SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
Download to read offline
1 
 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari Hukum Islam, tentunya kita akan membahas tentang
Kaidah-kaidah yang terdapat didalamnya. Pastinya didalam membahas
kaidah-kaidah hukum islam kita akan membahas tentang bagaimana
hukum positif itu dipandang didalam hukum islam, dan hukum positif
itu sendiri didalam hukum islam disebut dengan Hukum Wadh’i. Yang
merupakan hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai suatu
sebab lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain, atau sebagai
penghalang sesuatu perbuatan hukum.
Dan juga hukum yang disyari’atkan dalam kondisi tertentu maupun
sejak semula dan yang benar dan salah dari suatu perbuatan hukum.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu hukum wadh’i ?
b. Apa saja pembagiannya ?
c. Bagaimana pembagian hukum wadh’i tersebut ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah kaidah-kaidah hukum Islam ini ialah
sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umumnya tentang hukum
Islam, dan khususnya adalah untuk mengetahui sebab, syarat,
penghalang, Rukhsah dan Azimah dan ashshihah dan al-buthalan. Diluar
hal tersebut juga sebagai pelengkap tugas dari mata kuliah Kaidah-
kaidah Hukum Islam.
2
   
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi
orang mukallaf.1
Contoh yang menghendaki meletakkan pembunuhan
terhadap seseorang yang terbunuh (dalam peperangan) sebagai sebab
dalam memiliki hak untuk merampas. Dan yang menghendaki
kesanggupan menempuh perjalanan ke Baitullah adalah syarat bagi
kewajiban hajinya orang tersebut. Dan juga yang menghendaki menjadi
pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskannya sebagai
penghalang pewarisannya.2
B. Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i terbagi kedalam lima bagian. Karena berdasarkan
penelitian (istiqro’) tlah ditetapkan, bahwa hukum wadh’i adakalanya
menghendaki sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai
syarat, atau sebagai penghalang, atau sebagai sesuatu yang
memperkenankan keringanan (rukhshah), atau sebagai ganti hukum
ketetapan pertama (Azimah), atau sebagai yang shahih dan atau yang
tidak shahih.3
Dengan demikian hukum wadh’i dibagi sebagai berikut :
1. Sebab
Sebab adalah sesuatu yang tampak dan jelas yang dijadikan oleh
hukum Islam sebagai penentu adanya hukum.4
Dan dijadikan pertanda
atas sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, dan menghubungkan
                                                            
1
Zainuddin Ali., Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2006,
hal 56.
2
Abd. Wahab Khallaf., Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta:Rajawali Pers, cetakan ke-8,
2002, hal 154-155.
3
Ibid., hal 178.
4
Zainuddin., Op.Cit., hal 57.
3
   
adanya akibat lantaran adanya sebab, dan ketiadaan akibat lantaran
ketiadaan sebab. Oleh karena itu, lantaran adanya sebab, wajib ada
akibat. Dan ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat. Jadi,
“sebab” ialah hal yang nyata dan pasti, yang dijadikan oleh syar’i
sebagai pertanda atas hukum syara’ yang merupakan akibatnya, dan
karena itu, adanya sebab mewajibkan adanya akibat. Dan ketiadaan
sebab mewajibkan ketiadaan akibat.5
a. Macam-macam sebab
a) Dilihat dari segi kemampuan mukallaf mewujudkannya, maka
sebab terbagi kepada dua macam, yaitu : Pertama, sebab yang
bukan perbuatan mukallaf dan ia tidak mampu untuk
mewujudkannya. Apabila sebab ini terwujud, meka berlakulah
hukum. Dalam hal ini, syar’i yang menentukan ada atau tidak
adanya hukum tersebut. Misalnya, tergelincir matahari sebagai
sebab wajib shalat zuhur, datangnya Ramadhan sebagai sebab
wajibnya puasa Ramadhan, dan keadaan darurat sebagai sebab
bolehnya memakan bangkai. Kedua, sebab yang merupakan
perbuatan mukallaf dan mukallaf mampu mewujudkannya.
Misalnya melakukan perjalanan sebagai sebab untuk bolehnya
berbuka puasa di siang hari pada bulan Ramadhan, pembunuhan
yang dilakukan secara sengaja menjadi sebab dikenakan
hukuman qishash dan akad transaksi jual beli menjadi sebab
perpindahan milik dari penjual kepada sang pembeli.
b) Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sebab terbagi menjadi
dua macam, yaitu : Pertama, sebab yang berpengaruh terhadap
hukum taklifi, seperti melakukan perjalanan menjadi sebab
bolehnya berbuka puasa pada siang hari di bulan Ramadhan dan
harta yang sampai senisab menjadi sebab wajib zakat. Kedua,
sebab terhadap suatu hukum berpengaruh terhadap perbuatan
                                                            
5
Abd. Wahhab., Loc. Cit.
4
   
mukallaf, seperti akad jual beli menjadi sebab perpindahan milik
dari penjual kepada pembeli, ikrar wakaf menjadi sebab
hilangnya kepemilikan benda yang diwakafkan dari tangan orang
yang berwakaf dan akad nikah menjadi sebab halal hubungan
suami istri.6
b. Perbedaan antara Sebab dan ‘Illat
Abdul-Karim Zaidan menjelaskan antara perbedaan dan persamaan
sebab dan ‘illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi
adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama, antara tanda
(sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabab) mempunyai hubungan
logis, dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara
keduanya, dan bentuk kedua, hubungan diantara keduanya tidak bisa
ditelusuri dengan akal pikiran. Bentuk pertama, disamping disebutkan
sebagai sebab, juga disebut ‘illat, sedangkan yang kedua hanya disebut
sebab.7
2. Syarat
Syarat ialah sesuatu, yang ada atau tidak adanya hukum tergantung
ada dan tidaknya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu itu,
ialah adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh
(atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum.8
Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat sahnya shalat dalam arti
adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan
wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat.
Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad
nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan
antara syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi
ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya
                                                            
