1. Outbreak didefinisikan sebagai peningkatan insidensi kasus penyakit yang melebihi ekspektasi normal di suatu area atau kelompok tertentu selama periode waktu tertentu. 2. Tujuan investigasi outbreak adalah mengidentifikasi agen penyebab, cara transmisi, sumber, dan faktor risiko outbreak untuk menghentikan outbreak saat ini dan mencegah outbreak di masa depan. 3. Langkah-langkah investigasi outbreak meliputi identifikasi outbreak, investigasi kasus,
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Investigasi outbreak ppi
1. Bab 6
INVESTIGASI OUTBREAK
DEFINISI
Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi ekspektasi normal
secara mendadak
pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota,
atau institusi yang
tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu periode
waktu tertentu (Gerstman,
1998; Last, 2001; Barreto et al., 2006). Hakikatnya outbreak sama dengan epidemi
(wabah).
Hanya saja terma kata outbreak biasanya digunakan untuk suatu keadaan epidemik
yang terjadi
pada populasi dan area geografis yang relatif terbatas. Area terbatas yang
merupakan tempat
terjadinya outbreak disebut fokus epidemik. Alasan lain penggunaan terma
outbreak sebagai
pengganti epidemi karena kata epidemi atau wabah berkonotasi gawat sehingga
dapat
menimbulkan kepanikan pada masyarakat (Tomes, 2000). Kata epidemi tidak disukai
oleh para
pejabat sebab kejadian epidemi di suatu wilayah dapat menampar muka pejabat yang
bertanggungjawab
di wilayah tersebut. Karena itu biasanya terma epidemi atau wabah diganti dengan
terma
yang lebih halus, yaitu “outbreak“ atau “kejadian luar biasa“ (extra-ordinary
events), disingkat KLB.
Bahkan dalam bahasa Inggris juga dikenal kata yang lebih eufemistik (halus)
daripada outbreak, yaitu
“upsurge“ yang berarti peningkatan suatu kejadian peristiwa secara tiba-tiba.
Gambar 6.1 menyajikan outbreak (epidemi) penyakit sebagai suatu fungsi dari
waktu. Untuk
penyakit infeksi akut, misalnya kolera, epidemi bisa terjadi dalam tempo
beberapa hari. Tetapi untuk
penyakit kronis, misalnya kanker paru, epidemi bisa terjadi dalam tempo beberapa
tahun atau
dekade (Greenberg et al., 2005). Jika jumlah agen infeksi (misalnya, parasit)
menurun drastis pasca
epidemi, sehingga jumlah kasus menurun, keadaan itu disebut epidemic fadeout.
Gambar 6.1 Timbulnya epidemi penyakit dengan berlangsungnya
waktu (Sumber: Greenberg et al., 2005)
Dalam menentukan outbreak/ epidemi perlu batasan yang jelas tentang komunitas,
daerah,
dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat dikatakan outbreak/ epidemi,
jumlah kasus
tidak harus luar biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa banyak
dalam arti relatif,
ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa yang lalu, disebut tingkat
endemis
(Greenberg et al., 2005). Segelintir kasus bisa merupakan epidemi jika muncul
pada kelompok,
tempat, dan waktu yang tidak biasa. Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah
lama absen
(misalnya, variola), atau pertama kali invasi di suatu populasi dan wilayah
(misalnya, HIV/ AIDS),
dapat dikatakan epidemi, dan otoritas kesehatan dapat mulai melakukan
2. penyelidikan dan
pengendalian terhadap epidemi itu (Last, 2001).
Konsep epidemi berlaku untuk penyakit infeksi, penyakit non-infeksi, perilaku
kesehatan,
maupun peristiwa kesehatan lainnya, misalnya epidemi kolera, epidemi SARS,
epidemi gizi buruk
anak balita, epidemi merokok, epidemi stroke, epidemi Ca paru, dan sebagainya
(Gerstman, 1998;
Last, 2001; Greenberg et al., 2005; Barreto et al., 2006). Contoh, tahun 1981 di
Los Angeles dite
3. mukan di kalangan pria homoseksual sejumlah kasus (disebut “cluster“) radang
paru langka, yaitu
“pneumonia pneumocystis carinii“ (kini pneumocystis jiroveci pneumonia). Meski
hanya menyangkut
segelintir kasus (rare events), peristiwa itu merupakan peristiwa luar biasa
(extra-ordinary
events) yang dapat disebut epidemi, karena belum pernah dijumpai sebelumnya.
Penyakit itu lalu
dikenal sebagai AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome).
Outbreak terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara penjamu, agen, dan
lingkungan: (1)
Keberadaan patogen (agen yang menimbulkan penyakit) dalam jumlah cukup untuk
menjangkiti
sejumlah individu; (2) Terdapat modus transmisi patogen yang cocok kepada
individu-individu
rentan; (3) Terdapat jumlah yang cukup individu-individu rentan yang terpapar
oleh patogen
(Greenberg et al., 2005).
