Dokumen tersebut membahas tentang salah paham terhadap doa Nabi Muhammad SAW tentang 'kemiskinan'. Doa tersebut sebenarnya bermakna 'khusyu' dan 'tawadhu', bukan kekurangan harta seperti yang sering dipahami. Hal ini dijelaskan melalui penjelasan ulama seperti Ibnu Atsir, Ibnu Mandzur, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan lainnya.
1. 1
PENGAJIAN SELASA PETANG BA’DA MAGHRIB
KAJIAN HADITS TEMATIK
MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA
Meluruskan Salah Faham
Terhadap Do'a Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wa Sallam
Tentang ‘Kemiskinan’
Doa-doa Nabi Muhammad Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam adalah
serangkain doa yang sangat baik diamalkan oleh umatnya. Utamanya adalah
doa-doa yang selaras dengan kepentingan umatnya dalam ruang dan waktu
yang berbeda.
Di antara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Muhammad Shallallâhu
'‘Alaihi wa Sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a di bawah ini:
ََمُه
َ
الّلََ ِنِي
ْ
ح
َ
أَ،ا
ً
ينِك ْسِمََ ِن
ْ
تِم
َ
أَوَ،ا
ً
ينِك ْسِمََ ِنْ ُ
ُش
ْ
احَوََ ِفََِةَر
ْ
مُزَ
َِيِكا َسَم
ْ
ال.
“Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam
keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan
orang-orang miskin.” (HR Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudriy, Sunan ibn
Mâjah, juz V, hal. 240, hadits no. 4126)
Hadits ini, di samping dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah, juga
dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Anas bin Malik, dalam kitab Sunan
at-Tirmidzi, juz IV, hal. 577, hadits no. 2352; Al-Baihaqi dari ‘Ubadah bin
Shamit, dalam kitab As-Sunan al-Kubrâ, juz VII, hal. 12, hadits no. 13529 dan
Al-Hakim dari Abu Sa’id al-Khudriy, dalam kitab Al-Mustadrak, juz IV, hal.
322, hadits no. 7911. Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan bahwa
hadits ini derajatnya: “shahîh”. (Lihat pembahasannya di kitab beliau: Irwâ
al-Ghalîl, juz III, hal. 358, hadits no. 861 dan As-Silsilah ash-Shahihah, juz I,
hal. 307, hadits no. 308)
Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi
Muhammad Shallallâhu '‘Alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita
mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafazh do'a Nabi Shallallâhu
'‘Alaihi wa Sallam di atas. Yang sangat saya sesalkan di antara saudara-
saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan ulama kita tentang syarah
hadits ini, khususnya tentang Gharîb al-Hadîts) telah memahami bahwa
miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu: “Orang-orang yang
2. 2
tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan
harta.” Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di
kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa sallam di atas,
akibatnya:
1. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani
mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran
menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi
miskin.
2. Akan timbul pertanyaan: “Mengapa Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa
Sallam menyuruh umatnya menjadi miskin? Bukankah di dalam Islam
ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk
memerangi kemiskinan? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau
kita semua menjadi miskin? Dapatkah kita berjuang dengan harta-
harta kita sebagaimana yang Allah Subhânahu Wa Ta'âlâ perintahkan
kalau kita hidup dalam kemiskinan?” Kita berlindung kepada Allah
Subhânahu Wa Ta’âlâ dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya
Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam.
3. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan: “Bahwa
Islam adalah musuh kekayaan!”
Padahal yang betul, maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallâhu
'‘Alaihi wa Sallam ini ialah: “Orang yang khusyû’ dan mutawâdhi’ (orang yang
tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ)”.
Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh ulama kita:
1. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts (II/385)
mengatakan: “Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ...
Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah: اًع
ُ
اضَو
َ
ت
(tawâdhu') dan ًَوع
ُ
ش
ُ
خ (khusyû’), dan supaya tidak menjadi orang-orang
yang sombong dan takabur”.
2. Di kitab kamus Lisânul ‘Arab (II/176) oleh Ibnu Mandzur
diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-
khâdhi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqîr ialah: Orang yang
butuh. Lantaran itu Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa sallam berdo'a: Ya
Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ... Yang dikehendaki
ialah: tawâdhu’ dan khusyû'. dan supaya tidak menjadi orang-orang
yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku
kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan
sombong. Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini
adalah faqîr yang butuh (harta).
