Dokumen tersebut menjelaskan tentang definisi tanah terlantar menurut hukum positif dan hukum adat, kriteria penentuan tanah sebagai tanah terlantar, serta proses identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar.
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Leks&Co
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No. 18/2021
Outline
Hak Pengelolaan
Tanah Reklamasi
Hak Atas Tanah
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Pembatalan Hak atas Tanah
Satuan Rumah Susun
Properti untuk Orang Asing
Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pendaftaran Tanah secara Elektronik
Kawasan dan Tanah Telantar
HPL
Ketentuan mengenai HPL diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP No. 18/2021”)
Sejarah Pengaturan HPL
Sebelum ditetapkannya PP No. 18/2021, ketentuan mengenai HPL disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (“PP No. 40/1996”) dan berbagai aturan lain
HPL didefinisikan PP No. 40/1996 sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Ketentuan mengenai subjek HPL serta tata cara permohonan dan pemberiannya diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No. 9/1999”)
PP No. 18/2021 juga memberikan definisi HPL sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL
HPL dapat berasal dari (i) tanah negara dan (i) tanah ulayat.
HPL di atas tanah negara diberikan sepanjang tugas pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan pengelolaan tanah
Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur
penguasaan, pemilikian, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui
Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses
untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Leks&Co
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No. 18/2021
Outline
Hak Pengelolaan
Tanah Reklamasi
Hak Atas Tanah
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Pembatalan Hak atas Tanah
Satuan Rumah Susun
Properti untuk Orang Asing
Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pendaftaran Tanah secara Elektronik
Kawasan dan Tanah Telantar
HPL
Ketentuan mengenai HPL diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP No. 18/2021”)
Sejarah Pengaturan HPL
Sebelum ditetapkannya PP No. 18/2021, ketentuan mengenai HPL disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (“PP No. 40/1996”) dan berbagai aturan lain
HPL didefinisikan PP No. 40/1996 sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Ketentuan mengenai subjek HPL serta tata cara permohonan dan pemberiannya diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No. 9/1999”)
PP No. 18/2021 juga memberikan definisi HPL sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL
HPL dapat berasal dari (i) tanah negara dan (i) tanah ulayat.
HPL di atas tanah negara diberikan sepanjang tugas pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan pengelolaan tanah
Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur
penguasaan, pemilikian, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui
Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses
untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Hukum Perumahan dan Hukum Rumah Susun Pasca UU Cipta KerjaLeks&Co
Outline:
1. Perubahan istilah
2. Skala perumahan
3. Hunian berimbang
4. Dana konversi
5. PPJB
6. Sanksi administratif & pidana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU No. 1/2011”) Pasca UU Cipta Kerja
Pada awalnya, pengaturan mengenai Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU No.1/2011”). Namun, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU No. 11/2020”), UU No.1/2011 mengalami beberapa perubahan.
1. Rusun umum & alas hak rusun
2. Pemisahan & pertelaan
3. SHM & SKBG sarusun
4. P3SRS
5. Sanksi administratif & pidana
6. Perbandingan PP rusun
Perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun(”UU No. 20/2011”) Pasca UU Cipta Kerja
Pada awalnya, pengaturan mengenai Rumah Susun dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No.20/2011”). Namun, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU No. 11/2020”), UU No.20/2011 mengalami beberapa perubahan.
Hukum Perumahan dan Hukum Rumah Susun Pasca UU Cipta KerjaLeks&Co
Outline:
1. Perubahan istilah
2. Skala perumahan
3. Hunian berimbang
4. Dana konversi
5. PPJB
6. Sanksi administratif & pidana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU No. 1/2011”) Pasca UU Cipta Kerja
Pada awalnya, pengaturan mengenai Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU No.1/2011”). Namun, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU No. 11/2020”), UU No.1/2011 mengalami beberapa perubahan.
1. Rusun umum & alas hak rusun
2. Pemisahan & pertelaan
3. SHM & SKBG sarusun
4. P3SRS
5. Sanksi administratif & pidana
6. Perbandingan PP rusun
Perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun(”UU No. 20/2011”) Pasca UU Cipta Kerja
Pada awalnya, pengaturan mengenai Rumah Susun dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No.20/2011”). Namun, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU No. 11/2020”), UU No.20/2011 mengalami beberapa perubahan.
4. Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas
tanah yang diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati
manfaatnya, dan digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam Pasal
4 ayat (1) dan (2) UUPA menyebutkan tanah sebagai berikut :
” Atas dasar menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.”
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
5.
6.
7.
