Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarCV Maju Bersama Bangsa
Salah satu program reforma agraria adalah distribusi ulang tanah-tanah yang sudah dikuasai. Tanah-tanah yang dikusai tersebut di antaranya adalah tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Leks&Co
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No. 18/2021
Outline
Hak Pengelolaan
Tanah Reklamasi
Hak Atas Tanah
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Pembatalan Hak atas Tanah
Satuan Rumah Susun
Properti untuk Orang Asing
Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pendaftaran Tanah secara Elektronik
Kawasan dan Tanah Telantar
HPL
Ketentuan mengenai HPL diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP No. 18/2021”)
Sejarah Pengaturan HPL
Sebelum ditetapkannya PP No. 18/2021, ketentuan mengenai HPL disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (“PP No. 40/1996”) dan berbagai aturan lain
HPL didefinisikan PP No. 40/1996 sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Ketentuan mengenai subjek HPL serta tata cara permohonan dan pemberiannya diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No. 9/1999”)
PP No. 18/2021 juga memberikan definisi HPL sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL
HPL dapat berasal dari (i) tanah negara dan (i) tanah ulayat.
HPL di atas tanah negara diberikan sepanjang tugas pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan pengelolaan tanah
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarCV Maju Bersama Bangsa
Salah satu program reforma agraria adalah distribusi ulang tanah-tanah yang sudah dikuasai. Tanah-tanah yang dikusai tersebut di antaranya adalah tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Leks&Co
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No. 18/2021
Outline
Hak Pengelolaan
Tanah Reklamasi
Hak Atas Tanah
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Pembatalan Hak atas Tanah
Satuan Rumah Susun
Properti untuk Orang Asing
Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pendaftaran Tanah secara Elektronik
Kawasan dan Tanah Telantar
HPL
Ketentuan mengenai HPL diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP No. 18/2021”)
Sejarah Pengaturan HPL
Sebelum ditetapkannya PP No. 18/2021, ketentuan mengenai HPL disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (“PP No. 40/1996”) dan berbagai aturan lain
HPL didefinisikan PP No. 40/1996 sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Ketentuan mengenai subjek HPL serta tata cara permohonan dan pemberiannya diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No. 9/1999”)
PP No. 18/2021 juga memberikan definisi HPL sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL
HPL dapat berasal dari (i) tanah negara dan (i) tanah ulayat.
HPL di atas tanah negara diberikan sepanjang tugas pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan pengelolaan tanah
Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan PetaniSiti Chaakimah
Presentasi ini merupakan presentasi lengkap mengenai faktor yang mempengaruhi strategi perlawanan petani di Pesisir Kulon Progo, Jogjakarta. Dijelaskan juga bagaimana sejarah awal mula petani melakukan perlawanan.
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
pembangunan terkesan memanfaatkan tanah pertanian yang ditengarai dapat mengurangi produksi pangan. dengan demikian, dibutuhkan upaya yang masif agar pengalihan lahan pertanian tidak terjadi tanpa pengendalian.
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Syahyuti Si-Buyuang
Buku ini bukan mengajarkan bagaimana menjadi pekerja keras, tetapi mengapa dan bagaimana mengembangkan kultur bekerja keras. Setelah saya telusuri, dengan kemampuan yang sangat terbatas ini, ternyata begitu banyak ihwal-ihwal kerja yang selama ini kurang diungkap.
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Syahyuti Si-Buyuang
Dari pengumpulan informasi di lapang, secara umum petani lebih mengandalkan relasi-relasi individual dalam pengorganisasian dirinya dengan lebih mengandalkan pada basis komunitas dan
mekanisme pasar. Berdasarkan analisis kelembagaan, petani menjalankan usaha pertaniannya melalui pedoman norma dan regulasi, dengan melakukan pemaknaan
aktif terhadapnya. Petani menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak
dengan berpedoman kepada panduan normatif komunitas, norma ekonomi dalam
pasar, dan relasi dengan petugas pemerintah. Organisasi formal hanyalah salah
satu sumber daya bagi petani yang bersama-sama unsur-unsur dalam lembaga
dijadikan sebagai peluang, pedoman, serta batasan untuk berperilaku sehari-hari
dalam menjalankan usaha pertaniannya.
