SlideShare a Scribd company logo
1 of 111
Download to read offline
MaPPI
ztllzwT
U]NUNfifiU P]RUBAHAN
DAil BALIII ,Enu,l
Pemasyarakatan)(Studi Awal Penerapan Konsep
MENUNGGU PERUBAHAN
DARI BALIK JERUJI
(STUDI AWAL PENERAPAN KONSEP PEMASYARAKATANI
Oleh :
Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN dan LBH JAKARTA
Penyunting:
Topo Santoso
Hasril Hertanto
Tim Peneliti :
1. Asfinawati : Direktur LBH Jakarta
2. Muhammad Gatot : Kepala Litbang LBH Jakarta
3. Hasril Hertanto: Ketua Harian MaPPI FHUI
4. M. Ali Aranoval : Kepala Monitoring MaPPI FHUI
5. Fulthoni : Kepala Bidang Operasional KRHN
6. Lolong Manting : Staf Program KRHN
Partnership For Governance Reform
Pustakawati: Riana Ekawati
Manajer Penerbitan: Ike Bambang
Manajer Proyek Soffan Lubis
Lay Out Isi : Ashep Ramdhan
Tak satu bagran pun dari buku ini yang dapat diproduksi ulang, disimpan
dalam bentuk sistem pengambilan, atau dialihkan dalam bentuk atau
sarana apa pun, termasuk elektronik, mekanik, foto kopi, rekaman, atau
apa saja, tanpa sebelumnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang
bersangkutan.
Izin dapat diperoleh secara langsung dari Kemitraan bagr Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia
IND: telepon: l+621213902566, faks: (+62) 2L 2302933,
e-mail: information@kemitraan.or. id
Katalog Dalam Terbitan
Menunggu perubahan dari balik jeruji : Studi
awal penerapan konsep pemasyarakatan / oleh
tim peneliti MaPPI FHUI, KRHN dan LBH Jakarta
: pen5runting, Topo Santoso, Hasril Hertanto ;
tim peneliti, Asfinawati ... [et a1.]. --
Jakarta : Kemitraan, 2OO7
110 hlm .;21,5 x 15,5 cm
1. Penjara. I. Topo Santoso II. Hasril Hertanto
III. Asfinawati
Katalog Perpustakaan Kemitraan-Data dalam Publikasi
Catatan katalog buku ini tersedia pada Perpustakaan Nasional Indonesia.
ISBN: 979-979-26-9616-5
Untuk keterangan mengenai semua publikasi Kemitraan, silakan kunjungi
situs web kami di http: / /www.kemitraan.or.id lpage /publications /books/
Hak cipta @ 2OO7, Partnership. Hak cipta dilindungi.
DAFTAR ISI
V
vii
viii
Bab I PENDAHULUAN
Bab III ASPEK KELEMBAGAAN DALAM PROSES PEMASYARAKATAN
13
A. Struktur Organisasi 1,6
B. Sumber Daya Manusia................ 21,
C. Mekanisme Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi 25
D. Pelaksana Konsep Pemasyarakatan ............ 26
E. Mekanisme Pengawasan 27
F. Koordinasi dan Kerjasama Kelembagaan............ 29
G. Akuntabilitas dan Transparansi................... 29
Bab TV SARANA DAN PRASARANA DALAM PROSES
PEMASYARAKATAN...... 31.
A. Instrumen Peraturan ...................... 31
B. Over Kapasitas.............. 32
C. Bangunan dan Letak Lapas 34
7
7
8
9
9
D. Sistem Pengamanan ................. B6
E. Sarana Pembinaan dan Kerja 40
F. Fasilitas Kesehatan 4g
G. Sistem Informasi dan Komunikasi............. 46
H. Anggaran................. 4g
Bab V IMPLEMENTASI KONSEP PEMASYARAKATAN 49
A. Administrasi dan Pengelompokan Warga Binaan 49
B. Konsep dan Model Pembinaan 5j.
C. Partisipasi Warga Binaan dalam Proses Pembinaan. 56
E. Organisasi tidak Resmi Warga Binaan dalam Lapas !....!..r...;.....!.!.........! 6g
Bab VI PENUTUP 70
70
72
74
90
97
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
Sekilas tentang LBH ]akarta, KRHN, MaPPI,
UU No. l?Tahun L995
Daftar Pustaka
V1
DAT"TAR SIITGI(ATAN
AKIP Akademi Ilmu pemasyarakatan
BAPAS Balai pemasyarakatan
Bengker Bengkel Kerjl
CMB Cuti Menjelang Bebas
DPR Dewan perwakilan Rakyat
FGD Focus Group Discussion
HAM Hak Asasi Manusia
HaKI Hak atas Kekayaan Intelektual
Kalapas Kepala Lembaga pemasyarakatan
Kepmen Keputusan Menteri
KPLP kesatuan pengamanan Lembaga pemasyarakatan
KIMWASMAT Hakim pengawas dan pengamat
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum pidana
KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana
Lapassustik LembagapemasyarakatanKhususNarkotika
LP/ L,apas Lembaga pemasyarakatan
LBH Lembaga Bantuan Hukum
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
PB pembebasan Bersyarat
PP Peraturan pemerintah
SDM Sumber Daya Manusia
SKB Surat Keputusan Bersama
UU Undang-Undang
WBP Warga Binaan Pemasyarakatan
KATA PENGANTAR
Sistem peradilan pidana terdiri dari beberapa sub sistem yang saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya. sub sistem tersebut terdiri dari
penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, penuntutan dilakukan oleh
Kejaksaan, pemeriksaan persidangan dilakukan oleh pengadilan, dan
terakhir pelaksanaan pidana yang dilakukan oleh lembaga
pemasyarakatan. Ketiga lembaga tersebut saling berkaitan dan memiliki
pengaruh yang besar dalam rangka penegakan hukum. Namun dalam
perkembangannya lembaga pemasyarakatan sebagai muara dari sistem
peradilan pidana jarang sekali mendapatkan perhatian. Maka tak
mengherankan apabila permasalahan yang ada di dalam lembaga tersebut
jarang sekali diketahui. Pemberitaan media massa seringkali bernada
memojokan tanpa berupaya untuk mencari solusi atas permasalahan
tersebut.
Permasalahan yang sangat kompleks di tubuh lembaga
pemasyarakatan membutuhkan perhatian dan dukungan dari masyarakat.
Dukungan tersebut tidak perlu selalu diwujudkan dengan memberikan
bantuan dana atau apapun yang bersifat materi. Dalam rangka
memberikan dukungan tersebut maka sejumlah lembaga swadaya
masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
(LBH Jakarta) didukung oleh Kemitraan (Partnerships for Gouerrlance
Reform) berupaya memberikan dukungan tersebut. Dukungan itu
dilakukan dengan membuat pemetaan atas permasalahan yang ada di
lembaga pemasyarakatan.
Saat ini telah banyak kegiatan penelitian yang dilakukan oleh
Lembaga Pemasyarakatan maupun lembaga lain, namun belum dapat
memberikan perubahan yang berarti. Dalam rangka membantu proses
pembaruan tersebut maka pemetaan ini dilakukan sehingga hasil akhir
yang diharapkan adalah sejumlah kegiatan yang dapat membantu proses
pembaruan itu sendiri.
Pemetaan yang dihasilkan dalam kegiatan tentunya belum dapat
dikatakan sebagai gambaran utuh atas segala permasalahan yang ada.
Namun tim peneliti berharap hasil pemetaan ini dapat menjadi awal proses
pembaruan L€mb"ga Pemasyarakatan. Pemetaan yang dilakukan tidak
hanya tertuju pada pelaksanaan pemasyarakatan itu sendiri tetapi
mencakup pula organisasi pelaksana dan organ pendukung. Meskipun jauh
dari kesempurnaan, hal ini dapat dipandang sebagai wujud kepedulian
masyarakat pada proses pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.
Kegiatan kajian dan penulisan buku ini tidak akan dapat berjalan
dengan baik apabila tidak ada dukugrgan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu kami ingin menyampaikan terima kasih khususnya kepada
Bapak Mohamad Sobary selaku Direktur Eksekutif Kemitraan beserta
manajemen Kemitraan. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada
jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia yang telah memberi kemudahan dan informasi selama
pelaksanaan kajian. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Prof.Dr.
AdrianuS Meliala, Bp Soffan Lubis serta rekan-rekan Cluster Securitg and
Justice Gouernance di Kemitraan.
Jakarta, 18 Oktober 2OO7
Tim Peneliti.
BAB I
PENDAIIULUAN
Hukum pidana Indonesia mengenal pidana penjara sebagai salah satu
hukuman yang paling dominan dalam menerapkan sanksi pidana. Pasal 1O
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenal dua macam pemidanaan
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 1 Pidana pokok terdiri dari
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim. Pidana pokok maupun pidana tambahan hanya dapat diterapkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara
pidana hanya dapat terjadi setelah seorang tersangka diproses menurut
hukum acara pidana yang berlaku berdasarkan bukti-bukti yang kuat.
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 2OO4 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dihadapkan ke
pengadilan selain berdasarkan undang-undang. Seseorang tidak dapat
d{jatuhi pidana kecuali pengadilan karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang y€rng
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan terhadap dirinya.
Ketentuan Pasal 6 tersebut secara tegas menyatakan bahwa seseorang
hanya dapat dijatuhi pidana berdasarkan alat bukti yang sah dan adanya
keyakinan dari pengadilan, dalam hal ini majelis hakim, bahwa seseorang
telah bersalah. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut maka diperlukan
sebuah hukum acara yang mengatur proses pengujian bukti-bukti untuk
llndonesia, Kitab Undang-Undang Hulo,tm Pidana, Pasal 1.0.
I
menyatakan seseor€rng bersalah dan melanggar hukum. Ketentuan
mengenai hukum acara tersebut diatur di dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-undang tersebut mengatur proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan pidana yang
terangkum dalam sebuah sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system). Dalam kerangka sistem peradilan pidand terpadu
tersebut setidaknya terdapat empat lembaga yang bertanggungjawab dalam
penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas).
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi
penegakan hukum merupakan muara dari peradilan pidana yang
menjatuhkan pidana penjara kepada para terpidana. Pelaksanaan
hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata sebagai sebuah
upaya balas dendam dan menjauhkan narpidana dari masyarakat.
Pemenjaraan terhadap narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem
Pemasyarakatan. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara
pembina, yang dibina, dan mdsyarakat untuk meningkatkan kualitas
Warga Binaan Pemasyarakatan agff menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab.
Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak
memberikan nilai tambah bagi seorang narapidana guna memperbaiki
hidupnya. Pemeqjaraan menurut sistem pemasyarakatan tidak ditujukan
untuk membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat
perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sistem pemasyarakatan
dikembangkan dengan maksud aga-r terpidana menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan
bertanggung jawab.
Menilik tujuan yang hendak dicapai maka pemenuhan hak dasar
para narapidana menjadi suatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut
sangat penting untuk menjadi perhatian dalam melaksanakan sistem
pemasyarakatan yang mendasarkan pada asas-asas pemasyarakatan. Asas-
asas pemasyarakatan yang dimaksud adalahz:
a. Pengagoman. Yartg dimaksud dengan pengagoman adalah perlakuan
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga
Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam
masyarakat.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan. Yang dimaksud dengan
persamaqn perlakuan dan pelaganan adalah pemberian perlakuan
dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan
tanpa membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan dan Pembimbingan. Yang dimaksud dengan pendidikan
dan pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan
bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila,antara lain
penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan
kerohanian,dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
d. Pengtnrmatan harkat dan martqbat manusia, Yang dimaksud dengan
penghormatan harkat do:n martabat manusia adalah bahwa sebagai
orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap
diperlakukan sebagai manusia.
e. Kehilangan kemerdekaan merupqkan satu-sa.tunga pendeitaan Yang
dimaksud dengan kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunga
penderitaan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada
dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara
mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di
Lapas, Warga Bihaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya
yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya
tetap di lindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan,
makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah
raga, atau rekreasi
f. Terjaminnga hak unhtk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu. Yang dimaksud dengan terjaminnga lwk untuk
tetap berlutbungan dengan lceluarga dan orang-orang ter-tentu adalah
bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di Lapas,
Pasal 5.
2lndonesia, Undang-Undang Tentang Pemasgarakatan, LN No. 77 Tahun 1995; TLN No. 3614,
tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat
dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain
berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan
ke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan
kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti
program cuti mengunjungr keluarga.
Sistem pemasyarakatan yang dijalankan berdasarkan undang-
undang tersebut menempatkan para narapidana sebagai seorang manusia
yang melakukan kesalahan dan harr.s dibina untuk kembali ke jalan yang
lurus. Hal itu ditunjukkan dengan penyebutan narapidana menjadi Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pembinaan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan di Lapas dilaksanakan secara intra mural (di dalam Lapas)
dan ekstra mural (di luar Lapas).
Pembinaan secara ekstra mural yang dilakukan di Lapas disebut
asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan
mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstra
mural juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu
proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah
memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di
tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan
BAPAS.3
Namun upaya pembinaan yang dilakukan oleh I"apas maupun Bapas
tersebut nampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan
sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan prasarana
dan sarana yang memadai sehingga menimbulkan berbagai permasalahan.
Pada umumnya permasalahan timbul karena adanya pengabaian terhadap
asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Permasalahan yang sering kali mengemuka adalah tidak adanya
persamEran perlakuan kepada para warga binaan, seringkali terjadi pungli,
adanya kesulitan warga binaan untuk bertemu dengan pihak keluarga,
adanya kesan bahwa l,embaga Pemasyarakatan merupakan ajang sekolah
begi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorarlg, minimnya standar
pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain
3lndonesia, Ibid, penjelasan Pasal 6 ayat (1)
4
yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahan
yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian masyarakat
terhadap lembaga pemasyarakatan.
Pemberitaan media massa menyebutkan bahwa di dalam Lembaga
Pemasyarakatan kerap terjadi tindak kekerasan terhadap narapidana.
Tindak kekerasan ini dilakukan oleh sesama WBP dan pejabat sipir penjara.
Hasil penelitian LBH Jakarta di 5 wilayah Jakarta menemukan, kekerasan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama 2003-2005, 25 o/o
diantarariya dilakukan di dalam lapas. Dalam Lembaga Pemasyarakatan
juga sering terdengar adanya pungutan liar yang dilakukan petugas kepada
para pengunjung. Bahkan tidak sedikit narapidana yang bertambah jahat
setelah keluar dari penjara.
Kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan adanya persoalan yang
serius di dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Jika
dikualifikasikan persoalan-persoalan tersebut adalah pertama, masih
minimnya jaminan perlindungan hak-hak narapidana. Kedua, tidak adanya
pengawasan yang efektif terhadap penyelenggaraan Lembaga
Pemasyarakatan. Ketiga, lemahnya regulasi (kebijakan) yang berimplikasi
pada penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat, terdapat
kelemahan dalam kerangka organisasi birokrasi yang menangani
pemasyarakatan. Beberapa kelemahan yang ditenggarai terjadi di dalam
penyelenggaraan pemasyarakatan harus dicarikan jalan keluar yang tidak
sekadar tambal sulam antara satu kebijakan dengan kebijakan yang
lainnya. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di tubuh lembaga
pemasyarakatan dan untuk mencari jalan penyelesaian yang akan
ditempuh maka perlu dilakukan sejumlah penelitian, meskipun kelemahan
yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakat seringkali diberitakan
oleh media massa. Gambaran yang diberikan oleh media massa belum
cukup memadai untuk melihat secara seksama permasalahan yang terjadi
di dalamnya.
Penelitian awal sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran yang
jelas teltang peta permasalahan di lembaga pemasyarakatan. Hasil
penelitian ini akan dijadikan pijakan awal untuk men]rusun sejumlah
kebijakan dalam rangka pembaruan lembaga pemasyarakatan.
Pembenahan dan pembaruan Lembaga Pemasyarakatan mesti dilakukan
mengingat adanya perubahan-perubahan di tubuh kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan sudah dilakukan dan tengah berjalan. Sebagai satu
kesatuan yang terintegrasi datam criminal justice sastem, tanpa dilakukan
pembaruan dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan, tujuan
untuk memberikan keadilan hukum bisa tidak tercapai. oleh karena itu
pembaruan dalam sistem penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan harus
segera dimulai
BAB II
KONSEP DAN PERKEMBANGAN PEMASYARAKATAN
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dalam perjalanannya
mempunyai sejarah yang cukup panjang4. Dinamika lembaga ini tentunya
tidak terlepas dari bagaimana sistem hukum yang mensyaratkan adanya
sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam suatu masyarakat terhadap
mereka yang melakukan kejahatan atau pelanggaran. Perkembangan
lembaga pemasyarakat ternyata berkaitan erat dengan kondisi politik
hukum yang terjadi di Indonesia, untuk itu dalam penelitian ini sejarah
lembaga pemasyarakatan dapat diuraikan sebagai berikut.
A. Masa Pra Kemerdekaan
Lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam perjalanannya
mempunyai sejarah yang cukup panjang berdasarkan perkembangan
kenegaraan beserta kebijakan politik hukumnya. Pada masa pra
kemerdekaan penjara disebut gestrafien kwartier. Di Jawa dan Madura
gestraften kutartier adalah satu atau lebih bangunan tembok segi empat
atau melingkar yang berisi 10 sampai 15 orang narapidana. Diluar Jawa
dan Madura gestrafienkuqrtier ini terdiri dari bangunan-bangunan darurat
yang dibuat dari kayu. Dalam penjara tidak ada tempat pekerjaan karena
semua pekerjaan dilakukan di luar tembok penjara.s Perlakuan terhadap
narapidana ketika itu sangat tidak manusiawi, kesehatan tidak terpelihara,
walaupun saat itu telah berlaku reglement op de orde en tucht dari tahun
1872, Staatsblad 1971 No. 78 yang ditujukan untuk mengatur tata tertib
terpidana dan juga mengatur sementara pekerjaan-pekerjaan terpidana.
aDisarikan dari situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada alamat website
http://www.ditjenpas.go.id/index.php . diakses pada tanggal 18 Maret 20O7.
s Pada saat itu belum dikenal pemisahan narapidana berdasarkan kategori perbuatan.
Narapidana laki-laki dan perempuan ditempatkan menjadi satu dan tidak dipisah
Sejak tahun 1905 timbul kebijakan baru oleh kolonial yakni pidana kerja
paksa di mana terpidana ditempatkan di pusat-pusat penampungan besar
di wilayah yang di sebut gewestelijke centralen. Terpidana kemudian
dipekerjakan pada proyek-proyek besar untuk keperluan umum seperti
pembuatan jalan, tambang-tambang, proyek-proyek irigasi, dan lain.lain.
Oleh karena itu dibangunlah penjara pusat.
Penjara-penjara Pusat tersebut terdiri dari bangunan dengan ukuran
yang sangat besar dan dengan kapasitas penampungan kurang lebih 700
sampai 27OO orang. pada saat itu telah dilakukan pemisahan terpidana
berdasarkan jenis kejahatannya sehingga di penjara pusat terdapat tembok-
tembok pemisah yang jumlahnya begitu banyak. Selain itu penjara pusat
