Dokumen tersebut membahas tentang etika penelitian kesehatan, termasuk perkembangan etika penelitian kesehatan sejak zaman dahulu, norma-norma etika yang berlaku saat ini, dan peran serta tanggung jawab peneliti dalam menjalankan penelitian secara etis."
2. DASAR UNIVERSAL ETIK
PENELITIAN KESEHATAN
“Etik” mempunyai beberapa pengertian.
Salah satunya: etik adalah norma moralitas yang berlaku
untuk suatu kelompok masyarakat (komunitas) tertentu.
Kata etik selalu dipadankan dengan predikat yg
mencerminkan komunitasnya. Misalnya etik kedokteran,
merujuk pada moralitas dokter.
Jadi, etik penelitian kesehatan adalah norma moralitas
komunitas peneliti di bidang kesehatan
3. Peneliti adalah seorang ilmuwan dan akademisi, yang
berkiprah mengembangkan ilmu:
Mendeskripsikan, menelusuri hubungan sebab akibat,
serta meramalkan alam semesta, dan mengembangkan
langkah intervensi agar alam semesta lebih bermanfaat
dan bersahabat untuk kemaslahatan umat manusia.
Fungsi khusus seorang ilmuwan adalah meng-hasilkan
pengetahuan baru.
Dapat dimengerti, seorang peneliti harus menghayati
dan mengamalkan etik ilmuwan yang disebut etik
akademik.
4. Dalam konteks ilmu, secara filsafati, kesehatan
mencakup segala sesuatu tentang:
ontologik (apa yang dikaji), epistemologik (cara
mengkaji), serta aksiologik (pemanfaatan hasil
kajian) tentang kesehatan manusia.
Karena itu sebagai sinonim lazim juga dipakai
istilah biomedik, sehingga moralitas yang terkait
lazim juga dinamakan etik penelitian biomedik.
5. Sehingga muncul pendekatan untuk memfor-
mulasikan seluruh dimensi etik di bidang
kesehatan manusia/Ilmu Biomedik sebagai etik
biomedik atau bioetik.
Definisi bioetik yang dirumuskan International
Association of Bioethics adalah: "kajian tentang
isu-isu etik, sosial, hukum dan isu lain yang
timbul dalam pelayanan kesehatan dan Ilmu
Biologi".
6. Etik penelitian kesehatan bertumpu pada dua pilar: etik
akademik dan bioetik.
Pijakan dimensi etik akademik berfokus pada :
1) integritas peneliti sebagai ilmuwan dalam memelihara
dan memanfaatkan alam semesta.
2) pengorbanan dan keselamatan subjek, serta
memelihara dan menghormati kehidupan dan kema-
nusiaan.
Kedua pijakan ini bertujuan pada kemaslahatan umat
manusia.
7. PERKEMBANGAN ETIK PENELITIAN KESEHATAN
Berbagai upaya manusia untuk menyembuhkan penyakit sudah dilaksanakan sejak zaman
dahulu kala. Demikian pula norma etik kedokteran sudah ada sejak dahulu.
Norma etik tertua yang diketahui adalah sumpah dokter hindu yang ditulis pada tahun 1500
SM, yang hampir bersamaan munculnya dengan sumpah dokter China. Tema terpenting dari
sumpah tersebut adalah penderita yang diobati jangan dirugikan.
Seribu tahun kemudian Hippocrates (460 -337 SM), dalam bukunya berjudul The Epidemics ,
menyatakan bahwa seorang dokter harus menjalankan prinsip primum non nocere (yang utama
adalah jangan menyakiti)
)
8. Sesudah masa Renaissance, penelitian lebih difokuskan
pada patologi penyakit, biokimia dan anatomi.
Kemudian dimulailah lagi masa penelitian secara
eksperimental yang menimbulkan dampak yang
merugikan masyarakat.
Pada tahun 1865, Jean Claude Bernard, dokter dari
Perancis, menerbitkan buku Introduction to
Experimental Medicine yang mengupas dasar-dasar
penelitian.
Beliau menyatakan bahwa semua penelitian harus
berguna bagi subyek yang diteliti dan penelitian yang
menyakiti subyek harus dilarang. Buku Bernard
mengandung gerakan anti-viviseksi yang tidak
menyetujui penelitian medik eksperimental yang kejam
baik pada manusia maupun pada binatang.
9. Saat nazi berkuasa merupakan masa puncak dari penyimpangan dari norma -norma etik.
Saat itu penelitian dilakukan para dokter Nazi terhadap para tawanan perang dunia II.
Contohnya mereka meneliti ketahanan manusia dalam air yang bersuhu di bawah 0 oc. Itu
jelas merupakan penelitian yang sangat tidak manusiawi (merugikan dan menyakiti
subyek). Penelitian tersebut pada dasarnya dilandasi tujuan politik dan nasionalisme
sempit (chauvinisme).
Untuk menghindari hal -hal yang tidak diinginkan seperti halnya pengalaman pd ii, pada
tahun 1946 di kota nuremberg disusun aturan -aturan tentang penelitian pada manusia.
Peraturan ini dikenal sebagai Nuremberg Code. Salah satu yang terpenting dari kode ini
adalah keharusan adanya informed consent dari subyek penelitian.
Pada tahun 1948 dicetuskan Declaration of Geneva yang antara lain menyatakan bahwa
seorang dokter yang mengadakan penelitian pada pasiennya harus mengutamakan
KESEHATAN PENDERITA.
10. Pada tahun 1964, world medical association (WMA) dalam sidangnya
menghasilkan kesepakatan berupa yang disebut deklarasi helsinki I.
Deklarasi ini merupakan rangkaian aturan yang menjadi panduan untuk
dokter yang akan melakukan penelitian klinis.
Kebijaksanaan diserahkan kepada peneliti sendiri dan tidak diharuskan
ada pihak lain yang mengawasinya. Peneliti harus membuat keputusan
sendiri apakah penelitiannya menyimpang atau tidak dari norma etik yang
telah digariskan itu, karena pada deklarasi tersebut telah ada ketentuan
bahwa tugas utama dokter adalah menjaga kesehatan penderita.
Dalam praktiknya, oleh karena tidak ada pengawasan, masih sering terjadi
penyimpangan dalam penelitian dengan subyek manusia sebagai relawan
penelitian.
11. Pada tahun 1975, oleh World Health Assembly ke-20 di
Tokyo telah dibuat revisi, dan revisi ini disebut Deklarasi
Helsinki II.
Perubahan penting dalam deklarasi ini adalah peraturan
yang menyatakan protokol penelitian pada manusia
harus ditinjau dan diteliti dulu oleh suatu panitia untuk
pertimbangan, tuntunan dan komentar.
Pada protokol harus dicantumkan suatu ethical
clearance/approval, dan hasil penelitian tidak boleh
dipublikasikan tanpa adanya ethical clearance.
Di berbagai institusi penelitian mulai dibentuk komisi
etik penelitian. Deklarasi Helsinki masih mengalami
beberapa revisi, yaitu di Venesia tahun 1983, di
Hongkong tahun 1989.
Revisi terakhir terhadap Deklarasi Helsinki dilaku-kan di
Seoul Korea Selatan pada tahun 2008.
