Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
KEBISINGAN
1. LAPORAN PRAKTIKUM
KESEHATAN KERJA LANJUTAN
(PENGUKURAN KEPARAHAN TINGKAT KEBISINGAN TENAGA
KERJA DENGAN METODE AUDIOMETRI)
OLEH :
Firmansyah Ilham Sasmita D. 2440018015
PROGRAM STUDI D-IV KESEHATAN AN KESELAMATAN KERJA
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020
2. LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul praktikum : PENGUKURAN KEPARAHAN TINGKAT
KEBISINGAN TENAGA KERJA DENGAN
METODE AUDIOMETRI
2. Mata kuliah : Kesehatan Kerja Lanjutan
3. Identitas praktikan
a. Nama : Firmansyah Ilham Sasmita D.
b. NIM : 2440018015
4. Identitas dosen
a. Nama : Merry Sunaryo, S.KM., M.KKK
b. NPP : 16021051
Mengetahui,
Dosen
Merry Sunaryo, S.KM., M.KKK
NPP. 16021051
Surabaya, 30 Oktober 2020
Praktikan
Firmansyah Ilham Sasmita D.
NIM. 2440018015
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan industry yang terus
meningkat jelas menggunakan tenaga kerja sebagai unsur utama dalam proses
pengolahan bahan baku material, mesin, peralatan, dan proses lainnya ditempat
kerja guna menghasilkan produk yang berguna bagi masyarakat. Akibat dari
berkembang pesatnya teknologi yang turut mengembangkan pertumbuhan
industry adalah timbulnya masalah kebisingan yang berpengaruh mulai dari
gangguan konsentrasi, komunikasi, dan kenikmatan kerja sampai pada cacat
karena kehilangan daya dengar yang menetap.
Kebisingan tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas kerja tetapi juga
berpengaruh terhadap tenaga kerja (Budiono, 2003). Suara di tempat kerja
berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational hazard) saat
keberadannya dirasakan mengganggu/ tidak diinginkan secara fisik dan psikis
(Tambunan, 2005). Dalam Permenaker No. 13 Tahun 2011 disebutkan bahwa
nilai ambang batas (NAB) yang diperkenankan untuk kebisingan adalah 85 dB
dengan waktu pemapara 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Pengaruh utama kebisingan pada kesehatan yaitu kerusakan kepada
indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif, dan akibat demikian telah
diketahui dan diterima umum untuk berabad – abad lamanya. Dengan
kemampuan upaya hygine perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes), akibat
buruk dari kebisingan kepada alat indera pendengaran boleh dikatakan dapat
dicegah asalkan program konservasi pendengaran (hearing conservation
program) dilaksanakan dengan sebaik – baiknya (Suma’mur, 2009).
Kebisingan dapat mengakibatkan ketulian atau kerusakan indera
pendengaran.Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas mengingat
pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja, dengan mengetahui nilai
kebisingan pada peralatan kerja dan paparan yang diterima oleh pekerja yang
berpengaruh terhadap penurunan daya pendengaran.
4. 1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah :
1. Mengetahui cara pengukuran alat audiometer
2. Menganalisis dampak paparan kebisingan tenaga kerja dengan alat
audiometer
3. Menganalisis pengaruh intensitas kebisingan terhadap kesehatan alat indera
pendengaran tenaga kerja
4. Mengetahui cara membaca hasil audiogram
1.3 MANFAAT
1. Bagi Penulis
Dapat memahami cara pengukuran alat audiometer
Dapat memahami cara membaca hasil audiogram
2. Bagi Pembaca
Menambah wawasan dan memahami tentang dampak paparan
kebisingan dapat mempengaruhi kesehatan alat indera pendengaran
tenaga kerja.
5. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT KERJA
Gangguan pendengaran adalah ketidak mampuan secara parsial atau
total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan
pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai yaitu tuli konduktif, tuli
sensorineural dan tuli campuran. Gangguan pendengaran yang tidak di tangani
memiliki efek negatif psikologi serius pada pekerja yang selalu terpapar bising.
Efek psikologi yang dapat timbul seperti, rasa malu, rasa bersalah dan marah,
perasaan di permalukan, masalah konsentrasi, merasa tidak aman, rasa rendah
diri/rasa percaya diri kurang. Definisi gangguan pendengaran adalah
ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengar suara pada salah
satu kedua telinga. Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan
beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pedengaran ringan
(20-39 dB), gangguan pendengaran sedang (40-69 dB) dan gangguan
pendengaran berat (70-89 dB).
Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran
yang berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya
dalam hal memahami pembicaraan. Secara kasar, gradasi gangguan
pendengaran karena bising itu sendiri dapat ditentukan menggunakan
parameter percakapan sehari-hari sebagai berikut. Gradasi Parameter:
a. Normal: Tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa (6m).
b. Sedang : Kesulitan dalampercakapan sehari-hari mulai jarak >1,5m
c. Menengah: Kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari mulai jarak> 1,5m
d. Berat : Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak >1,5m
e. Sangat berat: Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak <1,5m
f. Tuli total : Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikas
Gangguan pendengaran menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI.
No. Kep. 13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat
Kerja menyatakan bahwa kebisingan adalah semua bunyi yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat
6. kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan bahaya.Berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 13/Men/X/2011, Nilai Ambang
Batas (NAB) kebisingan adalah 85 dBA untuk waktu pajanan 8 jam sehari dan
40 jam seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap tenaga
kerja adalah kebisingan, yang mampu menyebabkan berkurangnya
pendengaran.
2.2 JENIS GANGGUAN PENDENGARAN
Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural,
dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah di
dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran
sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran.
Sedangkan, tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Faktor penyebab gangguan pendengaran adalah otitis media
suppuratif kronik (OMSK), tuli sejak lahir, pemakaian obat ototoksik,
pemaparan bising, dan serumen prop.
a. Gangguan Pendengaran Jenis Konduktif
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara
tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena
beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan
tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak
ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran
nervus vestibulokoklearis (N.VIII). Gejala yang ditemui pada gangguan
pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga
sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak
dengan perubahan posisi kepala.
3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara
lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
7. 5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.
Menurut Lalwani, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada
sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun
keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang
telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat
gangguan pada rantai tulang pendengaran. Pada tes fungsi pendengaran,
yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada
jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada
rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan
menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari
hantaran udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit.
Dengan menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach
memanjang .
b. Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural
Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang
ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara
percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti
suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas
bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan
pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau
percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian
obatobat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya. Pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput
gendang telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes
bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada
jarak lima meter dan sukar mendengar katakata yang mengundang nada
tinggi (huruf konsonan). Pada tes garputala Rinne positif, hantaran
udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi
ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang.
.
8. c. Gangguan Pendengaran Jenis Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan
pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis
sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis
hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut
menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula
gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis
media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya
trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga
dalam. Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen
gejala gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti
pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai
penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan
sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun
nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang
sehat. Schwabach memendek.
2.3 AUDIOMETRI
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar
dan mengukur (uji pendengaran) Audiometri adalah teknik untuk
mengidentifikasi dan menentukan ambang pendengaran seseorang dengan
mengukur sensitivitas pendengarannya menggunakan alat yang disebut
audiometer, sehingga perawatan medis atau salah satu alat bantu dengar yang
tepat dapat diresepkan. Dengan teknik ini, rangsangan pendengaran dengan
taraf intensitas yang berbeda-beda disajikan kepada pasien yang akan
menanggapi rangsangan ini.
Tingkat intensitas minimum rangsangan yang diperoleh dari respon yang
konsisten diambil sebagai ambang pendengaran. Berdasarkan ambang
pendengaran, sensitivitas pendengaran pasien dapat diestimasi dengan
9. mengunakan sebuah audiogram. Sebuah audiogram adalah grafik taraf
intensitas ambang dan frekuensi. Ada berbagai macam prosedur audiometri
yang berbeda-beda tergantung pada rangsangan digunakan, diantaranya adalah
audiometri nada murni dan audiometri tutur.
Audiometer terdiri dari berbagai jenis, tergantung pada rentang frekuensi
,berbagai output akustik, modus penyajian akustik, fasilitas masking, prosedur
yang digunakan, dan jenis stimulus akustik. Audiometer mampu menghasilkan
nada murni pada frekuensi tertentu, taraf intensitas tertentu, dan durasi, baik
tunggal atau gabungan. Sebuah audiometer konvensional terdiri dari tombol-
tombol dengan skala kalibrasi untuk menyeleksi frekuensi nada tingkat tertentu.