juga menerapkan "sistem kamar bersama" yang berisi kurang lebih 25
orang terpidana. Sistem kamar bersama ini kemudian menjadi ciri khas
dari "Penjara-penjara Sentral" (Centrale Geuangenissen).6
B. Masa Berlakuaya KUHP
Sesudah berlakunya KUHP tahun 19i8 terjadi perubahan yang
mendasar mengenai penjara dan segala peraturannya. Perubahan tersebut
diantaranya adalah hukuman rampasan kemerdekaan yang bukan pidana
harus diadakan sarana Iisik atau bangunan tersendiri, oleh sebab itu selain
sistem Strafgeuangenissen diadakan pula sistem Huizen uan Beutaing (HvBl
atau yang disebut dengan "Rumah Tahanan" yang fungsi utamanya ialah
untuk menampung orang-orang yang belum dihukum atau belum tentu
dihukum, mereka yang ditahan atau mereka yang disandera sambil
menunggu keputusan tentang perkaranya. Selain itu dilakukan
penyempurnaan kebijakan dalam memperlakukan terpidana antara lain
berupa realisasi klasifikasi, penerapan Pasal 26, Wetboek uan Strafrecht
(KUHP) dan peluasannya Dalam periode ini dilaksanakan pemberian lepas
bersyarat yang pertama setelah 3 tahun setelah KUHP berlaku. Selain itu
berkaitan dengan Pasal 20 KUHP maka bagi semua terpidana baik pidana
6 Organisasi Kepenjaraan saat itu sudah mulai tertib dengan adanya Kepala Umsan Kepenjaraan
(Hoofd uan het Geuangeni,sutezen) yeng membawahi pejabat-pejabat seperti Inspektur, Direkhrr,
Pegawai-pegawai telmik, Administrasi, dan bidang lain.
penjara maupun pidana kurungan yang lamanya tidak lebih dari satu
bulan diwajibkan bekerja dipenjara pada siang hari dan sehabisnya bebas
berada diluar penjara. z
C. Masa PenJaJahan Jepang
Di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 struktur organisasi
Kepenjaraan tidak berubah semuanya masih berdasarkan sistem
kepenjaraan yang telah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda, akan
tetapi semua posisi puncak seperti kepala kepenjaraan sepenuhnya
dipegang oleh orang Jepang. Keadaan kesehatan terpidana pada saat itu
umumnya sangat menyedihkan. Pada tahun 1944 rata-rata setiap hari 25
orang terpidana meninggal dunia di rumah penjara Cipinang karena
mengidap penyakit disentri dan malaria. Obat-obatan tidak ada, yang ada
hanya tata kina yang langsung dibuat dari kulit pohon kina dimana
persediaannya sangat sedikit. Untuk pengobatan disentri dipergunakan
obat-obat tradisionil, keadaan makanan pun sangat menyedihkan.a
D. Masa Kemerdekaan
Setelah merdeka tahun 1945 semua penjara telah dikuasai oleh
Republik Indonesia. Menteri Kehakiman R.I yang ketika itu dijabat oleh
Prof. Mr. Dr Supomo mengeluarkan Surat Edaran No. G.8/ 58S tentang
Kepenjaraan yang memuat beberapa pokok aturan diantaranya: bahwa
yang pertama-tama harus diperhatikan dan diusahakan ialah kesehatan
orang-orang terpenjara, Pekerjaan bagr ora"ng-orang terpenjara harus
diperhatikan antara lain sebagai sarana memperbaiki tabiatnya, perhatian
khusus diminta untuk usaha-usaha dibidang pertanian guna mencukupi
makanan orang-orang terpenjara, perlakuan terhadap orang-orang
terpenjara selalu mengingat perikemanusiaan dan keadilan, tanpa pandang
bulu apakah Indonesia, Eropa, Tionghoa, dan lain-lain.
7 Semula ketentuan ini hanya berlaku bagi terpidana kurungal dengan lama pidana tidak lebih
dari 6hari. lStaatsblod 1925 No. 28)
t Walaupun dalam teori Kepenjaraan Jepang, perlakuan terpidana harus berdasarkan
"reformasi atau rehabilitasi" namun kenyataan lebih merupakan exploitasi atas manusia.
Saat itu Reglemen Penjara Staatsblad 1917 No.7O8 masih tetap berlaku
kecuali haf-hal yang bersangkutan dengan pengurusan dan pengawasan
atas penjara-penjara, terutama Pasal 15 s/ d 20 dan Pasal 22 s/ d 24. Pasal-
pasal tersebut diubah dengan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25
Februari 1946 No.G.8l23O yang mengatur mengenai Struktur Organisasi
dan Ketatalaksanaan dari Jawatan Kepenjaraan. Aturan tersebut /pada
hakekatnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pelnerintah
tentara Jepang, dimana penyebutan nama jabatan diubah kedaldm bahasa
Indonesia. Sejak tahun 1946 kantor pusat kepenjaraan dikehal dengan
"Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Penampungan"
(penampungan sebagai sebutan dari reclasseeirug.
Dalam sejarah Kepenjaraan Indonesia, periode Republik Indonesia
Serikat terkenal dengan adanya "Penjara-penjara Darurat". Ada beberapa
macarn penjara darurat yakni penjara darurat yang berisi beberapa orang
terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya; Penjara
darurat yang khusus didirikan dalam tempat-tempat pengungsian sebagai
tempat untuk orang-orang yang dianggap sebagai mata-mata musuh;
penjara-penjara darurat yang merupakan komponen dari tata peradilan
pidana darurat yang diadakan dalam rangka mempertahankan eksistensi
dan konsistensi dari Negara Republik Indonesia. Penjara-penjara darurat
tersebut diadakan bersamaan dengan diadakannya Pengadilan-pengadilan
Darurat sebagai realisasi dari instruksi Menteri Kehakiman Republik
Indonesia yang pada waktu itu berada dalam pengungsian.
Pada saat sistem penjara darurat dilakukan, narapidana menjalankan
tugas pembersihan bangsal-bangsal tempat penampungan terpidana,
memasak, bercocok tanam dan diperbantukan kepada pemerintah setempat
untuk keperluan yang bermanfaat untuk umum. Pada saat itu penjagaan
dilakukan oleh sedikit pegawai kepenjaraan yang berada dalam
pengungsian tanpa senjata dengan penerangan sangat minim. Jumlah
terpidana berkisar antara 25 sampai 60 orang. Pada saat darurat
perkelahian antar para terpidana hampir tidak ada, tidak ada narapidana
yang melarikan diri baik ketika sedang dihukum maupun ketika diadakan
10
pelatihan pengungsian bahkan ketika pengungsian sedang terjadi
walaupun pelaksanaanya dilakukan diwaktu malam.
Pada tanggal 19 Mei 1950 dicapai kata sepakat diantara negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur
untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945. Setelah dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dikeluarkan Surat Putusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa
dan "Reklassering" tanggal 14 Nopember 1950 No. J.H. 6/19/16 yang
mempersatukan urusan kepenjaraan di seluruh nusantara dalam satu
organisasi. Yang perlu diidentifikasikan mengenai periode kepenjaraan R.I
ialah adanya latar belakang falsafah yang baru dibidang kepenjaraan yakni
resosialisasi, yang pada waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern
di dunia kepenjaraan nasional. Adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan di
Nusakambangan pada tahun 1951 dan adanya Konperensi Dinas
Kepenjaraan di Sarangan pada tahun 1956 merupakan tonggak-tonggak
sejarah dalam perkembangan sistem Koreksi di Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Maret 1962 No. J.H. 8.6/71 tentang
Pendidikan Narapidana, yallg antara lain memuat arah pimpinan
kepenjaraan yang telah ditetapkan oleh Saharjo, SH, Menteri Kehakiman
pada waktu itu yakni pemasyarakatan narapidana dalam arti
mempersiapkan narapidana lahir/batin untuk kembali ke masyarakat.
Sistem Pemasyarakatan sebagai proses tidak sarna dengan sistem
klasifikasi sebagai proses, sebagai diartikan di Amerika Serikat karena
sistem klasifikasi sebagai proses tidak mengikutsertakan secara aktif dan
positif elemen masyarakat, sedang yang menjadi fokus pada sistem
klasifikasi adalah individu terpidana, berlainan dengan proses berdasarkan
Sistem Pemasyarakatan yang fokusnya ditujukan kepada kesatuan
hubungan yang terjalin antara individu dan masyarakat serta alamnya,
dibawah kekuasaan Trhan Yang Maha Esa. Disini letaknya Pancasila dari
Konsepsi Pemasyarakatan
Selanjutnya diterbitkan juga surat edaran tanggal 23 April 1962 no.
J.H. 8.1./40 tentang Pedoman Pemasyarakatan Narapidana yang antara
11
lain memberi petunjuk-petunjuk mengenai pendidikan, diantaranya
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan yang khas dari
masyarakat sekelilingnya. Dalam periode ini secara resmi dipergunakan
istilah-istilah "narapidana" untuk orang hukuman, "tindakan penertiban"
untuk hukuman disiplin, "pidana" dan istilah hukuman, "tahanan
pencegahan" untuk tahanan preventif dan "tahanan sandera" untuk
digidzel. Istilah narapidana sebetulnya berasal dari pemikiran R.A. Kusnun,
S.H. dimana nara diartikan sebagai kaum dan pidana berarti hukuman.
Pada tanggal 2O s/d 22 Maret 1975 dilaksanakan Lokakarya Evaluasi
Sistem Pemasyarakatan. Iokakarya tersebut membahas tentang Peraturan
Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya sebagai landasan
struktural yang dapat dijadikan dasar bagi segi-segi operasional
Pemasyarakatan, Sarana Personalia, Sarana Keuangan dan Sarana Fisik.
Dalam Lokakarya tersebut diambil kesimpulan, bahwa hal-hal tersebut
belum memadai. Lokakarya ini berhasil membuahkan kerangka dasar
manual pembinaan bagi terpidana, sebagai langkah untuk
menyi:mpurnakan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Salah satu
langkah yang konkrit yang patut dicatat dan yang terjadi pada permulaan
periode ini ialah penrusunan manual-manual yang fliperlukan dalam
rangka realisasi perlakuan terpidana berdasarkan konsepsi
pemasyarakatan.
I2
BAB III
ASPEK KELEMBAGAAN DALAM PROSES PEMASYARAKATAN
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
mengartikan pemasyarakatan sebagai kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari
sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Terkait dengan sistem
pemidanaan tersebut perlu dihubungkan dengan Standard Minimum Rules
for tlrc Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Kovenan Sipil Politik pada
tahun 1966 yang menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk
merehabilitasi pelaku kej ahatan.
Konsep Sistem Pemasyarakatan dalam instrumen nasional
sebagaimana termaktub dalam 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr.
Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang
hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam Standard
Minimum Rules for th.e Treatment of Prisoner tahun 1957. Baik Konsep
Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum
Bagi Perlakuan terhadap Narapidana di Indonesia sedikitnya menganut
filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, namun
demikian ditingkat implementasi masih sangat lemah karena adanya
berbagai faktor diantaranya kesenjangan antara konsep pemasyarakatan
dengan realitas pelaksanaan di lapangan, kurangnya anggaran dan
rendahnya SDM serta kelemahan ditingkat organisasi kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan.
Berkenaan dengan pola pemidanaan dan penentuan sanksi perlu
digali secara mendalam dan ditentukan secara tepat karena pemahaman
mengenai pemidanaan dapat memberikan arah dan pertimbangan untuk
menetapkan pemberian sanksi dalam suatu tindak pidana. Dalam konteks
13
pembaharuan hukum pidana berkaitan dengan sistem sanksi harus
dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan, hal ini penting
untuk melihat apa maksud dan capaian yang hendak diinginkan dari
sebuah proses pembaharuan dalam hukum pidana.
Oleh karena itu Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa
hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah
titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal.
Tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara,
sarana atau tindakan yang akan digunakan.e Permasalahannya selama ini
belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif
Indonesia. 10 Akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan
banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang ada dalam
KUHP saat ini tidak konsisten dan tumpang tindih.
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang
surut. Dalam perkembangannya, teori pemidanaan yang bertujuan
rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan
rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun t97O-an telah terdengar
tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta
indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis
pedoman. ll Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi ini lahir "Model
Keadilan" yakni sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang
dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan
pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert modet) yang
didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan
Qtreuention) dan retribusi (retibution). Dasar retribusi dalam just desert
model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut
diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan
tindakan-tindakan kejahatan lagr dan mencegah orang-orang lain
melakukan kejahatan. Di samping just desert modeljuga terdapat model
gM.rludi
d- B*du Nawawi Arief, Teorileori dan Kebijakan Pidana,PT ALUMNI, Bandmg, 1998, hlm. 96
loM.
Sol"hoddio, ,9o tem Sanlai dalam Hulum Pidana,PT Rajt CirafiidoPemada, 2003, hlrn. 131.
" solehuddin, op. cit., hlm. 61.
t4
lain yaitu restoratiue justice model yang seringkali dihadapkan pada
retributiu e ju stice mo del. 72
Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh tindak
kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu
berakhir di penjara, padahal penjara bukan solusi terbaik dalam
menyelesaikan masalah-masalah kejahatan. Saat ini dikenal suatu
paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorattue justice, di mana
pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya
kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Secara lebih rinci Muladi
menyatakair bahwa restoratiue justice model mempunyai beberapa
karakteristik yaitu : 13
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korbal. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan
ekonomis; dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
plbid.
t'M,rludi,
Kapita Selekta Hulatm Pidana,Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,l995,hlm. t27-129.
15
Dijelaskan dalam UU Pemasyarakatan bahwa yang dimaksud dengan
sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilakukan secara terpadu antara Pembina yang dibina dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan
agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
alrtif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga binaan yang baik dan bertanggungjawab. Paradigma ini
sesungguhnya sesuai dengan model restoratiue justice jika dilihat dalam
konteks pembaruan sistem pembinaaan bagi narapidana di lembaga
pemasyarakatan.
Undang-undang pemasyarakatan menekankan adanya kesatuan
implementasi antara sistem, kelembagaan dan cara pembinaan fagi warga
binaan pemasyarakatan. Sistem dan cara pembinaan dalam konsep
pemasyarakatan tidak berdiri sendiri melainkan terikat erat dengan
kelembagaan pemasyarakatan sebagai instrumen yang akan menerapkan
sistem dan cara pembinaan. Kelembagaan dalam kenyataannya mempunyai
peran yang sangat penting bagi keberhasilan proses pembinaan warga
binaan pemasyarakatan. Dalam penelitian ini kelembagaan meliputi
beberapa hal yakni mengenai organisasi, dan Sumber Daya Manusia
Struktur Organisasl
Pada dasarnya pengorganisasian lembaga pemasyarakatan diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik dalam Undang-
undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah
No. 32 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 28 tahun 2006
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.09-PR.07-10 Tahun 2OO7 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Hukum dan HAM, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan
t6
Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan aturan teknis lainnya.
1. Struktur Organisasi Departemen Hukum dan HAM
Dalam struktur organisasi Departemen Hukum dan HAM Kepala
LAPAS bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor
Wilayah (Kakanwil) Departemen Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil
bertanggungjawab langsung kepada Menteri. Menteri membawahi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagaimana Kakanwil membawahi
Koordinator Pemasyarakatan. Baik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
maupun Kordinator Pemasyarakatan hanya mempunyai hubungan
teknis dengan Lembaga Pemasyarakatan tetapi tidak mempunyai
hubungan secara struktural.
Di sisi lain Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mempunyai fungsi
untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pemasyarakatan, demikian juga Koordinator Pemasyarakatan di Kantor
Wilayah mempunyai tugas melaksanakan pembinaan pengendalian dan
pengawasan serta pemeriksaan di bidang teknis pemasyarakatan.
Ironisnya, kedua sub organisasi ini tidak mempunyai hubungan
struktural dengan lembaga pemasyarakatan sebagai pelaksana. Menun1t
Keputusan Menteri tentang Organisasi dan Tata Ke{a Lapas, hubdngan
antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Lapas dilakukan
secara fungsional dalam rangka bimbingan teknis kemasyarakatan
melalui Kepala Kantor Wilayah Dephukham. Hal ini menjadi
permasalahan sebab pada dasarnya organisasi diarahkan untuk
mencapai tujuan secara efisien dan efektif melalui kegiatan yang
terpadu.14
Sebelum tahun 1984 pernah digunakan sistem lwlding menyangkut
struktur organisasi Pemasyarakatan. Mulai dari tingkat Direktorat
t+J. Winardi, Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemery Jekarta, PT. Raja
Gra-findo: 2005, hal. 767-162.
l7
Jenderal hingga unit pelaksana teknis berada dalam satu kesatuan
struktural, dimana kepala Lapas bertanggungjawab kepada kepala
kantor direktorat, kepala kantor direktorat bertanggungjawab kepada
kepala kantor wilayah direktorat, kepala kantor wilayah direktorat
bertanggungjawab kepada direktur pemasyarakatan dan direktur
bertanggungj awab kepada menteri.
Dengan sistem ini, maka jalinan struktural, fungsi, tugas dan
wewenang sangat menunjang kine{a pemasyarakatan sehingga pada
saat itu kine{a organisasi begitu efektif dan efisien. Pada dasarnya
keinginan untuk kembali ke sistem holding sangat kuat ditingkat
pelaksana teknis.ls Sebaliknya sistem integrated yang ada saat ini
mempunyai banyak kelemahan diantaranya kurangnya jalinan
struktural, fungsi, tugas dan wewenarlg antara direktorat dengan divisi
pemasyarakatan di kantor wilayah dan unit pelaksana teknis
pemasyarakatan.
Selain itu posisi sebagai Direktur pada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dapat diisi oleh pihak lain secara politis, bukan secara
karier. Sebagai contoh Departemen Hukum dan HAM membawahi juga
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal
Imigrasi, Direktorat Jenderal HaKI dan lain-lain, dimana bisa saja terjadi
orang yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur pada Direktorat HaKI
dapat menduduki jabatan sebagai Direktur pada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Yang lebih mengkhawatirkan apabila yang menjadi
Direktur adalah mereka yang berasal dari pihak luar Departemen
Hukum dan HAM1o.
Masalah yang mungkin timbul adalah menyangkut kualitas dan
pemahaman dari Direktur tersebut mengenai Konsep, Visi dan Misi
pemasyarakatan yang justru sanga! dibutuhkan dalam pemmusan dan
pelaksanaan kebijakan mengenai pemasyarakatan. Masalah yang sama
juga mencakup kedudukan Kakanwil, dimana Kakanwil juga diangkat
15 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
16 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.KP.01.05 Tahun 1994
Tanggal 8 Pebruari 1994 tentang PoIa Penjenjangan Karier Pejabat Pemasyarakatan Departemen
Kehal<imal.
18
langsung oleh Menteri, dan bisa diisi oleh mereka yang bukan dari
direktorat pemasyarakatan akan tetapi berasal dari direktorat Imigrasi,
direktorat HAKI atau bagian lain.
Satu hal yang cukup mendapat perhatian adatah keberadaan Balai
Pertimbangan Pemasyarakatal,lT sebagai badan yang khusus
memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Kedudukannya yang
noq struktural seharusnya membuat badan ini terbuka kepada
masyarakat.
Susunan anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan periode tahun
