1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari Hukum Islam, tentunya kita akan membahas tentang
Kaidah-kaidah yang terdapat didalamnya. Pastinya didalam membahas
kaidah-kaidah hukum islam kita akan membahas tentang bagaimana
hukum positif itu dipandang didalam hukum islam, dan hukum positif
itu sendiri didalam hukum islam disebut dengan Hukum Wadh’i. Yang
merupakan hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai suatu
sebab lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain, atau sebagai
penghalang sesuatu perbuatan hukum.
Dan juga hukum yang disyari’atkan dalam kondisi tertentu maupun
sejak semula dan yang benar dan salah dari suatu perbuatan hukum.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu hukum wadh’i ?
b. Apa saja pembagiannya ?
c. Bagaimana pembagian hukum wadh’i tersebut ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah kaidah-kaidah hukum Islam ini ialah
sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umumnya tentang hukum
Islam, dan khususnya adalah untuk mengetahui sebab, syarat,
penghalang, Rukhsah dan Azimah dan ashshihah dan al-buthalan. Diluar
hal tersebut juga sebagai pelengkap tugas dari mata kuliah Kaidah-
kaidah Hukum Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi
orang mukallaf.1
Contoh yang menghendaki meletakkan pembunuhan
terhadap seseorang yang terbunuh (dalam peperangan) sebagai sebab
dalam memiliki hak untuk merampas. Dan yang menghendaki
kesanggupan menempuh perjalanan ke Baitullah adalah syarat bagi
kewajiban hajinya orang tersebut. Dan juga yang menghendaki menjadi
pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskannya sebagai
penghalang pewarisannya.2
B. Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i terbagi kedalam lima bagian. Karena berdasarkan
penelitian (istiqro’) tlah ditetapkan, bahwa hukum wadh’i adakalanya
menghendaki sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai
syarat, atau sebagai penghalang, atau sebagai sesuatu yang
memperkenankan keringanan (rukhshah), atau sebagai ganti hukum
ketetapan pertama (Azimah), atau sebagai yang shahih dan atau yang
tidak shahih.3
Dengan demikian hukum wadh’i dibagi sebagai berikut :
1. Sebab
Sebab adalah sesuatu yang tampak dan jelas yang dijadikan oleh
hukum Islam sebagai penentu adanya hukum.4
Dan dijadikan pertanda
atas sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, dan menghubungkan
1
Zainuddin Ali., Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2006,
hal 56.
2
Abd. Wahab Khallaf., Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta:Rajawali Pers, cetakan ke-8,
2002, hal 154-155.
3
Ibid., hal 178.
4
Zainuddin., Op.Cit., hal 57.
2. 3
adanya akibat lantaran adanya sebab, dan ketiadaan akibat lantaran
ketiadaan sebab. Oleh karena itu, lantaran adanya sebab, wajib ada
akibat. Dan ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat. Jadi,
“sebab” ialah hal yang nyata dan pasti, yang dijadikan oleh syar’i
sebagai pertanda atas hukum syara’ yang merupakan akibatnya, dan
karena itu, adanya sebab mewajibkan adanya akibat. Dan ketiadaan
sebab mewajibkan ketiadaan akibat.5
a. Macam-macam sebab
a) Dilihat dari segi kemampuan mukallaf mewujudkannya, maka
sebab terbagi kepada dua macam, yaitu : Pertama, sebab yang
bukan perbuatan mukallaf dan ia tidak mampu untuk
mewujudkannya. Apabila sebab ini terwujud, meka berlakulah
hukum. Dalam hal ini, syar’i yang menentukan ada atau tidak
adanya hukum tersebut. Misalnya, tergelincir matahari sebagai
sebab wajib shalat zuhur, datangnya Ramadhan sebagai sebab
wajibnya puasa Ramadhan, dan keadaan darurat sebagai sebab
bolehnya memakan bangkai. Kedua, sebab yang merupakan
perbuatan mukallaf dan mukallaf mampu mewujudkannya.