6
Amir Syarifah., Ushul Fiqh, Jakarta:Zikrul Hakim, 2004, hal 249.
7
Satria Efendi., Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, Cetakan ke-4, 2012, hal 63.
8
Abd. Wahhab., Op.Cit., hal 180.
5
   
terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti
dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat suatu ibadah.
Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat, dan
keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat.9
a. Macam-macam syarat
a) Dilihat dari sumber yang menentukan syarat, maka syarat terbagi
kepada dua maca, yaitu : Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang
langsung dari syar’i (ALLAH), keadaan rusyd (kemampuan
untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak mubazir) bagi
seorang anak yatim dijadikan syari’at sebagai syarat untuk wajib
menyerahkan harta warisan kepadanya. Syarat Ja’Ly, yaitu
syarat yang berasal dari kemauan mukallaf. Misalnya, syarat
yang ditetapkan oleh orang-orang yang melakukan transaksi
pemilikan dan pemindahan hak. Syarat bentuk kedua ini harus
sejalan dengan syara’.
b) Dilihat dari hubungan sebab dengan mussabab, maka syarat
terbagi menjadi dua macam, yaitu : Pertama, Syarat yang
menyempurnakan sebab, seperti melakukan dengan sengaja yang
disertai dengan permusuhan menjadi syarat untuk pembunuhan
yang menyebabkan berlaku hukum qishash bagi pembunuhnya.
Begitu pula terpeliharanya harta yang dicuri menjadi syarat
terhadap pencurian yang menyebabkan berlakunya hukum
potong tangan bagi pelaku pencurian. Kedua, Syarat yang
menyempurnakan musabbah, seperti meninggal muwwaris
(orang yang mewariskan) secara hakiki atau secara hukum dan
hidupnya ahli waris ketika wafat muwarris adalah dua syarat
untuk berlakunya kewarisannya melalui hubungan kerabat dan
perkawinan.10
                                                            
9
Satria Efendi., Op.Cit, hal 64-65.
10
Amir Syarifah., Op.Cit, hal 252.
6
   
3. Penghalang (Mani’)
Mani’ adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menghalangi
perbuatan hukum yang lain. Adanya man’i mengakibatkan perbuatan
hukum yang lain tidak dapat dijalankan.11
Terkadang sebab menurut
syara’ telah nyata dan telah sempurna syarat-syaratnya, tetapi disana
terdapat mani’ yang menghalangi tertib hukum atasnya, seperti adanya
hubungan suami istri yang sah, atau kekerabatan, tetapi disana terhalang
timbulnya pewarisan dari salah satunya, seperti perbedaan agama
pewaris dengan yang diwarisi, atau pembunuhan yang dilakukan oleh
pewaris atas yang diwarisinya.12
Maka mani’ itu adalah dalam istilah ulama Ushul (ushuliyun) ialah
sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah nyata dan syarat telah
sempurna,dan menghalangi timbulnya akibat atas sebabnya. Jadi
ketiadaan syarat itu menurut istilah mereka tidak disebut mani’,
sekalipun dapat menghalangi timbulnya akibat atas sebab.13
a. Macam-macam mani’
a) Para ahli ushul fiqh membagi man’i kepada beberapa macam,
yaitu : Pertama, Man’i Al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan
syar’i sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, kondisi haid
yang terdapat pada seorang wanita yang telah mukallaf
ditetapkan syar’i sebagai penghalang untuk melaksanakan shalat.
Kedua, Man’i al-sabab, yaitu sesuatu yang keberadaannya
menghalangi berfungsinya suatu sebab. Misalnya, apabila
seseorang memiliki harta sampai satu nisab menjadi sebab ia
wajib mengeluarkan zakat hartanya. Namun, bila pemilik harta
mempunyai banyak hutang yang harus segera ia bayarkan dan
                                                            
11
Zainuddin Ali., Op.Cit, hal 57.
12
Abd. Wahhab.,Op.Cit, hal 183.
13
Ibid., hal 184.
7
   
dengan membayar tadi hutang tersebut mengurangi jumlah harta
sehingga tidak sampai lagi hitungannya satu nisab, maka hutang
tersebut dipandang sebagai man’i (penghalang) bagi wajib zakat
harta yang dimilikinya. Dengan berhutang tersebut,
menghilangkan predikat yang bersangkutan sebagai orang
kaya.14
b) Sedangkan Khudari Beik, mengatakan bahwa ulama Hanaffiyah
membagi man’i menjadi lima macam, yaitu : Pertama, Man’i
yang menghalangi berlakunya sabab, seperti akad atau transaksi
jual beli yang tidak ada objeknya. Kedua, Man’i yang
menghalangi sempurnanya sabab bagi seseorang yang berada
sebagai pihak ketiga di luar akad, seperti halnya jual beli milik
orang lain. Pada prinsipnya, jual beli atas nama orang lain boleh
dilakukan, tetapi akad tersebut belum sempurna sehingga ada
persetujuan dari orang yang menjadi pemiliknya. Ketiga, Man’i
yang menghalangi sejak permulaan hukum, seperti khiyar syarat
jual beli menjadi man’i bagi pembeli untuk memiliki barang
sampai terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli secara
sempurna. Keempat, Man’i yang menghalangi sempurna hukum,
seperti al-ru’yah dalam jual beli dalam hal ini, jual beli belum
dipandang sempurna sebelum barang yang dibeli dilihat terlebih
dahulu oleh pembeli. Orang yang memiliki hak khiyar ini
memungkinkan membatalkan jual beli apabila ia tidak dapat
melihat barang yang akan dibeli. Kelima, Man’i yang
menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti khiyar al-aibi
(cacat) dalam jual beli. Adanya khiyar al-aibi dalam jual beli
memberikan kepastian hukum secara sempurna bagi pembeli
untuk memiliki barang yang telah dibelinya. Apabila pembeli
menemukan cacat pada barang yang dibeli setelah akad jual beli
                                                            