2006 adalah sebagai berikut:
ANGGOTA BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN (BPP)
DILANTIK 5 SEPTEMBER 2006
NAMA BIDANG KEAHLIAN
Prof. Dr. Mustofa, M.Si Spesialisasi Kriminologi
Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA Spesialisasi Hukum Pidana
Prof. Dr. Andi Hamzah, SH Spesialisasi Hukum Pidana dan HAM
Drs. Agun Gunaqiar Sudarsa, Bc.IP Spesialisasi Tokoh Masyar akat
Dr. Seto Mulyadi, S.Psi, M.Si Spesialisasi Masalah Anak
Drs. Hasanuddin, Bc. IP, SH Sp e sialisasi P emasy ar akatan
Dr. Rudy Satriyo M, SH, MH Spesialisasi Peradilan Pidana
Nursyahbani Katjasungkana, SH Spesialisasi Masalah Wanita
Drs. R. Soegono, MM Spe sialias i P emasyarak atan
Drs. Purniati Spesialisasi Lembaga Swa day a Masyarakat
Dr. Imam Prasodf o Spesialiasi Sosioloei
Akan tetapi sejauh ini kegiatan badan tersebut tidak pernah didengar atau
diketahui publik. Padahal kalau dilihat unsur yang duduk dalam badan
tersebut terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, dan para tokoh
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pembinaan warga binaan
pemasyarakatan dan para ahli di bidang pemasyarakatan. Badan seperti ini
seharusnya dipikirkan kembali untuk masalah pertanggungjawabanya
dalam arti tidak hanya bertanggungjawab kepada menteri akan tetapi
tzDibentuk berdasarkan Keputusan
M.02.PR.08.03 Tahun L999 tentang Balai
Pemasyarakatan
Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor
Pertimbangan Pemasyarakatan Dan Tim Pengamat
t9
bertanggungjawab juga kepada masyarakat dengan cara memberikan
laporan kgpada masyarakat tentang kegiatan yang sudah dilakukan atau
bisa menjadi organ yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal
terhadap kinerja Organisasi dan pembinaan di Lembaga pemasyarakatan
dan secara keseluruhan sebagai wakil masyarakat dalam rangka
mendukung pembinaan terhadap warga binaan.
2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan
Struktur organisasi LP sebagaimana diatur dalam M.01.PR.07.03
Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
menyebutkan bahwa tugas keamanan dan ketertiban secara teknis dan
administratif dipisahkan. Secara teknis, pelaksanaan tugas keamanan dan
ketertiban berada di bawah kendali Kesatuan Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan (KPLPJ sedangkan secara administratif kendali tugas
berada dibawah Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib.
Permasalahan yang sering dijumpai adalah mengenai dua bidang yang
mengatur mengenai hal yang sama ini, dalam pelaksanaannya seringkali
tidak harmonis dan menjurus ke arah konflik horizontal antar petugas.
Akibatnya, efektifitas dan efisiensi kerja menjadi kurang sehingga tujuan
organisasi yang diharapkan dapat dicapai cenderung tidak maksimal. Di
samping itu, bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib dinilai sebagai
bidang yang kurang sekali beban kerjanya jika dibandingkan dengan bidang
lain dalam organisasi LP18.
Saat ini koordinasi kerja antara sub organisasi Lapas yang
mempunyai kewenangan menjalankan fungsi pembinaan dan Bapas yang
mempunyai kewenangan menjalankan fungsi pembimbingan belum selaras.
Lapas memandang bagian kerja Bapas seharusnya ketika warga binaan
pemasyarakatan mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang
bebas. Tetapi, pada kenyataanya Bapas memang terlibat sejak awal ketika
warga binaan menjalani proses pembinaan di Lapas. Masalah timbul karena
lsWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OO7
20
belum adanya aturan teknis yang mengatur deskripsi kerja masing-masing
bagian.
Sejauh ini berdasarkan analisis sementara sistem organisasi yang
meliputi pembinaan dan pembimbingan di LP tidak mempunyai perbedaan
sedangkan masing-masing penanganan warga binaan mempunyai
karakteristik tersendiri contoh, pembinaan dan pembimbingan bagt
pemasyarakatan anak, pemasyarakatan wanita, pemasyarakatan narkoba
seharusnya berbeda.
B. Sumber Daya Manusla
1. Rekrutmen
Pada prinsipnya yang disebut dengan rekrutmen adalah proses untuk
mencari dan menarik para pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh
organisasi tertentu. Selanjutnya, rekrutmen juga dapat didefinisikan
sebagai serangkaian aktifitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan
motivasi, kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang diperlukan guna
menutupi kekurangan yang teridentifikasi dalam perencanaar]
kepegawaianle.
Umumnya pegawai yang berkerja di LP, saat melamar pertama kali
harapannya adalah memang menjadi pegawai Departemen Hukum dan
HAM. Tidak terbayang dibenak mereka akan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan. Dari awal, motivasi pelamar sudah berbeda dengan ketika
mereka ditempatkan sebagai pegawai LP. Semangat kerja menurun dan
sebagian besar tidak bersemangat untuk bekerja dan ini sangat
mempengaruhi aktifitas organisasi secara keseluruhan.zo Selain motivasi,
masalah kemampuan, keahlian dan pengetahuan harus diperhitungkan
juga pada proses rekrutmen pegawai LP.
Kelemahan ini diakibatkan oleh sistem rekrutmen yang semuanya
dipusatkan di Sekretariat Jenderal Departemen sehingga standar yang
digunakan adatah standar Departemen bukan standar masing-masing
le Ambar Teguh Sulistiyani dan Rosidah, Manajem.en Sumber Daga Manusia (Konsep Teoi
dan Pengembangan d.alam Konteks Organisasi Publik),ogeJ<atta: Graha Ilmu, 2003. Hal.134
20 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
2t
Direktorat Jenderal akibatnya kualitas pegawai yang te{aring sangat minim
baik dari segi motivasi, keahlian, kemampuan dan pengetahuannya.
2. Pengembangan SDM/Pendidikan dan Latihan
Pendidikan pada umumnya berkaitan dengan persiapan bagi calon
tenaga yang diperlukan oleh suatu instansi atau organisasi sedangkan
pelatihan diartikan seb"gai bagian dari pendidikan yang memiliki tduan
untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan pegawai yang sudah
menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu2l. Pendidikan dan latihan
baik pra jab atan (pre-seruice training) atatr dalam jabatan (in-service training)
fagi petugas dan pejabat LP kurang memadai. HaI ini mengakibatkan
kesenjangan antara konsep pemasyarakatan dengan implementasi proses
pembinaan di lapangan.
Pada kenyataannya pendidikan yang dilaksana-kan oleh Departemen
Hukum dan HAM masih bersifat umum seperti diklat struktural. (spada,
Spama, Diklat Pimpinan dan lain-lain). Sejauh ini mereka yang menjadi
pegawai LP sangat sedikit yang berasal dari lulusan akademi ilmu
pemasyarakatan (AKIP) , rata-rata mereka yang lulusan AKIp mempunyai
penguasaan dan pemahaman yang cukup baik dalam
mengimplementasikan tujuan pemasyarakatan kualitasnya berbeda dengan
yang bukan lulusan AKIP. Hai negatif dari penggunaan tenaga lulusan AKIp
adalah diabaikannya mereka yang lulusan 51, 52 dan 53, tetapi bukan
alumni AKIP akibatnya tenaga potensial tersebut tidak berkembang ketika
mereka ditempatkan di LP.zz
Banyaknya pegawai yang tidak mengikuti pendidikan teknis
pemasyarakatan sejak awal bertugas, pada akhirnya menghasilkan pegawai
yang tidak memahami konsep dan tujuan pemasyarakatan. Hal ini
diperburuk dengan kurangnya kesadaran sebagian petugas Lapas sehingga
terjadi persekongkolan antara pegawai dan narapidana. penyelenggaraan
diklat rata-rata satu (1) kali setiap tahun ditambah lagi masih ada pegawai
21 Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daga Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003,
hal. 28.
rzRahardi Ramelan, disampaikan pada /ocus group discussion Penelitian LP, Jokartg- 22 Mei
2007
22
Lapas yang masih berijasah SD dan SMp sehingga kualitas pemahamannya
mengenai konsep dan tujuan pemasyarakatan sangat terbatas23.
Pelatihan selama ini dilaksanakan oleh Kantor wilayah Departemen
Hukum dan HAM dengan metode pengajuan program berdasarkan
anggaran yang disetujui oleh Sekretariat Jenderal Departemen. pelatihan
tersebut meliputi materi teknis pemasyarakatan dan materi keahlian umum
seperti komputer, manajemen dan lain-lain. Pelatihan ini tidak dilakukan
secara rutin dan berkesinambungan sehingga peningkatan kualitas pegawai
tidak maksirnal2a. Padahal dengan kualitas pegawai yang dari awal tidak
memiliki keahlian, kemampuan dan pengetahuan tentang teknis
Pemasyarakatan, pelatihan ini menjadi sangat penting dan harus secara
rutin dilaksanakan sehingga pemahaman mengenai konsep dan tujuan
pemasyarakatan dapat terlaksana.
Masalah lain adalah mengenai jumlah personil Lp yang tidak
sebanding dengan jumlah penghuni. Tenaga-tenaga Lp yang ada belum
sesuai dengan kebutuhan riil dalam proses pemasyarakatan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Bukan hanya itu, seharusnya Lp ditunjang
dengan tenaga-tenaga ahli kemasyarakatan seperti psikolog, psikiater,
sosiolog, guru, dan tenaga ahli di bidang produksi. Kenyataannya banyak
pegawai LP yang juga merangkap sebagai psikolog, guru, dan tenaga ahli
dibidang produksi. Masalahnya pegawai Lp tersebut secara personal tidak
mempunyai kemampuan yang memadai untuk itu, antara lain bukan
lulusan psikologi atau minimal pernah mengikuti pelatihan sebagai psikolog
atau sebagai guru bahkan sebagai ahli di bidang produksi, akibatnya
tujuan pembimbingan dan pembinaan kurang tercapai.2s
3. Mutasi Promosi
Promosi diartikan sebagai kegiatan pemindahan pegawai dari suatu
jabatan kepada jabatan yang lebih tinggi. Promosi akan selalu diikuti oleh
tugas, tanggungjawa! dan wewenang yang lebih tinggi dari jabatan yang
23Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT
2aWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OO7
2sWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT
23
diduduki sebelumnya26 sedangkan mutasi secara gramatikal dapat
diartikan.sebagai perpindahan jabatan atau perubahan jabatan dari satu
posisi ke posisi lainnya, baik secara fungsional, struktural maupun
kewilayahanzz.
Alasan melakukan promosi dan mutasi diantaranya untuk menjamin
stabilitas kepegawaian, memajukan pegawai dan mempertinggi semangat
kerja pegawai serta menempatkan seseorang yang tepat di posisi yang tepat.
Secara empiris ditemukan bahwa pegawai LP banyak yang tidak
mendapatkan kesempatan mutasi dan promosi secara merata. Di satu sisi
ada pegawai yang teratur promosi dan mutasinya sedangkan di sisi lain ada
yang tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkan promosi dan mutasi
secara teratur.2s
Pola karier sebagai pola pembinaan pegawai negeri sipil yang
mehggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan
dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihatr,
kompetensi serta masa jabatan seseorang sejak pengangkatan pertama
dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun seharusnya dilaksanakan
secara transparan dan bertanggungiawab. Kenyataan yang terjadi adalah,
seseorang yang diusulkan untuk promosi atau mutasi tidak tahu alasannya
bahkan pegawai tersebut tidak tahu kalau usulan itu ditolak atau tidak
ditindaklanjuti. Kenyataan lain, ada juga pegawai yang "mengawal" usulan
promosi itu hingga tingkat pusat sehingga membuka peluang kolusi dan
nepotisme.2e Sistem administrasi kepegawaian yang terpusat dan tertutup
di Kesekretariatan Jenderal Departemen Hukum dan HAM dianggap sebagai
salah satu penyebab mengapa pola karier bagi pegawai LP bermasalah.
zoAlex S. Nitisemito, Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daga Manusia), Jakarta
:Ghalia Indonesia, 1996. Hal. I 1
27Tim Pen5rusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ed. II, cet. 9, Jakarta: Pusat Pembinarn dan Pengembalgan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaar, hal. 7 90
2sWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OOT
2eWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
4. Kesejahteraan SDM
Mengenai kesejahteraan pegawai LP, secara umum dirasakan masih
kurang akan tetapi diakui bahwa pemerintah telah memperhatikan
kekurangan tersebut dengan memberikan tunjangan-tunjangan dengan
harapan kekurangan tersebut dapat ditutupi.3o Mengenai pemberian
tunjangan bagi petugas pemasyarakatan sebelumnya telah dikeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1996 tentang Thnjangan petugas
Pemasyarakatan dimana sebelumnya tunjangan ini berlaku bagi Golongan I
sebesar Rp. 25.000, Golongan II sebesar Rp. 35.000, dan Golongan III
sebesar Rp. 45.000. karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan maka
Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 106 tahun 2000 telah
melakukan perubahan terhadap besarnya tunjangan yakni Golongan I
sebesar Rp. 100.O00, Golongan II sebesar Rp. 110.000, dan Golongan III
sebesar Rp. 120.000, aturan ini tidak berlaku bagi pegawai yang telah
menerima tunjangan struktural dan tunjangan fungsional
C. Mekanlsme Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi
Mekanisme perencanaan, monitoring dan evaluasi di Lp pada
umumnya mengikuti mekanisme baku yang sudah ditetapkan dalam
seluruh aturan normatif yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan
HAM. secara teknis perencanaan dan monitoring serta evaluasi dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sedangkan secara administratif
perencanaan, monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM melalui divisi pemasyarakatan. Dengan
demikian LP sebagai unit pelaksana teknis sebenarnya tinggal menjalankan
semua program yang sudah digariskan baik secara teknis maupun secara
administratif.
Pada ranah implementasi terkadang ketentuan normatif tidak berlaku
yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya kelemahan
manajerial dan kualitas SDM. Hal yang pating mudah ditemui untuk
dijadikan contoh lemahnya perencanaan, monitoring dan evaluasi di Lp di
30 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT
25
bidang bina kerja. Walaupun sudah ada kerjasama tertulis antara
Departemen Kehakiman, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Sosial yang
dibuat tahun 198+ tetap saja tidak ada tindakan untuk
mengimplementasikan hal yang menjadi tanggungiawab masing-masing
instansi. HaI ini dapat kita lihat meskipun bidang bina kerja telah
mengeluarkan keluhan bahwa saat ini sulit untuk menjalin kerjasama
dengan Balai Latihan Ke{a sehingga praktis kegiatan yang bisa dilakukan
oleh bidang bina kerja adalah kegiatan yang lokal saja seperti menanam
saJruran di dalam lingkungan penjara. Pejabat struktural di LP tidak
melihat ini seb"gai masalah sehingga implementasi monitoring dan evaluasi
terhadap kegiatan bina kerja tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal yang
sama juga terjadi di bidang pembinaan pendidikan dimana program paket
belajar yang selama ini berjalan masih menggunakan tenaga pengajar dari
pegawai LP meskipun sudah ada kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaaan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kegiatan perencanaan,
monitoring dan evaluasi di LP sangat lemah dan perlu ditinjau kembati.
D. Pelaksanaan Konsep Pemasyarakatan
Implementasi konsep pemasyarakatan sebagaimana dijabarkan UU
pemasyarakatan dititik beratkan dalam dua hal yakni pembinaan dan
pembimbingan. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan
disesuaikan dengan asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945. dan
standard minimum rules yang kemudian tercermin dalam sepuluh prinsip
pemasyarakatan. Salah satu kelemahan dalam sistem pembinaan adalah
tidak wajibnya semua warga binaan mengikuti kegiatan pembinaan di LP
seperti di Bina Kerja semua dikembalikan kepada warga binaan untuk aktif
atau tidak, dengan demikian dalam proses tersebut kegiatan pembinaan
praktis hanya diikuti oleh mereka yang aktif sedangkan yang tidak
mengikuti kegiatan tersebut tidak mendapatkan kegiatan lain yang wajib
diikuti. i
Kelemahan dalam sistem pemidanaan juga dapat dilihat dalam masa
orientasi atau pengenalan dalam LP dimana bercampurnya mereka yang
dihukum karena narkoba, pembunuhan, pencurian dengan tindak pidana
26
ringan lainnya tidak membuat mereka menjadi baik tetapi justru membuat
mereka mendapatkan komunikasi dan transformasi pengetahuan dan
membina relasi yang cenderung mengindikasikan adanya pengulangan
perbuatan tindak pidana. Karakteristik hukuman berdasarkan masing-
masing perbuatan pidana justru tidak tertangani dengan baik sehingga
pelaksanaan konsep pemasyarakatan juga tidak berjalan dengan baik.
Pemenuhan pelaksanaan konsep pemasyarakatan sering tersandung
dengan kurangnya kemampuan profesional dan integritas moral. Sejatinya
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10
Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan telah mengatur
secara rinci bagaimana teknis pola pembinaan yang seharusnya
dilaksanakan. Namun aturan tersebut pada akhirnya menjadi sekedar teori
sebagai akibat lemahnya beberapa faktor utama dan faktor pendukung
yang mempengaruhi pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan yakni:
Pola dan tata letak bangunan, struktur organisasi, lemahnya
kepemimpinan, kualitas dan kuantitas petugas, manajemen, kesejahteraan
petugas, sarana dan fasilitas pembinaan, anggaran, sumber daya alam
serta kualitas dan ragam program pembinaan. hal ini diperburuk dengan
lemahnya koordinasi antara petugas, masyarakat dan warga binaan
sehingga terkesan pelaksanaan konsep pemasyarakatan seperti setengah
hati dan jalan di tempat.
E. Mekanisme Pengawasan
Banyak pendefinisian mengenai pengawasan, diantaranya
didefinisikan sebagai segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau
kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.3l Bentuk
pengawasan di organisasi pemerintah secara umum diatur dalam Lampiran
Inpres No. 15 tahun 1983 dan dalam Inpres No. 1 tahun 1989 yaitu:
1. Pengawasan Melekat
2. Pengawasan Fungsional
3tsujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengautasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986,
hal.20
27
3. Pengawasan Masyarakat
4. Pengawasan Legislatif
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.0i.PR.07.03 Tahun 1985
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan mengatur dua
bentuk pengawasan yakni pengawasan melekat dan pengawasan
fungsional. Pengawasan melekat yang dilakukan oleh setiap pimpinan
satuan organisasi sedangkan secara fungsional melalui Inspektorat
Jenderal Departemen Hukum dan HAM. Pengawasan masyarakat dan
pengawasan legislatif tidak ada mekanismenya dalam sistem organisasi
pemasyarakatan.
Terkait pengawasan melekat yang dilakukan oleh pimpinan satuan
organisasi di LP dalam tataran pelaksanaan terasa kurang efektif karena
masih ada semangat pimpinan untuk melindungi bawahan, di sisi lain demi
prestise organisasi dalam wilayah kerjanya pimpinan cenderung melakukan
pengawasan secara tertutup dan jarang mengambil pembinaan,
pendisiplinan hingga tindakan pada oknum petugas yang menyimpang.
Sebagai contoh saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat
memberhentikan sementara Kepala Lapas karena adanya penyimpangan
atau pelanggaran yang dilakukan, akan tetapi dasar pemberhentian Kepala
l,apas tersebut menjadi tidak jelas karena didasarkan pada kebijakan
bukan berdasarkan pada peraturan. Artinya ada kebutuhan untuk melihat
kembali sistem dan regulasi pengawasan dan penjatuhan sanksi di
organisasi pemasyarakatan.
Instrumen pendisiplinan selain dalam Keputusan Menteri Hukum dan
HAM juga digunakan PP.30 tahun 1980 yang mengatur sanksi administratif
sedangkan untuk penyimpangan yang menjurus ke delik pidana digunakan
instrumen umum seperti KUHP. Sejauh ini masih ditemukan petugas yang
melanggar dan telah dijatuhkan hukuman iidana narnun statusnya tetap
menjadi pegawai aktif di LP32. Ini menunjukan lemahnya pengawasan baik
ditingkat pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional.
ez Ahgan, disampaikan pada focus group discussion Penelitian LP, Jakarta - 22 Mei 2007
28
F. Koordlnasl dan Kerjasama Kelembagaan
Koordinasi internal dalam organisasi LP pada umumnya masih