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Syahyuti Si-Buyuang
Dalam buku ini saya sengaja memperbandingkan antar objek, sebagai cara saya menjelaskan kepada pembaca. Ini adalah gaya penjelasan baru, dimana matrik-matrik yang saya susun menjadi alat penjelas utama. Mungkin sebagian pembaca akan agak kesulitan
memahaminya. Namun saya sengaja memilih cara ini karena dengan cara begini akan memudahkan pembaca mengikuti perbedaan dan
persamaan dua atau lebih objek yang dibahas.
Kita sudah akrab dengan Ilmu Ekonomi, Ekonomi Pertanian, dan Ekonomi Islam. Tapi di jagad google belum ketemu frasa "Islamic Agricultural- Socioeconomics", "Islamic Food Economy", "Islamic land reform" dan seterusnya. Menunggu-nunggu orang pintar membuat ini ga ada-ada juga, ..... hehe. Nanya kesana-sini ga ada yang respon. Kata orang: "jika kita mencari sesuatu buku namun belum ada, maka tulislah!".
1. DINAMIKA HUKUM AGRARIA DAN
EFEKTIVITS LANDREFORM UNTUK
MENINGKATKAN AKSES PETANI
KEPADA LAHAN
Oleh: Syahyuti
2. Kondisi yang Dihadapi:
Landreform secara massal dan serentak
telah gagal, namun pemerintah selalu
berupaya meningkatkan akses petani
terhadap lahan
Aturan dan kebijakan cukup kuat,
implementasi lemah
Namun, berlangsung proses de-
landreformisasi = menjual lahan,
fragmentasi , konversi lahan
Hak penguasaan lahan untuk petani
meski telah diakui namun belum berhasil
ditegakkan.
3. PENSTRUKTURAN KONSEP
“PEMBARUAN AGRARIA” YANG LEBIH
OPERASIONAL
Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria =
“Suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfatan sumber daya agraria ...”.
pembaruan agraria terdiri atas dua sisi saja,
yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2)
sisi penggunaan dan pemanfaatan.
Aspek landreform = penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah
Aspek non-landreform = bentuk-bentuk dan cara
mengolah tanah, introduksi teknologi baru,
perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar
komoditas pertanian, dan lain-lain.
4. Reforma agraria / Pembaruan Agraria =
sisi landreform + sisi non landreform
6. Tanah (dan rakyat) adalah “milik raja”.
Setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk raja,
petani kurang terdorong untuk berproduksi
Abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3
kelas penguasaan tanah , yaitu: (1) Kelompok petani
tuna-kisma, (2) Kelompok petani (sikep atau kuli)
wajib membayar pajak dan upeti yang , dan (3)
pamong desa
Di Cirebon, ada 4 kelas :
1. penguasa desa dan orang-orang penting lokal = tidak
pernah menggarap tanah secara langsung
2. masyarakat tani (sikep)
3. para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma,
serta
Era Kerajaan Feodalisme: Kepemilikan
semu petani terhadap lahan
7. Era Pemerintahan Kolonial = Tanah milik
pemerintah, petani harus menyewa
”Tanah Pemerintah”
pengenaan pajak tanah
berlaku sistem penyewaan tanah dalam
jangka panjang (erfpacht)
UU Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet) =
kepemilikan mutlak (hak eigendom) dan
penyewaan
Asumsi bahwa tanah milik Belanda, maka
petani harus menyewa
8. Era Orde Lama = Landreform terbatas
Lahir kebijakan agraria yang idealis.
UU Pokok Agraria (UUPA) no. 5 tahun 1960.
UU no. 56 tahun 1960 tentang landreform,
UU no. 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil untuk pertanian
UU 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil pada usaha perikanan
laut.