14
Amir Syarifah., Op.Cit, hal. 255
8
   
berlangsung ia tidak dapat membatalkan jual beli kecuali ada
perjanjian kedua belah pihak terhadap hal tersebut.15
4. Rukhsah dan Azimah
“Rukhsah” ialah hukum keringanan yang telah disyari’atkan oleh
Allah SWT. atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang
menghendaki keringanan. Atau, sesuatu yang telah disyari’atkan oleh
Allah SWT. karena uzur kesulitan dalam kondisi-kondisi tertentu, atau
membolehkan yang dilarang karena adanya dalil, sekalipun dalil
larangan itu tetap berlaku. Sedangkan “Azimah” ialah hukum-hukum
umu yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. sejak semula, yang tidak
dikhususkan oleh kondisi dan mukallaf.16
a. Macam-macam Rukhsah
Diantara rukhsah itu adakalanya yang membolehkan larangan ketika
adanya darurat atau kebutuhan (hajat). Barang siapa dipaksakan untuk
mengucapkan kata kafir, maka baginya diperbolehkan mengucapkannya
dengan tujuan agar dia tetap tidak senang mengucapkan kata kafir. Dan
hatinya tetap teguh dengan iman. Begitu pun orang yang dipaksakan
berbuka pada siang bulan Ramadhan, atau merusak hartanya orang lain,
maka baginya diperbolehkan mengerjakan larangan yang dipaksakan itu
dengan tetap tidak menyukai hal itu. Orang yang ditimpa kelaparan atau
kehausan yang sangat, diperbolehkan makan bangkai dan minum arak
(khamar).17
Di antara hukum rukhsah-rukhsah lagi ialah :
a) Kebolehan atas orang-orang mukallaf meninggalkan wajib ketika
terdapat uzur kesulitan menunaikannya. Barang siapa sakit, atau
mengadakan perjalanan di siang bulan Ramadhan, maka baginya
                                                            
15
Ibid., hal.255.
16
Abd. Wahhab., Op.Cit, hal 184.
17
Ibid., hal 185.
9
   
boleh berbuka (tidak berpuasa). Orang yang sedang mengadakan
perjalanan (musafir) boleh meringkas (qashar) shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat.18
b) Membenarkan sebagian akad yang bersifat pengecualian yang di
dalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat umum tentang jadi dan
sahnya akad, tetapi hal itu berlaku bagi hubungan (muamalah)
manusia dan menjadi sebagian dari kebutuhan mereka. Seperti
akad pesan (salam); sebenarnya akad salam ini adalah menjual
benda yang tiada (ma’dum) di waktu akad, tetapi hal itu telah
menjadi kebiasaan (‘urf) manusia dan termasuk diantara
kebutuhannya.
c) Menghapus (naskh) hukum-hukum yang oleh Allah SWT. telah
diangkat dari kita. Sedangkan hukum-hukum itu adalah termasuk
beban-beban yang berat atas umat-umat sebelum kita.19
Seperti uraian diatas mengenai definisi rukhsah dan penjelasan
macam-macamnya, maka jelaslah penggolongan hukum rukhsah itu
di antara bagian-bagian hukum wadh’i. Karena hukum yang
disyari’atkan itu ialah menjadikan darurat sebagai sebab dalam
membolehkan yang dilarang atau datangnya “uzur” sebagai “sebab”
dalam meringankan, dengan meninggalkan hukum wajib. Atau
menghilangkan “kesempitan” dengan manusia sebagai “sebab”
membenarkan sebagian akad-akad muamalah di antara mereka. Jadi
sebenarnya hukum tersebut adalah menempatkan “sebab” untuk
“akibat”.20
5. Ashshihah dan al-Buthalan (yang benar dan yang batal)
Perbuatan yang dituntut oleh syar’i dari mukallaf, dan yang
disyari’atkan kepada mereka yang berupa sebab dan syarat, apabila telah
                                                            
18
Amir Syarifah., Loc. Cit.
19
Ibid., hal. 186,188.
20
Ibid., hal.191.
10
   
dilaksanakan oleh mukallaf, maka oleh syar’i terkadang dihukumi
kebenarannya (shihah), dan terkadang dihukumi batalnya (buthlan).21
Pengertian benarnya perbuatan itu menurut syara’ ialah, timbulnya
pengaruh perbuatan itu menurut syara’ atas perbuatan itu sendiri. Jika
perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf itu berupa perbuatan yang
diwajibkan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan dia sudah
melaksanakan perbuatan itu dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya
secara sempurna, maka berarti dia telah melaksanakan kewajibannya dan
telah bebaslah tanggungan wajibnya, dan dia tidak mendapatkan hukuman
(ta’zir) di dunia. Bahkan sebaliknya, dia mendapat pahala di akhirat.22
Pengertian tidak benarnya perbuatan itu ialah tidak adanya pengaruh
perbuatan itu menurut syara’ atas perbuatan itu sendiri. Jika perbuatan yang
dilakukan oleh mukallaf itu berupa kewajiban, maka kewajiban itu tidak
bisa gugur daripadanya, dan juga tanggungan kewajiban itu tidak lepas
daripadanya. Dan jika berupa “sebab” menurut syara’, maka tidak timbul
atas sebab itu hukumnya, dan jika syarat, maka tidak bisa didapati yang
disyarati (masyruth).23
Dari uraian tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa sesuatu yang
keluar dari mukallaf, baik itu berupa perbuatan, atau sebab, atau syarat, dan
tidak sesuai dengan tuntutan dan apa yang telah disyari’atkan oleh syar’i,
atas sesuatu itu dianggap tidak sah menurut syara’. Dan tidak bisa timbul
atas sesuatu itu pengaruhnya, baik tidak sahnya itu karena cacatnya salah
satu rukun di antara rukun-rukunnya, atau karena ketiadaan salah satu syarat
di antara syarat-syaratnya. Dan baik sesuatu itu berupa ibadah, atau akad,
atau pengelolaan. Atas dasar semua itu, maka tidak ada perbedaan antara
yang batal dan yang rusak (fasid). Tidak didalam masalah ibadah dan tidak
pula didalam masalah muamalah. Maka shalat yang batal itu, seperti shalat
                                                            