kurang. Sebut saja lemahnya koordinasi antara bidang registrasi dan
bidang bimbingan kemasyarakatan mengenai data warga binaan dan
tahanan. Yang sering terjadi adalah sulitnya bidang bimbingan
kemasyarakatan guna mengakses data yang dibuat oleh bidang registrasi.
Idealnya data yang dimiliki oleh bidang registrasi secara komputerisasi
dimiliki oleh setiap bidang teknis. Dalam penelitian ditemukan, masih ada
bidang lain yang mencatat secara manual data tahanan dan warga binaan
walaupun di bidang registrasi sudah dikomputerisasi.
Mengenai kerjasama antar lembaga telah dikeluarkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.UM.O6.07.127 Tahun 1988
tentang Tata Cara Pembuatan Kerja Sama Dengan Instansi Lain Dan Pihak
Swasta. Meskipun ada aturannya kondisi di lapangan menunjukan banyak
sekali kelemahan Kerjasama kelembagaan praktis kurang berjalan
diakibatkan kurangnya inisiatif masing-masing instansi untuk bekerja
sanna, hal yang dapat dijadikan contoh adalah lemahnya kerjasama antara
lembaga pemasyarakatan dengan departemen sosial, departemen tenaga
kerja, departemen pendidikan dan LSM yang peduli dengan pembinaan di
lembaga pemasyarakatan. HaI lain yang merupakan teknis hukum adalah
mengenai lemahnya pelaksanaan peran KIMWASMAT dan peran Jaksa
Pengawas sebagaimana diatur dalarn KUHAP, jalan keluar seperti
koordinasi dan konsolidasi justru tidak terlihat.
G. Akuntabilitas dan Transparansi
Prinsip tata pemerintahan yang baik (good gouentancel saat ini
banyak digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kinerja instansi
pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang mengabdi pada publik.
Diantara beberapa prinsip tata pemerintahan yang baik adalah prinsip
akuntabilitas atau pertanggungjawaban dan prinsip transparansi atau
keterbukaan. Dua prinsip ini belum terlihat dalam organisasi dan
manajemen Lembaga Pemasyarakatan. Akuntabilitas dapat digunakan
sebagai mekanisme untuk menilai atau mengevaluasi seluruh pelaksanaan
29
fungsi, tugas dan wewenang dalam suatu lembaga. Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata
Ke{a Lembaga Pemasyarakatan mengatur mengenai akuntabilitas namun
akuntabilitas tersebut bersifat internal tidak bersifat eksternal akibatnya
masyarakat tidak mengetahui apa yang akan, sedang dan sudah dilakukan
oleh lembaga pemasyarakatan sedangkan dalam prinsip pemasy.arakatan
tanggungjawab pembinaan tidak hanya di lembaga tetapi juga masyarakat.
Oleh sebab itu lembaga pemasyarakatan melalui Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan harus membuat mekanisme akuntabilitas yang dapat
diakses oleh publik.
Sebangun dengan itu prinsip transparansi juga perlu ditingkatkan,
transparansi disini diartikan sebagai keterbukaan lembaga untuk
memberikan akses informasi mengenai kinerja lembaga pemasyarakatan
kepada masyarakat. Prinsip transparansi ini dapat dimulai dengan
membuat web site dan membuatpress release tentang segala kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga sebagai bentuk keterbukaan kepada masyarakat,
dalam hal ini lembaga melihat publik sebagai mitra untuk bersama
melakukan pembinaan terhadap warga binaan dengan proses sosialisasi
program pembinaan, keterbukaan yang saat ini dilakukan oleh organisasi
pemasyarakatan dalam hal ini menteri hukum dan HAM adalah dengan
melakukan dengar pendapat dengan DPR. Lemahnya transparansi dapat
diukur dengan sulitnya masyarakat untuk mengakses informasi yang
terjadi dalam LP.
30
BAB IV
SARANA DAN PRASARANA DALAM PROSES PEMASYARAKATAN
A. Instrumen Peraturan
Proses pemasyarakatan mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang tersebar di berbagai peraturan dari undang-undang,
peraturan pemerintah, dan keputusan menteri. Secara umum, peraturan-
peraturan yang terkait dengan proses pemasyarakatan sudah cukup
memadai, dan jika diperbandingkan antara ketentuan yang ada dengan
Standard Minimam Rules for tLrc Treatment of Prisonerg diketahui tidak ada
gap yang besar. Banyak ketentuan dalam standar minimal tersebut
sebenarnya telah diadopsi dalam sistem pemasyarakatan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan.
Meskipun demikian masih ada beberapa ketentuan yang perlu
dikritisi lebih lanjut, diantaranya terkait dengan proses pemenuhan hak
Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB).
Untuk memperoleh hak-hak ini memerlukan prosedur yang panjang dan
sulit untuk dipenuhi oleh warga binaan. Karena rumitnya prosedur ini,
banyak warga binaan yang enggan untuk mengajukan permohonan.
Menurut pengakuan Rahardi Ramelan,33 proses memperoleh hak ini sangat
panjang. Untuk mengurusnya saja Rahardi Ramelan membutuhkan waktu
3 bulan dengan setumpuk dokumen yang diperlukan. Sayangnya, menurut
Rahardi, setelah semua persyaratan dipenuhi ternyata Menteri Hukum dan
HAM menolak permohonan itu tanpa alasan yang jelas.
Dasar hukum pokok penyelenggaraan pemasyarakatan adalah UU No.
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Melalui undang-undang ini diatur
berbagai hal terkait dengan pemasyarakatan. Hanya saja, tidak semua hal
dapat diatur melalui undang-undang, sehingga undang-undang ini
33Ttanskrip FGD, Baseline gtrueg Pelaksanaan Sbtem Pemasgarakatan Di Lemboga
PemasAarakata4 MAPPI FH UI, KRHN, LBH Jakarta dan Partnership, 16 Mei 2007, di Jakarta.
31
mengarnanatkan untuk diterbitkan setidaknya 12 peraturan pemerintah
guna mengatur lebih lanjut melengkapi undang-undang ini. Hanya sqja,
sejak UU No. 12 Tahun 1995 disyahkan pemerintah barr menerbitkan'4
buah PP yaitu PP 3r /1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga
Binaan Kemasyarakatan, PP 32/1999 tentang syarat dal Tata cara
Pelaksanaan Hak warga Binaan Kemasyarakatan, pp sz /lggg tentang
Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan pembimbingan warga Binaan
Pemasyarakatan, dan PP No. 58 Tahun 1999 tentang syarat-syarat dan
Tata cara Pelaksanaan wewenang Trgas dan Tanggungjawab perawatan
Tahanan.
Selain itu, empat PP yang ada juga mengamanatkan penerbitan
Kepmen. Sayangnya sampai saat ini, masih banyak Kepmen yang belum
diterbitkan memenuhi perintah PP. wataupun ada beberapa Kepmen yang
berlaku, tetapi Kepmen tersebut terbit sebelum pp dikeluarkan. Artinya pp
dibentuk dengan menyesuaikan Kepmen yang ada. padahal sehaiusnya,
Kepmen yang mengikuti ketentuan Pp.
B. Over Kapasitas
Saat ini, problem yang dialami oleh hampir semua Lp adalah over
kapasitas. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah warga binaan.
saat ini, di LP cipinang jumlah penghuni 3800 orang, padahal kapasitas
hanya untuk 1500 orang, LP Tangerang jumlah penghuni 3.753 kapasitas
800 orang, LP Bekasi penghuni I77O orang kapasitas 300 orang, Lp
Paledang 1639 kapasitas 500 orang, dan Lp Narkotika cirebon penghuni
1143 kapasitas 362 orang. secara nasional, prosentase peningkatan
penghuni LP lebih tinggi dibanding perkembangan bangunan Lp. pada
tahun 2003 penghuni LP (Tahanan dan Narapidana) ZL.S8Z orang
kapasitas 64.345 orang, tahun 2004 penghuni 86.450 orang kapasitas
untuk 66.891 orang, tahun 2005 penghuni97.67l orang kapasitas untuk
68.L4L orang, dan tahun 2006 penghuni 118.453 orang kapasitas 76.550
orang. Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari
kapasitas yang semestinya.
32
Kondisi ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam
standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners. standar minimar yang
harus dipenuhi oleh suatu lembaga terkait dengan akomodasi tahanan
adalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihuni
sendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian bagi ruangan yang besar
dapat ditempatkan lebih dari satu orang tahanan dengan cerrn-at memilih
tahanan yang akan ditempatkan dalam satu kamar. Untuk nrangan yang
sempit dan ditempati lebih dari satu tahanan sifatnya harus sementara.
Selain tidak sesuai dengan standar minimal, menurut petugas Lp,
kelebihan kapasitas juga mempengaruhi proses pembinaan yang dilakukan.
Proses pembinaan menjadi tidak optimal dan Balai Latihan kerja kurang
berjalan. Konsentrasi lebih dititikberatkan pada pengamanan dari pada
pembinaan, sehingga banyak sumber daya LAPAS tersedot untuk
pengaman€rn dibandingkan dengan pembinaan.
Adanya tren peningkatan jumlah penghuni Lapas, tidak terlepas dari
adanya peningkatan angka kejahatan, terutama kasus narkoba. penghuni
Lapas d.idominasi oleh mereka yang terkena kasus narkoba. Apabila
diprosentase, penghuni Lapas dengan kejahatan narkoba, baik pengedar
maupun pemakai, mencapai kurang lebih 23 persen dari total penghuni
Lapas.
Untuk mengatasi problem kelebihan kapasitas, ad.a beberapa langkah
bisa ditempuh. Pettama" perlu ada pemindahan warga binaan. perlu ada
keseimbangans+ kapasitas jumlah hunian antara Lapas satu dengan Lapas
yang lain dengan jalan melakukan pemindahan warga binaan.3s
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari petugas di Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, penyebaran penghuni Lapas tidak merata. Ada Lapas
yang penghuninya masih dibawah kapasitas, tetapi ada beberapa Lapas
34LAPAS di Jawa Tengah, misalnya Kedung Pane Semarang
penghuninya.
3sMenurut petugas LP, pemindahan warga binaan bukan
pemindahan warga binaan dapat mempengaruhi kemanan LAPAS.
yang enggan dipindah dengan berbagai alasan.
masih memadai untuk ditambah
pekerjaan yang mudah. Karena
Selain itu, banyak warga binaan
33
yang kelebihan warga binaan,eo bahkan hingga hampir 4OO o/o dari daya
tampung. "
Ked.ua, memperrnudah prosedur pemenuhan hak-hak warga binaan
meliputi Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat
(PB) secara konsisten dan transparan. Jika cuti menjelang bebas dan
pembebasan bersyarat diterapkan secara konsisten, dipastikan dapat
mengurangi secara signifikan penghuni Lapas. Menurut Rahardi Ramelan
yang pernah menghuni di Lapas Cipinang, prosedur memperoleh hak-hak
ini sangat sulit.
C. Bangunan dan Letak Lapas
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam bangunan Lapas
yaitu konsep bangunan dan letak bangunan. Kedua hat ini harus
disesuaikan dengan konsep dan gagasan pemasyarakatan. Konsep
bangunan Lapas terkait dengan desain bangunan apakah sesuai dengan
konsep pemasyarakatan dan ruang-ruartg penghuni memadai sebagai
tempat tinggal (sesuai standart kesehatan). Mengacu pada ketentuan
Standard Minimum Rrttes for Treatment of Prisoners, seluruh kelengkapan
dalam kamar harus memenuhi standar kesehatan yang meliputi volume
udara, luas lantai, penerangan, pemanasan dan ventilasi. Di seluruh ruang
pencahayaan alami dan masuknya udara segar harus dapat dirasakan oleh
seluruh tahanan. Bagian untuk membuang hajat dan mandi harus tersedia
dan tetap te{aga kebersihannya, sehingga dapat digunakan setiap saat oleh
tahanan.3T
Secara umum, kondisi bangunan Lapas belum sesuai dengan
standar minimal, bahkan dapat dikatakan tidak manusiawi. Ruang-ruang
sel sangat sempit, tidak disediakan tempat tidur, tidak ada sirkulasi udara
yang memadai, dan tidak ada kamar mandi dan toilet. Ketiadaan toilet ini
mengakibatkan warga binaan kesulitan jika harus buang air, terutama di
malam hari karena setiap warga binaan pada umumnya diwajibkan masuk
3t LAPAS Cipinang, Bekasi, Paledang, Tangerang, dan Narkotika Cirebon yang menjadi objek
penelitian ini, semuanya mengalami kelebihan warga binaan.
3z Pasal 10, 1 L, L2 dan L 3 Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners
34
sel sejak pukul 17.00 - 06.00 wIB. Dalam kurun waktu tersebut semua
warga binaan harus berada di sel yang dikunci sehingga men5rulitkan
mereka untuk keluar. Untuk menyiasati masalah ini warga binaan
memanfaatkan plastik atau bahan yang lain sebagai tempat menampung
kotoran, yang akan dilempar keluar l,apas atau dibuang pagt hari, setelah
sel dibuka.'
Bangunan-bangunan gedung Lapas yang ada saat ini, sebagian besar'
merupakan warisan kolonial Belanda yang dibangun untuk tdrran pidana
penjara (penjeraan). Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Hamid Awaluddin, infrastruktur Lapas hampir 60 persen merupakan
peninggalan Belanda, yang lokasinya tidak memenuhi syarat karena berada
di tengah permukiman.se Meskipun demikian menurut Rahardi Ramelan,3e
bangunan Lapas peninggalan Belanda secara konsep masih lebih baik
dibandingkan dengan bangunan Lapas yang baru dibangun. Rahardi
mencontohkan, dalam fasilitas dan tempat tidur. Konsep Lapas peninggalan
Belanda ada lubang angin untuk sirkulasi udara di bawah tempat tidur.
Fungsi lubang ini selain untuk sirkulasi udara, juga untuk mencegah
rematik karena tidur langsung bersentuhan dengan lantai/tanah.
Sementara pada Lapas baru tidak tersedia lubang angrn. Selain itu, petugas
tidak menyediakan kasur, sehingga banyak penghuni yang terkena rematik.
Kondisi ini diperkuat oleh Adi Sujatno, mantan Direktur Jenderal
Pemasyarakatan Depkumham, bahwa bangunan Lp jaman peninggalan
Belanda masih bermanfaat seperti di LP Madiun, Sukamiskin, Madura.
Bangunan-bangunan itu tahan hingga ratusan tahun dan masih alnan
untuk pembinaan.
Selain itu, bangunan Lapas juga belum menunjang proses
pembinaan, karena ruang yang tersedia banyak dipergunakan untuk ruang
sel. Hampir semua Lapas, minim ruang publik atau ruang terbuka yang
dapat dimanfaatkan oleh warga binaan untuk berbagai aktivitas. Untuk
menunjang proses pembinaan, diperlukan ruang d.engan luas yang
ssRepublika, Sabtu, 14 April 2OO7, 80 Persen Napi Meninggal karena Narlaba.
3elYanskrip FGD, Baseline Surueg Pelaksanaan Sstem Pemasgarakatan D Lembaga
Pemasgarakata4 MAPPI FH UI, KRHN, LBHJakartadan Partnership, 16Mei2OO7, diJalarta.
35
memadai terutama untuk keperluan program pembinaan. Secara umum,
kebutuhan fasilitas yang mendukung proses pembinaan adalah ruang serba
BU[a, ruang sekolah, taman, perpustakaan, rualtg kerja (pertaniaan,
perternakan, perikanan, bengkel, lapangan olahraga, dll.). Minimnya ruang
publik dalam Lapas, salah satunya disebabkan karena keberadaan Lapas
mayoritas berada di tengah kota sehingga sulit untuk memperoleh luas
tanah yang memadai.
D. Sistem Peugamanan
Hampir di semua Lapas, aspek pengamanan menjadi aspek utama.
dalam proses pemasyarakatan. Mereka beralasan, jika ada warga binaan
kabur dari Lapas atau terjadi keributan antar warga binaan dapat
berimplikasi jauh, bahkan berimbas pada sanksi disiplin. Beda halnya jika
terjadi kegagalan dalam proses pembinaan yalg tidak punya imbas apa-
apa, terutama bagi pegawai Lapas di bidang pembinaan. Untuk itu,
pengamanan lebih diutamakan .dibandingkan dengan pembinaan. Terkait
dengan pengamanan, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu
sistem pengamanan, SDM pengamanan dan sarana pengamanan. Ketiga hal
ini sangat mempengaruhi proses pemasyarakatan.
Secara umum, sistem pengamanan penjara diklasifikasi menjadi tiga
kategori yatf:. maximum securitg, super maximum seanritg, dan minimum
seanitg.ao Ciri-ciri penjara yang menggunakan maximum securitg adalah
narapidana diisolasi di dalam sel, human contact dilaksanakan seminimal
mungkin, narapidana tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan
narapidana lain (atau dengan petugas peqjara), narapidana dilarang untuk
mendekorasi sel mereka, narapidana dikurung dalam sel selama 16 jam
sehari, dan apabila ia akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang
lain, maka ia harus dirantai baik tangan, pinggang, hingga kedua kakinya.
Adapun ciri-ciri penjara dengan sistem super maximrum securitg
adalah narapidana dikurung dalam sel selama 23 jam sehari, narapidana
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tindakan yang dilakukan
+oWidiada Gunakaya S.A, SH, SeTarah dan Konsepsi Pemasgarakatan, Arrnico, Jakarta, 1988.
36
terhadap mereka bersifat represif, tidak ada interaksi antar narapidana,
kebebasan berkreatifitas sangat terbatas, lingkungan yang dikontrol secara
penuh, sistem kunci yang permanen, dan kontrol psikologi dan fisik secara
total. Sementara, ciri-ciri dari sistem penjara dengan minimum securitg
adalah narapidana boleh berinteraksi dengan penjaga maupun narapidana
lainnya, narapidana dikurung dalam sel selama 11 jam sehari, narapidana
diperbolehkan untuk mendekorasi sel mereka dan apabila ia akan
dipindahkan ke tempat lain, ia tidak dirantai. Berdasarkan kategori di atas,
hampir semua Lapas di Indonesia menggunakan sistem pengaman€rn
minimum secuitg, walaupun ada beberapa l,apas yang menggunakan
maximum securitg. r
Melihat sarana pengamanan yang ada, dapat dianggap cukup
memadai. Pengamanan dibuat secara berlapis melalui beberapa pos
pengamanan. Dan, hampir semua sistem pengamanan sel di Lapas,
menggunakan sistem gembok.a2 Setiap pos bertanggungiawab untuk
memeriksa orang-orang yang hendak berhubungan dengan warga binaan.
Selain sistem pengamanan dibuat secara berlapis, di beberapa Lapas seperti
Lapas Cipinang dan Narkotika Cirebon, juga sudah dibekali dengan fasilitas
sarana pengamarlan yang super ketat seperti X Ray, Metal Detector, serta
Jammer (a1at pemutus sambungan telepon selular dari luar maupun dalam
Lapas).
Meskipun prosedur pengamanan telah dibuat sedemikian rupa
nampaknya belum mampu membendung penyelundupan barang terlarang
atau transkasi illegal di Lapas. tembaga pemasyarakatan (LP) disinyalir
menjadi tempat transaksi narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba)
terbesar.a3 Selain lemahnya pengawasan di dalam LP, hat ini juga
4rDi Ir{I'AS Batu Nusakambangan, terdapat beberapa sel yang menggunakan sistem
pengamanan maximum security. Sel-sel ini terpisah dengan blok hunian dal warga binaan yang
berada dalam sel ini terpisah satu sama lain dan tidak dapat berkomunikasi. Di LP Narkotika
Cipinang juga menggunakan sistem pengamanan ini.
42Beberapa kalangan menilai, sistem ini sudah saatnya ditihjau, mengingat sistem ini sangat
berbahaya bagi warga binaan, terutamajika terjadi kebakaran. Warga binaan akan sulit dievakuasi,
jika terjadi kebakaran. Sudah saatnya dipikirkan menggunakan sistem pengamanan sel yang lebih
baik.
43 Temngkapnya pabrik narkoba di Rumah Tahanan Negara @utan) Kelas I Medaeng, Jawa Timur
menjadi salah satu bukti dari masalah
http: / /txlmr.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/ 2OO7 / OS /28lbrk,2OO7O528-
LOO766,id.html.
37
Lihat,
disebabkan oleh kecilnya risiko yang dihadapi para pengedar narkoba
ketika bertransaksi di dalam LP. Sebab, jika diketahui mengedarkan
narkoba di dalam LP, para pengedar tidak mungkin ditembak seperti halnya
jika mereka diketahui bertransaksi di luar LP.aa Bahkan, ada warga binaan
yang dapat mengendalikan jaringan internasional pengedar narkoba melalui
telepon seluler. Hal ini bisa dilakukan karena dibantu dan memperoleh
berbagai kemudahan dari aparat setelah sebelumnya memberikan
kompensasi dalam bentuk uang.
Untuk menanggulangi masalah ini, beberapa upaya telah dilakukan,
diantaranya dengan melakukan penggeledahan setiap pengunjung yang
datang dan dilakukanya penggeledahan rutin (harian, mingguan, bulanan)
terhadap sel-sel warga binaan. Hanya saja setiap penggeledahan dilakukan,
jarang ditemukan barang-barang terlarang tersebut.as Selain itu upaya juga
dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kemampuan bagian
keamanan dengan membekali petugas dengan berbagai ketrampilan khusus
seperti pengetahuan tentang narkoba, intelijen, sistem pengamanan Lapas,
dan deteksi dini terhadap penyelundupan narkoba ke dalam atau keluar
Lapas/rutan.
Persoalan lain yang juga penting terkait dengan pengarnanan adalah
masih bebasnya peredaran uang di dalam LAPAS.46 Pada masa
kepemimpinan Menteri Hukum & HAM Yuzril Ihza Mahendra, Depkumham
pernah mencanangkan Lapas bebas dari peredaran uang.aT Larangan
peredaran uang di Lapas/rutan dilatarbelakangi oleh adanya pemahaman
bahwa tidak semua penghuni Lapas/rutan disamakan dengan masyarakat
yang ada di alam bebas. Dalam praktek menunjukkan, peredaran uang di
Lapas/rutan sering menjadi masalah, tidak saja soal masalah keamanan