ALASAN MELAKUKAN INVESTIGASI OUTBREAK
Jika terjadi outbreak maka pihak berwewenang melakukan investigasi outbreak
secara retrospektif
dan/ atau prospektif (apabila outbreak masih berlangsung) dengan alasan: (1)
Mencegah bertambahnya
kasus dari outbreak sekarang; (2) Mencegah outbreak di masa mendatang, dengan
cara
memperbaiki program kesehatan, sistem surveilans, dan sistem kesehatan; (3)
Menerapkan sistem
surveilans (investigasi outbreak merupakan bagian dari sistem surveilans); (4)
Mempelajari penyakit
baru; (5) Mempelajari aspek baru dari penyakit lama; (6) Memberi keyakinan
kepada publik bahwa
telah diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi outbreak, agar
tidak terjadi situasi
panik; (7) Minimalisasi disrupsi ekonomi dan sosial akibat outbreak; (8)
Mengajarkan apa dan bagaimana
epidemiologi (karena sesungguhnya investigasi outbreak merupakan “prototipe“
epidemiologi,
mencakup epidemiologi deskriptif, epidemiologi analitik, dan penerapan hasil
studi untuk mengendalikan
dan mencegah penyakit).
TUJUAN INVESTIGASI OUTBREAK
Intinya, investigasi outbreak dilakukan untuk dua tujuan: (1) Mengetahui
penyebab outbreak; (2)
Menyetop outbreak sekarang dan mencegah outbreak di masa mendatang (Greenberg et
al., 2005).
Tujuan khusus investigasi outbreak adalah mengidentifikasi: (1) Agen kausa
outbreak; (2) Cara
transmisi; (3) Sumber outbreak; (4) Carrier; (5) Populasi berisiko; (6) Paparan
yang menyebabkan
penyakit (faktor risiko).
LANGKAH-LANGKAH INVESTIGASI OUTBREAK
Tabel 6.1 menyajikan 7 langkah investigasi outbreak. Perhatikan, jumlah langkah
dan sekuensi
investigasi outbreak bisa bervariasi, tetapi intinya mencakup prinsip seperti
disajikan Tabel 6.1.
4. Tabel 5.1 Langkah-langkah investigasi outbreak
1 Identifikasi outbreak
2 Investigasi kasus
3 Investigasi kausa
4 Langkah pencegahan dan pengendalian
5
Studi analitik (jika perlu)
6
Komunikasikan temuan
7
Evaluasi dan teruskan surveilans
Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai sedini mungkin
(do early)
setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi outbreak telah
memberikan fakta yang
jelas mendukung hipotesis tentang kausa outbreak, sumber agen infeksi, dan cara
transmisi yang
menyebabkan outbreak, maka upaya pengendalian dapat segera dimulai tanpa perlu
menunggu
pengujian hipotesis oleh studi analitik yang lebih formal.
2
5. 1. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada
ekspektasi normal
di di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu, selama suatu periode waktu
tertentu. Informasi
tentang potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu
laporan pasien
(kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi
informasi tentang
potensi outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data
surveilans, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar
dan televisi).
Hakikatnya outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan rata-rata
insidensi
yang konstan dan melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak ditentukan
dengan cara
membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya
di masa lalu
(minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang masih berada dalam
“ekspektasi normal“ bersifat
arbitrer, tergantung dari tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi
kesehatan masyarakat di
masa yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan dapat
menggunakan mean+3SD
sebagai batas untuk menentukan keadaan outbreak. Batas mean+/-3SD lazim
digunakan dalam
biostatistik untuk menentukan observasi ekstrim yang disebut “outlier“ (Duffy
dan Jacobsen, 2001),
jadi suatu kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/ outbreak.
Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan surveilans
dinas
kesehatan; (2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit; (3) Catatan
morbiditas dan
mortalitas di puskesmas; (4) Catatan praktik dokter, bidan, perawat; (5) Catatan
morbiditas upaya
kesehatan sekolah (UKS).
Contoh 1, salah satu bakteria yang paling sering menyebabkan klaster penyakit
adalah
Escherechia coli O157:H7. Andaikan Juni 2007 terdapat 52 kasus Escherichia coli.
Data jumlah kasus
per bulan dalam setahun terakhir disajikan Gambar 6.2. Apakah terjadi outbreak?
Jawab: Dari data
dapat dihitung Mean= 14.3. SD= 5.7. Mean+3SD= 14.3* 3(5.7)= 31.4. Pada Juni 2007
terdapat 52
0102030405060JJASONDJFMAMJBulan dan tahunJumlah
kasuskasus, lebih banyak daripada ekspektasi normal= 31.4 kasus. Jadi Juni 2007
terjadi outbreak E. coli.
2006 2007
Gambar 6.2 Outbreak kasus Escherichia coli O157:H7
Contoh 2, Juni 2006 di Tangerang (Indonesia) dilaporkan kasus flu yang
menjangkiti sebuah
keluarga. Dalam tempo dua minggu 8 anggota keluarga menunjukkan gejala klinis
infeksi flu burung,
mencakup demam, batuk, sakit tenggorok, nyeri otot. Beberapa di antaranya
menunjukkan gejala
lebih berat, yaitu infeksi mata, pneumonia, distres pernapasan akut. Hapusan
6. mukosa hidung dan
tenggorok diambil oleh petugas DepKes beberapa hari setelah timbul gejala klinis
dan dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan kultur. Hasilnya menunjukkan terdapat virus H5N1.
Apakah telah
terjadi outbreak? Ya. Kenaikan sebesar 8 kasus flu burung dalam contoh di atas
menunjukkan tengah
terjadi outbreak. Kenaikan lebih dari dua kasus baru penyakit pada populasi di
suatu tempat yang
sebelumnya tidak pernah ada kasus dapat dikatakan outbreak (Last, 2001).