3. Imam al-Baihaqi mengatakan: “Menurutku bahwa Nabi Shallallâhu
'‘Alaihi wa Sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya
kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan
merendahkan diri (khusyû’ dan tawâdhu’). [Lihat kitab : Sunatul Kubra
3. 3
al-Baihaqi, juz VII, hal. 12-13 dan Taklhîs al-Habîr, juz III, hal. 109
No. 1415 oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani]
4. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh Imam al-Ghazali di
kitabnya yang masyhur, Al-Ihyâ' (IV/193). [Baca juga Syarh Ihyâ'
(IX/272) oleh Imam az-Zubaidi]
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :”Hidupkanlah aku”
dalam keadaan khusyû dan tawâdhu’. [Majmû' Fatâwâ Ibn Taimiyyah
juz XVIII, hal. 382 bagian kitab hadits]. Beliau juga mengatakan (hal.
326) : “.... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini)
tidak memunyai harta ...”
6. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyû’ dan tawâdhu’ [Ta'lîq Sunan
Ibn Mâjah (no. 4126) oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi].
Kemudian periksalah kitab-kitab di bawah ini:
7. Tuhfah al-Ahwadzi bi al-Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi (VII/19-20 No. 2457)
oleh Imam Al-Mubarakfuri.
8. Faidhul Qadîr Syarh al-Jâmi' ash-Shaghîr (II/102) oleh Imam al-
Munawi.
9. Al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab (VI/141-142) oleh Imam an-Nawawi.
10. Shahîh al-Jâmi'ush Shaghir (no. 1271) oleh Muhammad Nashiruddin
al-Albani.
11. Maqâshidul Hasanah (no. 166) oleh Imam As-Sakhawi.
Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang
maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam di atas baik
secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya
menjadi: “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyû’ dan tawâdhu’,
dan matikanlah aku dalam keadaan khusyû’ dan tawâdhu’, dan kumpulkanlah
aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyû’ dan
tawâdhu’.
Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat
keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu
diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.
Pertama: Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau
memberantas kefakiran dan kemiskinan di kalangan masyarakat. Hal ini
dengan jelas dapat kita ketahui.
1. Di dalam Islam terdapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi
yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam).
Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-
orang yang fakir dan miskin:
اَم
َ
ّنِإََ
ُ
ات
َ
ق
َ
د َالّصََِءاَر
َ
ق
ُ
ف
ْ
ّلِلََِيِكا َسَم
ْ
الَو...
4. 4
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin ...” (QS at-Taubah/9: 60). Kalau saja zakat ini dijalankan
sesuai dengan apa yang Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ perintahkan dan
menurut sunnah Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam, niscaya tidak
sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan --setelah
menerima bagian zakatnya -- akan berubah kehidupannya bahkan
tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan
mengeluarkan zakat. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ telah berfirman:
“(artinya):
...ََْ َ
كََ
َ
لََ
َ
ون
ُ
كَيََ
ً
ة
َ
ول
ُ
دَََ ْ
يَبََِءاَيِن
ْ
غ
َ ْ
اْلََْم
ُ
نكِمَ...
“ ... agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya
saja dari kamu”. [QS al-Hasyr/59: 7]
2. Islam memerintahkan memerhatikan keluarga (ahli waris) yang akan
ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang
menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi
Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam, artinya:
َََع ْم
ُ
هَر
َ
ذ
َ
َت
ْ
ن
َ
َأ ْنِمَ ٌ ْ
ْي
َ
َخ َاءَيِن
ْ
غ
َ
َأ
َ
كَت
َ
ثَرََو َر
َ
ذ
َ
َت
ْ
ن
َ
َأ
َ
ك
َ
ّنِإَ
ً
ة
َ
ل
َ َاسََاّنل
َ
ون
ُ
ف
َ
ف
َ
كَت
َ
ي...
“Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
(cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup
melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia
(meminta-minta)”. [Hadits Riwayat Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz II,
hal. 103, hadits no. 1295 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz V, hal. 71,
hadits no. 4296, dari Sa’ad bin Abi Waqqash]
3. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam
keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak
membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu '‘Alaihi wa Sallam,
َِهِب
ْ
نََج
َ
َلِإٌَعِئاََجُهُارَجََوُعَب
ْ
شَىَيِ
َ
َاَّل ُنِم
ْ
ؤُم
ْ
َال َس
ْ
ي
َ
ل
“Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan
tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya”. [Hadits Riwayat Al-Baihaqi
dari Abdullah bin Abbas, As-Sunan al-Kubrâ, juz X, hal. 3, hadits no.
20160]. Maksudnya: “Tidaklah sempurna keimanan sorang muslim
itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di
5. 5
sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak
membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).”
4. Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam memohon perlindungan kepada
Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ dari hidup dalam kefakiran dan
kelaparan.