Misalnya melakukan perjalanan sebagai sebab untuk bolehnya
berbuka puasa di siang hari pada bulan Ramadhan, pembunuhan
yang dilakukan secara sengaja menjadi sebab dikenakan
hukuman qishash dan akad transaksi jual beli menjadi sebab
perpindahan milik dari penjual kepada sang pembeli.
b) Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sebab terbagi menjadi
dua macam, yaitu : Pertama, sebab yang berpengaruh terhadap
hukum taklifi, seperti melakukan perjalanan menjadi sebab
bolehnya berbuka puasa pada siang hari di bulan Ramadhan dan
harta yang sampai senisab menjadi sebab wajib zakat. Kedua,
sebab terhadap suatu hukum berpengaruh terhadap perbuatan
5
Abd. Wahhab., Loc. Cit.
4
mukallaf, seperti akad jual beli menjadi sebab perpindahan milik
dari penjual kepada pembeli, ikrar wakaf menjadi sebab
hilangnya kepemilikan benda yang diwakafkan dari tangan orang
yang berwakaf dan akad nikah menjadi sebab halal hubungan
suami istri.6
b. Perbedaan antara Sebab dan ‘Illat
Abdul-Karim Zaidan menjelaskan antara perbedaan dan persamaan
sebab dan ‘illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi
adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama, antara tanda
(sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabab) mempunyai hubungan
logis, dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara
keduanya, dan bentuk kedua, hubungan diantara keduanya tidak bisa
ditelusuri dengan akal pikiran. Bentuk pertama, disamping disebutkan
sebagai sebab, juga disebut ‘illat, sedangkan yang kedua hanya disebut
sebab.7
2. Syarat
Syarat ialah sesuatu, yang ada atau tidak adanya hukum tergantung
ada dan tidaknya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu itu,
ialah adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh
(atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum.8
Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat sahnya shalat dalam arti
adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan
wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat.
Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad
nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan
antara syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi
ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya
6
Amir Syarifah., Ushul Fiqh, Jakarta:Zikrul Hakim, 2004, hal 249.
7
Satria Efendi., Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, Cetakan ke-4, 2012, hal 63.
8
Abd. Wahhab., Op.Cit., hal 180.
3. 5
terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti
dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat suatu ibadah.
Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat, dan
keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat.9
a. Macam-macam syarat
a) Dilihat dari sumber yang menentukan syarat, maka syarat terbagi
kepada dua maca, yaitu : Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang
langsung dari syar’i (ALLAH), keadaan rusyd (kemampuan
untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak mubazir) bagi
seorang anak yatim dijadikan syari’at sebagai syarat untuk wajib
menyerahkan harta warisan kepadanya. Syarat Ja’Ly, yaitu
syarat yang berasal dari kemauan mukallaf. Misalnya, syarat
yang ditetapkan oleh orang-orang yang melakukan transaksi
pemilikan dan pemindahan hak. Syarat bentuk kedua ini harus
sejalan dengan syara’.
b) Dilihat dari hubungan sebab dengan mussabab, maka syarat
terbagi menjadi dua macam, yaitu : Pertama, Syarat yang
menyempurnakan sebab, seperti melakukan dengan sengaja yang
disertai dengan permusuhan menjadi syarat untuk pembunuhan
yang menyebabkan berlaku hukum qishash bagi pembunuhnya.
Begitu pula terpeliharanya harta yang dicuri menjadi syarat
terhadap pencurian yang menyebabkan berlakunya hukum
potong tangan bagi pelaku pencurian. Kedua, Syarat yang
menyempurnakan musabbah, seperti meninggal muwwaris
(orang yang mewariskan) secara hakiki atau secara hukum dan
hidupnya ahli waris ketika wafat muwarris adalah dua syarat
untuk berlakunya kewarisannya melalui hubungan kerabat dan
perkawinan.10
9
Satria Efendi., Op.Cit, hal 64-65.
10
Amir Syarifah., Op.Cit, hal 252.