12. Publikasi tahun 1982 mengenai Proposed International
Guidelines for Biomedical Research Involving Human
Subject merupakan publikasi yang dikeluarkan untuk
menjelaskan Deklarasi Helsinki.
Publikasi ini kemudian disempurnakan pada tahun
1993, hasil kerja sama Council for International
Organizations of Medical Sciences (CIOMS) dengan
World Health Organization (WHO).
Kerja sama antara CIOMS dengan WHO pada tahun
1991 untuk etik penelitian epidemiologis.
13. Sejak tahun 1975, berbagai pertemuan di luar negeri telah
membahas perlunya sebuah komisi/panitia yang memperhatikan
segi etik penelitian, terutama yang menggunakan manusia
sebagai subyek penelitian.
Komisi/panitia dapat berskala institusional dengan tugas
mengelola penelitian di dalam institusi tersebut (KEPK) , dapat
pula berskala nasional (KNEPK/KEPPKN).
Hal lain yang sangat mendorong dibentuknya suatu
komisi/panitia etik penelitian ialah diperlukannnya suatu ethical
clearance sebagai lampiran wajib pada setiap usulan penelitian
yang dananya dimintakan pada lembaga internasional, misalnya
WHO.
Tanpa adanya ethical clearance, usulan penelitian tersebut tidak
akan diterima atau dipertimbangkan dananya.
14. Peran Peneliti
Etik dan moral senantiasa berkaitan dengan kebebasan dan tanggung jawab. Etik
membebani manusia dengan kewajiban moral, yang berbeda dengan kewajiban dalam
norma hukum, kewajiban moral ini tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk dipaksakan
penerapannya. Norma moral bersifat otonom, sehingga penegakannya tidak dapat
dipaksakan melalui upaya pemaksa eksternal (misalnya oleh penguasa).
Kebebasan dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, kebebasan yang diterima dari orang
lain, disebut kebebasan sosial. Kedua, kebebasan dalam arti kemampuan manusia untuk
menentukan tindakannya sendiri, yang disebut kebebasan eksistensial.
Kebebasan sosial selalu dibatasi oleh orang lain, yang bisa berupa: (1) jasmani, yakni adanya
paksaan secara fisik; (2) rohani/psikis, yaitu tekanan batin yang diberikan oleh orang lain,
serta (3) perintah dan larangan, antara lain berwujud undang-undang, perintah orang tua,
atasan, dan guru. Kebebasan eksistensial berakar dari kebebasan rohani manusia itu sendiri,
yaitu dalam penguasaan dalam batinnya, pikirannya, dan kehendaknya
15. Untuk itu tiap peneliti kesehatan harus mampu melakukan pertimbangan
etik secara mandiri. Melakukan identifikasi isu etik yang mungkin muncul,
melakukan pertimbangan berdasarkan acuan yang tersedia serta
mengambil keputusan etik.
Keputusan etik ini dihormati sendiri oleh peneliti sehingga jika dianggap
tidak layak etik, membatalkan penelitiannya atau memodifikasinya agar
menjadi layak etik. Perilaku ini harus dilandasi oleh integritas, termasuk
kompetensi akademik yang adekuat dari seorang peneliti.
Pertimbangan etik tidak selalu mulus. Kadang kala peneliti berhadapan
dengan dilema etik, dalam arti kata tindakan yang akan dilakukan sejalan
dengan rujukan etik yang satu, tetapi bertentangan dengan rujukan etik
yang lain.
Dalam mengambil keputusan, peneliti terpaksa melakukan pilihan. Pilihan
selalu bersifat subyektif. Disadari kemampuan manusia, (termasuk peneliti
kesehatan) terbatas. Lebih dari itu dalam bersikap dan bertindak, dapat
dipengaruhi oleh pertimbangan teknis dan operasional, kemudian terbawa
arus untuk bersikap pragmatis sehingga mengabaikan prinsip. Untuk itu
prinsip agar tiap penelitian kesehatan harus layak etik untuk dilaksanakan
harus diberdayakan dan dipastikan pemberlakuannya.
16. Penelitian kesehatan pada manusia hanya boleh dilakukan bila memenuhi dua
kriteria yaitu kriteria kepatutan dan kriteria persetujuan. Kedua kriteria
tersebut umumnya mengacu pada Deklarasi Helsinki.
Kriteria kepatutan
• Ada harapan penelitian tersebut memberikan wawasan baru yang tidak
dapat diperoleh dengan cara lain,
• Manfaat penelitian tersebut harus lebih banyak dari pada risiko yang akan
disandang oleh subjek penelitan,
• Kepentingan manusia subjek penelitian selalu ditempatkan di atas
kepentingan ilmu pengetahuan,
• Penelitian harus sesuai dengan prinsip ilmiah dan harus didasarkan
penelitian laboratorium maupun penelitian hewan percobaan serta harus
didasarkan pengetahuan yang cukup dari kepustakaan ilmiah,
• Protokol penelitian harus jelas dan tertulis dan dinilai terlebih dulu oleh
komisi etik yang independen,
• Penelitian harus dilaksanakan oleh peneliti yang berkualitas baik dan diawasi
oleh dokter yang kompet E N ,
17. • Dalam penelitian dengan subyek manusia berlaku standar
profesi tertinggi, bukan standar pengetahuan dan kemampuan
yang rata-rata,
• Pada penelitian dengan subjek manusia, bila ada masalah
hukum, peneliti bertanggung jawab penuh secara pribadi,
• Integritas subyek harus selalu dijaga dan dilindungi, baik fisik
maupun psikisnya,
• Privasi subyek harus dijunjung tinggi,
• Penderitaan badaniah maupun rohaniah dari subyek harus
dibatasi secara maksimal,
• Harus dilakukan pencegahan semaksimal mungkin terhadap
kerugian, kecacatan dan kematian dari subjek penelitian,
• Setiap penelitian segera harus dihentikan jika ternyata ada
subjek yang mengalami kerugian, kecacatan dan kematian.
18. Khusus untuk penelitian (uji) klinis secara eksperimental
yang menggunakan pasien sebagai subjek, terdapat
beberapa syarat yang khusus pula.
Penelitian (uji klinis) terhadap pasien hanya diperbolehkan bila ada
indikasi medis:
• Penelitian pada pasien atas dasar indikasi medis dan dengan
persetujuan pasien hanya dapat dilaksanakan sebaiknya jika
peneliti adalah bukan dokter yang merawatnya,
• Dalam pelaksanaan penelitan, peneliti dan pasien harus yakin
betul bahwa yang digunakan adalah metode diagnostik atau
terapeutik yang sebaik mungkin,
• Jika ada pasien yang tidak memberi persetujuan untuk ikut
dalam penelitian, maka hal itu dijamin tidak ada dampak
negatif terhadap hubungan dokter-pasien,
• Pasien yang sedang dalam keadaan koma, atau pasien yang
mempunyai penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan,
atau pasien yang dalam stadium akhir hidupnya, tidak
diperkenankan dijadikan subyek penelitian.
19. Kriteria Persetujuan
Suatu penelitian dengan subyek manusia tidak boleh dilakukan jika belum/tidak
memperoleh persetujuan dari subyek yang akan diteliti. Persetujuan tersebut diperoleh
setelah kepada subyek diberikan informasi dan penjelasan yang adekuat. Oleh karena itu
persetujuan ini disebut “persetujuan setelah penjelasan” (PSP), yang dalam terminologi
internasional disebut “informed consent”.