3
7. Perhatian, kenaikan jumlah kasus saja belum tentu mengisyaratkan outbreak.
Terdapat
sejumlah faktor yang bisa menyebabkan jumlah kasus “tampak“ meningkat: (1)
Variasi musim
(misalnya, diare meningkat pada musim kemarau ketika air bersih langka) (2)
Perubahan dalam
pelaporan kasus; (3) Perubahan definisi kasus (makin inklusif, makin banyak
jumlah kasus); (4) Perbaikan
dalam prosedur diagnostik (makin sensitif, makin banyak jumlah kasus); (5)
Kesalahan diagnosis
(misalnya, kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium); (6) Peningkatan kesadaran
petugas kesehatan
(meningkatkan intensitas pelaporan); (7) Media yang memberikan informasi bias
dari sumber yang
tidak benar (menimbulkan “false alert“).
Terjadinya outbreak dan teridentifikasinya sumber dan kausa outbreak perlu
ditanggapi
dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah kasus sehingga disebut
outbreak, maka pihak
dinas kesehatan yang berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan
investigasi
outbreak. Sejumlah faktor mempengaruhi dilakukan atau tidaknya investigasi
outbreak: (1)
Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar; (3) Pertimbangan politis; (4)
Perhatian dan
tekanan dari masyarakat; (5) Ketersediaan sumber daya. Beberapa penyakit
menimbulkan manifestasi
klinis ringan dan akan berhenti dengan sendirinya (self-limiting diseases),
misalnya flu biasa.
Implikasinya, tidak perlu dilakukan investigasi outbreak maupun tindakan
spesifik terhadap
outbreak, kecuali kewaspadaan. Tetapi outbreak lainnya akan terus berlangsung
jika tidak ditanggapi
dengan langkah pengendalian yang tepat. Sejumlah penyakit lain menunjukkan
virulensi tinggi,
mengakibatkan manifestasi klinis berat dan fatal, misalnya flu burung.
Implikasinya, sistem
kesehatan perlu melakukan investigasi outbreak dan mengambil langkah-langkah
segera dan tepat
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut penyakit itu.
2. Investigasi kasus
DEFINISI KASUS Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan
telah didiagnosis
dengan benar (valid). Peneliti outbreak mendefinisikan kasus dengan menggunakan
seperangkat
kriteria sebagai berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2)
Kriteria epidemiologis (karakteristik
orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak); (3) Kriteria
laboratorium (hasil
kultur dan waktu pemeriksaan) (Bres, 1986).
Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam. Definisi kasus
yang baku
dan seragam penting untuk memastikan bahwa setiap kasus didiagnosis dengan cara
yang sama,
konsisten, tidak tergantung pada siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di
mana dan kapan
kasus tersebut terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya
perbandingan jumlah
kasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang
terjadi di waktu
8. atau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat
dibandingkan jumlah kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan
jumlah kasus
pada Februari 2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus
DBD yang terjadi
pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di Jakarta.
Dengan definisi
kasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah kasus maka merupakan
perbedaan yang
sesungguhnya, bukan karena perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan
definisi
kasus seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan
pertukaran informasi
tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional.
Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami penyakit
akan
dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat
ketidakpastian diagnosis, kasus
dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic
case), (2) kasus mungkin
(probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite
case). Tabel 6.2
menyajikan klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan klinis, epidemiologis,
dan laboratoris.
4
9. Tabel 6.2 Klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan klinis, epidemiologis,
dan
laboratoris
6.2 Klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan klinis, epidemiologis, dan
laboratoris
Klasifikasi kasus Kriteria
Kasus suspek
(suspected case,
syndromis case)
Kasus mungkin
(probable case,
presumptive case)
Kasus pasti
(confirmed case,
definite case)
Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit, terdapat bukti
epidemiologi, tetapi tidak terdapat bukti laboratorium yang
menunjukkan tengah atau telah terjadi infeksi (bukti
laboratorium negatif, tidak ada, atau belum ada)
Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit, terdapat bukti
epidemiologis, terdapat bukti laboratorium yang mengarah
tetapi belum pasti, yang menunjukkan tengah atau telah terjadi
infeksi (misalnya, bukti dari sebuah tes serologis tunggal)
Terdapat bukti pasti laboratorium (serologis, biokimia,
bakteriologis, virologis, parasitologis) bahwa tengah atau telah
terjadi infeksi, dengan atau tanpa kehadiran tanda, gejala klinis,
atau bukti epidemiologis
Sumber: Bres (1986)
Klasifikasi kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi
seiring dengan
adanya tambahan informasi baru tentang sumber, modus transmisi, agen etiologi.
Tabel 6.3
menyajikan contoh definisi kasus kolera menurut WHO.
Tabel 6.3 Definisi kasus kolera menurut WHO
KOLERA
Deskripsi kasus klinis
Pada area tidak terdapat penyakit kolera:
.
Dehidrasi berat atau kematian karena diare cair akut pada seorang pasien berusia
5 tahun atau lebih
Pada area endemis kolera:
.
Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah pada seorang pasien berusia 5 tahun
atau lebih
Pada area epidemi kolera:
.
Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah, pada pasien
Kriteria laboratorium untuk diagnosis:
Isolasi Vibrio cholera O1 atau O139 dari tinja pada pasien dengan diare.