8. PP. No. 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar
mengatur mengenai kriteria tanah yang dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar,
yaitu terdapat dalam Pasal 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 :
1. Tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja
tidak dipergunakan oleh pemgang haknya sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya atau tidak diperihara dengan baik (Pasal 3);
2. Tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai yang tidak dimaksudkan
untuk dipecah menjadi beberpa bidang tanah dalam rangka penggunaannya
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaanya atau sifat dan tujuan haknya,
apabila tanah tersebut tidak dipergunakan menurut peruntukannya dan
rencana tata ruang wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan
pembangunan fisik di atas tanah tersebut (Pasal 4);
9. 3. Tanah hak guna usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan
kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan jika hanya sebagian dari bidang
tanah hak guna usaha yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya
bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal
5 ayat (1) dan (2));
4. Tanah hak guna bangunan atau hak pakai yang dimaksudkan untuk dipecah
menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya,
apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya
sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang dan jika hanya sebagian dari bidang tanah hak guna bangunan
atau hak pakai yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian
tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 6 ayat
(1) dan (2));
10. 5. Tanah hak pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
kewenangan hak menguasai dari negara atas tanah tersebut tidak
dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai tujuan pemberian, pelimpahan
kewenangan tersebut, dan jika hanya sebagian dari bidang tanah hak
pengelolaan yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian
tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 7
ayat (1) dan (2);
6. Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah
tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak
dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik, dan dan jika hanya
sebagian dari bidang tanah hak tersebut di atas yang memenuhi kriteria
tanah terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 8 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka penentuan tanah
sebagai tanah terlantar yang dapat menyebabkan hapusnya suatu hak
atas tanah dan menjadikan tanah tersebut dalam penguasaan negara
ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dalam PP. No. 36 Tahun
1998
11.
12. Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu amanah yaitu
bahwa pemilik dan atau pemegang hak atas tanah tidak boleh
menelantarkan tanahnya. Hal tersebut berarti setiap pemberian hak
oleh negara kepada perorangan atatu badan hukum haruslah
bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh pemegang hak sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.
Secara filosofis tanah terlantar sangat bertentangan dengan
asas yang menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal,
bahkan tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan
habis. Tanah berfungsi untuk menyejahterakan manusia sehingga
tanah harus digunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Itu
sebabnya mengabaikan kewajiban menggunakan dan mengelola tanah
sesuai dengan hak yang dimiliki merupakan tindakan pelanggaran
terhadap fungsi sosial tanah.
13. Apabila nantinya diketahui pemegang hak mengabaikan
kewajiban terhadap tanah sehingga keadaan tanah menjadi
terlantar atau tidak produktif, tidak memberi manfaat bagi
pemegang hak maupun masyarakat sekitarnya, mengalami
penurunan kualitas kesuburan dalam waktu tertentu, maka
pemerintah harus segera bertindak, dan menyatakan suatu bidang
tanah dalam keadaan terlantar. secara yuridis hal ini harus diikuti
dengan tindakan pemerintah untuk melakukan pembatalan
terhadap hak atas tanah tersebut. Kemudian tanah kembali kepada
negara yang selanjutnya akan diserahkan kepada subjek hukum
lainnya untuk dimanfaatkan kembali. Realitas seperti itu
menunjukkan bahwa secara administrasi tertib hukum pertanahan
perlu ditegakkan secara tegas.
14. Konsep tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan
dalam pengertian-pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat. Berikut
pengertian tanah terlantar dalam beberapa wilayah Hukum Adat di Indonesia
Sulawesi Selatan (Bugis)
Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona Kabu,
Tona Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang dikategorikan sebagai
tanah tersebut adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau
lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-indikasi yaitu pematang-pematangnya
tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya sudah hilang secara
keseluruhan.
Sumatera Utara
Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah
Soppalan, yaitu tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alang-
alang, tanah bekas ladang yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi
semak, tanah yang sengaja ditelantarkan untuk penggembalaan ternak
masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.
15. Aceh
Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas
pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang
tanah kembali kepada Hak Ulayat.
Maluku
Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10-
15 tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan
(ulayat).
Kalimantan Selatan (Banjar)
Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim
atau lebih akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik.
Untuk menentukan kriteria suatu hak atas tanah dapat dikatakan
tanah terlantar adalah dengan cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada
dalam pengertian mengenai tanah terlantar. Dalam Hukum Adat Tanah
terlantar dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang
ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu
tertentu (3 s.d. 15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi
semak belukar, maka tanah tersebut kembali kepada Hak Ulayat atau
masyarakat adat.
16. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998 yang
dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh
pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak-pihak
yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum
memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dengan pertimbangan bahwa PP No. 36 Tahun 1998 tidak dapat
lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar sehingga perlu dilakukan penggantian peraturan maka
diterbitkan PP No. 11 Tahun 2010. Peraturan pemerintah tersebut
mencabut PP No. 36 Tahun 1998 dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Salah
satu yang menjadi kelemahan dalam PP. No. 36 Tahun 1998 adalah tidak
ditentukannya berapa lama tanah yang tidak digunakan sesuai dengan
peruntukannya dapat dikatakan tanah terlantar.
17. Definisi tanah terlantar tidak diatur di dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar (“PP No.11/2010”), tetapi diatur di dalam Pasal 1
angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar.
Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan
hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau
dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau
dasar penguasaannya.
18. Dalam Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 menggolongkan suatu tanah adalah
terlantar dari segi status tanah dan dari segi penggunaan tanahnya .