6
3. Penghalang (Mani’)
Mani’ adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menghalangi
perbuatan hukum yang lain. Adanya man’i mengakibatkan perbuatan
hukum yang lain tidak dapat dijalankan.11
Terkadang sebab menurut
syara’ telah nyata dan telah sempurna syarat-syaratnya, tetapi disana
terdapat mani’ yang menghalangi tertib hukum atasnya, seperti adanya
hubungan suami istri yang sah, atau kekerabatan, tetapi disana terhalang
timbulnya pewarisan dari salah satunya, seperti perbedaan agama
pewaris dengan yang diwarisi, atau pembunuhan yang dilakukan oleh
pewaris atas yang diwarisinya.12
Maka mani’ itu adalah dalam istilah ulama Ushul (ushuliyun) ialah
sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah nyata dan syarat telah
sempurna,dan menghalangi timbulnya akibat atas sebabnya. Jadi
ketiadaan syarat itu menurut istilah mereka tidak disebut mani’,
sekalipun dapat menghalangi timbulnya akibat atas sebab.13
a. Macam-macam mani’
a) Para ahli ushul fiqh membagi man’i kepada beberapa macam,
yaitu : Pertama, Man’i Al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan
syar’i sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, kondisi haid
yang terdapat pada seorang wanita yang telah mukallaf
ditetapkan syar’i sebagai penghalang untuk melaksanakan shalat.
Kedua, Man’i al-sabab, yaitu sesuatu yang keberadaannya
menghalangi berfungsinya suatu sebab. Misalnya, apabila
seseorang memiliki harta sampai satu nisab menjadi sebab ia
wajib mengeluarkan zakat hartanya. Namun, bila pemilik harta
mempunyai banyak hutang yang harus segera ia bayarkan dan
11
Zainuddin Ali., Op.Cit, hal 57.
12
Abd. Wahhab.,Op.Cit, hal 183.
13
Ibid., hal 184.
4. 7
dengan membayar tadi hutang tersebut mengurangi jumlah harta
sehingga tidak sampai lagi hitungannya satu nisab, maka hutang
tersebut dipandang sebagai man’i (penghalang) bagi wajib zakat
harta yang dimilikinya. Dengan berhutang tersebut,
menghilangkan predikat yang bersangkutan sebagai orang
kaya.14
b) Sedangkan Khudari Beik, mengatakan bahwa ulama Hanaffiyah
membagi man’i menjadi lima macam, yaitu : Pertama, Man’i
yang menghalangi berlakunya sabab, seperti akad atau transaksi
jual beli yang tidak ada objeknya. Kedua, Man’i yang
menghalangi sempurnanya sabab bagi seseorang yang berada
sebagai pihak ketiga di luar akad, seperti halnya jual beli milik
orang lain. Pada prinsipnya, jual beli atas nama orang lain boleh
dilakukan, tetapi akad tersebut belum sempurna sehingga ada
persetujuan dari orang yang menjadi pemiliknya. Ketiga, Man’i
yang menghalangi sejak permulaan hukum, seperti khiyar syarat
jual beli menjadi man’i bagi pembeli untuk memiliki barang
sampai terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli secara
sempurna. Keempat, Man’i yang menghalangi sempurna hukum,
seperti al-ru’yah dalam jual beli dalam hal ini, jual beli belum
dipandang sempurna sebelum barang yang dibeli dilihat terlebih
dahulu oleh pembeli. Orang yang memiliki hak khiyar ini
memungkinkan membatalkan jual beli apabila ia tidak dapat
melihat barang yang akan dibeli. Kelima, Man’i yang
menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti khiyar al-aibi
(cacat) dalam jual beli. Adanya khiyar al-aibi dalam jual beli
memberikan kepastian hukum secara sempurna bagi pembeli
untuk memiliki barang yang telah dibelinya. Apabila pembeli
