MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Gcg
1. GCG
EXECUTIVE SUMMARY KONVENSI NASIONAL IKAI
EFEKTIFITAS MEKANISME OVERSIGHT OLEH KOMISARIS DAN KOMITE AUDIT DALAM STRUKTUR
GOVERNANCE DI INDONESIA
(Oleh IKAI )
Sebagai salah satu pilar tegaknya corporate governance, komite audit diharapkan berfungsi sebagai
penghubung antara Komisaris dan Direksi, karena masih banyak ditemui Komisaris yang diberikan
posisi karena jabatannya di Departemen terkait, sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman
yang bersangkutan atas perannya sebagai Komisaris.
Good corporate governance merupakan suatu hal yang menjadi keharusan di Indonesia, mengingat
buruknya persepsi dunia luar terhadap Indonesia dan tingginya ekspektasi terhadap perusahaan
publik dan BUMN untuk menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Diakui atau tidak, sampai dengan saat ini kesan bahwa good corporate governance hanya sekedar
retorika masih kental terasa. Namun demikian hal ini seharusnya tidak dianggap sebagai penghalang,
namun dapat dijadikan pemacu untuk memotivasi seluruh organ perusahan dalam mengusung
semangat good corporate governance.
Bicara mengenai good corporate governance, sudah barang tentu dimulai dengan struktur
governance. Berasal dari kata latin gubernare, governance berarti to steer, mengendalikan,
memberikan arahan, layaknya seorang nakhoda kapal. Dengan kata lain, siapapun yang menjadi
pelaku dalam struktur governance, adalah seseorang atau badan yang mampu memberikan arahan
dan mengendalikan perusahaan agar tetap dikelola berdasarkan visi dan misi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Struktur governance di Indonesia yang menganut two tier system, merupakan sistem yang berasal
dari Eropa Continental, dimana pada sistem ini dibedakan fungsi pengambil kebijakan dan fungsi
pengawasan. Fungsi pengambil kebijakan dijalankan oleh Dewan Direksi, sedangkan fungsi
pengawasan dijalankan oleh Dewan Komisaris.
Perbedaan mendasar antara one-tier dan two-tier adalah pada sistem one-tier tidak jelas siapa yang
menjalankan fungsi pengawasan, karena yang ada hanya fungsi pengambil kebijakan yang dijalankan
oleh Chairman dan fungsi pelaksana kebijakan yang dijalankan oleh CEO.
Diakui bersama bahwa masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelemahan yang
terjadi di Indonesia adalah mengenai fungsi pengawasan. Secara struktur, fungsi pengawasan sudah
2. sangat jelas, begitu juga organ yang menjalankannya, yaitu Dewan Komisaris beserta komite-komite
dibawahnya. Namun demikian pemahaman terhadap cara mengawasi yang masih harus
ditingkatkan.
Kelemahan inilah yang diharapkan dapat diisi oleh komite audit. Sebagai organ pendorong
tercapainya efektifitas Dewan Komisaris, komite audit diharapkan mampu memberikan insight dan
pengawasan yang komprehensif atas hal-hal yang terkait dengan financial reporting, internal
control, risk management dan corporate governance.
Sebagai salah satu pilar tegaknya corporate governance, komite audit diharapkan berfungsi sebagai
penghubung antara Komisaris dan Direksi, karena masih banyak ditemui Komisaris yang diberikan
posisi karena jabatannya di Departemen terkait, sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman
yang bersangkutan atas perannya sebagai Komisaris.
Beberapa kendala dan tantangan yang sering muncul dan dihadapi dalam upaya untuk
meningkatkan efektifitas mekanisme oversight yang dijalankan oleh Komisaris dan Komite audit
adalah sebagai berikut :
Pertama, adalah landasan hukum. Di dalam UU PT disebutkan bahwa fungsi Komisaris adalah untuk
mengawasi kebijakan Direksi. Sedangkan di dalam UU BUMN disebutkan untuk mengawasi direksi
dalam kepengurusan perusahaan. Hal ini dapat menimbulkan interpretasi yang sangat bertolak
belakang. UU PT menekankan kepada pengawasan atas kebijakan, sedangkan UU BUMN
menekankan kepada pengawasan atas Direksinya (individunya). Tidak mustahil apabila Komisaris
mengalami kebingungan dalam menjalankan perannya.
Kedua, adalah gap di dalam implementasi good corporate governance di Indonesia.
Ketiga, adalah mengenai pelaporan. Sebagai organ yang diharapkan dapat menjalankan fungsi
oversight, Komisaris sangat mengandalkan laporan dari manajemen dengan kualitas, kecepatan dan
ketepatan yang tidak diragukan. Namun pada kenyataannya, laporan yang diterima seringkali kurang
berkualitas, tidak tepat waktu dan tidak akurat. Hal ini menyebabkan semuanya bersifat proforma
yang mengakibatkan tidak tercapainya efektifitas pengawasan.
Keempat, adalah tidak jelasnya pembagian tugas diantara anggota Dewan Komisaris. Ketidakjelasan
ini bisa mengakibatkan terjadinya perbedaan/variasi yang sangat lebar atas keaktifan dan kehadiran
Komisaris.