1. Dari segi status tanahnya, yaitu meliputi hak penguasaan atas tanah
yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar
apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Serta hak penguasaan atas tanah yang sudah ada dasar
penguasaannya, dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya
tidak dimohonkan hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang
ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat
keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan
/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
19. 2. Dari segi penggunaan tanahnya, yaitu kondisi-kondisi yang
dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya adalah karena
pemegang hak perseorangan dimaksud tidak memiliki kemampuan
dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau
memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian haknya. Selain itu yang dimaksud dengan tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya yaitu pemegang hak instansi
Pemerintah/BUMN/BUMD dimaksud karena keterbatasan anggaran
negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan atau
memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian haknya. Serta yang dimaksud dengan tanah yang
terindikasi terlantar adalah tanah hak dan atau dengan dasar
penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum
dilakukan identifikasi dan penelitian. Untuk memperoleh data tanah
terindikasi tanah terlantar dilaksanakan kegiatan inventarisasi oleh
kepala wilayah BPN kepada kepala BPN RI.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27. Indentifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar
Identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar
dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari unsur Badan
Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh
Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia (“BPN”). Dalam Pasal
7 PP No.11/2010, kegiatan identifikasi dan penelitian tanah yang
terindikasi terlantar meliputi:
1. verifikasi data fisik dan data yuridis;
2. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya
untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data,
rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada
saat pengajuan hak;
3. meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang
terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut
harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang
diperlukan;
4. melaksanakan pemeriksaan fisik;
28. 5. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada
peta pertanahan;
6. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
7. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
8. melaksanakan sidang Panitia; dan
9. membuat Berita Acara.
Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan
terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan
dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada
Pemegang Hak, agar dalam jangkawaktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkannya suratperingatan, menggunakan tanahnya sesuai
keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau
sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.
Di dalam surat peringatan perlu disebutkan hal-hal yang secara
konkret harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat
dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak
melaksanakan peringatan yang dimaksud.
29. Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan
tertulis yang diberikan oleh Kepala Kator Wilayah, maka Kepala
Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk
menetapkan tanah yangbersangkutan sebagai tanah terlantar.
Kemudian,Kepala BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh
Kepala Kantor Wilayah sebagai tanah terlantar. Dalam hal tanah
yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah
hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya
hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta
ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah
terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan,
penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan
hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.
30. Contoh kasus Tanah Terlantar di Yogyakarta
Setiap Kantor Wilayah BPN memiliki bagian yang menangani
bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat.
Mereka melakukan pengendalian terhadap tanah-tanah yang telah
dilakukan pendaftarannya dalam berbagai bentuk hak. Dalam rangka
pengendalian itu diperoleh angka sekitar 300 hektar tanah yang
diidentifikasi terlantar (kota-desa). Dengan keluarnya PP no 11 tahun
2010 yang mengecualikan tanah yang dikuasai oleh pemerintah sebagai
obyek tanah terlantar, maka akhirnya hanya ditetapkan 62,1038 ha atas
15 subyek hak. Jenis hak umumnya adalah HGB.
Di masa lalu, pemanfaatan tanah terlantar dalam praktik dan
definisi formal dilakukan oleh instansi pemerintah non-BPN, yang dapat
bekerjasama dengan pemegang hak serta diatur oleh Pemerintah
Daerah. Sebagai contoh adalah pemanfaatan tanah kosong di Kabupaten
Bantul melalui program ABRI Manunggal Pertanian (AMP). Ada dua
jenis pemanfaatan yakni dilakukan oleh masyarakat sendiri dan
dilakukan oleh instansi pemerintah. Program pertama berupa
pemanfaatan atas tanah tujuh pengembang perumahan. Mereka ini
menguasai tanah cukup luas dan seluruh atau sebagian tanahnya masih
dalam keadaan kosong.
31. Pengembang tersebut adalah Perum Perumnas, Koperasi BKUK Dekopindo, PT.
Nuscon Asri, PT. Aditra Graha Asri, PT. Heksana Adi Gatra Mulya, PT. Lita
Internusa, dan PT. Griya Mataram Singgasana. Dalam pengakuan pengembang,
penelantaran itu disebabkan faktor ekonomi berupa suku bunga tinggi sehingga
mereka kesulitan mendapat kredit bank untuk pembangunan perumahan, serta
krisis ekonomi tahun 1999 yang mengakibatkan rendahnya permintaan
pembangunan rumah. Pemanfaatan yang dilakukan adalah penanaman kembali
tanah kosong oleh pemilik semula di atas tanah pengembang.
Program kedua adalah berupa penanaman tanaman pangan oleh
ABRI (Kodim 0729 Bantul) sebagaimana dinyatakan oleh Surat Keputusan
Penanggung Jawab Operasi ABRI Manunggal Pertanian No. Skep/06/IV/1998.
Penanaman dilakukan di atas tanah-tanah kosong masyarakat melalui sistem
bagi hasil, yang mana pemilik mendapat 60% hasil serta upah tenaga kerja jika
mereka sendiri yang mengerjakannya.
Dalam dokumen resmi, program inilah yang sering dicatat sebagai
bentuk pemanfaatan tanah terlantar, mengabaikan kenyataan bahwa
masyarakat luas dengan definisi mengenai tanah kosong dan dihadapkan pada
kondisi aktualnya, telah banyak memanfaatkan tanah-tanah yang dianggap
kosong/terlantar tersebut.