Klasifikasi kasus
Kasus suspek (suspect case): Kasus yang memenuhi definisi kasus klinis
Kasus mungkin (probable case): Tidak berlaku
10. Kasus pasti (confirmed case): Kasus suspek yang dikonfirmasi dengan hasil tes
laboratorium
Catatan:
Kolera tidak terjadi pada anak balita. Memasukkan semua kasus diare cair akut
pada kelompok usia 2-4 tahun
ke dalam pelaporan akan menurunkan spesifisitas pelaporan (banyak positif
palsu). Untk keperluan
manajemen kasus diare cair akut di area epidemi kolera, semua pasien dengan
diare cair akut hendaknya
diklasifikasikan sebagai kasus suspek. Hanya kasus pasti yang harus dilaporkan
kepada WHO.
Sumber: WHO, 1999
Klasifikasi kasus (yang berbeda tingkat kepastiannya tersebut) memungkinkan
dilakukannya
upaya untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pelaporan. Kasus suspek
bersifat sensitif
tetapi kurang spesifik, dengan tujuan mengurangi negatif palsu. Kasus mungkin
dan kasus pasti
bersifat lebih sensitif dan lebih spesifik daripada kasus suspek, dengan tujuan
mengurangi positif
palsu. Petugas kesehatan di tingkat pelayanan primer minimal harus mampu
mendiagnosis kasus
suspek. Tergantung fasilitas laboratorium dan jenis penyakit, petugas kesehatan
di tingkat pelayanan
primer pada umumnya hanya mampu mendiagnosis kasus suspek atau kasus mungkin.
Tetapi untuk
penyakit tertentu, sebagian puskesmas dapat mendiagnosis kasus pasti, misalnya
malaria dan
tuberkulosis paru. Demikian pula pada umumnya fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder (RS) yang
5
11. memiliki fasilitas laboratorium mampu mendiagnosis kasus pasti. Tetapi untuk
penyakit tertentu,
misalnya kasus infeksi H5N1, hanya rumah sakit tertentu mampu mendiagnosis kasus
pasti..
PENEMUAN KASUS Kasus pertama yang dilaporkan (kasus indeks) belum tentu sama
dengan kasus
primer, yaitu kasus pertama dalam komunitas. Kasus pertama yang datang ke
fasilitas pelayanan
kesehatan biasanya hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh jumlah kasus yang
ada ( tip of the�
iceberg , puncak gunung es). Karena itu, setelah mendefinisikan kasus, langkah�
investigasi
selanjutnya adalah mencari kasus (case finding). Tujuan penemuan kasus: (1)
Mengetahui luas
outbreak; (2) Mengetahui populasi berisiko; (3) Mengidentifikasi kasus sekunder
(kemungkinan
penyebaran dari orang ke orang); (4) Mengidentifikasi sumber-sumber infeksi; (5)
Mengidentifikasi
kontak dengan kasus terinfeksi.
Untuk menemukan kasus-kasus lainnya, peneliti outbreak dianjurkan untuk
menggunakan
sebanyak mungkin sumber informasi: (1) Surveilans aktif dan survei khusus (para
peneliti dikirimkan
ke daerah yang terkena outbreak untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang
kondisi-kondisi
spesifik tertentu dari pelapor potensial, dokter, rumah sakit, sekolah, dan
lain-lain); (2) Surveilans
pasif (mengandalkan laporan rutin oleh petugas kesehatan tentang penyakit-
penyakit yang harus
dilaporkan); (3) Pengembangan informasi kasus yang diperoleh dari media (berita
yang dilansir
media ditanggapi dengan mengecek kasus di lapangan).
3. Investigasi kausa
WAWANCARA DENGAN KASUS Intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan nara sumber
terkait
kasus adalah untuk menemukan kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan
formulir
baku, peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan
wawancara dan dokumentasi
untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama, alamat, nomer
telepon jika
ada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber,
paparan, dan kausa; (4)
Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus,
catat tanggal onset gejala
untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6)
Pelapor
(berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi).
Pemeriksaan klinis
ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis
dengan benar
(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium).
Informasi tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam
tabel outbreak (=line listing). Dalam tabel outbreak, variabel-variabel� �
tentang informasi kasus
diletakkan pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar
informasi tentang kasus
yang dicatat dalam tabel outbreak berguna untuk merumuskan teori/ hipotesis
12. tentang sumber,
kausa, dan cara penyebaran penyakit.
EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF. Tujuan epidemiologi deskriptif adalah mendeskripsikan
frekuensi dan
pola penyakit pada populasi menurut karakteristik orang, tempat, dan waktu.
Dengan menghitung
jumlah kasus, menganalisis waktu, incidence rate, dan risiko, peneliti outbreak
mendeskripsikan
distribusi kasus menurut orang, tempat, dan waktu, menggambar kurva epidemi,
mendeskripsikan
kecenderungan (trends) kasus sepanjang waktu, luasnya daerah outbreak, dan
populasi yang
terkena outbreak. Dengan epidemiologi deskriptif peneliti outbreak bisa
mendapatkan menduga
kausa dan sumber outbreak.
Tabulasi. Langkah pertama, peneliti mendeskripsikan data epidemi menurut
karakteristik orang
(kasus). Peneliti mempelajari perbedaan risiko kelompok-kelompok populasi yang
terkena outbreak
berdasarkan karakteristik umur, gender, ras, pekerjaan, kelas sosial, status
kesehatan, dan sebagainya.
Distribusi risiko (dengan kata lain, Attack Rate) berbagai kelompok ditampilkan
dalam tabel.