menemukan cacat pada barang yang dibeli setelah akad jual beli
14
Amir Syarifah., Op.Cit, hal. 255
8
berlangsung ia tidak dapat membatalkan jual beli kecuali ada
perjanjian kedua belah pihak terhadap hal tersebut.15
4. Rukhsah dan Azimah
“Rukhsah” ialah hukum keringanan yang telah disyari’atkan oleh
Allah SWT. atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang
menghendaki keringanan. Atau, sesuatu yang telah disyari’atkan oleh
Allah SWT. karena uzur kesulitan dalam kondisi-kondisi tertentu, atau
membolehkan yang dilarang karena adanya dalil, sekalipun dalil
larangan itu tetap berlaku. Sedangkan “Azimah” ialah hukum-hukum
umu yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. sejak semula, yang tidak
dikhususkan oleh kondisi dan mukallaf.16
a. Macam-macam Rukhsah
Diantara rukhsah itu adakalanya yang membolehkan larangan ketika
adanya darurat atau kebutuhan (hajat). Barang siapa dipaksakan untuk
mengucapkan kata kafir, maka baginya diperbolehkan mengucapkannya
dengan tujuan agar dia tetap tidak senang mengucapkan kata kafir. Dan
hatinya tetap teguh dengan iman. Begitu pun orang yang dipaksakan
berbuka pada siang bulan Ramadhan, atau merusak hartanya orang lain,
maka baginya diperbolehkan mengerjakan larangan yang dipaksakan itu
dengan tetap tidak menyukai hal itu. Orang yang ditimpa kelaparan atau
kehausan yang sangat, diperbolehkan makan bangkai dan minum arak
(khamar).17
Di antara hukum rukhsah-rukhsah lagi ialah :
a) Kebolehan atas orang-orang mukallaf meninggalkan wajib ketika
terdapat uzur kesulitan menunaikannya. Barang siapa sakit, atau
mengadakan perjalanan di siang bulan Ramadhan, maka baginya
15
Ibid., hal.255.
16
Abd. Wahhab., Op.Cit, hal 184.
17
Ibid., hal 185.
5. 9
boleh berbuka (tidak berpuasa). Orang yang sedang mengadakan
perjalanan (musafir) boleh meringkas (qashar) shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat.18
b) Membenarkan sebagian akad yang bersifat pengecualian yang di
dalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat umum tentang jadi dan
sahnya akad, tetapi hal itu berlaku bagi hubungan (muamalah)
manusia dan menjadi sebagian dari kebutuhan mereka. Seperti
akad pesan (salam); sebenarnya akad salam ini adalah menjual
benda yang tiada (ma’dum) di waktu akad, tetapi hal itu telah
menjadi kebiasaan (‘urf) manusia dan termasuk diantara
kebutuhannya.
c) Menghapus (naskh) hukum-hukum yang oleh Allah SWT. telah
diangkat dari kita. Sedangkan hukum-hukum itu adalah termasuk
beban-beban yang berat atas umat-umat sebelum kita.19
Seperti uraian diatas mengenai definisi rukhsah dan penjelasan
macam-macamnya, maka jelaslah penggolongan hukum rukhsah itu
di antara bagian-bagian hukum wadh’i. Karena hukum yang
disyari’atkan itu ialah menjadikan darurat sebagai sebab dalam
membolehkan yang dilarang atau datangnya “uzur” sebagai “sebab”
dalam meringankan, dengan meninggalkan hukum wajib. Atau
menghilangkan “kesempitan” dengan manusia sebagai “sebab”
membenarkan sebagian akad-akad muamalah di antara mereka. Jadi
sebenarnya hukum tersebut adalah menempatkan “sebab” untuk
“akibat”.20
5. Ashshihah dan al-Buthalan (yang benar dan yang batal)
Perbuatan yang dituntut oleh syar’i dari mukallaf, dan yang
disyari’atkan kepada mereka yang berupa sebab dan syarat, apabila telah
18
Amir Syarifah., Loc. Cit.
19
Ibid., hal. 186,188.
20
Ibid., hal.191.