ََصىلَاهللَعّليه َ
ِيِبََاّنل
َ
ن
َ
اَ،َأَه
ْ
ن
َ
َعُ َ
َاَّلل َ ِِضََ،َر
َ
ة
َ
شِئ ََع ْن
َ
ع
َِمَرَه
ْ
الََو ِل َس
َ
ك
ْ
َال َنِمَ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
َأ
ي
ِّنِإََمُه
َ
َالّل
ُ
ول
ُ
ق
َ
َي
َ
ن
َ
وسّلمََك
َ
ْ
أَم
ْ
الَوَِة
َ
ن
ْ
تِفَ ْنِمََوِ
ْ
ْب
َ
ق
ْ
َال ِاب
َ
ذَعََوِ
ْ
ْب
َ
ق
ْ
َالِة
َ
ن
ْ
تِفَ ْنِمََو ِمَر
ْ
غَم
ْ
الََو ِم
َ
ث
َ ْنِمَ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
أََو ََنِغ
ْ
َال ِة
َ
ن
ْ
تِفَ ي َ
َرَش ْنِمََوِارََاّنل ِاب
َ
ذَعََوِارَاّنل
َِر
ْ
ق
َ
ف
ْ
َالِة
َ
ن
ْ
تِف...
“Dari ‘Aisyah r.a. (ia berkata): Bahwa Rasulullah Shallallâhu '‘Alaihi wa
Sallam biasa berdo'a (dengan do'a-doa ini): “Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari rasa malas dan umur tua, dari berbuat dosa dan kerugian,
dari fitnah kubur dan siksa neraka, dan dari kejahatan ujian kekayaan, dan
aku berlindung kepada-Mu dari fitnah (cobaan) kefakiran ...” [Hadits
Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 98, hadits no.
6368; Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 75, hadits no. 7046; Ibnu
Majah, Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 12, hadits no. 3838; Ahmad,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz VI, hal. 57, hadits no. 24346; At-
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal. 525, hadits no. 3495; An-
Nasa'i, Sunan al-Nasâi, juz VIII, hal. 262, hadits no. 5466; Al-Hakim,
Al-Mustadrak, juz I, hal. 705, hadits no. 1922 dan Al-Baihaqi, As-
Sunan al-Kubrâ, juz VII, hal. 12, hadits no. 13530.] Kemudian Hadits
Abi Hurairah:
َِة
َ
ّلِق
ْ
َال َنِمَ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
أََو ،ِر
ْ
ق
َ
ف
ْ
َال َنِمَ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
َأ
ي
ِّنِإَ َمُه
َ
الّل
ََم
َ
ّل
ْ
ظ
ُ
َأْو
َ
َأَمِّل
ْ
ظ
َ
َأ
ْ
ن
َ
َأ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
أَ،َوِة
َ
ل
ي
اَّلَو
“Bahwasanya Rasulullah Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam berdo'a: Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan
aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan
aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya”.
6. 6
[Hadits Riwayat Bukhari, Adabul Mufrad, juz I, hal. 236, hadits no.
678; Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 305, hadits no.
8039; An-Nasa'i, Sunan an-Nasâi, juz VIII, hal. 261, hadits no. 5460;
Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibbân, juz III, hal. 305, hadits no. 1030
dan Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, juz 7, hal. 12, hadits no. 13528],
َ
ُ
ول
ُ
ق
َ
َي َم
َ
ّلََوس ِه
ْ
ّليََعَاهلل
َ
ىل ََص ِهللَا
ُ
ولُسََر
َ
ن
َ
َكَ:َ
ي
ِّنِإَ َمُه
َ
الّل
ََِب
ُ
وذُع
َ
أََ،َو ُيعِج
َ
َالّض َس
ْ
ئَِب
ُ
ه
َ
ّنِإ
َ
َ،َف ِوعُْ
َاْل َنِمَ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
أَ
َ
ك
َ
ُ
ة
َ
اّن َطِ
ْ
َاْل ِت َس
ْ
ئِاَبَه
َ
ّنِإ
َ
َ،َفِة
َ
اّنَيِ
ْ
َاْل َنِم.