21
Ibid., hal. 192
22
Ibid., hal. 193
23
Amir Syarifah., Loc. Cit.
11
   
yang rusak, tidak bisa menggugurkan kewajiban dari mukallaf, dan tidak
bisa melepaskan tanggungan kewajiban itu daripadanya. Perkawinan yang
batal seperti perkawinan yang rusak, tidak memberikan faedah kepemilikan
bersenang-senang dengan istri, dan tidak bisa timbul atas perkawinan itu
pengaruhnya.24
Dari uraian mengenai arti Shihah (sah=benar) dan arti buthlan (batal)
maka jelaslah segi menganggap shihah dan buthlan itu sebagai di antara
hukum wadh’i. Shihah itu ialah terjadinya pengaruh-pengaruh syari’ah atas
perbuatan dan sebab, atau syarat yang telah dikerjakan oleh seorang
mukalaf. Sedang buthlan ialah tidak terjadinya sesuatu dari pengaruh-
pengaruh tersebut. Maka menghukumi sahnya jual beli adalah berarti sebab
bagi hukumnya menurut syara’.25
                                                            
24
Ibid., hal.196
25
Ibid., hal. 198 
12
   
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Wadh’i adalah hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi
orang mukallaf. Contoh yang menghendaki meletakkan pembunuhan
terhadap seseorang yang terbunuh (dalam peperangan) sebagai sebab
dalam memiliki hak untuk merampas. Dan yang menghendaki
kesanggupan menempuh perjalanan ke Baitullah adalah syarat bagi
kewajiban hajinya orang tersebut. Dan juga yang menghendaki menjadi
pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskannya sebagai
penghalang pewarisannya.
Hukum Wadh’i terbagi kedalam lima bagian. Karena berdasarkan
penelitian (istiqro’) tlah ditetapkan, bahwa hukum wadh’i adakalanya
menghendaki sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai
syarat, atau sebagai penghalang, atau sebagai sesuatu yang
memperkenankan keringanan (rukhshah), atau sebagai ganti hukum
ketetapan pertama (Azimah), atau sebagai yang shahih dan atau yang
tidak shahih.
B. Saran
Penulis hanyalah sebagai seorang manusia biasa yang tidak pernah
luput dari kesalahan. Dan dari pembuatan makalah ini mungkin banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan di dalam makalah yang saya buat
dan saya sangat mengharapkan maaf dari pembaca.
Dan diharapkan sebagai mahasiswa yang masih haus akan ilmu
tentang hukum, tidak ada salahnya kita terus menggali ilmu terutama
yang sudah tersaji di dalam makalah ini.

More Related Content

What's hot

Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabihqoida malik
 
Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1
Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1
Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1Ramadhan, Dicky
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhElla Aisah
 
Makalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumrismariszki
 
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan Rukhshah
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan RukhshahTerminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan Rukhshah
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan RukhshahMarhamah Saleh
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Amiruddin Ahmad
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiMarhamah Saleh
 
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan QazafMakalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan QazafAZA Zulfi
 
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihTerminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihMarhamah Saleh
 
Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Nana Cahmaxcy
 
Pengantar fikih muamalah
Pengantar fikih muamalahPengantar fikih muamalah
Pengantar fikih muamalahdediromli
 
MAQASID SYARAK UNTUK PEMULA
MAQASID SYARAK UNTUK PEMULAMAQASID SYARAK UNTUK PEMULA
MAQASID SYARAK UNTUK PEMULAAmiruddin Ahmad
 

What's hot (20)

Makalah Qiyas
Makalah QiyasMakalah Qiyas
Makalah Qiyas
 
Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabih
 
Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1
Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1
Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 1
 
Ushul fiqh 2
Ushul fiqh 2Ushul fiqh 2
Ushul fiqh 2
 
Nasikh dan mansukh
Nasikh dan mansukhNasikh dan mansukh
Nasikh dan mansukh
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqh
 
Makalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhum
 
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan Rukhshah
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan RukhshahTerminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan Rukhshah
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan Rukhshah
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
 
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan QazafMakalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
 
Absf4103 qawaid fiqhiyyah
Absf4103 qawaid fiqhiyyahAbsf4103 qawaid fiqhiyyah
Absf4103 qawaid fiqhiyyah
 
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihTerminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
 
Nasakh
Nasakh Nasakh
Nasakh
 
I'jaz Al Qur'an
 I'jaz Al Qur'an I'jaz Al Qur'an
I'jaz Al Qur'an
 
Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)
 
Pengantar fikih muamalah
Pengantar fikih muamalahPengantar fikih muamalah
Pengantar fikih muamalah
 
Dalil syara (1)
Dalil syara (1)Dalil syara (1)
Dalil syara (1)
 
MAQASID SYARAK UNTUK PEMULA
MAQASID SYARAK UNTUK PEMULAMAQASID SYARAK UNTUK PEMULA
MAQASID SYARAK UNTUK PEMULA
 
Akad Ba'i Salam
Akad Ba'i SalamAkad Ba'i Salam
Akad Ba'i Salam
 

Viewers also liked

Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Marhamah Saleh
 
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.jimoh370
 
Materi sumber-hukum-islam pdf
Materi sumber-hukum-islam pdfMateri sumber-hukum-islam pdf
Materi sumber-hukum-islam pdfagyana_nadian
 
02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukumasnin_syafiuddin
 
Usul fiqh, rukhsah.
Usul fiqh, rukhsah.Usul fiqh, rukhsah.
Usul fiqh, rukhsah.jimoh370
 
Asal mula upacara bekakak
Asal mula upacara bekakakAsal mula upacara bekakak
Asal mula upacara bekakakYanasta Pratama
 
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2NaimAlmashoori
 
Cerita rakyat candi prambanan
Cerita rakyat candi prambananCerita rakyat candi prambanan
Cerita rakyat candi prambananYanasta Pratama
 
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-sharii
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-shariiIntroduction to Usul Fiqh : al hukm al-sharii
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-shariiNaimAlmashoori
 
Navigasi Darat TBMM Humerus FK UII
Navigasi Darat TBMM Humerus FK UIINavigasi Darat TBMM Humerus FK UII
Navigasi Darat TBMM Humerus FK UIIYanasta Pratama
 
Blogs, a new communication way
Blogs, a new communication wayBlogs, a new communication way
Blogs, a new communication wayovidioperez
 
Raport anual YouthBank Cluj
Raport anual YouthBank ClujRaport anual YouthBank Cluj
Raport anual YouthBank ClujBianca Marcoci
 
Raport selectie membri noi
Raport selectie membri noiRaport selectie membri noi
Raport selectie membri noiBianca Marcoci
 
My Use of Digital Communication
My Use of Digital CommunicationMy Use of Digital Communication
My Use of Digital Communication_kevininmoscow
 
IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...
IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...
IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...lauramontanya
 

Viewers also liked (20)

Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
 
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
 
Makalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadi
Makalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadiMakalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadi
Makalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadi
 
Materi sumber-hukum-islam pdf
Materi sumber-hukum-islam pdfMateri sumber-hukum-islam pdf
Materi sumber-hukum-islam pdf
 
02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum
 
Usul fiqh, rukhsah.
Usul fiqh, rukhsah.Usul fiqh, rukhsah.
Usul fiqh, rukhsah.
 