6
13. Tanggal
Jumlah
kasus
Jumlah
kasus
Kurva epidemi. Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan data outbreak menurut
waktu, dengan
membuat kurva epidemi. Kurva epidemi adalah grafik yang menghubungkan tanggal
onset atau
masa inkubasi penyakit pada sumbu X dan jumlah kasus penyakit pada sumbu Y.
Manfaat kurva
epidemi: (1) Memberikan petunjuk tentang agen infeksi dan masa inkubasi; (2)
Mengisyaratkan
besarnya masalah dan perjalanan waktu outbreak; (3) Menunjukkan pola penyebaran
(yakni, sumber
bersama, kontinu, atau propagasi); (4) Menunjukkan posisi populasi berisiko
dalam perjalanan waktu
epidemi; (5) Dapat dilakukan stratifikasi menurut tempat (tempat tinggal, tempat
kerja, sekolah),
atau karakteristik individu (umur, gender, ras, dan sebagainya), sehingga
memungkinkan peneliti
untuk mempelajari variasi onset menurut tempat dan karakteristik orang; (6)
Membantu peneliti
dalam melakukan monitoring dan evaluasi; (7) Memberikan petunjuk tambahan
(misalnya, adanya
outlier).
Dalam menganalisis sebuah kurva epidemi, faktor-faktor berikut perlu
diperhatikan untuk
membantu menafsirkan outbreak: (1) pola keseluruhan epidemi; (2) periode waktu
orang terpapar;
(3) keberadaan outlier.
Dengan menggunakan kurva epidemi dapat dilihat pola penyebaran patogen, sehingga
dapat
dibedakan 3 jenis utama outbreak: (1) Common-source outbreak (point-source
outbreak), (2) Continual-
source outbreak, dan (3) Propagated (person-to-person, progressive) outbreak.
Gambar 6.3
menyajikan kurva epidemi sebuah common-source outbreak, ditandai oleh
peningkatan jumlah
kasus dengan tajam, lalu menurun perlahan-lahan.
Gambar 6.3 Common-source outbreak
Common source outbreak terjadi jika agen penyebab ditularkan kepada orang-orang
yang
terjangkit dari sumber yang sama pada saat yang sama, selama periode waktu yang
terbatas
(pendek), biasanya selama satu masa inkubasi, biasanya terjadi pada satu tempat.
Bentuk kurva ini
umumnya meningkat dengan tajam dan memiliki puncak yang tegas, disusul dengan
penurunan
secara gradual. Kadang-kadang, sejumlah kasus tampak seperti gelombang yang
menyusul sumber
titik selama satu masa inkubasi atau interval waktu. Penularan ini disebut point
source with
secondary transmission �
sumber titik dengan penularan sekunder .
Contoh: sekelompok tamu yang menghadiri kenduri di suatu desa dan dengan waktu
bersamaan menyantap makanan yang terkontaminasi patogen (misalnya, tempe
bongkrek yang
14. mengandung aflatoksin), lalu jatuh sakit, maka dapat terjadi common-source
outbreak. Pada umumnya
outbreak karena makanan (foodborne disease outbreak) merupakan point-source
outbreak,
sebab paparan patogen terjadi pada waktu yang sama dan berlangsung selama
periode waktu yang
terbatas (singkat). Gambar 6.4 menunjukkan outbreak penyakit gastro-intestinal
akibat kontaminasi
makanan dari sebuah paparan tunggal. Meskipun ada dua buah outlier pada data,
tetapi kurva
epidemi dengan jelas menunjukkan sebuah outbreak selama periode waktu yang
terbatas, dan
bentuk kurva yang mencerminkan karakteristik paparan dari sebuah sumber tunggal.
7
15. Jumlah
kasus
Waktu onset
Puncak
Peningkatan
tajam
Kasus
Gambar 6.4 Kasus penyakit gastro-intestinal karena makanan
menurut waktu onset (dimulainya gejala klinis)
Continual-source outbreak terjadi jika sumber outbreak terus terkontaminasi,
individu
rentan terus terpapar sumber tersebut, sehingga penularan terus berlangsung.
Paparan terhadap
sumber infeksi yang berkepanjangan bisa berlangsung lebih dari satu masa
inkubasi. Gambar 6.5
menyajikan kurva epidemi continual-source outbreak, dengan karakteristik
peningkatan kasus secara
gradual lalu mendatar.
Tanggal onset
Gambar 6.5 Continual-source outbreak
Gambar 6.6 menyajikan contoh terkenal outbreak kolera di London yang diselidiki
oleh
Bapak Epidemiologi John Snow. Kolera menyebar dari sumber air minum selama� �
periode waktu
yang panjang. Perhatikan bahwa umumnya masa inkubasi kolera adalah 1-3 hari.
Tetapi karena
Tanggal onset
Sumber outbreak
disingkirkan tanggal
8 September
Oktober
Kasus
penduduk di kota itu terus-menerus menggunakan air yang terkontaminasi, maka
durasi outbreak
terjadi selama lebih dari sebulan.
Gambar 6.6 Kasus kolera menurut tanggal onset
8
16. Tanggal onset
Mei JuniMaret
Beberapa
puncak
Kasus
indeks
Kasus
kasus yang meningkat secara eksponensial (deret ukur). Campak terjadi karena
kontak orang ke
orang, dengan masa inkubasi rata-rata 10 hari (7-18 hari).
Tanggal onset
Mei JuniMaret
Beberapa
puncak
Kasus
indeks
Kasus
kasus yang meningkat secara eksponensial (deret ukur). Campak terjadi karena
kontak orang ke
orang, dengan masa inkubasi rata-rata 10 hari (7-18 hari).