Terdapat dua macam audiometer yakni audiometer nada murni dan tutur
1. Audiometer nada murni
Audiometer nada murni adalah suatu alat uji pendengaran dengan
yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi
250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan taraf intensitas
dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui headphone
ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk
menukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara (untuk keluaran
dari headphone) pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan
didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara. Telinga manusia
normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekuensi 20-20.000 Hz.
Frekuensi dari 500- 2000 Hz yang paling penting untuk memahami
percakapan sehari-hari. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran
menurut ISO 1964 (Acceptable audiometric hearing levels) dan ANSI
1969 (Standard Reference Threshold Sound-Pressure Levels for
Audiometers) pada frekuensi nada murni:
a. Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - 25 dB, disebut normal
b. Jika peningkatan ambang dengar antara 26 - 40 dB, disebut tuli
ringan
c. Jika peningkatan ambang dengar antara 41 - 60 dB, disebut tuli
sedang
d. Jika peningkatan ambang dengar antara 61 - 90 dB, disebut tuli berat
10. e. Jika peningkatan ambang dengar > 90 dB, disebut tuli sangat berat
Namun pada penelitian ini, taraf intensitas dari tiap frekuensi
memiliki nilai maksimal yang berbeda. Nilai taraf intensitas maksimal
untuk frekuensi 250 Hz dan 500 Hz sebesar 50 dB, frekuensi 1 kHz dan
2 kHz sebesar 55 dB, frekuensi 4 kHz sebesar 60 dB, sedangkan
frekuensi 8 kHz sebesar 65 dB.
2. Audiometer tutur
Audiometer tutur adalah alat uji pendengaran menggunakan kata-
kata terpilih yang telah dibakukan dan dikaliberasi, untuk mengukur
beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur
hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disini alat uji
pendengaran menggunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada
penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa
melalui mikrofon yang dihubungkan dengan audiometri tutur,
kemudian disalurkan melalui headphone ke telinga yang diperiksa
pendengarannya secara langsung, atau kata-kata direkam terlebih
dahulu dan disimpan di dalam file PC, kemudian diputar kembali dan
disalurkan melalui headphone penderita. Penderita diminta untuk
menebak dan menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar.
Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang ditirukan dengan
benar dari tiap denah pada tiap taraf intensitas. Hasil ini dapat
digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah taraf intensitas
kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah persentase kata-
kata yang ditebak dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui
dua titik penting yaitu:
a. Speech Reception Threshold (SRT) adalah batas minimum
penerimaan percakapan dan bertujuan untuk mengetahui
kemampuan pendengaran penderita dalam mengikuti percakapan
sehari-hari atau disebut validitas sosial. Titik SRT ini diperoleh bila
penderita telah dapat menirukan secara benar 50% dari katakata
yang disajikan. Dengan SRT ini, kita dapat memperoleh gambaran
ketulian secara kuantitatif.
11. b. Speech Discrimination Score (SDS) untuk mengetahui
kemampuan pendengaran penderita dalam membedakan
bermacam-macam kata yang didengar. Normalnya adalah 90%-
100%. Audiometri tutur pada prinsipnya pasien akan mendengar
kata-kata dengan jelas artinya pada taraf intensitas tertentu mulai
terjadi gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan kata-kata
dengan tepat. Interpretasi hasil pemeriksaan Audiometer tutur
untuk SRT :
i. Ringan masih bisa mendengar pada taraf intensitas 20-40 dB
ii. Sedang masih bisa mendengar pada taraf intensitas 40-60 dB
iii. Berat sudah tidak dapat mendengar pada taraf intensitas 60 – 80
dB
iv. Berat sekali tidak dapat mendengar pada taraf intensitas > 80
dB
2.4 CARA PENGUKURAN AUDIOMETRI
1. Konduksi udara (air conduction)
Dilakukan dengan mengenakan perangkat headphone pada saluran
telinga luar (outer ear). Pada f = 250 Hz – 8000 Hz (Hearing Threshold)
2. Konduksi tulang (bone conduction)
Dilakukan dengan meletakkan bone conduction vibrator pada tulang di
belakang telinga, getaran ditangkap oleh saluran pendengaran dalam (inner
ear).