Nama Nama Al Quran
Nama Nama Al QuranNama Nama Al Quran
Nama Nama Al Quran
 
Sekaten
SekatenSekaten
Sekaten
 
Asal mula upacara bekakak
Asal mula upacara bekakakAsal mula upacara bekakak
Asal mula upacara bekakak
 
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-taklifi 2
 
Cerita rakyat candi prambanan
Cerita rakyat candi prambananCerita rakyat candi prambanan
Cerita rakyat candi prambanan
 
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-sharii
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-shariiIntroduction to Usul Fiqh : al hukm al-sharii
Introduction to Usul Fiqh : al hukm al-sharii
 
Navigasi Darat TBMM Humerus FK UII
Navigasi Darat TBMM Humerus FK UIINavigasi Darat TBMM Humerus FK UII
Navigasi Darat TBMM Humerus FK UII
 
Blogs, a new communication way
Blogs, a new communication wayBlogs, a new communication way
Blogs, a new communication way
 
Raport anual YouthBank Cluj
Raport anual YouthBank ClujRaport anual YouthBank Cluj
Raport anual YouthBank Cluj
 
Raport selectie membri noi
Raport selectie membri noiRaport selectie membri noi
Raport selectie membri noi
 
Raport licitatie ed.2
Raport licitatie ed.2Raport licitatie ed.2
Raport licitatie ed.2
 
Conference Call Etiquette
Conference Call EtiquetteConference Call Etiquette
Conference Call Etiquette
 
My Use of Digital Communication
My Use of Digital CommunicationMy Use of Digital Communication
My Use of Digital Communication
 
IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...
IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...
IF IN THE EARTH THERE IS ALWAYS THE SAME AMOUNT OF WATER AND IT FOLLOWS THE S...
 

Similar to HUKUM WADHI

Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)Marhamah Saleh
 
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Izzatul Ulya
 
AKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
AKAD DALAM ISLAM NEW.pptAKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
AKAD DALAM ISLAM NEW.pptRefkyFielnanda1
 
Kel.9 al wakalah
Kel.9 al wakalahKel.9 al wakalah
Kel.9 al wakalahMulyanah
 
Pembahasan ushul fiqih
Pembahasan ushul fiqihPembahasan ushul fiqih
Pembahasan ushul fiqihALI FIKRI
 
Sumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptx
Sumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptxSumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptx
Sumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptxTaeArra
 
Bab 2 Sumber Hukum Islam
Bab 2   Sumber Hukum IslamBab 2   Sumber Hukum Islam
Bab 2 Sumber Hukum IslamWanBK Leo
 
Syirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis Islam
Syirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis IslamSyirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis Islam
Syirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis IslamFkip Sda7
 
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharKonsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharEloknadlifah
 
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharKonsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharikafia maulidia
 

Similar to HUKUM WADHI (20)

Fiqh ana
Fiqh anaFiqh ana
Fiqh ana
 
Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2
 
Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2
 
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
 
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
 
AKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
AKAD DALAM ISLAM NEW.pptAKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
AKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
 
AKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
AKAD DALAM ISLAM NEW.pptAKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
AKAD DALAM ISLAM NEW.ppt
 
Konsep akad dalam kajian fiqh muamalah
Konsep akad dalam kajian fiqh muamalahKonsep akad dalam kajian fiqh muamalah
Konsep akad dalam kajian fiqh muamalah
 
Kel.9 al wakalah
Kel.9 al wakalahKel.9 al wakalah
Kel.9 al wakalah
 
Pembahasan ushul fiqih
Pembahasan ushul fiqihPembahasan ushul fiqih
Pembahasan ushul fiqih
 
Sumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptx
Sumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptxSumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptx
Sumber hukum syar’iyah dan pembagiannya.pptx
 
Bab 2 Sumber Hukum Islam
Bab 2   Sumber Hukum IslamBab 2   Sumber Hukum Islam
Bab 2 Sumber Hukum Islam
 
Makalah huruf arab
Makalah huruf arabMakalah huruf arab
Makalah huruf arab
 
Ar rahn
Ar rahnAr rahn
Ar rahn
 
Syirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis Islam
Syirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis IslamSyirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis Islam
Syirkah (partnership) dan akad-akad dalam bisnis Islam
 
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharKonsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
 
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharKonsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
 