Informasi pada subyek penelitian (pasien maupun non-pasien) merupakan syarat
mutlak untuk memperoleh informed consent di dalam kriteria persetujuan. Informasi
harus diberikan selengkap mungkin dan tidak boleh ada informasi tertentu yang
dirahasiakan oleh peneliti. Di dalam deklarasi helsinki, isi informasi untuk memperoleh
informed consent harus mencakup: “the aims, method, anticipated benefits and
potential hazaards of the study and the discomfort it may entail”.
Di samping itu perlu pula diketahui bahwa persetujuan subyek setiap waktu dapat
ditarik, meskipun penelitian belum berakhir. Penarikan atau pembatalan persetujuan
tersebut tidak mengandung implikasi risiko apa pun terhadap subyek penelitian tersebut.
20. PRINCIPLES OF
BIOMEDICAL
ETHICS
(1979)
“Beauchamp &
Childress”
BELMONT REPORT
(1976)
“The National Commission
for The Protection of Human
Subject of Biomedical and
Behavioral Research”
INTERNATIONAL ETHICAL
GUIDELINESS FOR
BIOMEDICAL RESEARCH
INVOLVING HUMAN
SUBJECT
(2002, 2011, 2016)
“CIOMS”
NUREMBERG CODE
(1947)
HELSINKI
DECLARATION
(2008)
- DASAR
RUJUKAN -
22. NUREMBERG CODE
Keikutsertaan subyek dalam penelitian harus berdasarkan persetujuan
sukarela, setelah mendapat penjelasan tentang penelitian yang akan
dijalaninya. Secara operasional pelaksanaan kode ini dikenal luas sebagai
“persetujuan setelah penjelasan” (PSP). Lazim juga dikenal sebagai informed
consent (kode 1). Subjek setiap saat dapat menghentikan keikutsertaannya
dalam penelitian (kode 9).
Penelitian harus bermanfaat bagi masyarakat banyak (kode 2).
Penelitian harus mempunyai landasan ilmiah yang kokoh, sehingga hasil
yang diharapkan diyakini akan dapat dicapai (kode 3).
Risiko yang harus dihadapi subyek harus wajar dan manusiawi untuk
dihadapi (kode 4, 5, 6, 7 dan 10).
Penelitian harus dilaksanakan oleh yang ahli di bidangnya (kode 8).
23. DEKLARASI HELSINKI
• Hak subyek untuk memanfaatkan hasil penelitian setelah penelitian selesai
dilaksanakan (paragraf 33).
• Diperkenalkannya formulasi “beban” (burden – sesuatu yang direncanakan akan
dijalani/ditanggung oleh semua subyek) di samping risiko (yang mungkin dapat terjadi),
yang juga harus dipertimbangkan dalam menilai kelayakan etik penelitian (paragraf 8
dan 18).
• Keterlibatan dokter yang merawat pasien sebagai peneliti, di mana penelitian
mendayagunakan pasiennya sebagai subyek (paragraf 31).
• Peneliti harus berhati-hati dan mengambil langkah khusus jika penelitiannya dapat
merusak lingkungan (paragraf 13).
• Penelitian harus dirancang melalui protokol tertulis yang rinci, sehingga informasi yang
dibutuhkan untuk dipenuhinya panduan etik yang berlaku tercakup dalam protokol
tersebut. Lebih lanjut dalam protokol harus disertakan pertimbangan peneliti bahwa
penelitiannya telah memenuhi prinsip etik yang tercakup dalam paragraf deklarasi
helsinki, sehingga layak etik untuk dilaksanakan (paragraf 14).
24. Sebelum penelitian dilaksanakan, protokol harus disampaikan
untuk dikaji komisi etik untuk mendapatkan pertimbangan,
bimbingan dan persetujuan bahwa penelitian tersebut layak etik
untuk dilaksanakan (paragraf 15).
Uji klinik harus diregistrasikan pada pihak yang berwenang, dan
data base-nya dapat diakses oleh publik (paragraf 19).
Panduan untuk mendayagunakan spesimen yang berasal dari
manusia dan data tentang manusia (paragraf 25).
Tanggungjawab untuk patuh etik berada pada pundak penulis,
editor serta penerbit yang mempublikasikan hasil penelitian
(paragraf 30).
25. Panduan CIOMS – WHO
Council for international organizations of medical sciences (CIOMS) dengan dukungan
WHO pertama kali menyusun panduan etik untuk pelaksanaan penelitian biomedik
dengan subyek manusia pada tahun 1982, diperbarui tahun 1993 dan diterbitkan dalam
beberapa edisi, yaitu tahun 2002, 2008, 2011, 2016. Edisi 2016 diterbitkan sendiri oleh
CIOMS dalam bentuk buku dengan judul International Ethical Guidelines for
Biomedical Research Involving Human Subjects, dengan ISBN nomor 9290360755,
meskipun juga dapat diunduh melalui situs resmi CIOMS.
Isi buku ini mencakup: international instruments and guidelines, general ethical
principles, preamble, the guidelines, appendix
Sebagai panduan etik, boleh dikatakan cioms guidelines mengadopsi seluruh substansi
yang terkandung dalam deklarasi helsinki. Sesuai dengan pola perumusannya kedua
panduan etik ini saling melengkapi. CIOMS guidelines ini juga dipakai secara luas
sebagai acuan dalam menyusun panduan etik penelitian oleh berbagai kalangan,
termasuk di indonesia.
26. Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi
Manusia
Sidang umum PBB pada tahun 1948 mengadopsi the universal declaration of human
rights. Guna memberi kekuatan hukum dan moral pada deklarasi tersebut, pada tahun 1966
sidang umum menetapkan the international convenant on civil and political rights, yang
dalam artikel ke-7 disebut “no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free
consent to medical or scientific experimentation.
Artikel 7 ini menegaskan perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan setiap
relawan manusia yang ikut serta sebagai subyek dalam penelitian kesehatan.
Pada tahun 2005 unesco mencanangkan deklarasi yang dinamakan: Universal
Declaration on Bioethics and Human Rights. Dari perspektif etik penelitian kesehatan,
deklarasi UNESCO untuk menjembatani human right declaration yang lebih bersifat umum
dan konseptual, dengan pedoman yang tertuang dalam Deklarasi Helsinki serta guidelines
CIOMS yang lebih bersifat operasional dan teknis. Hal itu juga memperkuat kesepakatan dan
komitmen yang tertuang dalam semua deklarasi dan pedoman tersebut.
27. PRINSIP UMUM ETIK PENELITIAN KESEHATAN
Pada tahun 1979, Beauchamp dan Childress dalam bukunya Principles of
Biomedical Ethics merumuskan 4 prinsip etik biomedik (Belmont’s
Principles):
1) Respect for persons
2) Beneficence
3) Justice.
Rumusan dan pemahaman yang digagas Beauchamp dan Childress banyak
diadopsi dan dijadikan landasan pemahaman etik biomedik oleh berbagai
pihak, termasuk dalam mengembangkan etik penelitian biomedik.
