. Vitamin C 100 - 250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk
meningkatkan efek khelasi besi.
2. Asam folat 2 – 5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
3. Vitamin E 200 – 400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.
2.9.2 Transfusi Darah
Pengobatan paling umum pada penderita Thalasemia adalah transfuse
komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan untuk menyuplai sel darah
merah sehat bagi penderita. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk
mempertahankan hemoglobin penderita diatas 10 g/dL setiap saat. Hal ini
biasanya membutuhkan 2 – 3 unit tiap 4 – 6 minggu.21 Keadaan ini akan
mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan di dalam sum-sum tulang dan
juga mengurangi absorbs Fe di traktus digestivus, serta dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita.
19. 2.9.3 Splenektomi
Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah.
Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya
resiko infeksi yang berbahaya pasca splenektomi. Splenektomi dilakukan
dengan indikasi :
1. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita akan
menimbulkan peningkatan tekanan intra abdominal dan memungkinkan
terjadinya ruptur.
2. Hiperplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
20. BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Thalasemia merupakan suatu kelompok kelainan sintesis hemoglobin
yang heterogen. Thalassemia memberikan gambaran klinis anemia yang
bervariasi dari ringan sampai berat.Transfusi darah masih merupakan tata
laksana suportif utama pada thalassemia agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara normal. Transfusi dapat menyebabkan terjadinya reaksi
transfusi tipe cepat maupun tipe lambat. Adapun dampak Transfusi berulang
pada thalassemia akan menyebabkan berbagai dampak, antara lain
hemosiderosis, infeksi virus dan bakteri, serta hipersplenisme. Terapi
hemosiderosis pada thalassemia adalah terapi kombinasi dari obat pengkelasi
besi (iron chelating drugs), terapi infeksi bakteri adalah pemberian antibiotik,
dan terapi hipersplenisme yaitu dengan splenektomi.
2. Saran
Sebaiknya dilakukan pemantauan fungsi organ secara berkala agar
berbagai dampak transfusi dapat dideteksi secara dini. Dan perlu adanya
kerjasama dan komunikasi yang baik dari dokter dan pasien agar tujuan terapi
dapat tercapai dengan maksimal.
21. DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar. (24 November 2017). Thalasemia penyakit turunan yang bisa dicegah.
Inilah.com
http://www.inilah.com/news/read/gayahidup/2010/01/02/255741/thalasemia-
penyakit-turunan-yang-bisadicegah/
2. Ruswandi. (24 November 2017). Jumlah penderita thalasemia naik 8,3%.
Kompas.com
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/03/05/21122544/Jumlah.Penderi
ta.Thalassemia.Naik.8.3.Persen
3. Rudolph C. D, Rudolph A. M, Hostetter M. K, Lister G and Siegel N. J. (2002).
Rudolph’s Pediatric’s. part 19 blood and blood-forming tissues. 19.4.7 Thallasemia.
21st Edition. McGraw-hill company: North America
4. Hassan R dan Alatas H. (2002). Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. bagian 19
Hematologi hal. 419-450, Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.
5. Behrman R.E, Kliegman R.M and jenson H.B. (2004). Nelson textbook of
pediatrics’. Part 20 disease of the blood chapter 454 hemoglobin disorder 454.9
thallasemia syndrome. 17th edition.USA
6. Hay W.W, Hayward A.R, Levin M..J and Sandheimer J.M. (2003). Current pediatric
diagnosis and treatment. Part 27 hematologic disorder, congenital hemolytic
anemias hemoglobinopaties. 16th edition. Lange medical books/McGrawhill.
North America
7. Modell B and Darlison M. (2008). Global Epidemiology of hemoglobin disorders
and derived service indicators. Bulletin of the World Health Organization, volume
86, number 6. http://www.who.int/bulletin/volumes/86/6/06036673/en/
8. Riset Kesehatan Dasar. (2013) RISKESDAS 2013. eMedicine.
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf,pp
. 94-96.[Accessed : 24 November 2016].
9. Hastings C. (2002). the children’s hospital Oakland hematology/oncology
handbook. chapter 4 thallasemia. Mosby. United States of America
10. Herdata,Heru Noviat.(2008). Thalasemia,
http://ebookfkunsyiah.wordpress.com/category/hematoonkologi/thalassemia/
11.
medicine : Jerusalem. http://content.nejm.org/cgi/reprint/353/11/1135.pdf