Propagated (person-to-person, progressive) outbreak terjadi jika sebuah kasus
penyakit
berperan sebagai sumber infeksi bagi kasus-kasus berikutnya, dan kasus-kasus
berikutnya berperan
sebagai sumber infeksi bagi kasus berikutnya lagi, bisa terjadi pada berbagai
tempat. Gambar 6.7
menyajikan kurva epidemi person-to-person outbreak. Bentuk kurva terdiri dari
sejumlah puncak,
dipisahkan oleh masa inkubasi, mencerminkan jumlah kasus yang meningkat melalui
kontak orang
ke orang, hingga tidak terdapat lagi orang yang rentan atau dimulainya upaya
pengendalian.
.
Tanggal onset
Jumlah
kasus
Gambar 6.7 Propagation (person-to-person) outbreak
(Sumber: Giesecke, 2002)
Gambar 6.8 menyajikan contoh infeksi campak yang mengakibatkan propagated
outbreak
dengan penularan dari anak ke anak. Gambar 8 menunjukkan sebuah kasus indeks
disusul sejumlah
Gambar 6.8 Kasus campak menurut tanggal onset
Mengapa perlu menggambar kurva epidemi? Kurva epidemi berguna untuk
memperkirakan
tanggal paparan dan masa inkubasi dari penyakit yang diduga sebagai kausa
outbreak. Dalam
epidemiologi penyakit infeksi, masa inkubasi adalah interval waktu sejak patogen
melakukan infeksi
hingga onset gejala dan tanda klinis. Penyakit yang berbeda mempunyai masa
inkubasi yang berbeda.
Tetapi masa inkubasi sebuah penyakit tidak persis, sehingga biasanya disajikan
dalam rata-rata,
serta kisaran minimum dan maksimum.
Masa inkubasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor: (1) Waktu yang diperlukan
patogen untuk
melakukan replikasi dan mencapai critical mass klinis penyakit ( ciritcal� � �
17. mass adalah koleksi�
patogen dalam jumlah yang cukup banyak untuk dapat menimbulkan manifestasi
klinis penyakit;
makin pendek waktu menuju critical mass , makin pendek masa inkubasi);(2)� �
Tempat dalam tubuh
bagi patogen untuk mereplikasi (patogen masuk ke dalam tubuh melalui portal of�
entry dan masuk�
ke dalam sel melalui cell entry ;makin mudah mencari tempat replikasi, makin� �
pendek masa inkubasi);(
3) Dosis patogen (agen infeksi) yang diterima saat infeksi (makin besar� �
dosis patogen, makin
pendek masa inkubasi). Gambar 6.9 dengan jelas memberikan informasi tentang
sumber outbreak.
Pertama, penyakit yang menyebabkan outbreak memiliki sumber yang sama (common-
source
9
18. outbreak). Masa inkubasi, yaitu saat pertama kali terpapar oleh patogen yang
berasal dari suatu
sumber patogen hingga dimulai tanda dan gejala klinis, berkisar antara 14 hingga
21 hari, dengan
rata-rata 18 hari. Masa inkubasi terpendek adalah 14 hari, yaitu waktu sejak
pertama kali terpapar
oleh sumber patogen hingga terjadinya kasus primer. Masa inkubasi terpanjang
adalah 21 hari, yaitu
waktu sejak pertama kali terpapar oleh sumber patogen hingga terjadinya kasus
terakhir. Sedang
waktu rata-rata adalah 18 hari, yaitu waktu sejak pertama kali terpapar sumber
patogen hingga
puncak kasus.
Maksimum inkubasi = 21 hari
Puncak
Rata-rata waktu inkubasi = 18 hari
Kemungkinanwaktu
paparan
Minimum inkubasi = 14 hari
Gambar 6.9 Memperkirakan tanggal paparan dan masa inkubasi
Spot map. Langkah ketiga, peneliti mendeskripsikan karakteristik data epidemi
menurut karakteristik
tempat, biasanya dalam bentuk peta lokasi, disebut spot map. Spot map memberikan
informasi
tentang luas daerah geografis yang terkena, lokasi kasus, sumber outbreak,
tempat-tempat berisiko.
Dengan spot map dapat dideskripsikan kedekatan (klaster) kasus dengan sumber-
sumber yang dapat
tercemar oleh patogen/ agen infeksi, seperti suplai air minum, restauran, dapur
umum, tempat
penampungan pengungsi, ruang sekolah, tempat kerja, dan sebagainya.
.
Gambar 6.10 Spot map tentang daerah terkena, lokasi
kasus, dan sumber outbreak
Kasus pasti
Kasus mungkin
Peternakan sapi
Sumber air minum
Sungai
Merawu
Sungai
Sapi
Contoh, Gambar 6.10 menyajikan data hipotetis (perumpamaan) yang dideskripsikan
ke
dalam sebuah spot map tentang outbreak diare Juni-Juli 2007 di kecamatan
Mojosongo, kabupaten
10
19. Boyolali (Jawa Tengah). Spot map memeragakan letak klaster diare yang berdekatan
dengan sumber
air minum dan kelompok peternakan sapi, sehingga menimbulkan hipotesis bahwa
limbah kotoran
dari peternakan sapi telah mencemari sumber air minum penduduk kecamatan
tersebut
Merumuskan hipotesis Pada tahap ini penyelidik outbreak dapat merumuskan
hipotesis tentang
kausa dan sumber outbreak dengan lebih akurat daripada hipotesis yang ada pada
benak peneliti
ketika memulai investigasi outbreak. Hipotesis tersebut menyatakan patogen/ agen
infeksi, sumber
patogen/ agen infeksi, modus transmisi, dan paparan yang berhubungan dengan
penyakit. Hipotesis
dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat diuji. Tetapi tidak jarang fakta yang
ditemukan telah
begitu mencolok mata mendukung hipotesis (hati-hati!...mata jangan sampai
tercolok), sehingga
pengujian hipotesis dengan studi epidemiologi analitik yang lebih formal tidak
diperlukan.