tetapi hubungan di antara sesarna penghuni Lapas/rutan dan hubungan
44 Kompas, 22 Maret 2OO3, Lembaga Pemasgarakatan Tempat Transaksi Narkoba Terbesar.
4sMenurrt informasi, setiap ada renca$a penggeledahan selalu bocor ke warga binaan,
sehingga mereka membersihkan ruErng-ruang sel mereka, sehingga tidak ditemukan alat bulrti.
46 Di LAPAS Narkoba Cipinang transaksi oleh warga binaan menggunakan buku kredit.
Caranya, seseorang menitipkan sejumlah uang ke petugas. Sebagai gantinya ia akan mendapat buku
kredit. Dengan buku ini warga binaan dapat membeli barang-barang yang diinginkan di koperasi.
Transaksi di Koperasi tidak menggunakan uang melainkan buku kredit.
a7 Ada 27 r apas/rutan yang dinyatakan bebas dari peredaran uang yang tersebar di Provinsi
Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Yoryakarta, dal Jawa Timur sudah dinyatakan bebas
peredaran uang, dan empat lagi sedang dalam proses ya-kni LP kelas II A Narkotika Jakarta, LP II B
Cianjur, LP II B Ciamis, dan Rumah Ta-hanan Demak,
38
antara penghuni Lapas/rutan dengan petugas Lapas/rutan. Adanya
peredaran uang telah menimbulkan efek negatif seperti suap menJruap,
sogok menyogok, dan peras memeras.4s Beberapa warga binaan yang lolos
dari Lapas, ternyata memberikan sejumlah uang kepada penjaga kemanan.
Sampai saat ini, meskipun sudah diadakan pencanangan Lapas bebas
peredaran uang, masih banyak warga binaan yang memegang uang.
Persoalan keamanan yang lain terkait dengan kekerasan. Tindakan
kekerasan masih saja terjadi di Lapas meskipun intensitasnya berkurang.
Perkelahian yang menelan korban jiwa pada Februari dan Maret 2001.
Sedikitnya, lima orang kehilangan nyawa dan 22 orang luka parah. Bahkan,
dalam kerusuhan Maret 2OOl, para napi sempat membakar gedung lapas
yang didirikan sejak zarrrarl Belanda itu, dan menantang aparat dengan
segala macam senjata tajam. Pada Oktober 2001 juga terjadi kekerasan
yang melibatkan ratusan napi penghuni Blok I Lapas Cipinang. Dalam
kejadian itu dua orang meninggal dunia, dan tidak kurang empat orang
lainnya luka parah akibat perkelahian massal yang diduga melibatkan dua
kelompok besar napi di lapas kelas satu itu. Pada April 2006 lalu, terjadi
perkelahian massal antara narapidana (napi) yang tinggal di Blok A dengan
napi di Blok E. Pemicunya adalah perseteruan antara Sammy Key dan
Berti, dua pentolan pemuda Maluku yang punya pengaruh di Lapas.ae
Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana,
tawuran seperti itu merupakan satu dari tiga jenis kekerasan yang terjadi di
Lapas. Secara umum ada tiga bentuk kekerasan di lapas. Pertama,
kekerasan individual; kedua, kekerasan kolektif; lwtiga, kekerasan yang
berhubungan dengan pengaturan. Kekerasan individual biasanya terjadi di
antara napi atau dengan salah seorang sipir penjara. Sedangkan kekerasan
kolektif sering terjadi dalam masalah riot (kerusuhan, huru hara dan
keributan). Kekerasan bentuk ini biasanya tidak secara spontan, tapi
merupakan akumulasi persoalan yang mereka hadapi di penjara. Khusus
mengenai kekerasan jenis ketiga, kekerasan itu timbul karena adanya
interaksi tidak sehat antara napi dan para petugas. Masalah utama yang
48 Kompas, 27 Lembaga Pemasgarakatan Bebas Peredaran Uang, Kamis, 19 Agustus 2004
ae http : / / www. suarapembaruan. com/ News / 2 007 / 0 2 / 2 5 / Utama/ uto L . htm
39
sering muncul di permukaan adalah soal penghukuman fisik. Para pgtugas
menganggapnya sebagai bagran hukuman, tetapi para napi memandangnya
sebagai bentuk penyiksaan. so
Perihal kekerasan sangat mungkin terjadi di Lapas mengingat jumlah
liunian yang melebihi kapasitas. Selain itu, potensi kekerasan juga dapat
terjadi mengingat latar belakang para warga binaan yang beragam, dan
seringkali pertengkaran melibatkan kelompok dalam jumlah yang cukup
besar.. Kekerasan juga dapat terjadi karena adanya perlakuan yang tidak
sama atau diskriminatif terhadap para warga binaan.sl Untuk itu, d.alam
rangka menjaga keamanan, petugas kemanan bekerjasama dengan Ketua
Kelompok yang ada di Lapas. Ketua kelompoklah yang akan "dipegang"
untuk mengamankan kelompok yang dipimpinnya.sz Terkait dengan
kekerasan yang dilakukan petugas, menunjukkan masih lemahnya
pemahaman petugas terhadap konsep dan implementasi pemasyarakatan.
Terkait dengan konsep pengamanan, Susanto Heru, Kalapas Cirebon,
menawarkan pendekatan konsep keamanan berbasis kemanusiaan. Dengan
jumlah pegawai 75 orang dan mengurusi 1162 warga binaan, sulit untuk
menciptakan suasana kondusif jika pendekatan yang dilakukan adalah
murni pengamanan. Warga binaan harus disentuh alam bawah sadarnya,
salah satu caranya adalah dengan melakukan shaing, berbincang-bincang
dengan minimal 10 orang setiap hari. Dengan pendekatan kemanusiaan ini
diharapkan, faktor keamanan tidak menjadi penghambat bagi proses
pemasyarakatan.
E. Sarana Pembinaan dan Kerja
Proses pemasyarakatan dapat berhasil apabila ditunjang dengan
berbagai sarana yang memadai dalam proses pembinaan dan kerja. Dalam
hal ini ada dua instrumen penting yaitu fasilitas dan SDM. Sarana fisik
terkait dengan ketersediaan fasilitas pembinaan maupun mang yang
to
tbid
" di L"p"" Cipinang khususnya di Blok II, kondisinya sangat berbeda dibandingkan blok
lainnya. Blok II banyak dihuni mantan pejabat ataupun orang terkenal sehingga tidak ada persoalan
dengal kekerasan di sana
sz Hasil Wawancara dengan Petugas LAPAS
40
memadai bagi proses pembinaan. Secara umum, fasilitas yang tersedia
sangat minim dan tidak layak bagi proses pembinaan. Ruang publik dan
ruang kerja sangat terbatas, karena ruang yang tersedia lebih banyak
dimanfaatkan untuk hunian. Selain itu, masih minimnya sarana olah raga,
kesenian, media massa, audio visual, perpustakaan, dan balai kerja,
sehingga proses pembinaan berjalan tidak optimal.
Konsep pembinaan drt?* rangka pemasyarakatan tidak didukung
dengan sarana dan prasarana yang memadai. Salah satu contohnya perihal
pelatihan kerja yang tidak didukung dengan instruktur yang cukup baik
jumlah maupun keahliannya. Pernah dilakukan kerjasama dengan Balai
Latihan kerja, tapi saat ini proses kerjasama tersebut tidak berjalan.ss
Untuk membantu proses pembinaan, terutama dalam proses pelatihan,
telah dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menaker, Mensos,
Menkum dan HAM) perihal kerjasama dalam rangka pemberian pelatihan
pada Warga Binaan. Namun kesepakatan ini implementasinya terhambat
karena era otonomi daerah. SKB ini tidak berjalan dengan baik karena
semua kembali kepada Kepala Daerah rnasing-masing. Tidak semua Lapas
memiliki kerjasama dengan Pemerintah Daerah. sa
Untuk memanfaatkan tenaga-tenaga di Lapas, sering dilakukan
kerjasama-kerjasama dengan dunia usaha untuk memproduksi sesuatri.
Hanya saja, implementasinya banyak menemui hambatan. Menurut
Rahardi Ramelan, perlu ada sinkronisasi proses pembinaan dengan dunia
bisnis. Penjara seringkali menyebabkan ertreme idleness (keberadaan yang
tidak berdaya guna). Hal ini terkait dengan lebih banyaknya kegiatan-
kegrata4 yang kurang bermanfaat di penjara. Padahal, warga binaan adalah
tenaga kerja potensial yang dapat menggerakkan kegiatan ekonomi,
misalnya industri. Dengan kerjasama antara penjara dengan dunia bisnis,
Lapas relatif akan mendapatkan manfaat dari keuntungan kegiatan
ekonomi tersebut. Hanya saja, menurut Anang,ss banyak hambatan dalam
melaksanakan kegiatan pelatihan dan kerja. Ruang yang dapat
s3 Wawancara dengan Petugas LAPAS
sa Wawancara dengan Petugas LAPAS
ss Wawancara dengan Petugas LAPAS
4l
dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas sangat minim. Selain itu, kualitas
produk w-arga binaan masih dibawah standar, sehingga beberapa kerjasama
banyak ditinjau ulang.
Seperti telah diulas dalam pembahasan terdahulu, bahwa mayoritas
penghuni Lapas karena terlibat kasus narkoba. Ada penanganan yang
berbeda antara narapidana kasus narkoba dengan kasus pidana pada
umumnya. Sebagaimana diatur dalam undang-undang yang ada, yaitu UU
Narkolika No. 5 tahun 1997 dan UU No. 22 tahun 1997 tentang
Psikotropika mengatur tentang kewajiban menjalani perawatan dan
rehabilitasi bagi narapidana atau tahanan yang termasuk pecandu dan
pengguna narkoba. Untuk itu, Idealnya, Lapas narkotika berdiri sendiri
karena pola pembinaErannya berbeda dengan Lapas pada umum. Banyak
dampak negatif, jika narapidana narkotika dicampur dengan narapidana
umum. Pendekatan yang dilakukan di Lapas umum adalah mengenai
keamanan dan pembinaan, sementara Lapas khusus narkotika, selain
kemanan dan pembinaan, juga perawatan kesehatan dan rehabilitasi
(khususnya pemakai). Konsep yang akan diimplementasikan dalam Lapas
khusus narkotika adalah menjadi Lapas terpadu yaitu selain pengamanan
dan pembinaan, juga menyediakan pengobatan yang lengkap dan proses
rehabilitasi.
Lapas Khusus Narkotika hingga saat ini masih kurang jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah warga binaan yang membutuhkan
penanganan tersebut. Di seluruh Indonesia Lapas khusus narkotika
berjumlah 13 tempat, yaitu Lapas Khusus Narkotika Pematang Siantar,
Lapas Khusus Narkotika Lubuk Linggau, Lapas Khusus Narkotika Cipinang
Jakarta, Lapas Khusus Narkotika Bandar Lampung, Lapas Khusus
Narkotika Soekarno Hatta
- Bandung, Lapas Khusus Narkotika Besi Nusa
Kambangan, Lapas Khusus Narkotika Madiun, Lapas Khusus Narkotika
Pamekasan, Lapas Khusus Narkotika Krobokan
- BaIi, Lapas Khusus
Narkotika Maros, Lapas Khusus Narkotika Abepura, Lapas Khusus
Narkotika Cirebon, dan Lapas Khusus Narkotika Martapura. Hanya saja,
dari 13 tempat tersebut yang berfungsi secara utuh sebagai Lapas
42
narkotika baru empat tempat, yakni yang di Cipinang
Lampung, Besi - Nusakambangdfl, dan Cirebon.
Jakarta, Bandar
F. Fasilltas Kesehatan
Problem umum yang hampir ada di setiap Lapas adalah minimnya
fasilitas kesehatan. Dalam beberapa waktu terakhir ini Lapas menjadi
sorotan publik men5rusul tingginya tingkat kematian di l,apas. Menurut
data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penghuni Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang meninggal sepanjang 2006
mencapai 813 orang. Bahkan, medio Januari-Februari 2OO7 62 watga
binaan meninggal di berbagai LP di Indonesia. Angka kematian tertinggi ada
di lima provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara dan
Jawa Timur. Dari jumlah total tersebut, 70 hingga 75 persen adalah
narapidana kasus narkoba, sehingga dicurigai kasus kematian ini
umumnya berlatarbelakang penyalahgunaan narkoba yang kerap
bergandengan dengan HIV/AIDS. Aspek kesehatan menjadi aspek yang
sangat vital di Lapas.
Standar minimal internasional telah mengatur tentang hak napi
untuk memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan
rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat,
serta penyembuhan kelainan mental dan ketersediaan dokter spesialis.
Selain itu, sarana yang berhubungan dengan air dan benda-benda toilet
harus disediakan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan tahanan.
Ruang untuk menjaga penampilan tahanan harus disediakan guna
perawatan rambut dan jenggot dan dimungkinkan untuk bercukur teratur.
Untuk melihat pelaksanaan pelayanan kesehatan di Lapas, setidaknya
dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sistem pelayanan, sarana dan SDM.
Sistem pelayanan kesehatan belum dikelola secara maksimal. Sistem
yang ada di LP belum ideal khususnya terkait dengan bagran kesehatan.
Bagian kesehatan berada di bawah Kasubsie Bimkemaswat padahal
seharusnya klinik ini mandiri dan bertanggungjawab langsung kepada
Kalapas, agar tidak ada hambatan struktural dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Hal ini juga diperlukan untuk mengefektifkan proses penanganan
43
kesehatan. Bidang kesehatan adalah bidang fungsional, bukan struktural
jadi tidak tepat diletakkan di bawah Kasubsie Bimkemaswat. Jika ingin
optimal dalam penanganan orang-orang yang sakit, tenaga medis harus
dibebaskan dari belenggu struktural agar lebih konsentrasi dalam
memberikan pelayanan kesehatan. selain itu, dalam memberikan
pelayanan kesehatan belum ada mekanisme dan standar yang saina antara
satu Lapas dengan Lapas yang lain. Dalam bekerja di Lapas sebagai tenaga
medis sangat ditentukan kreativitas dan inisiasi dari dokter masing-masing,
karena memang belum ada sistem yang mengarahkan atau menuntun
tenaga kesehatan untuk bekerja.so
Pelayanan kesehatan diberikan pada setiap Lapas melalui fasilitas
klinik kesehatan. Menurut Rahardi Ramelan, poliklinik di Lapas memang
ada, tetapi sangat terbatas fasilitasnya. Bahkan, poliklinik Lapas tidak
dilengkapi dengan laboratorium yang memadai.sT pad.ahal, banyak penyakit
yang dialami oleh warga binaan perlu deteksi laboratorium. Klinik
memberikan pelayanan kesehatan kepada para warga binaan, dan apabila
ada klinik tidak mampu mengatasi penyakit yang diderita warga binaan,
biasanya dibawa ke rumah sakit yang telah disepakati. Menurut Rahardi,
napi yang dibawa ke RS harus punya ain dan surat izin itu ada biayanya.
Bagi napi miskin sulit berharap bisa dirawat di RS karena tak sanggup
membayar ongkos agar surat izin ihtkeluar.
Untuk mendetriksi berbagai penyakit yang dibawa oleh warga binaan,
setiap napi yang baru masuk selalu diperiksa dari aspek kesehatan. Apakah
mereka sudah membawa penyakit-penyakit sebelum masuk Lp. Apabila ada
indikasi penyakit-penyakit yang cukup berat, maka akan dilakukan
pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan ini penting sehingga dapat dilakukan
langkah-langkah penanganan untuk kesehatannya. Hanya saja, tidak
semua Lapas melakukan hal ini. Banyak napi yang dijebloskan ke Lp
Tangerangs8 tidak diperiksa dulu kesehatannya sehingga ketika berbaur
s6 Wawancara dengan Dokter LApAS
sTKompas Cyber Media, lO April 2007, Napi Sr:lit Berharao Peneobatan, Ledakan Kematian
Bakal Terjadi.
ss Hasil wawancara dengan Petugas LAPAS
44
dengan napi lain maka penyakit bawaan dari luar menyebar ke napi yang
lain.
Apabila klinik Lapas sudah tidak sanggup mengobati atau alat yang
kurang, biasanya warga binaan yang sakit dibawa ke Rumah Sakit Umum
dan biasanya menempati Kelas III. Namun seringkali pihak rumah sakit
sering melakukan penolakan perawatan dengan alasan tidak tersedianya
kamar perawatan di kelas III. Pihak Lapas tidak dapat berbuat banyak
karena memang anggaran yang tersedia hanya untuk biaya pengobatan
kelas III. Belum lagi anggaran untuk opnarne, dimana anggaran yang ada
tidak dapat menjangkau biaya RSU. Pasien bisa dibawa ke rumah sakit
swasta sepanjang ada kesanggupan dari keluarga. Untuk mengatasi
minimnya anggaran, penting untuk dipikirkan perlunya asuransi kesehatan
bagi kaum miskin (Askeskin), mengingat, banyak warga binaan yang tidak
mampu.
Lapas pada dasarnya adalah rumah sakit yalg kompleks. Tetapi
tenaga kesehatan di Lapas masih sangat terbatas. Belum ada pemerataan
distribusi bagi tenaga kesehatan dan belum ada system standarisasi dalam
penempatan tenaga kesehatan. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin
menyatakan,se akan mengangkat seribu dokter dan paramedis yang
ditempatkan di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Rencana ini sangat baik,
terutama untuk meningkatkan pelayanan terhadap warga binaan.
Pemenuhan tenaga kesehatan seharusnya disesuaikan dengan
kebutuhan Lapas yakni jumlah warga binaan dan spesialisasi penyakit
yang sering diaiami warga binaan. Saat ini, klinik Lapas masih minim
paramedis. Seharusnya tenaga kesehatan/dokter dibantu oleh paramedic
(perawat), sehingga tidak semua pekerjaan di pegang oleh dokter. Selain itu,
Lapas sangat memerlukan dokter-dokter ahli untuk menangani penyakit-
penyakit khusus, seperti kulit, penyakit dalam, dll. Banyak penyakit-
penyakit yang sebenarnya tidak bisa diserahkan kepada dokter umum.6o
ss Pidato Menteri Hukum dan HAM Hari Bakti Pemasyarakatan ke 43
oo Hasil wawancara dengan Dokter LAPAS di LP Pemuda Tangerang
45
Untuk menjadi tenaga kesehatan di Lapas dibutuhkan kemauan yang
kuat dan komitmen yang tinggi, karena memberikan layanan di Lapas
sangat berbeda dengan memberikan pelayanan kesehatan pada umumnya.
Hanya saja, tidak ada orientasi awal yang menjelaskan tentang bagaimana
bekerja di Lapas. Seharusnya sejak awal perlu ada pratugas yang
memberikan gambaran kepada mereka tentang bekerja di Lapas beserta
problem yang dihadapi, sehingga setidaknya seorang dokter akan bersiap-
siap. Setelah tenaga medis tersebut bertugas, mereka sangat membutuhkan
berbagai perkembangan baru dalam dunia kesehatan. Tetapi, tidak ada
pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh tenaga kesehatan untuk
meningkatkan kapasitasnya sehingga dapat menunjang kerja-kerja dalam
pelayanan kesehatan. Pendidikan yang berjalan, hanya pendidikan pra
jabatan, yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan tugas-tugas
fungsional sebagai dokter yang akan bertugas di Lapas. Setelah dokter
bekerja, seharusnya ada pelatihan-pelatihan untuk memperbaharui
berbagai perkembangan dalam dunia kesehatan. 61
G. Sistem Informasi Dan Komunikasi
Sistem informasi menjadi bagian penting dalam proses
pemasyarakatan. Ada tiga hal yang dapat dilihat dari proses komunikasi
dalam proses pemasyarakatan yaitu komunikasi internal Lapas,
komunikasi Lapas dengan masyarakat dan komunikasi Lapas dengan
instansi-instansi terkait dalam proses pemasyarakatan.
Sistem komunikasi dan informasi internal, masih dikelola secara
manual. Belum ada sistem komunikasi yang bersifat onhne, yang dapat
menghubungkan petugas satu dengan yang lainnya. Lapas belum memiliki
database yang bersifat online tentang kondisi dan perkembangan warga
binaan yang dapat diakses oleh semua petugas La.pas. Sistem teknologi
informasi sama sekali belum menyentuh lembaga pemasyarakatan. Di
Lapas masih ada masalah dalam transparansi data dan informasi. Saat ini
data warga binaan berada di Kasubsie Registrasi dan ini sulit diakses oleh
0t Hasil Wawancara dengan Dokter LAPAS di LP Pemuda Tangerang dan Bekasi.
46
seksi-seksi teknis. Proses pelayanan di seksi lain masih dilakukan secara
manual .sehingga jika membutuhkan data warga binaan membutuhkan
waktu yang cukup lama. Idealnya, ada database yang bisa on line darr
dapat diakses langsung oleh seksi lainnya. Selain itu, penggunaan teknologi
seperti komputer belum dimanfaatkan dengan maksimal. Saat ini banyak
petugas yang tidak bisa dan tidak mau menggunakan komputer sehingga
fasilitas tersebut justru banyak digunakan oleh warga binaan.62 Sudah
saatnya managemen Lapas menggunakan sistem berbasis IT.
Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
baik adatah menyangkut akuntabilitas dan transparansi. Adanya
akuntabilitas dan transparansi menjadi salah satu penilaian penting
terhadap kinerja pemerintahan. Sebagai bentuk pertanggungiawaban
publik, semua institusi publik berkewajiban melaporkan kinerjanya kepada
publik. Lapas merupakan institusi publik yang seharusnya juga
menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi. Masyarakat harus
memperoleh akses yang mudah terhadap berbagai informasi yang terkait
dengan proses pemasyarakatan. Misalnya, database warga binaan. Lapas
harus membangun sistem komunikasi publik berbasis teknologi informasi,
dimana semua informasi seputar proses pemasyarakatan tersedia dan
dapat diakses dengan mudah.
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasyarakatan, La"pas terkait
dengan instansi-instansi lain, terutama instansi pemerintah. Lapas dapat
berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka pemasyarakata,
misalanya departemen kesehatan, perguruan tinggi, Balai Latihan Kerja,
dan lain-lain. Koordinasi ini diperlukan, untuk lebih mengefektifkan proses
pemasyarakatan. Hanya saja, proses komunikasi yang dengan berbagai
instansi yang ada tidak berjalan dengan baik.
62 Wawancara dengan Petugas LAPAS
47
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS
PEMBARUAN LAPAS

