Dokumen tersebut membahas perbedaan antara ghibah dan dusta berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Ghibah adalah membicarakan keburukan seseorang yang hadir, sedangkan dusta adalah membicarakan sesuatu yang tidak benar tentang orang lain. Dokumen juga menjelaskan kondisi-kondisi tertentu di mana ghibah dan dusta diperbolehkan menurut ajaran Islam.
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
ANTARA GIBAH DAN DUSTA
1. Allah berfirman:
أَامكَال لَاص يَُّاكلُّ لَاص أُّ يًَُّأَسُّ قَأوُّ وَ لََُُّ اَََ اَل اُّ ذََُُّل ل ذََُّال اهَُّ أ ايَ
أُُُّّلااََُ لَاص لَََِِيُّلَاصاَُُُُّّو أََ اُّ هََُُُّّْل يََ
*وُّاُّ اوَُّ وًََُُّّالاَكََُّاََْلً
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar (baik), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni
bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya
ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Antara Ghibah Dan Dusta
ل بَة لة شَُ تق وَُ وَ عل غَ بً يَ ل بَ، هَُل كَ ل غًََُ بً كَو لََإ سِ نً
Oleh karena itulah, dari segi bahasa, ghibah berarti membicarakan orang lain yang ghaib
(baca; yang tidak hadir) di antara orang yang sedang membicarakannya. Baik pembicaraan
tersebut mengenai hal-hal yang positif darinya, ataupun yang bersifat negatif.
Adapun dari segi istilah, ghibah adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim
mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan dan
kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukainya.
Sedangkan dusta, adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang
sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut. Sehingga dari sini,
perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek pembicaraan yang kita lakukan.
Dalam ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada diri orang
yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan
tersebut, ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara jelas
pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
بَُّةَ ذَُّ ل كََُّاو يَُّيَم هََاَُّأ تَُُّّ يَُّ ن هََُّْلنُّ اَ كَُّْ اَ كَُّكُّاَيَ هَُُُّّك صُّ ذَُّ نًُّ يَُّاُّا نَُُّْاًَََُُّ لََ
اَ هََُُُّّْل يَ يَُّاككُّصَ ذَُّ نًُّاََِك يَُّ يََلُّ أًَُّال ذََ لَُّ يَُّوُّ يَُُّّاأ ذََُّْان كَُّ نًُّ وََم يَُّ مَُ يًََُُُّّذَلنََ
ذُّ نًُّ ذََان كَُّ نًُّ وََ يََ اًََُُُّّاَلنَ وَُّاُّا اََغتُّابتُّيَ ذََُُّان اص أَُّلَاو وََ يََ وَُّاُّا يَُّسُّت يَ سَُكصق
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para
sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda,
‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang
tidak dia sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana
pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW
menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah
mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu,
maka engkau sungguh telah mendustakannya. (HR. Muslim)
2. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam (QS. 49: 12):
يُّاعوُّ يْوَ ذََاوَص اَُّ سسَل أََُّ يًَُّأَسُّ قَأوُّ وَ لََُُّاَََتُُّ بَََل كََُّنَاََوَََُُّ يْوَ ذََ نَ
أَُّالتُّاب يَُّاع لََُاص يَُّاعايًَُُّأَ بََْ يَُّتُّ كَاص يَُّان أَُّاْكَلُّ اصُّْ يَُّ يَََُاََُُّتاوًَُّلُّاََهتَلَل اََُُّ اَل اُّ ذََ نَ
* اُّ اَُّ لوَب تََُّْوَصَ
‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.’
Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:
ذَ ناََُو يَُّاْيُّ يَيَُّ اهتَ ةُّ وََم كََُّاو هَُّعَ يَاوَ أََُّا كَُّاو بَيمَ كَُّْ اَ كَُّكُّايََ هَُُُّّك صُّ ذَُّ نًُّ
كَاَدَ الَاسكَصَ يََلُّاتََََُّي ق يَيل قََُِِ
Dari Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya riba yang paling bahaya
adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara)
yang tidak benar. (HR. Abu Daud)
1. Kondisi diperbolehkannya dusta
Dalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di mana
seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
دََ كَََِ اسذَ سََذَ اَ نَ حَ ثَ حَََِ اقس قََِ اق ذَََِ سك اَقَِِ هَ سََلست اا هَسيلَ سهق س للَّر لَََسأَرَ ااق تَ ا ق د نسب س سََْأََ ن اَاا هَسيلَ س اا لَ لَس اَاا هَسيلَ اسذَ بسِكَ نَذ قَ اابق سا (ثااب ااك ي )َ
“Dari Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan
melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya (lebih
mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan di antara manusia
(yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)
2. Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada
enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:
1. Tadzalum.
Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim,
ulama dan penguasa agar dapat mengatasi problematika yang sedang dialaminya. Dalam
pengaduan tersebut tentu ia akan menceritakan keburukan orang yang menganiaya dirinya.
Dan hal seperti ini diperbolehkan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
*هَ سََلسع اق اا نس اوسسَِ س قَ اا سح سهق ق سَِِ اَاَ اق سََِذللََّ سََِذ
3. “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang
yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat
menjadi taat kepada Allah SWT, kepada orang yang dirasa mampu untuk melakukannya.
Seperti ulama, ustadz atau psikolog. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya
dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka
dengan hatinya. (HR. Muslim).
Sementara meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu, masuk dalam kategori
merubah kemungkaran dengan lisan.
3. Meminta fatwa.
Seperti seseorang yang meminta fatwa kepada ulama dan ustadz, bahwa saudaraku misalnya
menzhalimiku seperti ini, maka bagaimana hukumnya bagi diriku maupun bagi saudaraku
tersebut.
Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan)
mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah
seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi
kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak
mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa? Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya
sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca;
ma’ruf)” (HR. Bukhari)
4. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.
Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan
bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm.
Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin,
sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR.
Muslim)
5. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer,
berzina, judi, mencuri, dan membunuh. Terhadap orang yang seperti ini kita boleh ghibah.
Apalagi terhadap orang yang menampakkan permusuhannya kepada agama Islam dan kaum
muslimin.
6. Untuk pengenalan.
Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti
para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang),
Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut. Jika
disebut nama lain bahkan banyak perawi lainnya yang kurang mengenalnya. Meskipun
demikian, tetap menggunakan nama aslinya adalah lebih baik. Bahkan jika dengan namanya
tersebut dia telah dikenal, maka tidak boleh menggunakan julukan yang terkesan negatif.