12. BAB III
METODE PELAKSANAAN
A. METODE PELAKSANAAN
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah dengan
mendapatkan materi, Mencari referensi secara mandiri dan dilampirkan di
dalam Laporan secara pribadi
B. WAKTU DAN TEMPAT
Pelaksanaan praktikum ini dimulai pada hari Jumat tanggal 6
November 2020 dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 23.59 WIB. yang
dilaksanakan di Rumah masing masing mahasiswa.
C. ALAT DAN BAHAN
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan praktikum ini
adalah :
1. Alat
a. Gadget (Laptop/Komputer/PC/Tablet/Gawai)
b. Router ( Yang terkoneksi dengan jaringan internet )
2. Bahan
a. Referensi (Artikel/Jurnal/Website)
b. Standarisasi yang terakreditasi ( ISO / ASA )
D. PROSEDUR KERJA
Pertama mahasiswa diperintahkan untuk membuka wesbsite yang
sudah disediakan oleh kampus yaitu e-sorogan lalu mahasiswa masuk ke
dalam website itu dan dibekali sebuah arahan dari dosen yang menggunakan
platform zoom. yang kedua mahasiswa diberikan sebuah wadah tanya jawab
yang mana ketika terdapat sebuah instruksi yang masih belum paham bisa
ditanyakan di forum/ wadah tersebut.
13. Ketiga, mahasiswa diberikan sebuah bentuk format laporan yang sudah
disediakan. Keempat mahasiswa mengerjakan laporan tersebut dengan
prosedur yang sudah di jelaskan pada forum diskusi yang menggunakan
platform zoom. Kelima, ketika sudah mengerjakan laporan mahasiswa.
14. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Pada saat melakukan kegiatan praktikum ini kami menemukan
beberapa hasil data pembacaan alat audiometer dari jurnal yang kami
temukan.
Yang pertama kami menemukan hasil audiogram responden dalam
melakukan analisis system kerja alat audio meter
Pada audiogram diatas, hasil pembacaannya adalah pada standar
ketulian telinga kanan nya adalah 4,2 dB dan telinga kiri 6,67 dB. Dan pada
pengukuran bone telinga kanan dan kiri menunjukkan hasil 0 dB.
15. Pada data kedua ini ditemukan sebuah kasus dimana terdapat salah satu
pasien mengalami penurunan pendengaran sebelah kiri secara tiba-tiba.
Pasien tersebut lalu mengkonsultasikan ke Bagian Kardiologi dengan
Coronary Arterial Disease. Lalu dengan hasil baca audiometri nya sebagai
berikut
Pada saat pasien melakukan pengukuran pertama, hasil pembacaannya
adalah pada intensitas ketulian telinga kanan nya adalah 25 dB dan telinga
kiri 72,5 dB. Dan pada pengukuran bone telinga kanan menunjukkan hasil
12,5 dB dan kiri menunjukkan hasil 23,75 dB.
16. Pada saat pasien melakukan pengukuran kedua, menemukan hasil
intensitas ketulian telinga kanan nya adalah 24 dB dan telinga kiri 69 dB.
Dan pada pengukuran bone telinga kanan menunjukkan hasil 13,75 dB dan
kiri menunjukkan hasil 22,5 dB.
Pada saat pasien melakukan pengukuran ketiga, menemukan hasil
intensitas ketulian telinga kanan nya adalah 22 dB dan telinga kiri 35 dB.
Dan pada pengukuran bone telinga kanan menunjukkan hasil 13,75 dB dan
kiri menunjukkan hasil 16,25 dB.
B. PEMBAHASAN
Setelah mengetahui hasil pengukuran, kami melakukan penentuan
kategori ketuliannya nya dengan menggunakan standar International
Standart Organization (ISO) 1964 dB dengan seperti table dibawah ini
No. Kategori Nilai
1. Normal -10 s/d 26 dB
2. Tuli Ringan 27 s/d 40 dB
3. Tuli Menengah 41 s/d 55 dB
4. Tuli Menengah Berat 55 s/d 70 dB
5. Tuli Berat 71 s/d 90 d/B
Maka dari data pengukuran pertama hasil pembacaannya adalah
No. Parameter Bagian Pengujian Nilai Kategori
17. (dB) ISO 1964
(dB)
1.