More Related Content

Viewers also liked

Undang Undang nomor 16 tahun 2004
Undang Undang nomor 16 tahun 2004Undang Undang nomor 16 tahun 2004
Undang Undang nomor 16 tahun 2004Awank Kurniawan
 
Permenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutan
Permenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutanPermenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutan
Permenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutanLukman Agung Widodo
 
Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2
Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2
Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2Yusuf Hasyim Addakhil
 
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019Lukman Agung Widodo
 

Viewers also liked (19)

Undang Undang nomor 16 tahun 2004
Undang Undang nomor 16 tahun 2004Undang Undang nomor 16 tahun 2004
Undang Undang nomor 16 tahun 2004
 
Laporan Analisa Pemantauan Kinerja Kejaksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pus...
Laporan Analisa Pemantauan Kinerja Kejaksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pus...Laporan Analisa Pemantauan Kinerja Kejaksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pus...
Laporan Analisa Pemantauan Kinerja Kejaksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pus...
 
Prosiding Workshop National MAPPI
Prosiding Workshop National MAPPIProsiding Workshop National MAPPI
Prosiding Workshop National MAPPI
 
Kumpulan Hasil Legal Anotasi oleh Eksaminator
Kumpulan Hasil Legal Anotasi oleh EksaminatorKumpulan Hasil Legal Anotasi oleh Eksaminator
Kumpulan Hasil Legal Anotasi oleh Eksaminator
 
Laporan Hasil Analisa Pemantauan PN Jak-Sel, PN Jak-Pus dan Cibinong (Nov 200...
Laporan Hasil Analisa Pemantauan PN Jak-Sel, PN Jak-Pus dan Cibinong (Nov 200...Laporan Hasil Analisa Pemantauan PN Jak-Sel, PN Jak-Pus dan Cibinong (Nov 200...
Laporan Hasil Analisa Pemantauan PN Jak-Sel, PN Jak-Pus dan Cibinong (Nov 200...
 
Penelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
Penelitian Maladministrasi di Lembaga PengadilanPenelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
Penelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
 
Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
Pembaruan Sistem Pengawasan JaksaPembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
 
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPILaporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
 
Panduan Pemantauan Peradilan
Panduan Pemantauan PeradilanPanduan Pemantauan Peradilan
Panduan Pemantauan Peradilan
 
Hasil Penelitian - Meningkatkan Kemampuan Kejaksaan Mengembangkan Sistem Peng...
Hasil Penelitian - Meningkatkan Kemampuan Kejaksaan Mengembangkan Sistem Peng...Hasil Penelitian - Meningkatkan Kemampuan Kejaksaan Mengembangkan Sistem Peng...
Hasil Penelitian - Meningkatkan Kemampuan Kejaksaan Mengembangkan Sistem Peng...
 
Pembaruan Rekrutmen Calon Jaksa
Pembaruan Rekrutmen Calon JaksaPembaruan Rekrutmen Calon Jaksa
Pembaruan Rekrutmen Calon Jaksa
 
Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RIPembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
 
Pembaruan Sistem Pembinaan Karir Jaksa
Pembaruan Sistem Pembinaan Karir JaksaPembaruan Sistem Pembinaan Karir Jaksa
Pembaruan Sistem Pembinaan Karir Jaksa
 
Laporan Hasil Analisa Pemantauan Jaksa Penuntut Umum Di Pengadilan Negeri Jak...
Laporan Hasil Analisa Pemantauan Jaksa Penuntut Umum Di Pengadilan Negeri Jak...Laporan Hasil Analisa Pemantauan Jaksa Penuntut Umum Di Pengadilan Negeri Jak...
Laporan Hasil Analisa Pemantauan Jaksa Penuntut Umum Di Pengadilan Negeri Jak...
 
Buku Saku - Panduan Investigasi Pejabat Publik untuk Masyarakat (MAPPI FHUI)
Buku Saku - Panduan Investigasi Pejabat Publik untuk Masyarakat (MAPPI FHUI)Buku Saku - Panduan Investigasi Pejabat Publik untuk Masyarakat (MAPPI FHUI)
Buku Saku - Panduan Investigasi Pejabat Publik untuk Masyarakat (MAPPI FHUI)
 
Permenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutan
Permenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutanPermenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutan
Permenkumham 33 tahun 2015 tentang pengamanan pada lapas dan rutan
 
Anotasi Putusan No Perkara 73-PID-2007-PT.DKI
Anotasi Putusan No Perkara 73-PID-2007-PT.DKIAnotasi Putusan No Perkara 73-PID-2007-PT.DKI
Anotasi Putusan No Perkara 73-PID-2007-PT.DKI
 
Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2
Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2
Buku kumpulan peraturan dan pedoman lp ma arif nu 2
 
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
 

Similar to PEMBARUAN LAPAS

Peranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidana
Peranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidanaPeranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidana
Peranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidanayahyaanto
 
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxPERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxIlyasAlbar
 
sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdfsistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdfyulianmuhtadin
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanayudikrismen1
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalBrigita Manohara
 
PPT pancasila kelompok 19.pptx
PPT pancasila kelompok 19.pptxPPT pancasila kelompok 19.pptx
PPT pancasila kelompok 19.pptxFikaayulestari2
 
Makalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vikaMakalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vikamuel sihombing
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)noidmedia virtual
 
Problematika penegakan hukum di indonesia
Problematika penegakan hukum di indonesiaProblematika penegakan hukum di indonesia
Problematika penegakan hukum di indonesianoidmedia virtual
 
sistem pemasyarakatan.pdf
sistem pemasyarakatan.pdfsistem pemasyarakatan.pdf
sistem pemasyarakatan.pdfoktiaditia
 
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdfKelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdfAzrasyawal09
 
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilakuFilsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilakuDonnyHari
 
Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2eli priyatna laidan
 

Similar to PEMBARUAN LAPAS (20)

Peranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidana
Peranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidanaPeranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidana
Peranan advokat kaitanya pemberian bantuan hukum dalam penegakan hukum pidana
 
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxPERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
 
sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdfsistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminal
 
Law Sociology
Law SociologyLaw Sociology
Law Sociology
 
SISTEM SOSIAL.pdf
SISTEM SOSIAL.pdfSISTEM SOSIAL.pdf
SISTEM SOSIAL.pdf
 
PPT pancasila kelompok 19.pptx
PPT pancasila kelompok 19.pptxPPT pancasila kelompok 19.pptx
PPT pancasila kelompok 19.pptx
 
Makalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vikaMakalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vika
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
 
Problematika penegakan hukum di indonesia
Problematika penegakan hukum di indonesiaProblematika penegakan hukum di indonesia
Problematika penegakan hukum di indonesia
 
sistem pemasyarakatan.pdf
sistem pemasyarakatan.pdfsistem pemasyarakatan.pdf
sistem pemasyarakatan.pdf
 
Softskill 11
Softskill 11Softskill 11
Softskill 11
 
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdfKelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
 
kocag.pptx
kocag.pptxkocag.pptx
kocag.pptx
 
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilakuFilsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
 
Teropong | November 2013
Teropong | November 2013Teropong | November 2013
Teropong | November 2013
 
Laporan Tahunan MaPPI Tahun 2003
Laporan Tahunan MaPPI Tahun 2003Laporan Tahunan MaPPI Tahun 2003
Laporan Tahunan MaPPI Tahun 2003
 
Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 5 pertemuan 2
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
 

More from MAPPI FHUI - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia

More from MAPPI FHUI - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (18)

Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk vs polri versi si...
Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk  vs polri versi si...Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk  vs polri versi si...
Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk vs polri versi si...
 
Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...
Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...
Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Illegal Loging
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Illegal LogingLaporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Illegal Loging
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Illegal Loging
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Gugatan Sengketa Tata Usaha Ne...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Gugatan Sengketa Tata Usaha Ne...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Gugatan Sengketa Tata Usaha Ne...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Gugatan Sengketa Tata Usaha Ne...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Mengenai Cerai Gugat Antara Ratih Citr...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Mengenai Cerai Gugat Antara Ratih Citr...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Mengenai Cerai Gugat Antara Ratih Citr...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Mengenai Cerai Gugat Antara Ratih Citr...
 
Fiat Justitia ed.2 Juni 2013
Fiat Justitia ed.2 Juni 2013Fiat Justitia ed.2 Juni 2013
Fiat Justitia ed.2 Juni 2013
 
Fiat Justitia ed.1 Maret 2013
Fiat Justitia ed.1 Maret 2013Fiat Justitia ed.1 Maret 2013
Fiat Justitia ed.1 Maret 2013
 
Laporan Penelitian - Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
Laporan Penelitian - Pembaruan Sistem Pengawasan JaksaLaporan Penelitian - Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
Laporan Penelitian - Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
 
Ringkasan Eksekutif KIP MaPPI
Ringkasan Eksekutif KIP MaPPIRingkasan Eksekutif KIP MaPPI
Ringkasan Eksekutif KIP MaPPI
 

Recently uploaded

Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAnthonyThony5
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxAmandaJesica
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptMuhammadNorman9
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxBudyHermawan3
 
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxMembangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxBudyHermawan3
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdfHarisKunaifi2
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditYOSUAGETMIRAJAGUKGUK1
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfNetraHartana
 

Recently uploaded (8)

Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxMembangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 

