1. TASAWUF
Makalah ini disusun guna memenuhi
Tugas Akhir Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu :
Relit Nur Edi, S. Ag., M. Ag.
DISUSUN OLEH :
NAMA : RIA WIDIANTI
NPM : 14119214
KELAS E
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
2. A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai
jawaban atas sebagai kebutuhan manusia. Selain menghadapi kebersihan
lahiriyah juga menghendaki kebersihan batiniyah. Lantaran penelitian yang
sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.
Tasawuf merupakan bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutanya dapat menimbulkan
akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal
sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih,
khususnya pada bab thoharoh yang memusatkan perhatian pada pembersih
aspek jasmani atau lahiriyah yang selanjutnya di sebut sebagai dimensi eksotrik.
Dari suasana demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai
penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, koropsi, kolusi,
penyalagunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan sebagainya.
Untuk mengatasi masalah ini tasawuf di bina secara intensif tentang cara-cara
agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.1
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Tasawuf
Arti tasawuf menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan
oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
a) Berasal dari kata suffah ()صفة = segolongan sahabat-sahabat Nabi
yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para
sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-
fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa
itu.
b) Berasal dari kata sūfatun ()صوفة = bulu binatang, sebab orang
yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang
memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan
orang.
1
http://lenydoank-oke.blogspot.com/2012/01/makalah-tasawuf.html
3. c) Berasal dari kata sūuf al sufa’ (الصفا )صوفة = bulu yang terlembut,
dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
d) Berasal dari kata safa’ ()صفا = suci bersih, lawan kotor. Karena
orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin
dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat
menyebabkan kemurkaan Allah.2
Terminologi lain yang menunjukan tasawuf adalah pembersihan hati,
giat ibadah, lembuat berakhlak, merekronstruksi keadaan zhair dan bathin untuk
mendapatkan kebahagiaan abadi, zuhud kepada dunia, selalu ingat akhirat, dan
bersungguh-sungguh di dalam taat dan takwa kepada Allah SWT.3
2. Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat
mungkin dengan Allah.4
Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf
secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
a) Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini
meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan
pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya
kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya
bersifat praktis.
b) Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan
langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis
dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis
analitis.
c) Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem
pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian
garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia
dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan, dalam hal apa makna dekat
dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan
2
Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin
Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), hlm. 5.
3
Abu Muhammad Rahim, At-Tasawuf al-ladzi Nuriduhu, (Kairo: Maktabah Umul-Qura.
2009), hlm. 20.
4
Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul
Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), hlm. 6.
4. merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan
Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat
yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi
adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman
tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah
etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu:
1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena
Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini;
2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan
diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial)
yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan
3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri
pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi
anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
3. Pembagian Tasawuf
a) Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori
perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-
metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk
menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf
seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk
merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya
dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki
kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan
kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan
hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu
sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut :
5. 1) Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh
seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak
tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak
jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2) Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar)
maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3) Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada
fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli.
Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh
jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak
dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang,
maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang
dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam
dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.5
b) Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan
teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter
umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani
bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti
sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat,
juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena
teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa
tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga
5
Rosibon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2006), hlm 56-58.
6. sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof.
Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran
berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan
luas tentang ide-ide ketuhanan.6
c) Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni.
Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau
“jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa
manusia dapat meninggal dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi
antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat
kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul
atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai
dua kesamaan.7
4. Tahapan Tasawuf
a) Syari’at
Syari’at jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata َرََعَ –
َر َعَََُ – َشر ََعَ yang berarti membuat peraturan atau undang-undang. Iyad Hilal
dalam bukunya “Studi Tentang Ushul Fiqih” memberi definisi bahwa menurut
pengertian bahasa, istilah syari’at berarti sebuah sumber air yang tidak pernah
kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian
pengertian bahasa ini syari’at atau hukum Islam ini dijadikan sebagain sumber
pedoman.8
Dalam dunia tasawuf syari’at adalah syarat mutlak bagi salik
(penempuh jalan ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syari’at maka batallah apa
yang diusahakannya. Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah
syari’at, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang
berkaitan dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan,
ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna
6
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, madkhal Ila At-Tashawwuf al-Islam, ter. Ahmad
Rofi ‘’Utsmani,Sifi dari Zaman ke zaman’’, pustaka Bandung, 1985, hlm. 188
7
Ibid, hlm. 190.
8
Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), hal. 8.
7. kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah
perintahkan baik secara langsung (wahyu) maupun melalui nabi-Nya itulah yang
disebut syari’at.
Dengan pemaknaan tersebut maka syari’at meliputi segala aspek
kehidupan. Syari’at bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata.
Tapi lebih dari itu, syari’at adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia
menuju realitas sejati. Syari’at merupakan titik tolak keberangkatan dalam
perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi,
mau tidak mau ia harus memperkuat syari’atnya terlebih dahulu.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syari’at itu hanyalah titik
tolak menuju makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari
syari’at, karena menurut mereka syari’at itu hanya untuk orang awam.
Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara
syari’at dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syari’at adalah bentuk
lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syari’at. Mereka yang
menyatakan bahwa syari’at berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang
khusus, maka mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan.