28. Pada tahun 1976 The National Commission for The Protection of Human
Subjects of Biomedical and Behavioral Research, semacam KNEPK-nya
Amerika Serikat, membentuk satuan tugas untuk menyusun prinsip etik
dasar yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan bersikap dan
berperilaku dalam melaksanakan penelitan biomedik yang menggunakan
manusia sebagai subyek penelitian, dan sekaligus diharapkan dapat
digunakan sebagai landasan untuk menyusun pedoman etik.
Hasilnya dirumuskan dalam bentuk laporan, yang lazim dikenal sebagai
Belmont’s Report. Prinsip etik yang dirumuskan dalam Belmont’s Report
serta rumusan penjabaran dan penerapannya juga lazim digunakan sebagai
rujukan di bidang etik penelitian biomedik.
Pada Belmont’s Report prinsip etik dirumuskan dalam bentuk 3 prinsip: 1)
respect for persons, 2) beneficence dan 3) justice. Aplikasi ketiga prinsip ini
dirumuskan dalam bentuk panduan untuk melaksanakan 1) informed
consent, 2) assessment of risks and benefits dan 3) selection of subjects.
29. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia
(Respect for persons)
Dalam berbagai dokumen etik penelitian, digariskan bahwa prinsip respect
for persons menyangkut penghormatan akan otonomi manusia untuk
dengan bebas menentukan sendiri apa yang akan dia lakukan ( untuk ikut
atau tidak ikut dalam penelitian dan ataukah mau berhenti dalam tahap
mana pun juga atau meneruskan keikutsertaannya dalam penelitian).
Oleh karena itu, subyek penelitian wajib diberi semua informasi yang
diperlukan agar dia bisa mengambil keputusan secara bebas dan cerdas. Di
sinilah perlunya peneliti mendapatkan informed consent (persetujuan
setelah penjelasan, PSP) yang diperoleh dengan cara yang baik dan benar.
Dalam mendapatkan informed consent ini perlu memperhatikan budaya
setempat yang kadang-kadang bisa bersifat individual atau komunal.
30. Prinsip berbuat baik (benificence)
dan tidak merugikan (non maleficence)
Prinsip beneficence menyangkut prinsip untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia dan untuk tidak mencelakakannya. Sejak jaman sumpah hippocrates,
prinsip ini sudah menjadi salah satu prinsip yang fundamental dalam etika medis.
Kalau prinsip ini diterapkan dalam bidang riset medis, maka prinsip ini
menyangkut suatu kewajiban untuk meminimalisir risiko bila dibanding dengan
potensi keuntungan yang bisa dipetik dari penelitian itu.
Prinsip etik berbuat baik juga menyangkut kewajiban membantu orang lain,
dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal.
31. Prinsip etik berbuat baik mempersyaratkan bahwa:
• Risiko penelitian harus wajar (reasonable) dibanding manfaat yang
diharapkan;
• Desain penelitian harus memenuhi persyaratan ilmiah
(scientific sound);
• Para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga
kesejahteraan subyek penelitian;
• Diikuti prinsip do no harm (nonmaleficence/tidak merugikan) yang menentang
kesengajaan untuk merugikan subyek penelitian.
Prinsip tidak merugikan menyatakan bahwa jika seseorang tidak dapat
melakukan hal-hal yang bermanfaat, maka setidak-tidaknya jangan merugikan
orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subyek penelitian tidak
semata-mata diperlakukan sebagai sarana belaka, melainkan juga harus
diberikan perlindungan terhadap adanya tindakan penyalahgunaan.
32. Prinsip Keadilan (justice)
Prinsip justice menyangkut kewajiban untuk memperlakukan setiap manusia
secara baik dan benar, memberikan apa yang menjadi haknya, serta tidak
membebani mereka dengan apa yang bukan menjadi kewajibannya.
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap
orang (sebagai pribadi otonom) sama dalam memperoleh hak-haknya.
Prinsip etik keadilan terutama menyangkut keadilan distributif (distributive
justice) yang mempersyaratkan pembagian seimbang (equitable) dalam hal
beban dan manfaat yang diperoleh subyek dari keikutsertaannya dalam
penelitian. Ini dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender,
status ekonomi, budaya dan pertimbangan etnik.
Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat hanya dapat dibenarkan dan
dapat dipertangungjawabkan jika didasarkan pada perbedaan yang relevan
secara moral antara orang-orang yang diikutsertakan dalam penelitian.
33. LANDASAN HUKUM
ETIK PENELITIAN KESEHATAN
DI INDONESIA
Salah satu syarat dasar negara hukum (rechtsstaat) adalah hak-hak dasar
(asasi) merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus
membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang. Konsekuensinya secara
konstitusional, hak dan kebebasan setiap orang untuk melakukan penelitian,
pengembangan, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia, sebagai
bagian dari hak asasi manusia yang diakui, akan dilindungi dan dijamin
pemenuhannya (lihat pasal 28 C UUD 1945).
Setiap orang juga wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (ps. 28 j : 1).
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis (ps. 28 j : 2).
34. Di dalam pasal 21 UU no. 39 th. 1999 tentang Hak
Asasi Manusia ditegaskan, bahwa :
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani,
dan karena itu tidak boleh dijadikan obyek penelitian tanpa persetujuan
darinya.
Secara konstitusional juga ditekankan bahwa identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradabannya (pasal 28 i : 3).
Pemerintah juga bertanggungjawab untuk memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia
(pasal 31 :5)
35. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian dan
pengembangan kesehatan yang dimaksudkan di atas, antara lain :
• Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 Tentang Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan;
• Keputusan Menteri Kesehatan No. 1179A/Menkes/SK/X/1999 Tentang Kebijakan
Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
• Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat Dan Makanan No. 2002/SK/ BPOM
Tentang Tata Laksana Uji Klinik tertanggal 28 Pebuari 2001;
• UU No. 18 Th. 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
• UU No. 23 Th. 2002 Tentang Perlindungan Anak;
• Keputusan Menteri Kesehatan No. 1334/MENKES/SK/X/2002 Tentang Komisi
Nasional Etik Penelitian.
• UU No. 36 Th. 2009 Tentang Kesehatan.
36. Beberapa ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan
dengan penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan yang perlu diperhatikan oleh para peneliti :
UUD 1945 :
Setiap orang berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 28C).
UU No. 39 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat
manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.
37. UU No. 36 Th. 2009 Tentang Kesehatan – Pasal 69 :
Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan
ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan
Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian pada manusia sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku
dalam masyarakat
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan
keselamatan yang bersangkutan
Penjelasan ayat (3) tersebut menyatakan :
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang
menggunakan manusia sebagai subjek penelitian harus dilaksanakan dengan
memperhatikan etika penelitian dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Hasil penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang akan
diterapkan atau digunakan di Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan kesehatan.
38. Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 Tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan berdasarkan standar profesi penelitian
kesehatan (Pasal 4 : 1).
Penjelasan ayat tersebut menyatakan :
Yang dimaksud dengan standar profesi penelitian kesehatan adalah pedoman yang berisi ketentuan-
ketentuan yang harus dipergunakan dalam menjalankan profesi secara benar. Dalam melakukan tugas
profesinya, peneliti harus selalu menggunakan standar profesi penelitian kesehatan.
Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 Tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan - Pasal 5 : 1, 2
Penelitian dan pengembangan kesehatan dapat dilakukan terhadap manusia atau mayat manusia,
keluarga, masyarakat, hewan, tumbuh-tumbuhan, jasad renik, atau lingkungan.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
penerapannya dilakukan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat sertas upaya
pelestarian lingkungan.
Penjelasan ayat (2) tersebut menyatakan :
Yang dimaksud dengan norma yang berlaku dalam masyarakat adalah norma hukum, norma agama,
norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
39. Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 – Pasal 8 : 1, 2
Penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap manusia hanya dapat
dilakukan atas dasar persetujuan tertulis dari orang yang bersangkutan.
Persetujuan tertulis dapat pula dilakukan oleh orang tua atau ahli warisnya
apabila manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
◦ tidak mampu melakukan tindakan hukum;
◦ karena keadaan kesehatan atau jasmaninya sama sekali tidak
memungkinkan dapat menyatakan persetuijuan secara tertulis;
◦ telah meninggal dunia, dalam hal jasadnya akan digunakan sebagai objek
penelitian dan pengembangan kesehatan.
Persetujuan tertulis bagi penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap
keluarga diberikan oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan terhadap
masyarakat dalam wilayah tertentu oleh Bupati/Wliokota Kepala Daerah yang
bersangkutan.
40. Pasal 12 Peraturan Pemerintah
No. 39 Th. 1995 :
Orang, keluarga, atau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
berhak sewaktu-waktu mengakhiri atau menghentikan keterlibatannya
dalam penelitian dan pengembangan kesehatan.
Penjelasan Pasal 12 tersebut di atas, menyatakan :
Pada dasarnya keterlibatan manusia dalam penelitian dan pengembangan
kesehatan didasarkan atas prinsip sukarela dan sifatnya tidak mengikat. Oleh
karena itu manusia yang bersangkutan dapat mengakhiri atau
menghentikan keterlibatannya dalam penelitian dan pengembangan
kesehatan sewaktu-waktu dengan cara memberitahukan kepada
penyelenggara penelitian dan pengembangan kesehatan.
41. Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 :
Penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap :
1. Anak-anak hanya dapat dilakukan dalam rangka peningkatan derajat
kesehatan anak-anak;
2. Wanita hamil atau menyusui hanya dapat dilakukan dalam rangka pembenaran
masalah kehamilan, persalinan, atau peningkatan derajat kesehatannya;
3. Penderita penyakit jiwa atau lemah ingatan hanya dapat dilakukan dalam rangka
mengetahui sebab terjadinya penyakit jiwa atau lemah ingatan, pengobatan, atau
rehabilitasi sosialnya.
Penjelasan Pasal 13 tersebut di atas, menyatakan :
Pembatasan ini dilakukan dalam rangka melindungi kesehatan dan keselamatan
jiwa dari anak-anak, wanita hamil atau menyusui dan penderita penyakit jiwa atau
lemah ingatan.
42. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 :
“Barangsiapa dengan sengaja melakukan penelitian dan pengembangan kesehatan dan
penerapannya terhadap manusia, keluarga, atau masyarakat tanpa memperhatikan
norma yang berlaku dalam masyarakat serta kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 9 dipidana
berdasarkan ketentuan Pasal 58 ayat (1) Undang-undang No. 36 Th. 2009 Tentang
Kesehatan.”
Pasal 20 Peraturan Pemerintah No. 39 Th. 1995 :
Berdasarkan ketentuan pasal 86 UU No. 23 Th. 1992 Tentang Kesehatan, barangsiapa
dengan sengaja menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kesehatan :
◦ - dengan cara yang tidak sesuai dengan stándar profesi penelitian kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
◦ - tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
◦ - tanpa persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3);
◦ - tanpa memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
43. Pasal 21 UU No. 39 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun
jasmanai, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa
persetujuan darinya.
Pasal 44 UU No. 36 Th. 2009 Tentang Kesehatan :
Dalam mengembangkan teknologi dapat dilakukan uji coba teknologi
terhadap manusia dan hewan.
Uji coba tersebut dilakukan dengan jaminan tidak merugikan manusia
yang dijadikan uji coba.
Uji coba dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan
persetujuan orang yang dijadikan uji coba.
Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian
hewan tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung
bagi kesehatan manusia.
44. DALAM PENJELASAN PS. 44 : 2, 3 UU NO. 36 TH. 2009 TENTANG
KESEHATAN
Semua uji coba yang menggunakan manusia sebagai subjek uji coba wajib
didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat dan
martabat manusia (respect for persons) yang bertujuan menghormati otonomi
dan melindungi manusia yang otonominya terganggu/kurang, berbuat baik
(beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice).
Uji coba pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan
keselamatan yang bersangkutan. Penelitian dan pengembangan yang
menggunakan manusia sebagai subjek harus mendapat informed consent.
Sebelum meminta persetujuan subjek penelitian, peneliti harus memberikan
informasi mengenai :
Tujuan penelitian dan pengembangan kesehatan serta penggunaan hasilnya;
Jaminan kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi;
Metode yang digunakan;
Risiko yang mungkin timbul, dan hal lain yang perlu diketahui oleh yang
bersangkutan dalam rangka penelitian dan pengembangan kesehatan.
45. INTEGRITAS PENELITI
Kata integritas berasal dari kata bahasa Latin integritās yang
berarti “utuh” yang kemudian berkembang dalam bidang
moral/etika menjadi “soundness of moral character”. Francis L.
Macrina mendefinisikan manusia yang berintegritas sebagai
“morally upright, honest, fair and sincere”.
Integritas adalah karakter manusia yang menyangkut inti
terdalam kepribadian manusia. Seringkali sulit untuk diterangkan
tetapi mudah untuk dirasakan. Integritas pribadi ini langsung
berhubungan dengan nilai-nilai yang dihayati seseorang dalam
hidupnya.
46. Integritas Etik
Ketiga prinsip etik penelitian yang telah dikemukakan di atas (respect for
person, beneficence, justice) menggaris-bawahi apa saja yang menjadi tanggung
jawab peneliti selama dan sesudah penelitian berlangsung. Dalam hal ini,
walaupun tanggung jawab secara detail masing-masing peneliti bisa berbeda
sesuai dengan kedudukan yang ada dalam sebuah team penelitian, namun
menyangkut etika pada umumnya, semua peneliti, baik peneliti utama, maupun
anggota peneliti lainnya mempunyai kriteria yang sama.
Hal ini perlu ditegaskan karena lebih-lebih dalam penelitian medis, tujuan riset
sendiri tidak selalu akan memberikan keuntungan langsung kepada partisipan
riset itu sebab riset itu sendiri bisa bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan
sebab-sebab suatu penyakit dan bagaimana kinerja tubuh sehubungan dengan
penyakit tertentu atau memperkembangkan suatu terapi yang baru atau
memperbandingkan dua atau lebih cara-cara terapi yang ada, dan sebagainya.
47. INTEGRITAS AKADEMIS
Integritas akademis berarti mengetahui dan menghormati
kebenaran dasar yang sangat penting bagi tegaknya institusi
pendidikan ataupun penelitian. Ketiadaan integritas
akademis akan merusak saling percaya yang seharusnya
terjadi antara dosen dengan mahasiswanya ataupun peneliti
dengan subyek penelitiannya.