4. Melakukan pencegahan dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata tentang
kausa, sumber, dan
cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak
perlu melakukan studi
analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin
besar peluang
keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit upaya
pengendalian,
makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin sedikit kasus baru yang
bisa dicegah.
Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1)
Mengeliminasi sumber
patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan
(Greenberg et al., 2005;
Aragon et al., 2007). Sedang eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi
atau inaktivasi patogen;
(2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3)
Pengurangan kontak
antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi (karantina kontak,
isolasi kasus, dan sebagainya);
(4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak
daging
dengan benar, dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus.
Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan pelindung
perseorangan
(masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/ sinar
ultraviolet; (3) Pertukaran
udara/ dilusi; (4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara;
(5) Pengendalian
vektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes
aegypti,
penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).
Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1) Vaksinasi; (2)
Pengobatan
(profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar
( reverse isolation );(4)� �
Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
20. 5. Melakukan studi analitik (jika perlu)
Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki
menyangkut sejumlah
kandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari investigasi kasus dan
investigasi kausa kadang
belum memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi itu
yang terjadi,
maka peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Desain yang
digunakan lazimnya
adalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif. Seperti desain studi
epidemiologi analitik
lainnya, studi analitik untuk investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan
penelitian; (2) signifikansi
penelitian; (3) desain studi; (4) subjek; (5) variabel-variabel; (6) pendekatan
analisis data; (7)
interpretasi dan kesimpulan.
Contoh, 75 orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah desa. Terdapat 5
jenis
makanan dihidangkan. Esok harinya mulai berjatuhan sejumlah kasus penyakit,
sehingga disimpulkan
terjadi outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease). Makanan mana
dari ke 4
jenis tersebut yang mengandung agen kausal dan merupakan penyebab outbreak?
Karena sebagian
besar kasus telah terjadi, maka peneliti melakukan studi kohor retrospektif
untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Data yang dikumpulkan disajikan dalam Tabel 6.4.
11
21. Tabel 6.4 Mengidentifikasi kausa outbreak, dengan menghitung Risiko Relatif (RR)
hasil
dari studi kohor retrospektif
6.4 Mengidentifikasi kausa outbreak, dengan menghitung Risiko Relatif (RR) hasil
dari studi kohor retrospektif
Makan Tidak makan
Jenis Sakit Sehat Total Attack Sakit Sehat Total Attack RR
maka Rate Rate
nan (%) (%)
A 29 17 46 63 17 12 29 59 1.07
B 26 17 43 60 20 12 32 62 0.97
C 16 7 23 70 30 22 52 58 1.21
D 2 2 4 50 44 27 71 62 0.81
E 43 11 54 80 3 18 21 14 5.71
Penyebab outbreak dapat dianalisis dengan tabulasi silang untuk menghitung
Risiko Relatif
(RR dan CI95%) untuk studi kohor, dan Odds Ratio (OR dan CI95%) untuk studi
kasus kontrol. Dalam
contoh kasus ini, peneliti melakukan studi kohor retrospektif, sehingga analisis
data dilakukan
dengan menghitung RR untuk masing-masing jenis makanan. Prinsipnya, jenis
makanan dengan RR
(atau OR) tertinggi merupakan penyebab outbreak yang paling mungkin.
Tabel 16.3 dengan jelas menunjukkan jenis makanan E memiliki RR tertinggi
(5.71). Artinya,
makan jenis makanan E meningkatkan risiko penyakit sebesar 5.7 kali daripada
tidak makan jenis
makanan itu. Dengan RR tertinggi, maka dapat disimpulkan jenis makanan E adalah
penyebab
outbreak paling mungkin. Perhatikan analisis tentang risiko relatif dilakukan
untuk masing-masing
jenis makanan secara terpisah. Dengan kata lain, Tabel 16.3 tidak menganalisis
kemungkinan interaksi
antar jenis makanan. Interaksi (modikasi efek) adalah pengubahan efek paparan
sebuah faktor
terhadap penyakit menurut tingkat paparan faktor lain yang disebut effect
modifier (pengubah
efek).
Modifikasi efek adalah efek bersama (joint effect) antara dua atau lebih
variabel terhadap
suatu variabel dependen yang membuat efek masing-masing variabel independen itu
jika hadir
bersama berbeda dengan efek variabel independen itu jika hadir sendiri-sendiri.
Jika memungkinkan,
peneliti outbreak hendaknya menganalisis kemungkinan modifikasi efek. Sebagai
contoh, jika jenis
makanan C berinteraksi dengan jenis makanan E, sehingga memperkuat pengaruh E
terhadap
terjadinya gejala klinis penyakit, maka dalam rangka pencegahan outbreak di masa
mendatang,
kombinasi kedua jenis makanan tersebut perlu dihindari untuk mengurangi beratnya
gejala klinis
kasus.