Air conduction
Kanan 4,2
-10 s/d 26
dB
Normal
Kiri 6,67
Bone
Conduction
Kanan
0
Kiri
Lalu pada hasil pengukuran data kedua yaitu :
No. Hari ke Parameter Bagian
Pengujian
( dB)
Nilai
ISO
1964
( dB )
Kategori
1. Pertama
Air
conduction
Kanan 25 -10 s/d
26 dB
Normal
Kiri 72,5 71 s/d 90
d/B
Tuli Berat
Bone
conduction
Kanan 12,5 -10 s/d
26 dB
Normal
Kiri 23,75 -10 s/d
26 dB
Normal
2. Kedua
Air
conduction
Kanan 24 -10 s/d
26 dB
Normal
Kiri 69 55 s/d 70
dB
Tuli
Menengah
Berat
18. Bone
conduction
Kanan 13,75 -10 s/d
26 dB
Normal
Kiri 22,5 -10 s/d
26 dB
Normal
3. Ketiga
Air
Conduction
Kanan 22 -10 s/d
26 dB
Normal
Kiri 35 27 s/d 40
dB
Tuli
Ringan
Bone
Conduction
Kanan 13,75 -10 s/d
26 dB
Normal
Kiri 16,25 -10 s/d
26 dB
Normal
Pada data table diatas mengemukakan bahwa pasien tersebut menderita
tuli berat pada saat awal pengukuran di lab lalu hari demi hari pasien tesebut
melakukan pengobatan sehingga tingkat ketulian menjadi berkurang.
19. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kebisingan tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas kerja tetapi juga
berpengaruh terhadap kerja (Budiyono, 2003). Kebisingan termasuk salah faktor
fisika ditempat kerja yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat indera
pendengaran tenaga kerja. Ini dapat dibuktikan secara ilmiah melalui metode
pengukuran audiometri dengan menggunakan audiometer.
Audiometri adalah teknik untuk mengidentifikasi dan menentukan ambang
pendengaran seseorang dengan mengukur sensitivitas pendengarannya
menggunakan alat yang disebut audiometer, sehingga perawatan medis atau
salah satu alat bantu dengar yang tepat dapat diresepkan.
B. SARAN
Adapun saran yang diharapkan dalam masa yang akan datang adalah
kegiatan praktikum ini dapat dilakukan secara offline dan perlu dilakukan secara
periodic sebanyak dua kali dalam setahun.
20. REFERENSI
Andrias Wahyu Listianingrum. 2011. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap
Ambang Dengar Tenaga Kerja Di PT Sekar Bengawan Kabupaten
Karanganyar. Skripsi. Program Studi D-IV Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Bahtiar, Syaiful., Setiawan, Iwan., Isnanto, Rizal. 2003. AUDIOMETER
BERBASIS SOUNDCARD PADA KOMPUTER PRIBADI. Makalah
Seminar Tugas Akhir. Program Studi Teknik Elektro Ekstensi. Universitas
Diponegoro.
Eryani, Yesti Mulia., Wibowo, Catur Ari., Saftarina Fitri. 2017. Faktor Risiko
Terjadinya Gangguan Pendengar Akibat Bising. Lampung. Universitas
Lampung.
Indrayani, Witari., Setiawan, Putra., Saputra, Dwi. 2015. TULI
SENSORINEURAL MENDADAK PASCA KATETERISAI JANTUNG.
Laporan Khusus. Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Kepala Leher. Universitas Udayana.
Noor Amalia Chusna, Haryono Setiyo Huboyo, Pertiwi Andarani. ANALISIS
KEBISINGAN PERALATAN PABRIK TERHADAP DAYA
PENDENGARAN PEKERJA DI PT. PURA BARUTAMA UNIT PM 569
KUDUS. Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 1 (2017). Program Studi
Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Permenaker No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia dan
Fisika di Tempat Kerja
Rantung, Petra S., Palandeng, Ora I., Mengko, Steward I. Gambaran Audiometri
Pada Lansia Di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Senja Cerah
Manado Tahun 2018. Jurnal Medik dan Rehabilitasi (JMR), Volume 1,
Nomor 2, Desember 2018.
Ratrianto, Anton., Zahra, Ajub Ajulian., Darjat. 2013. Perancangan Perangkat
Audiometer Pengukuran Tingkat Derajat Ketulian Menggunakan
Mikronkontroler ATMEGA 8535. Transient, Vol. 2, No.3, September 2013,
ISSN: 2302-9927,835.