2. Kompetensi Dasar
• Menghayati kebenaran hukum Islam yang
dihasilkan melalui penerapan kaidah pokok fikih
yang kelima
• Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh
sebagai implementasi dari pengetahuan tentang
kaidah pokok fikih al-‘adatu muhakkamah
• Menganalisis kaidah pokok fikih al-‘adatu
muhakkamah
• Menyajikan contoh penerapan kaidah pokok fikih al-
‘adatu muhakkamah dalam kasus kehidupan baik
terkait ibadah maupun muamalah
3. Tujuan Pembelajaran
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih al ‘adatu muhakkamah
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih al ‘adatu muhakkamah
7. Menganalisis kaidah pokok fikih al ‘adatu muhakkamah
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah al ‘adatu muhakkamah
4. Definisi
Kaidah ushul fikih kelima adalah al ‘adatu muhakkamah,
artinya dalam suatu kebiasaan, adat, culture, local
wisdom bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum
selama tidak ada dalil dari syari’ khusus untuk selain
ibadah mahdhah (formal).
Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Rasullullah Saw sendiri pernah suatu ketika dalam keadaan
tertentu menetapkan adat kebiasaan masyarakat setempat
di madinah sebagai dasar untuk membuat kebijakan
hukum khususnya dalam masalah mu’amalah (interaksi
sosial) bukan masalah ibadah mahdhah (formal).
Kalimat al ‘adatu secara bahasa artinya kebiasaan yang
baik, sedangkan kalimat al muhakkamah artinya bisa
dijadikan sandaran hukum, dasar pertimbangan sebuah
kebijakan
5. Dasar Hukum
ِ
ذُخ
َِوْفَعْال
ِْرُمْأ َو
ِ
ف ْرُعْالب
ِْ
ضرْعَأ َو
ِ
َع
ِ
ن
َِينلاهَجْال
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh” (Q.S Al A’raf (7):199)
ِ
ِللاَدْنِع َوُهَفِاًنَسَحَِن ْوُملْسُملْاُِهاَءَاِرَم
ِْوُملْسُمِالُهاَءَاِرَم َِوٌنَسَحِ
ِ َوُهَفِاًئْيَسَِن
ِللاَدْنع
ِ
ٌءْيَس
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa
saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
6. Al ‘adatu muhakkamah bisa dijadikan pedoman,
sandaran, dan dasar kebijakan
hukum ketika memenuhi enam syarat, yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan syara’, seperti kebiasaan sebagian masyarakat
yang hoby berjudi, minum minuman yang memabukkan, ngrumpi (ghibah,
gosip) hal ini tidak bisa dijadikan sandaran hukum karena jelas
bertentangan dengan syara’.
2. Tidak menyebabkan mafsadah (keadaan yang buruk) serta menghilangkan
maslahāh (kebaikan secara umum), seperti kebiasaan sebagian masyarakat
yang membuka aurat baik laki-laki atau perempuan ini tidak bisa dijadikan
sandaran hukum karena jelas bertentangan dengan syara’
3. Sudah berlaku secara umum di kalangan kaum muslimin, seperti kebiasaan
masyarakat Indonesia yang melakukan tradisi serahan dalam acara
pernikahan
7. Al ‘adatu muhakkamah bisa dijadikan pedoman,
sandaran, dan dasar kebijakan
hukum ketika memenuhi enam syarat, yaitu:
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah (formal).
5. Kebiasaan tersebut sudah memasyarakat saat akan ditetapkan
sebagai salah satu pedoman hukum, contoh seperti kebiasaan
masyarakat lamaran pra-nikah bisa dijadikan sandaran hukum
diperbolehkan sesuai dengan adat masing-masing selama tidak
melenceng dari syari’ah.
6. Tidak bertentangan dengan suatu hal yang sudah ada penjelasan
yang bisa dipertanggungjawabkan,
8. 1
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
اَهِبُلَمَعِالُبجَيٌِةَّجُحِاسَّنِالُلاَمْعتْسا
• “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
• Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di
masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.
• Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli
mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir
diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
9. 2
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِ
َبَلَغِوَاِ ْتَدَرَطْضاِاَذِاُةَداَعِالُرَبَتْعُتِاَمَّنا
ِْت
• “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang
terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
• Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima
sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering
berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat
(salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar
hokum.
• Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke
rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang
tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
10. 3
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِ
رادَّنلِلَالِعاِئَّشِالبَالغِللُة َْربالع
• “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
• Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
ِ
رادَّناِالِبَالاِدَتْعُماِلِبُمْكُحال
• “Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang
terjadi”
• Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak
ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan
mahar berdasarkan pada kebiasaan.
11. 4
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِط ْوُرْشَمْالَكِاَف ْرُعِ ُف ْوُرْعَمال
اًط َْرش
• “Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan
dengan suatu syarat”
• Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah
mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
• Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak
jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan
maka para ulama membolehkannya.
12. 5
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِ ُف ْوُرْعَمْال
ِْوُرْشَمْالَكِارَّجُتَِْنيَب
ِط
ِ
ْمُهَنْيَب
• “Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku
sebagai syarat di antara mereka”
• Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti
disyaratkan dalam transaksi.
• Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli.
Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk
biaya angkutan ke lokasi pembeli.
13. 6
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِ
ْييْعَّتالَكِف ْرُعْلِباُْنييْعَّتال
صَّنالِبن
• “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
• Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan
telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka
kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang
didasarkan pada nash.
• Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah
memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan,
anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk
yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
14. 7
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
َِعنَتْمُمْالَكًِةَداَعُِعَنَتْمُمال
ِ
قَح
ِ
ًةَقْي
• “ Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti
yang tidak berlaku dalam kenyataan”
• Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak
mungkin terjadi dalam kenyataannya.
• Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang
itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul
tanah tersebut.
15. 8
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِةَلَالَدِبُكَرْتُتُِةَقْيقَحال
ِ
َعال
ِ
ةَدا
• “Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan
karena ada petunjuk arti menurut adat”
• Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata
sudah menyerahkan uang muka, maka
berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah
terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa
membatalkan jual belinya meskipun harga batu
bata naik.
16. 9
Kaidah Minor dari Kaidah al ‘adatu muhakkamah
ِ
ْفَلِالنْذاالَكِف ْرُعِالُنْذاال
ىظ
• “Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama
dengan pemberian izin menurut ucapan”
• Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan
untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan,
maka tamu boleh memakannya, sebab menurut
kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti
mempersilahkannya.