Landreform, mulai ahun 1961 s/d 1965.
Total landreform tahun 1961 – 2000 = 840.227 ha untuk 1,3
juta keluarga
Peraturan perundang-undangan landreform: UU No 1/
1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, UU No 56/1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP No 224/1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian, PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan
Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pen aftaran Tanah,
UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
Penyebab kegagalan = rendahnya kemauan dan dukungan
politik, tidak ada biaya, data dan informasi
9. Era Orde Baru: Revolusi Hijau = Reforma
agraria tanpa Landreform
Landreform tidak dijalankan
Privatisasi tanah melalui program
sertifikasi tanah
Pemerintah mengejar industrialisasi
pertanian
Revolusi Hijau tanpa landreform, telah
meminggirkan petani kecil. menimbulkan
polarisasi sosek, stratifikasi, dan terusirya
kelompok petani landless dari pedesaan
10. Era Reformasi :Tarik Ulur Pusat
dan Daerah
Tap MPR No IX/MPR/2001.
UU No. 22 tahun 1999 pasal 11 = tugas
pertanahan merupakan bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh daerah
kabupaten dan kota.
Keppres No. 103 tahun 2001 = pertanahan
menjadi kewenangan pusat.
Wewenang Pemda = cukup luas
11. Era reformasi:
Tahun 2007 = “Program Pembaruan Agraria
Nasional”, target 8-9 juta ha
Tahun 2010 = penertiban tanah terlantar 7 juta ha
(PP No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar).
Presiden SBY berjanji menjalankan landreform
Pembagian sertifikat tanah kepada petani seluas
142.159 ha.
Tanah yang diredistribusikan kepada petani itu
tanah negara yang digarap masyarakat dan
disertifikatkan BPN.
Agustus 2010, BPN akan membagi-bagikan 6 juta
ha sampai 2025.
13. Konflik pertanahan berlangsung di
banyak daerah melibatkan petani,
masyarakat, swasta, dan pemerintah
data KPA, hingga 2010 ini = ada 2.163
konflik agraria.
Data BPN, per Januari 2010 = ada
9.471 kasus konflik
14. Pola Asal-Usul Petani Menguasai
Tanah:
1. Tanah pemberian raja atau Pemerintah Hindia
Belanda kepada warga masyarakat yang
memiliki tenaga kerja laki-laki dengan kewajiban
tertentu (seperti gotong-royong, piket desa,
menjaga keamanan desa (meronda), membayar
pajak, iuran desa dan keagamaan).
2. tanah hasil pembukaan hutan (“tanah yasan”,
“tanah iyasa”)
3. tanah titisara (bondo desa), tanah kas desa
4. Tanah bengkok atau lungguh untuk pamong yang
sedang menjabat dan biaya operasional desa.
Tanah 1 dan 2 = menjadi hak milik perseorangan,
mulai tahun 1970-an.
15. Ciri utama bentuk penguasaan tanah pada
Hukum Islam dan Hukum Adat:
1. tanah merupakan sumberdaya ekonomi
yang unik,
2. tidak mengenal bentuk penguasaan yang
mutlak,
3. adanya sifat inklusifitas,
4. larangan untuk memperjual belikan tanah
dalam arti sebagai komoditas pasar,
5. manusia (dan hasil kerjanya) lebih dihargai
dibandingkan tanah.
16. Kesejajaran hukum adat Minang Kabau dan
Dayak
Level penguasaan Adat Dayak Adat Minangkabau
1. “individual” (=
satu keluarga)
kepemilikan “seko
menyeko”
“pusako rendah” dan
tanah ulayat suku
2. Beberapa keluarga
inti dlm satu garis
keturunan
kepemilikan
“parene’ant”
tanah ulayat kaum
3. Satu kampung kepemilikan
“saradangan”
tanah ulayat nagari
4. Satu wilayah
hukum adat
kepemilikan ”binua” Tanah ulayat Minang
Kabau
17. BERBAGAI UPAYA UNTUK
MENGIMBANGI BURUKNYA AKSES
PETANI TERHADAP LAHAN:
Pertama, konsolidasi Lahan
Konsolidasi Tanah pertanian (KTP), = Land
Consolidation, Redistribtion of Land, Land
Assembly (perakitan lahan), Land Readjustment
(penyesuaian bentuk lahan), Land Pooling
(pengumpulan lahan), dan Ruil Verkaveling
(pertukaran petak lahan).