PEMBARUAN LAPAS

  • 2. ztllzwT U]NUNfifiU P]RUBAHAN DAil BALIII ,Enu,l Pemasyarakatan)(Studi Awal Penerapan Konsep
  • 3. MENUNGGU PERUBAHAN DARI BALIK JERUJI (STUDI AWAL PENERAPAN KONSEP PEMASYARAKATANI Oleh : Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN dan LBH JAKARTA Penyunting: Topo Santoso Hasril Hertanto Tim Peneliti : 1. Asfinawati : Direktur LBH Jakarta 2. Muhammad Gatot : Kepala Litbang LBH Jakarta 3. Hasril Hertanto: Ketua Harian MaPPI FHUI 4. M. Ali Aranoval : Kepala Monitoring MaPPI FHUI 5. Fulthoni : Kepala Bidang Operasional KRHN 6. Lolong Manting : Staf Program KRHN Partnership For Governance Reform
  • 4. Pustakawati: Riana Ekawati Manajer Penerbitan: Ike Bambang Manajer Proyek Soffan Lubis Lay Out Isi : Ashep Ramdhan Tak satu bagran pun dari buku ini yang dapat diproduksi ulang, disimpan dalam bentuk sistem pengambilan, atau dialihkan dalam bentuk atau sarana apa pun, termasuk elektronik, mekanik, foto kopi, rekaman, atau apa saja, tanpa sebelumnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan. Izin dapat diperoleh secara langsung dari Kemitraan bagr Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia IND: telepon: l+621213902566, faks: (+62) 2L 2302933, e-mail: information@kemitraan.or. id Katalog Dalam Terbitan Menunggu perubahan dari balik jeruji : Studi awal penerapan konsep pemasyarakatan / oleh tim peneliti MaPPI FHUI, KRHN dan LBH Jakarta : pen5runting, Topo Santoso, Hasril Hertanto ; tim peneliti, Asfinawati ... [et a1.]. -- Jakarta : Kemitraan, 2OO7 110 hlm .;21,5 x 15,5 cm 1. Penjara. I. Topo Santoso II. Hasril Hertanto III. Asfinawati Katalog Perpustakaan Kemitraan-Data dalam Publikasi Catatan katalog buku ini tersedia pada Perpustakaan Nasional Indonesia. ISBN: 979-979-26-9616-5 Untuk keterangan mengenai semua publikasi Kemitraan, silakan kunjungi situs web kami di http: / /www.kemitraan.or.id lpage /publications /books/ Hak cipta @ 2OO7, Partnership. Hak cipta dilindungi.
  • 5. DAFTAR ISI V vii viii Bab I PENDAHULUAN Bab III ASPEK KELEMBAGAAN DALAM PROSES PEMASYARAKATAN 13 A. Struktur Organisasi 1,6 B. Sumber Daya Manusia................ 21, C. Mekanisme Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi 25 D. Pelaksana Konsep Pemasyarakatan ............ 26 E. Mekanisme Pengawasan 27 F. Koordinasi dan Kerjasama Kelembagaan............ 29 G. Akuntabilitas dan Transparansi................... 29 Bab TV SARANA DAN PRASARANA DALAM PROSES PEMASYARAKATAN...... 31. A. Instrumen Peraturan ...................... 31 B. Over Kapasitas.............. 32 C. Bangunan dan Letak Lapas 34 7 7 8 9 9
  • 6. D. Sistem Pengamanan ................. B6 E. Sarana Pembinaan dan Kerja 40 F. Fasilitas Kesehatan 4g G. Sistem Informasi dan Komunikasi............. 46 H. Anggaran................. 4g Bab V IMPLEMENTASI KONSEP PEMASYARAKATAN 49 A. Administrasi dan Pengelompokan Warga Binaan 49 B. Konsep dan Model Pembinaan 5j. C. Partisipasi Warga Binaan dalam Proses Pembinaan. 56 E. Organisasi tidak Resmi Warga Binaan dalam Lapas !....!..r...;.....!.!.........! 6g Bab VI PENUTUP 70 70 72 74 90 97 A. Kesimpulan B. Rekomendasi Sekilas tentang LBH ]akarta, KRHN, MaPPI, UU No. l?Tahun L995 Daftar Pustaka V1
  • 7. DAT"TAR SIITGI(ATAN AKIP Akademi Ilmu pemasyarakatan BAPAS Balai pemasyarakatan Bengker Bengkel Kerjl CMB Cuti Menjelang Bebas DPR Dewan perwakilan Rakyat FGD Focus Group Discussion HAM Hak Asasi Manusia HaKI Hak atas Kekayaan Intelektual Kalapas Kepala Lembaga pemasyarakatan Kepmen Keputusan Menteri KPLP kesatuan pengamanan Lembaga pemasyarakatan KIMWASMAT Hakim pengawas dan pengamat KUHP Kitab Undang-Undang Hukum pidana KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana Lapassustik LembagapemasyarakatanKhususNarkotika LP/ L,apas Lembaga pemasyarakatan LBH Lembaga Bantuan Hukum LSM Lembaga Swadaya Masyarakat PB pembebasan Bersyarat PP Peraturan pemerintah SDM Sumber Daya Manusia SKB Surat Keputusan Bersama UU Undang-Undang WBP Warga Binaan Pemasyarakatan
  • 8. KATA PENGANTAR Sistem peradilan pidana terdiri dari beberapa sub sistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. sub sistem tersebut terdiri dari penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan, pemeriksaan persidangan dilakukan oleh pengadilan, dan terakhir pelaksanaan pidana yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Ketiga lembaga tersebut saling berkaitan dan memiliki pengaruh yang besar dalam rangka penegakan hukum. Namun dalam perkembangannya lembaga pemasyarakatan sebagai muara dari sistem peradilan pidana jarang sekali mendapatkan perhatian. Maka tak mengherankan apabila permasalahan yang ada di dalam lembaga tersebut jarang sekali diketahui. Pemberitaan media massa seringkali bernada memojokan tanpa berupaya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Permasalahan yang sangat kompleks di tubuh lembaga pemasyarakatan membutuhkan perhatian dan dukungan dari masyarakat. Dukungan tersebut tidak perlu selalu diwujudkan dengan memberikan bantuan dana atau apapun yang bersifat materi. Dalam rangka memberikan dukungan tersebut maka sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) didukung oleh Kemitraan (Partnerships for Gouerrlance Reform) berupaya memberikan dukungan tersebut. Dukungan itu dilakukan dengan membuat pemetaan atas permasalahan yang ada di lembaga pemasyarakatan. Saat ini telah banyak kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan maupun lembaga lain, namun belum dapat memberikan perubahan yang berarti. Dalam rangka membantu proses pembaruan tersebut maka pemetaan ini dilakukan sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah sejumlah kegiatan yang dapat membantu proses pembaruan itu sendiri.
  • 9. Pemetaan yang dihasilkan dalam kegiatan tentunya belum dapat dikatakan sebagai gambaran utuh atas segala permasalahan yang ada. Namun tim peneliti berharap hasil pemetaan ini dapat menjadi awal proses pembaruan L€mb"ga Pemasyarakatan. Pemetaan yang dilakukan tidak hanya tertuju pada pelaksanaan pemasyarakatan itu sendiri tetapi mencakup pula organisasi pelaksana dan organ pendukung. Meskipun jauh dari kesempurnaan, hal ini dapat dipandang sebagai wujud kepedulian masyarakat pada proses pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Kegiatan kajian dan penulisan buku ini tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak ada dukugrgan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu kami ingin menyampaikan terima kasih khususnya kepada Bapak Mohamad Sobary selaku Direktur Eksekutif Kemitraan beserta manajemen Kemitraan. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah memberi kemudahan dan informasi selama pelaksanaan kajian. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Prof.Dr. AdrianuS Meliala, Bp Soffan Lubis serta rekan-rekan Cluster Securitg and Justice Gouernance di Kemitraan. Jakarta, 18 Oktober 2OO7 Tim Peneliti.
  • 10.
  • 11. BAB I PENDAIIULUAN Hukum pidana Indonesia mengenal pidana penjara sebagai salah satu hukuman yang paling dominan dalam menerapkan sanksi pidana. Pasal 1O Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenal dua macam pemidanaan yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 1 Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pidana pokok maupun pidana tambahan hanya dapat diterapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana hanya dapat terjadi setelah seorang tersangka diproses menurut hukum acara pidana yang berlaku berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 2OO4 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dihadapkan ke pengadilan selain berdasarkan undang-undang. Seseorang tidak dapat d{jatuhi pidana kecuali pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang y€rng dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan terhadap dirinya. Ketentuan Pasal 6 tersebut secara tegas menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dijatuhi pidana berdasarkan alat bukti yang sah dan adanya keyakinan dari pengadilan, dalam hal ini majelis hakim, bahwa seseorang telah bersalah. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut maka diperlukan sebuah hukum acara yang mengatur proses pengujian bukti-bukti untuk llndonesia, Kitab Undang-Undang Hulo,tm Pidana, Pasal 1.0. I
  • 12. menyatakan seseor€rng bersalah dan melanggar hukum. Ketentuan mengenai hukum acara tersebut diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-undang tersebut mengatur proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan pidana yang terangkum dalam sebuah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Dalam kerangka sistem peradilan pidand terpadu tersebut setidaknya terdapat empat lembaga yang bertanggungjawab dalam penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi penegakan hukum merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara kepada para terpidana. Pelaksanaan hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata sebagai sebuah upaya balas dendam dan menjauhkan narpidana dari masyarakat. Pemenjaraan terhadap narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem Pemasyarakatan. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan mdsyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agff menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak memberikan nilai tambah bagi seorang narapidana guna memperbaiki hidupnya. Pemeqjaraan menurut sistem pemasyarakatan tidak ditujukan untuk membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sistem pemasyarakatan dikembangkan dengan maksud aga-r terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
  • 13. diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Menilik tujuan yang hendak dicapai maka pemenuhan hak dasar para narapidana menjadi suatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut sangat penting untuk menjadi perhatian dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan yang mendasarkan pada asas-asas pemasyarakatan. Asas- asas pemasyarakatan yang dimaksud adalahz: a. Pengagoman. Yartg dimaksud dengan pengagoman adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. b. Persamaan perlakuan dan pelayanan. Yang dimaksud dengan persamaqn perlakuan dan pelaganan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang. c. Pendidikan dan Pembimbingan. Yang dimaksud dengan pendidikan dan pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila,antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian,dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. d. Pengtnrmatan harkat dan martqbat manusia, Yang dimaksud dengan penghormatan harkat do:n martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia. e. Kehilangan kemerdekaan merupqkan satu-sa.tunga pendeitaan Yang dimaksud dengan kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunga penderitaan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lapas, Warga Bihaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap di lindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi f. Terjaminnga hak unhtk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Yang dimaksud dengan terjaminnga lwk untuk tetap berlutbungan dengan lceluarga dan orang-orang ter-tentu adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di Lapas, Pasal 5. 2lndonesia, Undang-Undang Tentang Pemasgarakatan, LN No. 77 Tahun 1995; TLN No. 3614,
  • 14. tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungr keluarga. Sistem pemasyarakatan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersebut menempatkan para narapidana sebagai seorang manusia yang melakukan kesalahan dan harr.s dibina untuk kembali ke jalan yang lurus. Hal itu ditunjukkan dengan penyebutan narapidana menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas dilaksanakan secara intra mural (di dalam Lapas) dan ekstra mural (di luar Lapas). Pembinaan secara ekstra mural yang dilakukan di Lapas disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstra mural juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.3 Namun upaya pembinaan yang dilakukan oleh I"apas maupun Bapas tersebut nampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Pada umumnya permasalahan timbul karena adanya pengabaian terhadap asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Permasalahan yang sering kali mengemuka adalah tidak adanya persamEran perlakuan kepada para warga binaan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan untuk bertemu dengan pihak keluarga, adanya kesan bahwa l,embaga Pemasyarakatan merupakan ajang sekolah begi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorarlg, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain 3lndonesia, Ibid, penjelasan Pasal 6 ayat (1) 4
  • 15. yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahan yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan. Pemberitaan media massa menyebutkan bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan kerap terjadi tindak kekerasan terhadap narapidana. Tindak kekerasan ini dilakukan oleh sesama WBP dan pejabat sipir penjara. Hasil penelitian LBH Jakarta di 5 wilayah Jakarta menemukan, kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama 2003-2005, 25 o/o diantarariya dilakukan di dalam lapas. Dalam Lembaga Pemasyarakatan juga sering terdengar adanya pungutan liar yang dilakukan petugas kepada para pengunjung. Bahkan tidak sedikit narapidana yang bertambah jahat setelah keluar dari penjara. Kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan adanya persoalan yang serius di dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Jika dikualifikasikan persoalan-persoalan tersebut adalah pertama, masih minimnya jaminan perlindungan hak-hak narapidana. Kedua, tidak adanya pengawasan yang efektif terhadap penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, lemahnya regulasi (kebijakan) yang berimplikasi pada penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat, terdapat kelemahan dalam kerangka organisasi birokrasi yang menangani pemasyarakatan. Beberapa kelemahan yang ditenggarai terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakatan harus dicarikan jalan keluar yang tidak sekadar tambal sulam antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lainnya. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di tubuh lembaga pemasyarakatan dan untuk mencari jalan penyelesaian yang akan ditempuh maka perlu dilakukan sejumlah penelitian, meskipun kelemahan yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakat seringkali diberitakan oleh media massa. Gambaran yang diberikan oleh media massa belum cukup memadai untuk melihat secara seksama permasalahan yang terjadi di dalamnya.
  • 16. Penelitian awal sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran yang jelas teltang peta permasalahan di lembaga pemasyarakatan. Hasil penelitian ini akan dijadikan pijakan awal untuk men]rusun sejumlah kebijakan dalam rangka pembaruan lembaga pemasyarakatan. Pembenahan dan pembaruan Lembaga Pemasyarakatan mesti dilakukan mengingat adanya perubahan-perubahan di tubuh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sudah dilakukan dan tengah berjalan. Sebagai satu kesatuan yang terintegrasi datam criminal justice sastem, tanpa dilakukan pembaruan dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan, tujuan untuk memberikan keadilan hukum bisa tidak tercapai. oleh karena itu pembaruan dalam sistem penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan harus segera dimulai
  • 17. BAB II KONSEP DAN PERKEMBANGAN PEMASYARAKATAN Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dalam perjalanannya mempunyai sejarah yang cukup panjang4. Dinamika lembaga ini tentunya tidak terlepas dari bagaimana sistem hukum yang mensyaratkan adanya sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam suatu masyarakat terhadap mereka yang melakukan kejahatan atau pelanggaran. Perkembangan lembaga pemasyarakat ternyata berkaitan erat dengan kondisi politik hukum yang terjadi di Indonesia, untuk itu dalam penelitian ini sejarah lembaga pemasyarakatan dapat diuraikan sebagai berikut. A. Masa Pra Kemerdekaan Lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam perjalanannya mempunyai sejarah yang cukup panjang berdasarkan perkembangan kenegaraan beserta kebijakan politik hukumnya. Pada masa pra kemerdekaan penjara disebut gestrafien kwartier. Di Jawa dan Madura gestraften kutartier adalah satu atau lebih bangunan tembok segi empat atau melingkar yang berisi 10 sampai 15 orang narapidana. Diluar Jawa dan Madura gestrafienkuqrtier ini terdiri dari bangunan-bangunan darurat yang dibuat dari kayu. Dalam penjara tidak ada tempat pekerjaan karena semua pekerjaan dilakukan di luar tembok penjara.s Perlakuan terhadap narapidana ketika itu sangat tidak manusiawi, kesehatan tidak terpelihara, walaupun saat itu telah berlaku reglement op de orde en tucht dari tahun 1872, Staatsblad 1971 No. 78 yang ditujukan untuk mengatur tata tertib terpidana dan juga mengatur sementara pekerjaan-pekerjaan terpidana. aDisarikan dari situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada alamat website http://www.ditjenpas.go.id/index.php . diakses pada tanggal 18 Maret 20O7. s Pada saat itu belum dikenal pemisahan narapidana berdasarkan kategori perbuatan. Narapidana laki-laki dan perempuan ditempatkan menjadi satu dan tidak dipisah
  • 18. Sejak tahun 1905 timbul kebijakan baru oleh kolonial yakni pidana kerja paksa di mana terpidana ditempatkan di pusat-pusat penampungan besar di wilayah yang di sebut gewestelijke centralen. Terpidana kemudian dipekerjakan pada proyek-proyek besar untuk keperluan umum seperti pembuatan jalan, tambang-tambang, proyek-proyek irigasi, dan lain.lain. Oleh karena itu dibangunlah penjara pusat. Penjara-penjara Pusat tersebut terdiri dari bangunan dengan ukuran yang sangat besar dan dengan kapasitas penampungan kurang lebih 700 sampai 27OO orang. pada saat itu telah dilakukan pemisahan terpidana berdasarkan jenis kejahatannya sehingga di penjara pusat terdapat tembok- tembok pemisah yang jumlahnya begitu banyak. Selain itu penjara pusat juga menerapkan "sistem kamar bersama" yang berisi kurang lebih 25 orang terpidana. Sistem kamar bersama ini kemudian menjadi ciri khas dari "Penjara-penjara Sentral" (Centrale Geuangenissen).6 B. Masa Berlakuaya KUHP Sesudah berlakunya KUHP tahun 19i8 terjadi perubahan yang mendasar mengenai penjara dan segala peraturannya. Perubahan tersebut diantaranya adalah hukuman rampasan kemerdekaan yang bukan pidana harus diadakan sarana Iisik atau bangunan tersendiri, oleh sebab itu selain sistem Strafgeuangenissen diadakan pula sistem Huizen uan Beutaing (HvBl atau yang disebut dengan "Rumah Tahanan" yang fungsi utamanya ialah untuk menampung orang-orang yang belum dihukum atau belum tentu dihukum, mereka yang ditahan atau mereka yang disandera sambil menunggu keputusan tentang perkaranya. Selain itu dilakukan penyempurnaan kebijakan dalam memperlakukan terpidana antara lain berupa realisasi klasifikasi, penerapan Pasal 26, Wetboek uan Strafrecht (KUHP) dan peluasannya Dalam periode ini dilaksanakan pemberian lepas bersyarat yang pertama setelah 3 tahun setelah KUHP berlaku. Selain itu berkaitan dengan Pasal 20 KUHP maka bagi semua terpidana baik pidana 6 Organisasi Kepenjaraan saat itu sudah mulai tertib dengan adanya Kepala Umsan Kepenjaraan (Hoofd uan het Geuangeni,sutezen) yeng membawahi pejabat-pejabat seperti Inspektur, Direkhrr, Pegawai-pegawai telmik, Administrasi, dan bidang lain.
  • 19. penjara maupun pidana kurungan yang lamanya tidak lebih dari satu bulan diwajibkan bekerja dipenjara pada siang hari dan sehabisnya bebas berada diluar penjara. z C. Masa PenJaJahan Jepang Di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 struktur organisasi Kepenjaraan tidak berubah semuanya masih berdasarkan sistem kepenjaraan yang telah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda, akan tetapi semua posisi puncak seperti kepala kepenjaraan sepenuhnya dipegang oleh orang Jepang. Keadaan kesehatan terpidana pada saat itu umumnya sangat menyedihkan. Pada tahun 1944 rata-rata setiap hari 25 orang terpidana meninggal dunia di rumah penjara Cipinang karena mengidap penyakit disentri dan malaria. Obat-obatan tidak ada, yang ada hanya tata kina yang langsung dibuat dari kulit pohon kina dimana persediaannya sangat sedikit. Untuk pengobatan disentri dipergunakan obat-obat tradisionil, keadaan makanan pun sangat menyedihkan.a D. Masa Kemerdekaan Setelah merdeka tahun 1945 semua penjara telah dikuasai oleh Republik Indonesia. Menteri Kehakiman R.I yang ketika itu dijabat oleh Prof. Mr. Dr Supomo mengeluarkan Surat Edaran No. G.8/ 58S tentang Kepenjaraan yang memuat beberapa pokok aturan diantaranya: bahwa yang pertama-tama harus diperhatikan dan diusahakan ialah kesehatan orang-orang terpenjara, Pekerjaan bagr ora"ng-orang terpenjara harus diperhatikan antara lain sebagai sarana memperbaiki tabiatnya, perhatian khusus diminta untuk usaha-usaha dibidang pertanian guna mencukupi makanan orang-orang terpenjara, perlakuan terhadap orang-orang terpenjara selalu mengingat perikemanusiaan dan keadilan, tanpa pandang bulu apakah Indonesia, Eropa, Tionghoa, dan lain-lain. 7 Semula ketentuan ini hanya berlaku bagi terpidana kurungal dengan lama pidana tidak lebih dari 6hari. lStaatsblod 1925 No. 28) t Walaupun dalam teori Kepenjaraan Jepang, perlakuan terpidana harus berdasarkan "reformasi atau rehabilitasi" namun kenyataan lebih merupakan exploitasi atas manusia.
  • 20. Saat itu Reglemen Penjara Staatsblad 1917 No.7O8 masih tetap berlaku kecuali haf-hal yang bersangkutan dengan pengurusan dan pengawasan atas penjara-penjara, terutama Pasal 15 s/ d 20 dan Pasal 22 s/ d 24. Pasal- pasal tersebut diubah dengan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 No.G.8l23O yang mengatur mengenai Struktur Organisasi dan Ketatalaksanaan dari Jawatan Kepenjaraan. Aturan tersebut /pada hakekatnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pelnerintah tentara Jepang, dimana penyebutan nama jabatan diubah kedaldm bahasa Indonesia. Sejak tahun 1946 kantor pusat kepenjaraan dikehal dengan "Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Penampungan" (penampungan sebagai sebutan dari reclasseeirug. Dalam sejarah Kepenjaraan Indonesia, periode Republik Indonesia Serikat terkenal dengan adanya "Penjara-penjara Darurat". Ada beberapa macarn penjara darurat yakni penjara darurat yang berisi beberapa orang terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya; Penjara darurat yang khusus didirikan dalam tempat-tempat pengungsian sebagai tempat untuk orang-orang yang dianggap sebagai mata-mata musuh; penjara-penjara darurat yang merupakan komponen dari tata peradilan pidana darurat yang diadakan dalam rangka mempertahankan eksistensi dan konsistensi dari Negara Republik Indonesia. Penjara-penjara darurat tersebut diadakan bersamaan dengan diadakannya Pengadilan-pengadilan Darurat sebagai realisasi dari instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pada waktu itu berada dalam pengungsian. Pada saat sistem penjara darurat dilakukan, narapidana menjalankan tugas pembersihan bangsal-bangsal tempat penampungan terpidana, memasak, bercocok tanam dan diperbantukan kepada pemerintah setempat untuk keperluan yang bermanfaat untuk umum. Pada saat itu penjagaan dilakukan oleh sedikit pegawai kepenjaraan yang berada dalam pengungsian tanpa senjata dengan penerangan sangat minim. Jumlah terpidana berkisar antara 25 sampai 60 orang. Pada saat darurat perkelahian antar para terpidana hampir tidak ada, tidak ada narapidana yang melarikan diri baik ketika sedang dihukum maupun ketika diadakan 10
  • 21. pelatihan pengungsian bahkan ketika pengungsian sedang terjadi walaupun pelaksanaanya dilakukan diwaktu malam. Pada tanggal 19 Mei 1950 dicapai kata sepakat diantara negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikeluarkan Surat Putusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan "Reklassering" tanggal 14 Nopember 1950 No. J.H. 6/19/16 yang mempersatukan urusan kepenjaraan di seluruh nusantara dalam satu organisasi. Yang perlu diidentifikasikan mengenai periode kepenjaraan R.I ialah adanya latar belakang falsafah yang baru dibidang kepenjaraan yakni resosialisasi, yang pada waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern di dunia kepenjaraan nasional. Adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan di Nusakambangan pada tahun 1951 dan adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan di Sarangan pada tahun 1956 merupakan tonggak-tonggak sejarah dalam perkembangan sistem Koreksi di Indonesia. Kemudian pada tanggal 26 Maret 1962 No. J.H. 8.6/71 tentang Pendidikan Narapidana, yallg antara lain memuat arah pimpinan kepenjaraan yang telah ditetapkan oleh Saharjo, SH, Menteri Kehakiman pada waktu itu yakni pemasyarakatan narapidana dalam arti mempersiapkan narapidana lahir/batin untuk kembali ke masyarakat. Sistem Pemasyarakatan sebagai proses tidak sarna dengan sistem klasifikasi sebagai proses, sebagai diartikan di Amerika Serikat karena sistem klasifikasi sebagai proses tidak mengikutsertakan secara aktif dan positif elemen masyarakat, sedang yang menjadi fokus pada sistem klasifikasi adalah individu terpidana, berlainan dengan proses berdasarkan Sistem Pemasyarakatan yang fokusnya ditujukan kepada kesatuan hubungan yang terjalin antara individu dan masyarakat serta alamnya, dibawah kekuasaan Trhan Yang Maha Esa. Disini letaknya Pancasila dari Konsepsi Pemasyarakatan Selanjutnya diterbitkan juga surat edaran tanggal 23 April 1962 no. J.H. 8.1./40 tentang Pedoman Pemasyarakatan Narapidana yang antara 11