6. Mengkomunikasikan temuan
Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada berbagai pihak
pemangku
kepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat rincian yang bervariasi, pihak-
22. pihak yang perlu
diberitahu tentang hasil penyelidikan outbreak mencakup pejabat kesehatan
masyarakat setempat,
pejabat pembuat kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas
pelayanan
kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga kasus, tokoh
masyarakat, dan media.
Penyajian hasil investigasi dilakukan secara lisan maupun tertulis (laporan awal
dan laporan akhir).
Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada penyajian hasil
investigasi
outbreak. Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa yang jelas, objektif dan
ilmiah, dengan
kesimpulan dan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Peneliti outbreak memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim, terdiri
dari: (1)
introduksi, (2) latar belakang, (3) metode, (4) hasil-hasil, (5) pembahasan, (6)
kesimpulan, dan (7)
rekomendasi. Laporan tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian,
catatan kinerja
sistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang
berguna jika terjadi
situasi serupa di masa mendatang.
12
23. 7. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan
peneliti outbreak perlu
melakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan program
maupun defisiensi
infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan
dilakukannya perubahanperubahan
yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk
surveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan identifikasi populasi-
populasi yang
terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan strategi intervensi, mutasi agen
infeksi, ataupun peristiwaperistiwa
yang terjadi di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap
kejadian
outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari kekurangan-
kekurangan
dalam investigasi outbreak yang telah dilakukan, dan kelemahan-kelemahan dalam
sistem
kesehatan, untuk diperbaiki secara sistematis di masa mendatang, sehingga dapat
mencegah
terulangnya outbreak.
REFERENSI
Arag n T, Enanoria W, Reingold A (2007). Conducting an outbreak investigation�
in 7 steps (or less).
Center for Infectious Disease Preparedness, UC Berkeley School of Public Health.
http://www.idready.org. Diakses Juli 2007.
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for
quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Bres P (1986). Public health action in emergencies caused by epidemics: a
practical guide. Geneva:
World Health Organization.
Calain P (2006). Exploring the international arena of global public health
surveillance. Health Policy
and Planning 2007;22:2 12�
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2002). Glossary of
epdemiologic terms. Centers
for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA. www.cdc.gov/excite/ glossary.
htm
____ (1996). Comprehensive plan for epidemiologic surveillance. Atlanta, GA:
Centers for Diseases
Control.
____ (1992). Principles of epidemiology: an introduction to applied epidemiology
and biostatistics.
2nd ed. Atlanta (GA):U.S. Dept. of Health and Human Services.
____ (1990). Guidelines for investigating clusters of health events. MMWR,
39(RR-11): 1-15.
DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003, tentang
pedoman
penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit
tidak menular
terpadu. Jakarta: DepKes RI.
24. DeSalle R (2007). The natural history of infectious disease. American Museum of
Natural History.
www.amnh.org/exhibitions/epidemic/. Diakses Juni 2007.
Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara
Hazard Munro (ed.):
Statistical methods for health care research. Philadelphia, PA: Lippincott.
Folland S, Goodman AC, Stano S (2001). The economics of health and health care.
Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall, Inc.
Gerstman, BB (1998). Epidemiology kept simple: An introduction to classic and
modern
epidemiology. New York: Wiley-Liss, Inc.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
GreenbergRS, Daniels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
epidemiology. New York:
Lange Medical Books/ McGraw-Hill.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD:
The Johns Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Hornby AS (2003). Oxford advanced Learner s Dictionary of current English. New�
York: Oxford
University Press.
Langmuir AD (1976). William Farr: Founder of modern concepts of surveillance.
Int J Epidemiol, 5:
13
25. 13-18
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University
Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA,
Gesteland PH,
Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004).
Implementing
syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am
Med Inform
Assoc., 11:141 150.�
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V,
Rodier G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its
application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com
Monto AS (2005). The threat of an avian influenza pandemic. The New England
Journal of Medicine,
352 (4): 323-325
Morton RF, Hebel JR, McCarter RJ (1990). A study guide to epidemiology and
biostatistics. Rockville,
MD: Aspen Publishers.
Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif di bidang
kesehatan. Yogyakarta: UGM Press.
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by syndromic� �
surveillance systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl
1): i107i114(
1).
Rothman KJ (1990). A sobering start for the cluster buster s conference. Am J�
Epidemiol, 132 (Suppl.
No. 1): S6-S13.
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ,
Howard K (2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing
data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.
Tapla-Conyer R, Kuri-Morales P, Gonzalez-Urban L, Sarti E (2001). Evolution and
reform of Mexican
National Epidemiological Surveillance System. Am J Public Health, 91 (11): 1758-
1760.
Thacker SB, Choi K, Brachman PS (1983). The surveillance of infectious diseases.
JAMA, 249: 1181-85
Tollman SM, Zwi AB (2000). Health system reform and the role of field sites
based upon
demographic and health surveillance. Bull World Health Organization, 78(1): 125-
134
Tomes N (2000). The making of a germ panic, then and now. Am J Public
Health;90:191 198.�
26. WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly
epidemiological
record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
_____ (2007). WHO case definitions for human infections with influenza A(H5N1)
virus.www.who.int/csr/disease/avian_influenza/. Diakses Juli 2007.
Wikipedia (2007). AIDS. http://en.wikipedia.org/wiki/AIDS
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of
the infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of
surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3
http://www.biomedcentral.com.
14