“Adalah Rasulullah Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam berdo'a: Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan,
karena sesungguhnya kelaparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku
memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya
khianat itu seburuk-buruk teman”. [Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan
Abî Dâwud, juz II, hal. 91, hadits no. 1547). An-Nasa'i, Sunan an-
Nasâi, juz VIII, hal. 263, hadits no. 5468; dan Ibnu Majah, Sunan ibn
Mâjah, juz III, hal. 1113, hadits no. 3354]
Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Hârits:
َ
َ
ن
َ
ََك َم
َ
ّلَسََو ِه
ْ
ي
َ
ّلََع ُ َ
َاَّلل
َ
ىل ََص ِ
َ
َاَّلل
َ
ولُسََر
ّ
ن
َ
أَِرُب
ُ
َد َِف
ُ
ول
ُ
ق
َ
ي
َِة
َ
ال َالّصَ:َ
ي
ِّنِإََمُه
َ
الّلَ ِاب
َ
ذَعََوِر
ْ
ق
َ
ف
ْ
الََوِر
ْ
ف
ُ
ك
ْ
َال َنِمَ
َ
كَِب
ُ
وذُع
َ
َأ
َِ
ْ
ْب
َ
ق
ْ
ال
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam
mengucapkan do'a ini di akhir shalat, (artinya): Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran
dan kefakiran dan azab kubur”. [Hadits Shahih atas syarat Muslim di
keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
juz V, hal. 36, hadits no. 20397; hal. 39, hadits no. 20425 dan hal. 44,
hadits no. 20465) dan an-Nasa'i, Sunan an-Nasâi, juz III, hal. 73,
hadits no. 1347]
Hadits Anas bin Malik:
7. 7
َِهِئ َع
ُ
َد َِف
ُ
لْو
ُ
ق
َ
َيَم
َ
ّلََسََوِه
ْ
ي
َ
ّلََعَُاهلل
َ
ىل ََصِهللَا
ُ
لْوُسََر
َ
ن
َ
َكَ...
ََوََ
َ
أَُعَْوَ
ُ
ذََِبَ
َ
كََِمََنََ
ْ
الَ
َ
فَ
ْ
قَِرَََوََ
ْ
الَ
ُ
كَ
ْ
فَر...
“Adalah Rasulullah Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam mengucapkan dalam
do'anya: ... dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari
kefakiran/miskin dan kekafiran ...”. [Hadits Shahih atas syarat Bukhari-
Muslim, dikeluarkan oleh Imam al-Hakim, Al-Mustadrak, juz I, hal.
721, hadits no. 1944]
Kedua: Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang
yang taqwa.
Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memeroleh ganjaran yang
besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang
Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah
haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam,
membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang
membutuhkan harta dan kekayaan.
Nabi Shallalahu '‘Alaihi wa Sallam pernah mendo'akan Anas bin
Malik,
هَت
ْ
ي َط
ْ
ع
َ
اَأَيمِفَُ َ
ََل
ْ
كِارَبََوُهَ َ
َلَوََوُ َ
اَلََمْ
ِِث
ْ
ك
َ
َأَمُه
َ
الّل.
“Ya Allah! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan
apa yang Engkau telah berikan kepadanya”. [Hadits Riwayat Bukhari, Shahîh al-
Bukhâriy, juz VIII, hal. 91, hadits no. 6334 dan Muslim , Shahîh Muslim, juz
VII, hal. 159, hadits no. 6527, dari Anas bin Malik]
Hadits ini mengandung beberapa faedah.
1. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ.
2. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya,
asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita
dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan
dan nikmat dari Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ. Karena tidak mungkin
Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam mendo'akan kecelakaan kepada
salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik
kalau tidak menjadi kebaikan baginya!.
3. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh
keberkahan.
8. 8
4. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa
Sallam menyukai memunyai anak banyak.
5. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang
telah terbukti dalam tarikh -- berkat do'a Nabi -- tidak seorang pun
dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari
Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu.
Nabi Shallallâhu '‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada
shahabatnya Hakim bin Hizâm:
اَيََُيمِكَحََ
َ
نِإَا
َ
ذ
َ
هََ
َ
الَم
ْ
الََ
ٌ
ةَ
ِِض
َ
خََ
ٌ
ةَو
ْ
ّلُحََْنَم
َ
فََُه
َ
ذ
َ
خ
َ
أََِةَاو
َ
خ َسِبَ
َس
ْ
ف
َ
ّنَََكِورُبََُ َ
َلََِهيِفَ،ََْنَمَوََُه
َ
ذ
َ
خ
َ
أََ ِافَ ْ
رَشِإِبََس
ْ
ف
َ
ّنََْم
َ
لََ
ْ
كَارَب
ُ
يََُ َ
َلَ
َِهيِفَيِ
َ
َّل
َ
َكََ
ُ
ل
ُ
ك
ْ
أَيََ
َ
لَوََُعَب
ْ
شَي،ََُدَ ْ
اْلَاَي
ْ
ّلُع
ْ
الٌََ ْ
ْي
َ
خَََنِمََِدَ ْ
اْلََ
َ
ىل
ْ
ف ُالس
“Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barangsiapa yang
mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan
barangsiapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat
keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan
tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang
meminta)”. [Hadits Riwayat Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 152,
hadits no. 1472 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz III, hal. 94, hadits no. 2434,
dari Hakim bin Hizam]
Wallâhu A’lamu Bish-Shawâb.
Yogyakarta, 29 Desember 2015