Kedua belah pihak (peneliti dan subyek penelitian) dituntut
untuk mempunyai integritas akademis yang tinggi agar
pencapaian ilmu pengetahuan yang didapat dari riset itu
akan menguntungkan semua pihak dan iklim akademis dan
penelitian akan bisa berkembang dengan baik pula. Dengan
kata lain, kalau tidak ada integritas akademis ini maka semua
institusi pendidikan dan riset menjadi hancur karenanya.
48. Honesty (kejujuran – kelurusan
hati)
Hampir semua manusia itu merindukan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan baik berupa hal-hal praktis maupun yang lebih spekulatif, yang
dilakukan baik melalui belajar teoritis maupun penelitian praktis ataupun
cara yang lain.
Semuanya itu hanya akan bisa dicapai dengan memuaskan kalau dalam
proses belajar-mengajar, penelitian dan pelayanannya, para pelakunya
memegang teguh kejujuran. Kejujuran menjadi nilai inti terdalam dari ilmu
pengetahuan.
Kejujuran itu merupakan kesetiaan kepada kenyataan dan kesungguhan
sehingga dapat mengatakan kebenaran walaupun pahit, dapat dipercaya,
tidak menipu dan jujur terhadap diri sendiri.
Dalam bidang penelitian berarti bahwa dia melaporkan apa yang benar
ditemukan, apa yang tadinya tidak direncanakan tetapi diketemukan dalam
penelitian, apa yang belum ditemukan, apa yang gagal ditemukan dan apa
yang seharusnya dia temukan.
49. Kejujuran adalah pangkal utama keutamaan akademis. Kalau
seorang peneliti tidak jujur dalam pelaporannya, maka dia akan
merugikan pelbagai pihak.
-Ilmu pengetahuan akan dirugikan karena akan menghambat
tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan.
- Kalau hasil risetnya itu akan dipakai sebagai pihak lain sebagai
pondasi bagi riset berikutnya maka riset berikutnya tidak
pernah akan bisa dijalankan sebab asumsi dasarnya sudah
salah.
-Masyarakat pada umumnya juga akan dirugikan, misalnya
dikatakan bahwa obat A ini manjur untuk menyembuhkan
penyakit X, padahal itu tidak terbukti, maka masyarakat akan
tertipu dan dirugikan.
50. Trust (percaya)
Dalam sebuah institusi pendidikan ataupun penelitian harus
dikembangkan saling percaya di antara semua pihak agar bisa
terjadi komunikasi gagasan dengan baik. Dalam hal ini,
kepercayaan merupakan hasil logis dari kejujuran. Dengan kata
lain, hanya orang yang jujur yang bisa dipercaya. Ketika peneliti
jujur terhadap pihak-pihak lain, maka pihak lainpun akan juga
percaya kepadanya. Bisa dikatakan bahwa kepercayaan menjadi
modal utama penelitian. Yang ingin dicapai oleh penelitian adalah
kebenaran, baik kebenaran spekulatif maupun kebenaran
eksperimential. Oleh karena itu, setiap peneliti harus commit
untuk melakukan yang terbaik dalam penelitiannya agar
penelitiannya itu bisa dipercaya; oleh karena itu diperlukan
keutamaan, ketulusan dan kesungguhan hati.
51. Fairness (perlakuan yang adil)
Hubungan antar peneliti, subyek penelitian dan bagian
administrasi harus di dasarkan pada aturan main dan prosedur yang
jelas serta praktik-praktik yang bisa dipertanggungjawabkan. Setiap
subyek harus diperlakukan secara adil, baik sebagai pribadi maupun
ide dan gagasannya. . Di sinilah yang menjadi dasar fairness ini. Tanpa
fairness ini maka kehidupan akademis tidak akan tumbuh subur. Ketika
orang diperlakukan tidak sama, misalnya dihambat atau dipersalahkan
yang bukan kesalahannya, maka perlakuan ini akan menghambat
dialog akademis dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Misalnya saja: peneliti ataupun dosen yang memberikan evaluasi tidak
adil maka akan menimbulkan kebingungan dari para peserta untuk
mengetahui mana yang benar dan yang tidak benar, mana yang tepat
dan mana yang kurang tepat dsb.
52. Respect (hormat)
Dalam penelitian, kita sering dihadapkan pada berbagai macam pendapat
dan gagasan yang bisa sangat berbeda satu sama lainnya. Sebagai
seorang ilmuwan, perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan
pendapat (diskusi) dan bukan dengan kekerasan. Dalam hal ini
penghormatan terhadap pendapat atau gagasan orang lain menjadi
penting.
Ada banyak cara untuk mewujudkan penghormatan itu tetapi salah satu
yang paling penting adalah mempertimbangkan ide atau gagasan orang
lain secara serius. Seringkali kebenaran yang sejati itu muncul dengan
terjadinya perbedaan sebab perbedaan yang didiskusikan itu akan
memurnikan suatu gagasan. Perbedaan itu mengundang si empunya ide
untuk melihat dan mempertimbangkan kembali idenya.
Kalau semua pihak membuat yang sama, maka akan muncullah
kebenaran yang baru. Dialektika Hegel dalam hal ini menjadi benar, ketika
ada tesis yang berhadapan dengan anti-tesis maka akan muncul sintesis
yang baru.
53. RESPONSIBILITY (TANGGUNG JAWAB)
Setiap manusia harus bertanggungjawab atas apa yang
telah diperbuatnya, baik dalam hal perbuatan baik maupun
dalam perbuatan tidak baik. Pertanggungjawaban inilah
persis yang menjadi keutamaan akademis yang terakhir sebab
segala sesuatu yang telah diperbuat sebelum, selama dan
sesudah penelitian pada akhirnya harus
dipertanggungjawabkan.
Integritas seseorang dapat diukur dengan kemampuan
seseorang mempertanggungjawabkan apa yang telah dia
perbuat. Peneliti pada akhirnya harus
mempertanggungjawabkan semua apa yang telah
diperbuatnya, baik secara akademis, finansial, psikologis dan
sosial.
54. INTEGRITAS SELAMA PENELITIAN
Deklarasi helsinki paragraf 10 menyatakan, “it is the duty of the
physician in medical research to protect the life, health, privacy,
and dignity of the human subject.”
Dari titik pangkal ini kiranya menjadi jelas bahwa selama
penelitian berlangsung yang menyangkut subyek manusia, seorang
peneliti harus memegang teguh tugasnya untuk menjaga hidup
dan kesehatan pesertanya sedemikian rupa sehingga hidup
manusia tidak dibahayakan.
Kalau hidup dan kesehatannya dirugikan, hal ini bertentangan
langsung dengan tujuan dari diadakannya penelitian itu sendiri
yang dinyatakan oleh deklarasi helsinki no. 6 bahwa “tujuan
utama penelitian medis yang menyang-kut subyek manusia adalah
untuk meningkatkan prosedur pencegahan, diagnosis dan terapi
serta untuk meningkatkan pengetahuan akan penyebab penyakit
dan patogenesisnya”.
55. INTEGRITAS SESUDAH PENELITIAN
1. AKSES KEPADA HASIL RISET
Mengenai akses terhadap hasil riset ini ada dua hal yang perlu kita perhatikan
dari deklarasi helsinki:
Paragraf 19 mengatakan, “medical research is only justified if there is a reasonable
likelihood that the populations in which the research is carried out stand to benefit
from the results of the research.”