Muamalah 1.pptx
Muamalah 1.pptxMuamalah 1.pptx
Muamalah 1.pptx
 
PPT Bab 5
PPT Bab 5 PPT Bab 5
PPT Bab 5
 
Bab 5 sem 1
Bab 5 sem 1Bab 5 sem 1
Bab 5 sem 1
 

HUKUM WADHI

  • 1. 1    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mempelajari Hukum Islam, tentunya kita akan membahas tentang Kaidah-kaidah yang terdapat didalamnya. Pastinya didalam membahas kaidah-kaidah hukum islam kita akan membahas tentang bagaimana hukum positif itu dipandang didalam hukum islam, dan hukum positif itu sendiri didalam hukum islam disebut dengan Hukum Wadh’i. Yang merupakan hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai suatu sebab lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain, atau sebagai penghalang sesuatu perbuatan hukum. Dan juga hukum yang disyari’atkan dalam kondisi tertentu maupun sejak semula dan yang benar dan salah dari suatu perbuatan hukum. B. Rumusan Masalah a. Apa itu hukum wadh’i ? b. Apa saja pembagiannya ? c. Bagaimana pembagian hukum wadh’i tersebut ? C. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah kaidah-kaidah hukum Islam ini ialah sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umumnya tentang hukum Islam, dan khususnya adalah untuk mengetahui sebab, syarat, penghalang, Rukhsah dan Azimah dan ashshihah dan al-buthalan. Diluar hal tersebut juga sebagai pelengkap tugas dari mata kuliah Kaidah- kaidah Hukum Islam. 2     BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Hukum Wadh’i Hukum Wadh’i yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi orang mukallaf.1 Contoh yang menghendaki meletakkan pembunuhan terhadap seseorang yang terbunuh (dalam peperangan) sebagai sebab dalam memiliki hak untuk merampas. Dan yang menghendaki kesanggupan menempuh perjalanan ke Baitullah adalah syarat bagi kewajiban hajinya orang tersebut. Dan juga yang menghendaki menjadi pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskannya sebagai penghalang pewarisannya.2 B. Pembagian Hukum Wadh’i Hukum Wadh’i terbagi kedalam lima bagian. Karena berdasarkan penelitian (istiqro’) tlah ditetapkan, bahwa hukum wadh’i adakalanya menghendaki sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai syarat, atau sebagai penghalang, atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan (rukhshah), atau sebagai ganti hukum ketetapan pertama (Azimah), atau sebagai yang shahih dan atau yang tidak shahih.3 Dengan demikian hukum wadh’i dibagi sebagai berikut : 1. Sebab Sebab adalah sesuatu yang tampak dan jelas yang dijadikan oleh hukum Islam sebagai penentu adanya hukum.4 Dan dijadikan pertanda atas sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, dan menghubungkan                                                              1 Zainuddin Ali., Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2006, hal 56. 2 Abd. Wahab Khallaf., Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta:Rajawali Pers, cetakan ke-8, 2002, hal 154-155. 3 Ibid., hal 178. 4 Zainuddin., Op.Cit., hal 57.
  • 2. 3     adanya akibat lantaran adanya sebab, dan ketiadaan akibat lantaran ketiadaan sebab. Oleh karena itu, lantaran adanya sebab, wajib ada akibat. Dan ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat. Jadi, “sebab” ialah hal yang nyata dan pasti, yang dijadikan oleh syar’i sebagai pertanda atas hukum syara’ yang merupakan akibatnya, dan karena itu, adanya sebab mewajibkan adanya akibat. Dan ketiadaan sebab mewajibkan ketiadaan akibat.5 a. Macam-macam sebab a) Dilihat dari segi kemampuan mukallaf mewujudkannya, maka sebab terbagi kepada dua macam, yaitu : Pertama, sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan ia tidak mampu untuk mewujudkannya. Apabila sebab ini terwujud, meka berlakulah hukum. Dalam hal ini, syar’i yang menentukan ada atau tidak adanya hukum tersebut. Misalnya, tergelincir matahari sebagai sebab wajib shalat zuhur, datangnya Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa Ramadhan, dan keadaan darurat sebagai sebab bolehnya memakan bangkai. Kedua, sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mukallaf mampu mewujudkannya. Misalnya melakukan perjalanan sebagai sebab untuk bolehnya berbuka puasa di siang hari pada bulan Ramadhan, pembunuhan yang dilakukan secara sengaja menjadi sebab dikenakan hukuman qishash dan akad transaksi jual beli menjadi sebab perpindahan milik dari penjual kepada sang pembeli. b) Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sebab terbagi menjadi dua macam, yaitu : Pertama, sebab yang berpengaruh terhadap hukum taklifi, seperti melakukan perjalanan menjadi sebab bolehnya berbuka puasa pada siang hari di bulan Ramadhan dan harta yang sampai senisab menjadi sebab wajib zakat. Kedua, sebab terhadap suatu hukum berpengaruh terhadap perbuatan                                                              5 Abd. Wahhab., Loc. Cit. 4     mukallaf, seperti akad jual beli menjadi sebab perpindahan milik dari penjual kepada pembeli, ikrar wakaf menjadi sebab hilangnya kepemilikan benda yang diwakafkan dari tangan orang yang berwakaf dan akad nikah menjadi sebab halal hubungan suami istri.6 b. Perbedaan antara Sebab dan ‘Illat Abdul-Karim Zaidan menjelaskan antara perbedaan dan persamaan sebab dan ‘illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama, antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabab) mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan diantara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran. Bentuk pertama, disamping disebutkan sebagai sebab, juga disebut ‘illat, sedangkan yang kedua hanya disebut sebab.7 2. Syarat Syarat ialah sesuatu, yang ada atau tidak adanya hukum tergantung ada dan tidaknya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu itu, ialah adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum.8 Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya                                                              6 Amir Syarifah., Ushul Fiqh, Jakarta:Zikrul Hakim, 2004, hal 249. 7 Satria Efendi., Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, Cetakan ke-4, 2012, hal 63. 8 Abd. Wahhab., Op.Cit., hal 180.