Mereka yang lebih maju (dalam sufisme) membutuhkan ibadah
sepuluh kali lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung
pada pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya
menaati syari’at.9
Adapun ketika seseorang mencapai kasyf (penyingkapan), maka
kasyf itu tidak bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak
menghasilkan produk syari’at yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan
keyakinan kebenaran syari’at. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui
mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat
dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-
Ghazali wahyu yang didalamnya memuat syari’at itu penuh dengan bahasa
simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah melalui kasyf, begitu juga
dengan pandangan Ibn Arabi.
9
Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shari‘ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s
Effort to Reform Sufism, (The Islamic Foundation: 1990), hlm. 75.
8. b) Tarekat
Tarekat secara bahasa berasal dari kata َطَُعْق ُ jamaknya طَعَق dan
طَعَقَُ yang bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi
َطَرَُعْق ُ yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada
metode penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syari’at.
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan
khusus bagi salik (penempuh jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan
tauhid, yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan
utama, syari’at, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit
dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri.
Pada tataran syari’at, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu
dominan, sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat
dalam keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan
milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang milik
pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan, milikmu
adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat
kepemilikan hanya milik Allah.
Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam
mendaki tangga kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang
harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-
Nya dengan melakukan apapun yang Dia syari’atkan dan memurnikan tujuan
dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga
yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada
banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari
ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan
tauhid.
Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai
pada hakikat, yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya
berjuang dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha
dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan,
agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu10
. Riyadhah
bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari,
10
Kafie, Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Republika, 2003), hlm. 58
9. serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri,
keluarga, dan masyarakat sosial. Inti dari riyadhah adalah konsisten dan
istikomah, bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa.
Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan membedakan apa
yang tidak disenangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan apa yang disukai-Nya.11
Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang. Yang
telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-
kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak
Allah? Sedangkan yang akan datang telah ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah
nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah dengan mengingat mati yang
kemudian menghasilkan khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan).
c) Hakikat
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat
(Haqiqah) seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam
konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas
dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan
spiritual, hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang merupakan
kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, sementara
hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial.
Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat
diartikan sebagai inti atau esensi.12
Hakikat adalah dari sudut pandang dimana
banyak para sufi menyebut diri mereka ‘ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai
pencerminan obsesi mereka terhadap ‘kebenaran yang hakiki’ (kebenaran yang
esensial). Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj (w. 922) yang
mengungkapkan kalimat ‘ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan). Obsesi terhadap
hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula ‘la ilaha illa
Allah’ yang mereka artikan ‘tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’. Bagi
mereka Tuhan-lah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada
yang absolut, sementara yang selain-Nya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau
11
Muhasibi, Sebuah Karya Klasik Tasawuf: Memelihara Hak-Hak Allah. Diterj. Abdul
Halim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), hal. 53
12
https://hidrosita.wordpress.com/2013/12/14/syari’at-tarekat-hakikat-dan-makrifat/
10. nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. Jika kita
ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang
selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada
kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi
dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud13
.
Pernyataan ‘la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para sufi sebagai penafian
terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai
realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep ‘fana’ , atau ‘fana al-fana’ yang
merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah
afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fana’ dan baqa’ ini
dipandang sebagai ‘stasion’ (maqam) terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah
maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode
tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai
kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah
mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya
masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, “Lobang jarum bukanlah untuk
dua ujung benang.”14
d) Makrifat
Sebelum mendefinisikan makrifat baik secara etimologis maupun
terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari
beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati
istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut:
Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi
berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan
pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu
sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain.
Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat.
13
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006),
Hal. 6.
14
Ibid, Hal. 9.
11. Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang
Muslim telah menguasai syari’at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat
mengikuti thariqah dari mistik, dan ‘jalan’ yang mengantarkan pada pengetahuan
yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan
Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis.
Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari
kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’arifah, yang artinya adalah pengetahuan,
pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu
tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau
pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang
pada umumnya.
Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari
tritunggal bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah
(cinta). Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual
(thariqat). Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati.Gagasan
mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-
Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam:
1) Pertama, makrifat kalangan orang awam (orang banyak pada
umumnya), tauhid melalui syahadat.
2) Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan
merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui Allah melalui
tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran.
3) Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka
mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni
mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi
dalam tasawuf. Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam
makalah yang singkat ini.
Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam
perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan
sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at, hukum
Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang
12. ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa
seseorang ke dalam hakikat (kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak
tentang seluruh eksistensi). Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua
pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai
pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang
disebut ‘makrifat’ (pengetahuan).
Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya
makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan
melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat
terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang
prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan
usaha keras dalam waktu yang panjang. Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs
maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik.
13. C. KESIMPULAN
Tasawuf adalah pembersihan hati, giat ibadah, lembuat berakhlak,
merekronstruksi keadaan zhair dan bathin untuk mendapatkan
kebahagiaan abadi, zuhud kepada dunia, selalu ingat akhirat, dan
bersungguh-sungguh di dalam taat dan takwa kepada Allah SWT.
Tujuan tasawuf antara lain: penyerahan diri sepenuhya kepada
kehendak mutlak Allah, penanggalan secara total semua keinginan
pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan
dengan kehidupan duniawi (teresterial) dan peniadan kesadaran
terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan
terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia.
Tasawuf terbagi menjadi 3, yaitu: Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Falsafi
dan Tasawuf Syi’i.
Tahapan-tahapan tasawuf yaitu: Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan
Marifat.