Sebuah penelitian medis hanya dibenarkan kalau memang ada alasan yang
masuk akal bahwa hasilnya akan bermanfaat juga bagi populasi yang ikut serta di
dalam penelitian itu. Kalau memang tidak ada manfaat langsung bagi mereka,
misalnya penelitian itu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan sebab -sebab
suatu penyakit dan bagaimana kinerja tubuh sehubungan dengan penyakit tertentu
atau mengembangkan suatu treatment baru atau membandingkan dua atau lebih
cara-cara treatment yang ada dsb, harus diterangkan dalam protokol penelitian
sehingga komisi etik dengan jelas akan mempertimbangkannya dan juga dijelaskan
dalam memperoleh informed consent.
Paragraf 30 menyatakan bahwa “at the conclusion of the study, every patient
entered into the study should be assured of access to the best proven prophylactic,
diagnostic and therapeutic methods identified by the study.”
56. 2. PENGARSIPAN
Pada akhir dari penelitian itu maka harus dilakukan pencatatan dan
pengarsipan dari semua aktivitas yang sudah dilakukan. Ini sebagai
bentuk pertanggungjawaban ilmiah akan apa yang sudah dibuat.
Semua data-data asli harus disimpan baik-baik agar kalau sewaktu-
waktu diperlukan untuk klarifikasi atau kalau ada masalah -masalah
lainnya kita bisa dengan mudah membuat verifikasi yang sah. Bagi
kebanyakan orang indonesia, pengarsipan ini seringkali lemah dan
seringkali dipandang tidak perlu, padahal ini sangat perlu sekali baik
sebagai bukti sejarah maupun sebagai pertanggungjawaban ilmiah.
57. 3. PUBLIKASI
Dalam publikasi hasil penelitiannya, peneliti juga masih dituntut
integritas etisnya agar tidak melakukan kejahatan ilmiah dalam
publikasinya yang berhubungan dengan intelectual property dan
ownership of data.
Ownership of data itu dibangun berdasarkan pada analisis mengenai
siapa yang mengumpulkan data, di bawah petunjuk dan bimbingan
siapakah data itu dikumpulkan (apakah orang yang sama atau berbeda)
dan apakah ada kewajiban untuk menyerahkan hak itu kepada pihak lain.
Pada dasarnya, siapa yang bekerja layak untuk mendapatkan hasil dari
pekerjaannya kecuali jika dia wajib untuk menyerahkannya kepada pihak
lain oleh karena sebab-sebab yang masuk akal, misalnya saja oleh
karena dibeli, atau bekerja untuk orang lain atau sudah ditentukan
demikian dalam perjanjian kerjanya.
Intelectual property ini menyangkut soal patent, copyrights, trademarks
dan trade secrets yang menjadi milik peneliti (baik perorangan atau
kelompok) yang dilindungi oleh undang-undang negara.
58. Dalam publikasi sebuah riset, peneliti bisa membuat suatu
penyimpangan intelektual (scientific misconduct) atau
penyimpangan riset (research misconduct). Research misconduct
sendiri adalah: “kejahatan riset diartikan sebagai fabrikasi,
pemalsuan atau plagiarism dalam membuat proposal, melakukan
atau mereview riset atau dalam melaporkan risetnya.”
Fabrikasi adalah mengubah data atau hasil dan merekam atau
melaporkannya.
Pemalsuan adalah memanipulasi materi riset, peralatan atau
proses, atau mengubah atau menghilangkan data atau hasil
sedemikian rupa sehingga riset itu tidak ditunjukkan secara akurat
di dalam catatan riset…
Plagiarisme adalah meng-aku-kan ide, proses, hasil atau kata-kata
tanpa memberikan kredit yang yang tepat.
Kejahatan riset tidak mencakup kesalahan yang jujur atau
perbedaan pendapat.
59. Scientific misconduct ini biasanya berlatar belakang macam-macam hal,
tetapi yang cukup umum ialah berhubungan dengan keinginan untuk
sebuah prestasi, kemajuan karier, kekuasaan dan pendapatan, tidak mau
bersusah-payah dan sebagainya. Ada banyak yang bisa dimasukkan
dalam kategori ini, tetapi yang cukup sering terjadi ialah:
Plagiat yaitu orang mengambil ide, gagasan, proses atau hasil orang lain
dan menyatakannya sebagai milik sendiri entah secara langsung maupun
tidak langsung (misalnya dengan tidak menyebut sumbernya dengan
benar); bisa juga dilakukan dengan cara mencuri data atau ide orang
lain.
Pemalsuan data yakni memanipulasi riset, peralatan atau proses, atau
mengubah atau menghilangkan data atau hasil, merekayasanya
sedemikian rupa sehingga menjadi laporan ilmiah yang tidak benar.
Data-data itu bisa “disesuaikan” sedemikian rupa sehingga
menghasilkan sesuatu yang kelihatannya ilmiah. Dalam hal ini, bisa
terjadi bahwa proposal riset diubah sedemikan rupa sesudah selesai
penelitian supaya akhirnya terdapat kecocokan antara proposal dan
hasil risetnya.
60. Sebelum penelitian dilaksanakan, protokol harus disampaikan
untuk dikaji Komisi Etik untuk mendapatkan pertimbangan,
bimbingan dan persetujuan bahwa penelitian tersebut layak
etik untuk dilaksanakan (paragraf 15).
Uji klinik harus diregistrasikan pada pihak yang berwenang, di
mana data base-nya dapat diakses oleh publik (paragraf 19).
Panduan untuk mendayagunakan spesimen yang berasal dari
manusia dan data tentang manusia (paragraf 25).
Tanggungjawab untuk patuh etik berada pada pundak penulis,
editor serta penerbit yang mempublikasikan hasil penelitian
(paragraf 30).
62. Informed Consent
Suatu proses dimana subjek secara sukarela
mengkonfirmasi kesediaannya untuk
berpartisipasi dalam percobaan tertentu,
setelah diberi tahu tentang semua aspek
percobaan yang relevan dengan keputusan
subjek untuk berpartisipasi
63. Persetujuan Setelah Penjelasan
(PSP)
Persetujuan yang diberikan seseorang yang
kompeten sesudah menerima dan memahami
penjelasan dan membuat keputusan tanpa paksaan
atau dipengaruhi berlebihan, dibujuk atau
diintimidasi
64. PSP penting untuk penelitian kesehatan yang etis
PSP didasarkan pada hormat kepada martabat
manusia
PSP didasarkan pada pemahaman dan kesukarelaan
PSP merupakan proses komunikasi dan bukan hanya
penandatanganan formulir
PSP harus memuat segala informasi yang
dibutuhkan peserta untuk membuat keputusan
65. Informasi esensial untuk PSP
(Kepmenkes 1333/2012)
Tujuan penelitian & penggunaan hasilnya
Jaminan kerahasiaan informasi yang diberikan
Metoda/cara yang digunakan
Risiko yang mungkin timbul
Manfaat bagi peserta penelitian
Hak untuk mengundurkan diri
Hal-hal lain yang perlu diketahui, mis. penggunaan
bahan biologik sisa, sumber biaya penelitian, manfaat
setelah penelitian selesai, nama dan alamat /telepon
kontak yang bisa dihubungi setiap waktu, dll)
66. Pemahaman PSP
Gunakan bahasa yang jelas & sederhana
Bila perlu pakai bahasa daerah setempat
Gunakan kalimat2 yang singkat
Hindari penggunaan istilah teknis
Jangan memaksa atau terlalu mengecilkan risiko
Jangan membesar-besarkan manfaat
Jawab semua pertanyaan dengan jujur
67. Cara Memberi Persetujuan
Persetujuan harus secara tertulis, khususnya yang
mempunyai risiko lebih dari minimal / tinggi
Persetujuan bagi subyek yang belum dewasa atau
penderita gangguan mental diberikan oleh orang
tua/wali atau kuratornya secara tertulis
Persetujuan masyarakat (mis. Bupati, Lurah)
merupakan tambahan dari persetujuan perorangan
Assent sebaiknya diminta dari peserta umur 13-17 th
68. Inducement
Pemberian rangsangan, insentif, pemikat kepada calon
subyek agar mau ikut penelitian menurut pertimbangan
sendiri.