  • 3. 5     terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat.9 a. Macam-macam syarat a) Dilihat dari sumber yang menentukan syarat, maka syarat terbagi kepada dua maca, yaitu : Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syar’i (ALLAH), keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan syari’at sebagai syarat untuk wajib menyerahkan harta warisan kepadanya. Syarat Ja’Ly, yaitu syarat yang berasal dari kemauan mukallaf. Misalnya, syarat yang ditetapkan oleh orang-orang yang melakukan transaksi pemilikan dan pemindahan hak. Syarat bentuk kedua ini harus sejalan dengan syara’. b) Dilihat dari hubungan sebab dengan mussabab, maka syarat terbagi menjadi dua macam, yaitu : Pertama, Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti melakukan dengan sengaja yang disertai dengan permusuhan menjadi syarat untuk pembunuhan yang menyebabkan berlaku hukum qishash bagi pembunuhnya. Begitu pula terpeliharanya harta yang dicuri menjadi syarat terhadap pencurian yang menyebabkan berlakunya hukum potong tangan bagi pelaku pencurian. Kedua, Syarat yang menyempurnakan musabbah, seperti meninggal muwwaris (orang yang mewariskan) secara hakiki atau secara hukum dan hidupnya ahli waris ketika wafat muwarris adalah dua syarat untuk berlakunya kewarisannya melalui hubungan kerabat dan perkawinan.10                                                              9 Satria Efendi., Op.Cit, hal 64-65. 10 Amir Syarifah., Op.Cit, hal 252. 6     3. Penghalang (Mani’) Mani’ adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum yang lain. Adanya man’i mengakibatkan perbuatan hukum yang lain tidak dapat dijalankan.11 Terkadang sebab menurut syara’ telah nyata dan telah sempurna syarat-syaratnya, tetapi disana terdapat mani’ yang menghalangi tertib hukum atasnya, seperti adanya hubungan suami istri yang sah, atau kekerabatan, tetapi disana terhalang timbulnya pewarisan dari salah satunya, seperti perbedaan agama pewaris dengan yang diwarisi, atau pembunuhan yang dilakukan oleh pewaris atas yang diwarisinya.12 Maka mani’ itu adalah dalam istilah ulama Ushul (ushuliyun) ialah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah nyata dan syarat telah sempurna,dan menghalangi timbulnya akibat atas sebabnya. Jadi ketiadaan syarat itu menurut istilah mereka tidak disebut mani’, sekalipun dapat menghalangi timbulnya akibat atas sebab.13 a. Macam-macam mani’ a) Para ahli ushul fiqh membagi man’i kepada beberapa macam, yaitu : Pertama, Man’i Al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syar’i sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, kondisi haid yang terdapat pada seorang wanita yang telah mukallaf ditetapkan syar’i sebagai penghalang untuk melaksanakan shalat. Kedua, Man’i al-sabab, yaitu sesuatu yang keberadaannya menghalangi berfungsinya suatu sebab. Misalnya, apabila seseorang memiliki harta sampai satu nisab menjadi sebab ia wajib mengeluarkan zakat hartanya. Namun, bila pemilik harta mempunyai banyak hutang yang harus segera ia bayarkan dan                                                              11 Zainuddin Ali., Op.Cit, hal 57. 12 Abd. Wahhab.,Op.Cit, hal 183. 13 Ibid., hal 184.
  • 4. 7     dengan membayar tadi hutang tersebut mengurangi jumlah harta sehingga tidak sampai lagi hitungannya satu nisab, maka hutang tersebut dipandang sebagai man’i (penghalang) bagi wajib zakat harta yang dimilikinya. Dengan berhutang tersebut, menghilangkan predikat yang bersangkutan sebagai orang kaya.14 b) Sedangkan Khudari Beik, mengatakan bahwa ulama Hanaffiyah membagi man’i menjadi lima macam, yaitu : Pertama, Man’i yang menghalangi berlakunya sabab, seperti akad atau transaksi jual beli yang tidak ada objeknya. Kedua, Man’i yang menghalangi sempurnanya sabab bagi seseorang yang berada sebagai pihak ketiga di luar akad, seperti halnya jual beli milik orang lain. Pada prinsipnya, jual beli atas nama orang lain boleh dilakukan, tetapi akad tersebut belum sempurna sehingga ada persetujuan dari orang yang menjadi pemiliknya. Ketiga, Man’i yang menghalangi sejak permulaan hukum, seperti khiyar syarat jual beli menjadi man’i bagi pembeli untuk memiliki barang sampai terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli secara sempurna. Keempat, Man’i yang menghalangi sempurna hukum, seperti al-ru’yah dalam jual beli dalam hal ini, jual beli belum dipandang sempurna sebelum barang yang dibeli dilihat terlebih dahulu oleh pembeli. Orang yang memiliki hak khiyar ini memungkinkan membatalkan jual beli apabila ia tidak dapat melihat barang yang akan dibeli. Kelima, Man’i yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti khiyar al-aibi (cacat) dalam jual beli. Adanya khiyar al-aibi dalam jual beli memberikan kepastian hukum secara sempurna bagi pembeli untuk memiliki barang yang telah dibelinya. Apabila pembeli menemukan cacat pada barang yang dibeli setelah akad jual beli                                                              14 Amir Syarifah., Op.Cit, hal. 255 8     berlangsung ia tidak dapat membatalkan jual beli kecuali ada perjanjian kedua belah pihak terhadap hal tersebut.15 4. Rukhsah dan Azimah “Rukhsah” ialah hukum keringanan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan. Atau, sesuatu yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. karena uzur kesulitan dalam kondisi-kondisi tertentu, atau membolehkan yang dilarang karena adanya dalil, sekalipun dalil larangan itu tetap berlaku. Sedangkan “Azimah” ialah hukum-hukum umu yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. sejak semula, yang tidak dikhususkan oleh kondisi dan mukallaf.16 a. Macam-macam Rukhsah Diantara rukhsah itu adakalanya yang membolehkan larangan ketika adanya darurat atau kebutuhan (hajat). Barang siapa dipaksakan untuk mengucapkan kata kafir, maka baginya diperbolehkan mengucapkannya dengan tujuan agar dia tetap tidak senang mengucapkan kata kafir. Dan hatinya tetap teguh dengan iman. Begitu pun orang yang dipaksakan berbuka pada siang bulan Ramadhan, atau merusak hartanya orang lain, maka baginya diperbolehkan mengerjakan larangan yang dipaksakan itu dengan tetap tidak menyukai hal itu. Orang yang ditimpa kelaparan atau kehausan yang sangat, diperbolehkan makan bangkai dan minum arak (khamar).17 Di antara hukum rukhsah-rukhsah lagi ialah : a) Kebolehan atas orang-orang mukallaf meninggalkan wajib ketika terdapat uzur kesulitan menunaikannya. Barang siapa sakit, atau mengadakan perjalanan di siang bulan Ramadhan, maka baginya                                                              15 Ibid., hal.255. 16 Abd. Wahhab., Op.Cit, hal 184. 17 Ibid., hal 185.