Mencakup:
(1) usaha mengatur atau menata kembali sehingga
tanah tersebut dapat dipergunakan secara lebih
efisien,
(2) usaha untuk menata kembali tanah dimana si
pemilik tanah tidak harus melepaskan haknya,
malah seharusnya ia mendapat keuntungan,
18. Kedua, program transmigrasi
Transmigrasi dimulai dari tahun 1950
Distribusi lahan = 2 ha, lalu menjadi 4-5 ha,
namun kembali menjadi 2 ha per rumah tangga.
November 1905, program kolonisasi diluncurkan
dengan pemberangkatan 155 KK yang terdiri atas
815 jiwa dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen,
dan Purworejo menuju Lampung.
Pada 12 Desember 1950 dalam Kabinet Natsir
diberangkakan sebanyak 23 KK (77 jiwa) ke
Lampung.
Realisasi sejak 1950 - 1968 = 98.631 KK.
Tahun 2010 = 7.346 rumah tangga trasnmigran.
19. Ketiga, Perbaikan sistem bagi hasil
Dalam kadar yang lebih ringan, para pemilik tanah
yang menyakapkan tanahnya kepada petani lain
dengan pembagian yang tidak adil, dapat pula
dipandang sebagai suatu bentuk penghisapan.
Tanah sebagai komoditas.
Penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di
Indonesia adalah masalah yang perlu diperhatikan.
Bagi hasil = aspek non-landreform
Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2, “bagi hasil
merupakan suatu komponen yang dapat
menyumbang kepada kemakmuran, asalkan ada
perlindungan hukum dan menjunjung azas keadilan
antar pelakunya”.
20. Bagi hasil:
Landreform serentak vs mekanisme
pasar; bagi hasil di tengahnya
Karakteristik sistem bagi hasil : bersifat
personal, dan patron klien
Bupati berwenang mengatur bagi hasil di
wilayah (UU No. 2 tahun 1960 pasal 7:
“Besarnya bagian hasil-tanah yang
menjadi hak penggarap dan pemilik untuk
tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II
ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah
....”.)
21. Landreform di Abad 21:
Landreform memperoleh semangat baru
Perubahan motif Landreform: dari untuk pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan, ke pengurangan
kemiskinan, ketahanan pangan; keadilan sosial dan
penebusan dosa sejarah.
Reforma agraria baru = mempertimbangan fakta
ketimpangan rezim perdagangan pertanian
internasional
Pertanian = mekanisme yang paling riel agar sistem
neoliberal mampu mengintegrasikan kelompok miskin.
Penelitian Akram-Lodhi et al. (2007), landreform di era
neo-liberal di Brazil , Bolivia, Filipina, Vietnam,
Armenia, Uzbekistan, Mesir, Namibia, Ethiopia, dan
Zimbabwe
Landreform didorong fakta terus berlanjutnya
kemiskinan dan konflik tanah di pedesaan.
Pengurangan kemiskinan = sistem pasar menjadi
22. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN:
Tanah selalu dipandang sebagai milik
penguasa (raja, pemerintah kolonial,
pemerintah desa, dan negara).
Semenjak digulirkan tahun 1950-an,
landreform dan pemberian lahan kepada
petani tidak pernah berhasil
dilaksanakan secara cukup.
Beberapa bentuk upaya non landreform
masih dapat dijalankan.
Landreform tetap relevan dan mampu
menjadi instrumen menghadapai
neoliberal