Orang dapat ikut penelitian karena:
altruisme (ingin membantu/bermanfaat),
mendapatkan pengobatan gratis, menambah
pendapatan, menyenangkan orang lain (peneliti,
penguasa, dokter dll)
69. Inducement wajar
Uang transpor/bensin
Makan pagi, siang, malam, snack
Penggantian kehilangan pendapatan
Pelayanan kesehatan (yang berkaitan dengan
penelitian)
Pengertian indusemen wajar sangat relatif dan perlu
disesuaikan dengan keadaan setempat/mendapat
persetujuan KEPK
70. Indusemen Tidak Wajar
Pemberian uang atau barang yang besar
nilainya sehingga mendorong subyek
mengambil risiko yang sebenarnya ia tidak
kehendaki
Tawaran atraktif yang tidak bisa ditolak
71. Waiver/Peniadaan PSP dapat diberikan bila:
Risiko penelitian minimal (tidak melebihi
pemeriksaan kedokteran/psikologi rutin)
Kesejahteraan/hak peserta dilindungi
Penelitian sulit dilaksanakan tanpa waiver
Informasi yang sesuai tetap diberikan
Mendapat persetujuan komisi etik
72. Pertimbangan Risiko dan Manfaat
Untuk Siapa
Yang terpenting: bagi subyek penelitian
Namun manfaat bagi subyek penelitian dan juga
masyarakat (berupa tambahan pengetahuan) juga
bisa dilakukan
Yang hanya bermanfaat untuk masyarakat saja bisa
dilakukan, tetapi dengan risiko minimal
74. Manfaat
Bagi subyek
Layanan kesehatan gratis (pemeriksaan fisik,
laboratorium, X-ray, dll)
Kemungkinan bahwa obat atau perlakuan yang diteliti
bermanfaat untuk menyembuhkan penyakitnya
Perhatian khusus dari dokter
Bagi orang lain/masyarakat:
Pengetahuan baru
75. Bagaimana meminimalisir risiko?
1. Gunakan metode dengan potensi risiko paling kecil
2. Tetapkan kriteria tersendiri untuk menjaga agar subjek terhindar dari risiko
3. Baca dengan hati-hati dan teliti tentang informasi yang berkaitan dengan
risiko yang berhubungan dengan intervensi
4. Pilihlah percobaan dengan risiko paling kecil atau yang paling sedikit
menyebabkan ketidaknyamanan
76. Berbagai Upaya Mengurangi Risiko pada
Subyek Penelitian
1. Metode penelitian yang baik:
◦ Rationale penelitian
◦ Desain dan metodologi
◦ Kriteria inklusi dan eksklusi
◦ Penghentian keikutsertaan subyek
◦ Terminasi penelitian
◦ Monitoring keamanan
2. Kompetensi/ kualifikasi tim peneliti
77. 3. Persetujuan dari Komisi Etik
4. Fasilitas tempat penelitian
5. Skrining subyek yang baik:
◦ risiko bagi subyek maupun angka drop outs
◦ wanita dalam usia reproduksi pakai kontrasepsi
6. Perhatikan semua risiko potensial:
Fisik, psikologis, sosial
Jangka pendek dan jangka panjang
Selama dan setelah penelitian selesai
Risiko bila kerahasiaan data bocor
78. 7. Mempersiapkan pertolongan bila terjadi efek
samping
Contoh: menyediakan fasilitas resusitasi untuk Uji Klinik
obat fase 1
8. Menghindarkan pemaksaan
Contoh: pemberian honor yang terlalu besar atau honor
yang dibayarkan pada akhir penelitian yang berlangsung
lama
9. Menjaga kerahasiaan data subyek
Bocornya data subyek dapat merusak masa depan
subyek
79. 10. Memberi kebebasan subyek menolak ikut dan
mengundurkan diri dari penelitian
Diperlukan kehati-hatian khusus untuk vulnerable subjects
11. Menghindarkan terjadinya penelitian ulangan
Bila tidak memberikan tambahan informasi baru,
penelitian yang mau menjelaskan sesuatu yang sudah jelas
tidak memberi keseimbangan risk-benefit
12. Mengantisipasi terjadinya efek samping potensial
Untuk penelitian obat, efek samping potensial dapat
diperkirakan a.l. dengan melihat struktur molekulnya, kelas
terapeutiknya, data toksisitas pada hewan coba
80. 13. Pemantauan Adverse Events (AE) yg baik
Tim peneliti harus memahami dengan baik bahwa Adverse
Events tidak sama dengan efek samping karena semua
kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi selama penelitian
digolongkan sebagai AE tanpa memperhatikan ada/tidaknya
hubungan kausal dengan obat uji
81. Deklarasi Helsinki
(amandemen Edinburg, 2000)
Article 13.
“………… Peneliti juga harus menyerahkan
informasi tentang pembiayaan, sponsor, institusi
terkait, konflik kepentingan dan insentif (inducement)
kepada subyek dalam protokol untuk direview oleh
Komisi Etik Penelitian”
82. Subyek dapat diberi kompensasi untuk kehilangan
penghasilannya, biaya perjalanan dan pengeluaran
lain yang berkaitan dengan partisipasinya dalam
penelitian. Dapat berupa uang, pelayanan kesehatan
gratis, dll.
Penggantian uang tersebut tidak boleh terlalu besar
sehingga dapat mempengaruhi keputusan subyek
untuk ikut serta berlawanan dengan kemauan
pribadi yang sebenarnya (undue inducement)
83. Insentif wajar (acceptable recompensate)
uang transport makanan
pengeluaran lain pendidikan/pelatihan
Opportunity cost Pelayanan kesehatan
Insentif tidak wajar (unacceptable recompensate)
Penggantian uang atau barang yang besar yang mendorong
subyek mengambil risiko
Berupa ancaman sehingga menafikan keikutsertaan sukarela
Tawaran atraktif yang tidak bisa ditolak
Mendorong calon subyek agar berbuat yg tidak dikehendaki
84. Pembayaran atau hadiah yang diberikan kepada
subjek harus sebanding dengan risiko yang
ditanggungnya
Pemberian kompensasi harus benar-benar
dievaluasi sesuai dengan adat istiadat lokal tempat
penelitian dilaksanakan