  • 5. 9     boleh berbuka (tidak berpuasa). Orang yang sedang mengadakan perjalanan (musafir) boleh meringkas (qashar) shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.18 b) Membenarkan sebagian akad yang bersifat pengecualian yang di dalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat umum tentang jadi dan sahnya akad, tetapi hal itu berlaku bagi hubungan (muamalah) manusia dan menjadi sebagian dari kebutuhan mereka. Seperti akad pesan (salam); sebenarnya akad salam ini adalah menjual benda yang tiada (ma’dum) di waktu akad, tetapi hal itu telah menjadi kebiasaan (‘urf) manusia dan termasuk diantara kebutuhannya. c) Menghapus (naskh) hukum-hukum yang oleh Allah SWT. telah diangkat dari kita. Sedangkan hukum-hukum itu adalah termasuk beban-beban yang berat atas umat-umat sebelum kita.19 Seperti uraian diatas mengenai definisi rukhsah dan penjelasan macam-macamnya, maka jelaslah penggolongan hukum rukhsah itu di antara bagian-bagian hukum wadh’i. Karena hukum yang disyari’atkan itu ialah menjadikan darurat sebagai sebab dalam membolehkan yang dilarang atau datangnya “uzur” sebagai “sebab” dalam meringankan, dengan meninggalkan hukum wajib. Atau menghilangkan “kesempitan” dengan manusia sebagai “sebab” membenarkan sebagian akad-akad muamalah di antara mereka. Jadi sebenarnya hukum tersebut adalah menempatkan “sebab” untuk “akibat”.20 5. Ashshihah dan al-Buthalan (yang benar dan yang batal) Perbuatan yang dituntut oleh syar’i dari mukallaf, dan yang disyari’atkan kepada mereka yang berupa sebab dan syarat, apabila telah                                                              18 Amir Syarifah., Loc. Cit. 19 Ibid., hal. 186,188. 20 Ibid., hal.191. 10     dilaksanakan oleh mukallaf, maka oleh syar’i terkadang dihukumi kebenarannya (shihah), dan terkadang dihukumi batalnya (buthlan).21 Pengertian benarnya perbuatan itu menurut syara’ ialah, timbulnya pengaruh perbuatan itu menurut syara’ atas perbuatan itu sendiri. Jika perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf itu berupa perbuatan yang diwajibkan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan dia sudah melaksanakan perbuatan itu dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya secara sempurna, maka berarti dia telah melaksanakan kewajibannya dan telah bebaslah tanggungan wajibnya, dan dia tidak mendapatkan hukuman (ta’zir) di dunia. Bahkan sebaliknya, dia mendapat pahala di akhirat.22 Pengertian tidak benarnya perbuatan itu ialah tidak adanya pengaruh perbuatan itu menurut syara’ atas perbuatan itu sendiri. Jika perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf itu berupa kewajiban, maka kewajiban itu tidak bisa gugur daripadanya, dan juga tanggungan kewajiban itu tidak lepas daripadanya. Dan jika berupa “sebab” menurut syara’, maka tidak timbul atas sebab itu hukumnya, dan jika syarat, maka tidak bisa didapati yang disyarati (masyruth).23 Dari uraian tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa sesuatu yang keluar dari mukallaf, baik itu berupa perbuatan, atau sebab, atau syarat, dan tidak sesuai dengan tuntutan dan apa yang telah disyari’atkan oleh syar’i, atas sesuatu itu dianggap tidak sah menurut syara’. Dan tidak bisa timbul atas sesuatu itu pengaruhnya, baik tidak sahnya itu karena cacatnya salah satu rukun di antara rukun-rukunnya, atau karena ketiadaan salah satu syarat di antara syarat-syaratnya. Dan baik sesuatu itu berupa ibadah, atau akad, atau pengelolaan. Atas dasar semua itu, maka tidak ada perbedaan antara yang batal dan yang rusak (fasid). Tidak didalam masalah ibadah dan tidak pula didalam masalah muamalah. Maka shalat yang batal itu, seperti shalat                                                              21 Ibid., hal. 192 22 Ibid., hal. 193 23 Amir Syarifah., Loc. Cit.
  • 6. 11     yang rusak, tidak bisa menggugurkan kewajiban dari mukallaf, dan tidak bisa melepaskan tanggungan kewajiban itu daripadanya. Perkawinan yang batal seperti perkawinan yang rusak, tidak memberikan faedah kepemilikan bersenang-senang dengan istri, dan tidak bisa timbul atas perkawinan itu pengaruhnya.24 Dari uraian mengenai arti Shihah (sah=benar) dan arti buthlan (batal) maka jelaslah segi menganggap shihah dan buthlan itu sebagai di antara hukum wadh’i. Shihah itu ialah terjadinya pengaruh-pengaruh syari’ah atas perbuatan dan sebab, atau syarat yang telah dikerjakan oleh seorang mukalaf. Sedang buthlan ialah tidak terjadinya sesuatu dari pengaruh- pengaruh tersebut. Maka menghukumi sahnya jual beli adalah berarti sebab bagi hukumnya menurut syara’.25                                                              24 Ibid., hal.196 25 Ibid., hal. 198  12     BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hukum Wadh’i adalah hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi orang mukallaf. Contoh yang menghendaki meletakkan pembunuhan terhadap seseorang yang terbunuh (dalam peperangan) sebagai sebab dalam memiliki hak untuk merampas. Dan yang menghendaki kesanggupan menempuh perjalanan ke Baitullah adalah syarat bagi kewajiban hajinya orang tersebut. Dan juga yang menghendaki menjadi pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskannya sebagai penghalang pewarisannya. Hukum Wadh’i terbagi kedalam lima bagian. Karena berdasarkan penelitian (istiqro’) tlah ditetapkan, bahwa hukum wadh’i adakalanya menghendaki sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai syarat, atau sebagai penghalang, atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan (rukhshah), atau sebagai ganti hukum ketetapan pertama (Azimah), atau sebagai yang shahih dan atau yang tidak shahih. B. Saran Penulis hanyalah sebagai seorang manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan. Dan dari pembuatan makalah ini mungkin banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalam makalah yang saya buat dan saya sangat mengharapkan maaf dari pembaca. Dan diharapkan sebagai mahasiswa yang masih haus akan ilmu tentang hukum, tidak ada salahnya kita terus menggali ilmu terutama yang sudah tersaji di dalam makalah ini.