Kelima, adalah persepsi yang salah mengenai kedudukan Komisaris. Fungsi oversight, yang berarti
melihat dari atas, seringkali diartikan Komisaris memiliki kedudukan di atas Direksi, padahal
3. sebenarnya tidak demikian. Di mata pemegang saham, kedudukan keduanya sama (sejajar), hanya
saja keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Dewan Komisaris melakukan pengawasan, sedangkan
Direksi melakukan eksekusi (pelaksanaan). Kerancuan juga terjadi akibat kesalahan menerjemahkan
pengendalian, sehingga dianggap bahwa pengendalian adalah pengawasan. Pengendalian adalah
tugas Direksi, sebagaimana tercantum dalam teori manajemen, POAC (Planning, Organizing,
Actuating and Control), dimana control adalah pengendalian. Perbedaan mendasar antara
pengawasan dan pengendalian adalah pengawasan dapat dilakukan secara periodik (berkala)
sedangkan pengendalian harus dilakukan setiap saat.
Keenam, adalah tidak adanya database calon Komisaris yang disertai track record secara
komprehensif. Hal ini menyebabkan sulitnya mencari dan menjaring calon Komisaris yang kompeten
untuk mengisi suatu posisi Komisaris yang sedang kosong.
Ketujuh, adalah kurangnya pemahaman mengenai akar permasalahan perusahaan dan good
corporate governance dari pemegang saham (khususnya di BUMN). Keadaan ini mengakibatkan
tidak adanya arahan strategis yang jelas untuk pengembangan perusahaan bagi Komisaris di dalam
menjalankan fungsi pengawasannya.
Kedelapan, adalah belum seragamnya kriteria seorang Komisaris, sehingga berdampak pada
keberagaman kompetensi seorang Komisaris. Hal ini berdampak kepada kontribusi Komisaris
tersebut kepada perusahaan, yang secara tidak langsung berdampak kepada kurangnya
penghargaan (recognition) dari Direksi kepada Komisaris.
Kesembilan, adalah respons yang kurang memadai dari Dewan Komisaris atas laporan yang
disampaikan oleh Komite Audit. Hal ini menimbulkan rasa inferioritas bagi Komite Audit dan
berdampak pada kinerja yang dihasilkan.
Beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh pembicara maupun peserta Konvensi terkait dengan
upaya untuk meningkatkan efektifitas mekanisme oversight yang dijalankan oleh Komisaris dan
Komite audit adalah sebagai berikut :
ĉ Perlu sosialisasi good corporate governance bagi principal (pemegang saham).
ĉ Membangun kesadaran (awareness) Board akan pentingnya keberadaan dan nilai tambah dari
Komite-
komite dibawahnya (mis. Komite Audit, dan lain-lain).
ĉ Perlu penyamaan visi dan misi perusahaan bagi Board (Direksi dan Komisaris) dengan Tujuan
untuk
menciptakan nilai yang sama bagi perusahaan.
4. ĉ Perumusan code of conduct (pedoman perilaku) bagi Komisaris dan Komite Audit.
ƒâ Melakukan cascading process ¡V komsistensi di dalam menerapkan good corporate governance
dari atas
dan penularannya ke setiap level manajemen sampai ke yang terbawah.
ĉ Pengaturan tata cara mekanisme hubungan antara Dewan Komisaris dan Direksi.
ĉ Perumusan kompetensi Komisaris dan Komite Audit melalui fit and proper dan tolok ukur yang
jelas.
ĉ Pengaturan yang jelas mengenai tata hubungan lintas komite di bawah Dewan Komisaris.
ĉ Melakukan program orientasi industri dan bisnis perusahaan dan pelatihan bagi Board.
ĉ Perumusan kompetensi SPI/internal audit melalui fit and proper dan tolok ukur yang jelas.
ĉ Membangun manual (pedoman kerja) bagi komite audit.
ĉ Merumuskan standar remunerasi bagi Komite Audit yang mampu menciptakan iklim yang
kondusif bagi kinerja Komite Audit.
Sebagai benang merah dari keseluruhan diskusi pada Konvensi ini, ditarik suatu kesimpulan bahwa
efektifitas mekanisme oversight di Indonesia dapat dicapai melalui 3 (tiga) unsur utama, yaitu
pembangunan sistem yang menunjang, budaya yang kondusif dan yang terpenting adalah aspek
manusianya. Dalam sistem yang belum sempurna dan budaya yang belum mendukung seperti
kondisi Indonesia, profil yang tepat dari seorang Komisaris dan Komite Audit pada kenyataannya
mampu memaksimalkan efektifitas mekanisme fungsi oversight.
Profil Komisaris dan Komite Audit yang dipandang mampu menjadi pendorong terciptanya efektifitas
mekanisme oversight, setidaknya harus memenuhi 3 hal di bawah ini, yaitu :
Pertama adalah individu yang tepat, dengan mempertimbangkan integritas, kompetensi dan sikap
yang sesuai dengan kriteria seorang Komisaris dan Komite Audit yang diharapkan dapat menjalankan
fungsi pengawasan secara efektif.
Kedua adalah kemampuan untuk bertindak (power to act). Komisaris dan Komite Audit harus berani
melakukan dan menyatakan sesuatu yang dianggapnya benar, sesuai dengan koridor tugas dan
tanggung jawabnya.
Keempat, adalah kemampuan dan kemauan untuk bertanya dan menanyakan sesuatu. Bersikap
kritis merupakan persyaratan bagi Komisaris dan Komite Audit agar mampu mendeteksi
kemungkinan terjadinya penyimpangan lebih dini.