10
dilaksanakan oleh mukallaf, maka oleh syar’i terkadang dihukumi
kebenarannya (shihah), dan terkadang dihukumi batalnya (buthlan).21
Pengertian benarnya perbuatan itu menurut syara’ ialah, timbulnya
pengaruh perbuatan itu menurut syara’ atas perbuatan itu sendiri. Jika
perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf itu berupa perbuatan yang
diwajibkan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan dia sudah
melaksanakan perbuatan itu dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya
secara sempurna, maka berarti dia telah melaksanakan kewajibannya dan
telah bebaslah tanggungan wajibnya, dan dia tidak mendapatkan hukuman
(ta’zir) di dunia. Bahkan sebaliknya, dia mendapat pahala di akhirat.22
Pengertian tidak benarnya perbuatan itu ialah tidak adanya pengaruh
perbuatan itu menurut syara’ atas perbuatan itu sendiri. Jika perbuatan yang
dilakukan oleh mukallaf itu berupa kewajiban, maka kewajiban itu tidak
bisa gugur daripadanya, dan juga tanggungan kewajiban itu tidak lepas
daripadanya. Dan jika berupa “sebab” menurut syara’, maka tidak timbul
atas sebab itu hukumnya, dan jika syarat, maka tidak bisa didapati yang
disyarati (masyruth).23
Dari uraian tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa sesuatu yang
keluar dari mukallaf, baik itu berupa perbuatan, atau sebab, atau syarat, dan
tidak sesuai dengan tuntutan dan apa yang telah disyari’atkan oleh syar’i,
atas sesuatu itu dianggap tidak sah menurut syara’. Dan tidak bisa timbul
atas sesuatu itu pengaruhnya, baik tidak sahnya itu karena cacatnya salah
satu rukun di antara rukun-rukunnya, atau karena ketiadaan salah satu syarat
di antara syarat-syaratnya. Dan baik sesuatu itu berupa ibadah, atau akad,
atau pengelolaan. Atas dasar semua itu, maka tidak ada perbedaan antara
yang batal dan yang rusak (fasid). Tidak didalam masalah ibadah dan tidak
pula didalam masalah muamalah. Maka shalat yang batal itu, seperti shalat
21
Ibid., hal. 192
22
Ibid., hal. 193
23
Amir Syarifah., Loc. Cit.
6. 11
yang rusak, tidak bisa menggugurkan kewajiban dari mukallaf, dan tidak
bisa melepaskan tanggungan kewajiban itu daripadanya. Perkawinan yang
batal seperti perkawinan yang rusak, tidak memberikan faedah kepemilikan
bersenang-senang dengan istri, dan tidak bisa timbul atas perkawinan itu
pengaruhnya.24
Dari uraian mengenai arti Shihah (sah=benar) dan arti buthlan (batal)
maka jelaslah segi menganggap shihah dan buthlan itu sebagai di antara
hukum wadh’i. Shihah itu ialah terjadinya pengaruh-pengaruh syari’ah atas
perbuatan dan sebab, atau syarat yang telah dikerjakan oleh seorang
mukalaf. Sedang buthlan ialah tidak terjadinya sesuatu dari pengaruh-
pengaruh tersebut. Maka menghukumi sahnya jual beli adalah berarti sebab
bagi hukumnya menurut syara’.25
24
Ibid., hal.196
25
Ibid., hal. 198
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Wadh’i adalah hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi
orang mukallaf. Contoh yang menghendaki meletakkan pembunuhan
terhadap seseorang yang terbunuh (dalam peperangan) sebagai sebab
dalam memiliki hak untuk merampas. Dan yang menghendaki
kesanggupan menempuh perjalanan ke Baitullah adalah syarat bagi
kewajiban hajinya orang tersebut. Dan juga yang menghendaki menjadi
pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskannya sebagai
penghalang pewarisannya.
Hukum Wadh’i terbagi kedalam lima bagian. Karena berdasarkan
penelitian (istiqro’) tlah ditetapkan, bahwa hukum wadh’i adakalanya
menghendaki sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai
syarat, atau sebagai penghalang, atau sebagai sesuatu yang
memperkenankan keringanan (rukhshah), atau sebagai ganti hukum
ketetapan pertama (Azimah), atau sebagai yang shahih dan atau yang
tidak shahih.
B. Saran
Penulis hanyalah sebagai seorang manusia biasa yang tidak pernah
luput dari kesalahan. Dan dari pembuatan makalah ini mungkin banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan di dalam makalah yang saya buat
dan saya sangat mengharapkan maaf dari pembaca.
Dan diharapkan sebagai mahasiswa yang masih haus akan ilmu
tentang hukum, tidak ada salahnya kita terus menggali ilmu terutama
yang sudah tersaji di dalam makalah ini.