  • 22. lain memberi petunjuk-petunjuk mengenai pendidikan, diantaranya pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan yang khas dari masyarakat sekelilingnya. Dalam periode ini secara resmi dipergunakan istilah-istilah "narapidana" untuk orang hukuman, "tindakan penertiban" untuk hukuman disiplin, "pidana" dan istilah hukuman, "tahanan pencegahan" untuk tahanan preventif dan "tahanan sandera" untuk digidzel. Istilah narapidana sebetulnya berasal dari pemikiran R.A. Kusnun, S.H. dimana nara diartikan sebagai kaum dan pidana berarti hukuman. Pada tanggal 2O s/d 22 Maret 1975 dilaksanakan Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan. Iokakarya tersebut membahas tentang Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya sebagai landasan struktural yang dapat dijadikan dasar bagi segi-segi operasional Pemasyarakatan, Sarana Personalia, Sarana Keuangan dan Sarana Fisik. Dalam Lokakarya tersebut diambil kesimpulan, bahwa hal-hal tersebut belum memadai. Lokakarya ini berhasil membuahkan kerangka dasar manual pembinaan bagi terpidana, sebagai langkah untuk menyi:mpurnakan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Salah satu langkah yang konkrit yang patut dicatat dan yang terjadi pada permulaan periode ini ialah penrusunan manual-manual yang fliperlukan dalam rangka realisasi perlakuan terpidana berdasarkan konsepsi pemasyarakatan. I2
  • 23. BAB III ASPEK KELEMBAGAAN DALAM PROSES PEMASYARAKATAN Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengartikan pemasyarakatan sebagai kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Terkait dengan sistem pemidanaan tersebut perlu dihubungkan dengan Standard Minimum Rules for tlrc Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Kovenan Sipil Politik pada tahun 1966 yang menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku kej ahatan. Konsep Sistem Pemasyarakatan dalam instrumen nasional sebagaimana termaktub dalam 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr. Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam Standard Minimum Rules for th.e Treatment of Prisoner tahun 1957. Baik Konsep Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum Bagi Perlakuan terhadap Narapidana di Indonesia sedikitnya menganut filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, namun demikian ditingkat implementasi masih sangat lemah karena adanya berbagai faktor diantaranya kesenjangan antara konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan, kurangnya anggaran dan rendahnya SDM serta kelemahan ditingkat organisasi kelembagaan dan peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan pola pemidanaan dan penentuan sanksi perlu digali secara mendalam dan ditentukan secara tepat karena pemahaman mengenai pemidanaan dapat memberikan arah dan pertimbangan untuk menetapkan pemberian sanksi dalam suatu tindak pidana. Dalam konteks 13
  • 24. pembaharuan hukum pidana berkaitan dengan sistem sanksi harus dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan, hal ini penting untuk melihat apa maksud dan capaian yang hendak diinginkan dari sebuah proses pembaharuan dalam hukum pidana. Oleh karena itu Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.e Permasalahannya selama ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia. 10 Akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang ada dalam KUHP saat ini tidak konsisten dan tumpang tindih. Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut. Dalam perkembangannya, teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun t97O-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. ll Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi ini lahir "Model Keadilan" yakni sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert modet) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan Qtreuention) dan retribusi (retibution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagr dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Di samping just desert modeljuga terdapat model gM.rludi d- B*du Nawawi Arief, Teorileori dan Kebijakan Pidana,PT ALUMNI, Bandmg, 1998, hlm. 96 loM. Sol"hoddio, ,9o tem Sanlai dalam Hulum Pidana,PT Rajt CirafiidoPemada, 2003, hlrn. 131. " solehuddin, op. cit., hlm. 61. t4
  • 25. lain yaitu restoratiue justice model yang seringkali dihadapkan pada retributiu e ju stice mo del. 72 Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara, padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan. Saat ini dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorattue justice, di mana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Secara lebih rinci Muladi menyatakair bahwa restoratiue justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu : 13 a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korbal. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab; i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik; j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. plbid. t'M,rludi, Kapita Selekta Hulatm Pidana,Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,l995,hlm. t27-129. 15
  • 26. Dijelaskan dalam UU Pemasyarakatan bahwa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara Pembina yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat alrtif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga binaan yang baik dan bertanggungjawab. Paradigma ini sesungguhnya sesuai dengan model restoratiue justice jika dilihat dalam konteks pembaruan sistem pembinaaan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan. Undang-undang pemasyarakatan menekankan adanya kesatuan implementasi antara sistem, kelembagaan dan cara pembinaan fagi warga binaan pemasyarakatan. Sistem dan cara pembinaan dalam konsep pemasyarakatan tidak berdiri sendiri melainkan terikat erat dengan kelembagaan pemasyarakatan sebagai instrumen yang akan menerapkan sistem dan cara pembinaan. Kelembagaan dalam kenyataannya mempunyai peran yang sangat penting bagi keberhasilan proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan. Dalam penelitian ini kelembagaan meliputi beberapa hal yakni mengenai organisasi, dan Sumber Daya Manusia Struktur Organisasl Pada dasarnya pengorganisasian lembaga pemasyarakatan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik dalam Undang- undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M.09-PR.07-10 Tahun 2OO7 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan t6
  • 27. Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan aturan teknis lainnya. 1. Struktur Organisasi Departemen Hukum dan HAM Dalam struktur organisasi Departemen Hukum dan HAM Kepala LAPAS bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil bertanggungjawab langsung kepada Menteri. Menteri membawahi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagaimana Kakanwil membawahi Koordinator Pemasyarakatan. Baik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan maupun Kordinator Pemasyarakatan hanya mempunyai hubungan teknis dengan Lembaga Pemasyarakatan tetapi tidak mempunyai hubungan secara struktural. Di sisi lain Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mempunyai fungsi untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan mengenai pemasyarakatan, demikian juga Koordinator Pemasyarakatan di Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan pembinaan pengendalian dan pengawasan serta pemeriksaan di bidang teknis pemasyarakatan. Ironisnya, kedua sub organisasi ini tidak mempunyai hubungan struktural dengan lembaga pemasyarakatan sebagai pelaksana. Menun1t Keputusan Menteri tentang Organisasi dan Tata Ke{a Lapas, hubdngan antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Lapas dilakukan secara fungsional dalam rangka bimbingan teknis kemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Dephukham. Hal ini menjadi permasalahan sebab pada dasarnya organisasi diarahkan untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif melalui kegiatan yang terpadu.14 Sebelum tahun 1984 pernah digunakan sistem lwlding menyangkut struktur organisasi Pemasyarakatan. Mulai dari tingkat Direktorat t+J. Winardi, Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemery Jekarta, PT. Raja Gra-findo: 2005, hal. 767-162. l7
  • 28. Jenderal hingga unit pelaksana teknis berada dalam satu kesatuan struktural, dimana kepala Lapas bertanggungjawab kepada kepala kantor direktorat, kepala kantor direktorat bertanggungjawab kepada kepala kantor wilayah direktorat, kepala kantor wilayah direktorat bertanggungjawab kepada direktur pemasyarakatan dan direktur bertanggungj awab kepada menteri. Dengan sistem ini, maka jalinan struktural, fungsi, tugas dan wewenang sangat menunjang kine{a pemasyarakatan sehingga pada saat itu kine{a organisasi begitu efektif dan efisien. Pada dasarnya keinginan untuk kembali ke sistem holding sangat kuat ditingkat pelaksana teknis.ls Sebaliknya sistem integrated yang ada saat ini mempunyai banyak kelemahan diantaranya kurangnya jalinan struktural, fungsi, tugas dan wewenarlg antara direktorat dengan divisi pemasyarakatan di kantor wilayah dan unit pelaksana teknis pemasyarakatan. Selain itu posisi sebagai Direktur pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat diisi oleh pihak lain secara politis, bukan secara karier. Sebagai contoh Departemen Hukum dan HAM membawahi juga Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal HaKI dan lain-lain, dimana bisa saja terjadi orang yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur pada Direktorat HaKI dapat menduduki jabatan sebagai Direktur pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Yang lebih mengkhawatirkan apabila yang menjadi Direktur adalah mereka yang berasal dari pihak luar Departemen Hukum dan HAM1o. Masalah yang mungkin timbul adalah menyangkut kualitas dan pemahaman dari Direktur tersebut mengenai Konsep, Visi dan Misi pemasyarakatan yang justru sanga! dibutuhkan dalam pemmusan dan pelaksanaan kebijakan mengenai pemasyarakatan. Masalah yang sama juga mencakup kedudukan Kakanwil, dimana Kakanwil juga diangkat 15 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7 16 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.KP.01.05 Tahun 1994 Tanggal 8 Pebruari 1994 tentang PoIa Penjenjangan Karier Pejabat Pemasyarakatan Departemen Kehal<imal. 18
  • 29. langsung oleh Menteri, dan bisa diisi oleh mereka yang bukan dari direktorat pemasyarakatan akan tetapi berasal dari direktorat Imigrasi, direktorat HAKI atau bagian lain. Satu hal yang cukup mendapat perhatian adatah keberadaan Balai Pertimbangan Pemasyarakatal,lT sebagai badan yang khusus memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Kedudukannya yang noq struktural seharusnya membuat badan ini terbuka kepada masyarakat. Susunan anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan periode tahun 2006 adalah sebagai berikut: ANGGOTA BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN (BPP) DILANTIK 5 SEPTEMBER 2006 NAMA BIDANG KEAHLIAN Prof. Dr. Mustofa, M.Si Spesialisasi Kriminologi Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA Spesialisasi Hukum Pidana Prof. Dr. Andi Hamzah, SH Spesialisasi Hukum Pidana dan HAM Drs. Agun Gunaqiar Sudarsa, Bc.IP Spesialisasi Tokoh Masyar akat Dr. Seto Mulyadi, S.Psi, M.Si Spesialisasi Masalah Anak Drs. Hasanuddin, Bc. IP, SH Sp e sialisasi P emasy ar akatan Dr. Rudy Satriyo M, SH, MH Spesialisasi Peradilan Pidana Nursyahbani Katjasungkana, SH Spesialisasi Masalah Wanita Drs. R. Soegono, MM Spe sialias i P emasyarak atan Drs. Purniati Spesialisasi Lembaga Swa day a Masyarakat Dr. Imam Prasodf o Spesialiasi Sosioloei Akan tetapi sejauh ini kegiatan badan tersebut tidak pernah didengar atau diketahui publik. Padahal kalau dilihat unsur yang duduk dalam badan tersebut terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, dan para tokoh masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pembinaan warga binaan pemasyarakatan dan para ahli di bidang pemasyarakatan. Badan seperti ini seharusnya dipikirkan kembali untuk masalah pertanggungjawabanya dalam arti tidak hanya bertanggungjawab kepada menteri akan tetapi tzDibentuk berdasarkan Keputusan M.02.PR.08.03 Tahun L999 tentang Balai Pemasyarakatan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor Pertimbangan Pemasyarakatan Dan Tim Pengamat t9
  • 30. bertanggungjawab juga kepada masyarakat dengan cara memberikan laporan kgpada masyarakat tentang kegiatan yang sudah dilakukan atau bisa menjadi organ yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap kinerja Organisasi dan pembinaan di Lembaga pemasyarakatan dan secara keseluruhan sebagai wakil masyarakat dalam rangka mendukung pembinaan terhadap warga binaan. 2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Struktur organisasi LP sebagaimana diatur dalam M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan menyebutkan bahwa tugas keamanan dan ketertiban secara teknis dan administratif dipisahkan. Secara teknis, pelaksanaan tugas keamanan dan ketertiban berada di bawah kendali Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLPJ sedangkan secara administratif kendali tugas berada dibawah Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib. Permasalahan yang sering dijumpai adalah mengenai dua bidang yang mengatur mengenai hal yang sama ini, dalam pelaksanaannya seringkali tidak harmonis dan menjurus ke arah konflik horizontal antar petugas. Akibatnya, efektifitas dan efisiensi kerja menjadi kurang sehingga tujuan organisasi yang diharapkan dapat dicapai cenderung tidak maksimal. Di samping itu, bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib dinilai sebagai bidang yang kurang sekali beban kerjanya jika dibandingkan dengan bidang lain dalam organisasi LP18. Saat ini koordinasi kerja antara sub organisasi Lapas yang mempunyai kewenangan menjalankan fungsi pembinaan dan Bapas yang mempunyai kewenangan menjalankan fungsi pembimbingan belum selaras. Lapas memandang bagian kerja Bapas seharusnya ketika warga binaan pemasyarakatan mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas. Tetapi, pada kenyataanya Bapas memang terlibat sejak awal ketika warga binaan menjalani proses pembinaan di Lapas. Masalah timbul karena lsWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OO7 20
  • 31. belum adanya aturan teknis yang mengatur deskripsi kerja masing-masing bagian. Sejauh ini berdasarkan analisis sementara sistem organisasi yang meliputi pembinaan dan pembimbingan di LP tidak mempunyai perbedaan sedangkan masing-masing penanganan warga binaan mempunyai karakteristik tersendiri contoh, pembinaan dan pembimbingan bagt pemasyarakatan anak, pemasyarakatan wanita, pemasyarakatan narkoba seharusnya berbeda. B. Sumber Daya Manusla 1. Rekrutmen Pada prinsipnya yang disebut dengan rekrutmen adalah proses untuk mencari dan menarik para pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh organisasi tertentu. Selanjutnya, rekrutmen juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktifitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang teridentifikasi dalam perencanaar] kepegawaianle. Umumnya pegawai yang berkerja di LP, saat melamar pertama kali harapannya adalah memang menjadi pegawai Departemen Hukum dan HAM. Tidak terbayang dibenak mereka akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Dari awal, motivasi pelamar sudah berbeda dengan ketika mereka ditempatkan sebagai pegawai LP. Semangat kerja menurun dan sebagian besar tidak bersemangat untuk bekerja dan ini sangat mempengaruhi aktifitas organisasi secara keseluruhan.zo Selain motivasi, masalah kemampuan, keahlian dan pengetahuan harus diperhitungkan juga pada proses rekrutmen pegawai LP. Kelemahan ini diakibatkan oleh sistem rekrutmen yang semuanya dipusatkan di Sekretariat Jenderal Departemen sehingga standar yang digunakan adatah standar Departemen bukan standar masing-masing le Ambar Teguh Sulistiyani dan Rosidah, Manajem.en Sumber Daga Manusia (Konsep Teoi dan Pengembangan d.alam Konteks Organisasi Publik),ogeJ<atta: Graha Ilmu, 2003. Hal.134 20 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7 2t
  • 32. Direktorat Jenderal akibatnya kualitas pegawai yang te{aring sangat minim baik dari segi motivasi, keahlian, kemampuan dan pengetahuannya. 2. Pengembangan SDM/Pendidikan dan Latihan Pendidikan pada umumnya berkaitan dengan persiapan bagi calon tenaga yang diperlukan oleh suatu instansi atau organisasi sedangkan pelatihan diartikan seb"gai bagian dari pendidikan yang memiliki tduan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan pegawai yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu2l. Pendidikan dan latihan baik pra jab atan (pre-seruice training) atatr dalam jabatan (in-service training) fagi petugas dan pejabat LP kurang memadai. HaI ini mengakibatkan kesenjangan antara konsep pemasyarakatan dengan implementasi proses pembinaan di lapangan. Pada kenyataannya pendidikan yang dilaksana-kan oleh Departemen Hukum dan HAM masih bersifat umum seperti diklat struktural. (spada, Spama, Diklat Pimpinan dan lain-lain). Sejauh ini mereka yang menjadi pegawai LP sangat sedikit yang berasal dari lulusan akademi ilmu pemasyarakatan (AKIP) , rata-rata mereka yang lulusan AKIp mempunyai penguasaan dan pemahaman yang cukup baik dalam mengimplementasikan tujuan pemasyarakatan kualitasnya berbeda dengan yang bukan lulusan AKIP. Hai negatif dari penggunaan tenaga lulusan AKIp adalah diabaikannya mereka yang lulusan 51, 52 dan 53, tetapi bukan alumni AKIP akibatnya tenaga potensial tersebut tidak berkembang ketika mereka ditempatkan di LP.zz Banyaknya pegawai yang tidak mengikuti pendidikan teknis pemasyarakatan sejak awal bertugas, pada akhirnya menghasilkan pegawai yang tidak memahami konsep dan tujuan pemasyarakatan. Hal ini diperburuk dengan kurangnya kesadaran sebagian petugas Lapas sehingga terjadi persekongkolan antara pegawai dan narapidana. penyelenggaraan diklat rata-rata satu (1) kali setiap tahun ditambah lagi masih ada pegawai 21 Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daga Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003, hal. 28. rzRahardi Ramelan, disampaikan pada /ocus group discussion Penelitian LP, Jokartg- 22 Mei 2007 22
  • 33. Lapas yang masih berijasah SD dan SMp sehingga kualitas pemahamannya mengenai konsep dan tujuan pemasyarakatan sangat terbatas23. Pelatihan selama ini dilaksanakan oleh Kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM dengan metode pengajuan program berdasarkan anggaran yang disetujui oleh Sekretariat Jenderal Departemen. pelatihan tersebut meliputi materi teknis pemasyarakatan dan materi keahlian umum seperti komputer, manajemen dan lain-lain. Pelatihan ini tidak dilakukan secara rutin dan berkesinambungan sehingga peningkatan kualitas pegawai tidak maksirnal2a. Padahal dengan kualitas pegawai yang dari awal tidak memiliki keahlian, kemampuan dan pengetahuan tentang teknis Pemasyarakatan, pelatihan ini menjadi sangat penting dan harus secara rutin dilaksanakan sehingga pemahaman mengenai konsep dan tujuan pemasyarakatan dapat terlaksana. Masalah lain adalah mengenai jumlah personil Lp yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni. Tenaga-tenaga Lp yang ada belum sesuai dengan kebutuhan riil dalam proses pemasyarakatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Bukan hanya itu, seharusnya Lp ditunjang dengan tenaga-tenaga ahli kemasyarakatan seperti psikolog, psikiater, sosiolog, guru, dan tenaga ahli di bidang produksi. Kenyataannya banyak pegawai LP yang juga merangkap sebagai psikolog, guru, dan tenaga ahli dibidang produksi. Masalahnya pegawai Lp tersebut secara personal tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk itu, antara lain bukan lulusan psikologi atau minimal pernah mengikuti pelatihan sebagai psikolog atau sebagai guru bahkan sebagai ahli di bidang produksi, akibatnya tujuan pembimbingan dan pembinaan kurang tercapai.2s 3. Mutasi Promosi Promosi diartikan sebagai kegiatan pemindahan pegawai dari suatu jabatan kepada jabatan yang lebih tinggi. Promosi akan selalu diikuti oleh tugas, tanggungjawa! dan wewenang yang lebih tinggi dari jabatan yang 23Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT 2aWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OO7 2sWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT 23
  • 34. diduduki sebelumnya26 sedangkan mutasi secara gramatikal dapat diartikan.sebagai perpindahan jabatan atau perubahan jabatan dari satu posisi ke posisi lainnya, baik secara fungsional, struktural maupun kewilayahanzz. Alasan melakukan promosi dan mutasi diantaranya untuk menjamin stabilitas kepegawaian, memajukan pegawai dan mempertinggi semangat kerja pegawai serta menempatkan seseorang yang tepat di posisi yang tepat. Secara empiris ditemukan bahwa pegawai LP banyak yang tidak mendapatkan kesempatan mutasi dan promosi secara merata. Di satu sisi ada pegawai yang teratur promosi dan mutasinya sedangkan di sisi lain ada yang tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkan promosi dan mutasi secara teratur.2s Pola karier sebagai pola pembinaan pegawai negeri sipil yang mehggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihatr, kompetensi serta masa jabatan seseorang sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun seharusnya dilaksanakan secara transparan dan bertanggungiawab. Kenyataan yang terjadi adalah, seseorang yang diusulkan untuk promosi atau mutasi tidak tahu alasannya bahkan pegawai tersebut tidak tahu kalau usulan itu ditolak atau tidak ditindaklanjuti. Kenyataan lain, ada juga pegawai yang "mengawal" usulan promosi itu hingga tingkat pusat sehingga membuka peluang kolusi dan nepotisme.2e Sistem administrasi kepegawaian yang terpusat dan tertutup di Kesekretariatan Jenderal Departemen Hukum dan HAM dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa pola karier bagi pegawai LP bermasalah. zoAlex S. Nitisemito, Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daga Manusia), Jakarta :Ghalia Indonesia, 1996. Hal. I 1 27Tim Pen5rusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. II, cet. 9, Jakarta: Pusat Pembinarn dan Pengembalgan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaar, hal. 7 90 2sWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OOT 2eWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
  • 35. 4. Kesejahteraan SDM Mengenai kesejahteraan pegawai LP, secara umum dirasakan masih kurang akan tetapi diakui bahwa pemerintah telah memperhatikan kekurangan tersebut dengan memberikan tunjangan-tunjangan dengan harapan kekurangan tersebut dapat ditutupi.3o Mengenai pemberian tunjangan bagi petugas pemasyarakatan sebelumnya telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1996 tentang Thnjangan petugas Pemasyarakatan dimana sebelumnya tunjangan ini berlaku bagi Golongan I sebesar Rp. 25.000, Golongan II sebesar Rp. 35.000, dan Golongan III sebesar Rp. 45.000. karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan maka Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 106 tahun 2000 telah melakukan perubahan terhadap besarnya tunjangan yakni Golongan I sebesar Rp. 100.O00, Golongan II sebesar Rp. 110.000, dan Golongan III sebesar Rp. 120.000, aturan ini tidak berlaku bagi pegawai yang telah menerima tunjangan struktural dan tunjangan fungsional C. Mekanlsme Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Mekanisme perencanaan, monitoring dan evaluasi di Lp pada umumnya mengikuti mekanisme baku yang sudah ditetapkan dalam seluruh aturan normatif yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan HAM. secara teknis perencanaan dan monitoring serta evaluasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sedangkan secara administratif perencanaan, monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM melalui divisi pemasyarakatan. Dengan demikian LP sebagai unit pelaksana teknis sebenarnya tinggal menjalankan semua program yang sudah digariskan baik secara teknis maupun secara administratif. Pada ranah implementasi terkadang ketentuan normatif tidak berlaku yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya kelemahan manajerial dan kualitas SDM. Hal yang pating mudah ditemui untuk dijadikan contoh lemahnya perencanaan, monitoring dan evaluasi di Lp di 30 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT 25
  • 36. bidang bina kerja. Walaupun sudah ada kerjasama tertulis antara Departemen Kehakiman, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Sosial yang dibuat tahun 198+ tetap saja tidak ada tindakan untuk mengimplementasikan hal yang menjadi tanggungiawab masing-masing instansi. HaI ini dapat kita lihat meskipun bidang bina kerja telah mengeluarkan keluhan bahwa saat ini sulit untuk menjalin kerjasama dengan Balai Latihan Ke{a sehingga praktis kegiatan yang bisa dilakukan oleh bidang bina kerja adalah kegiatan yang lokal saja seperti menanam saJruran di dalam lingkungan penjara. Pejabat struktural di LP tidak melihat ini seb"gai masalah sehingga implementasi monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan bina kerja tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal yang sama juga terjadi di bidang pembinaan pendidikan dimana program paket belajar yang selama ini berjalan masih menggunakan tenaga pengajar dari pegawai LP meskipun sudah ada kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaaan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kegiatan perencanaan, monitoring dan evaluasi di LP sangat lemah dan perlu ditinjau kembati. D. Pelaksanaan Konsep Pemasyarakatan Implementasi konsep pemasyarakatan sebagaimana dijabarkan UU pemasyarakatan dititik beratkan dalam dua hal yakni pembinaan dan pembimbingan. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan disesuaikan dengan asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945. dan standard minimum rules yang kemudian tercermin dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan. Salah satu kelemahan dalam sistem pembinaan adalah tidak wajibnya semua warga binaan mengikuti kegiatan pembinaan di LP seperti di Bina Kerja semua dikembalikan kepada warga binaan untuk aktif atau tidak, dengan demikian dalam proses tersebut kegiatan pembinaan praktis hanya diikuti oleh mereka yang aktif sedangkan yang tidak mengikuti kegiatan tersebut tidak mendapatkan kegiatan lain yang wajib diikuti. i Kelemahan dalam sistem pemidanaan juga dapat dilihat dalam masa orientasi atau pengenalan dalam LP dimana bercampurnya mereka yang dihukum karena narkoba, pembunuhan, pencurian dengan tindak pidana 26
  • 37. ringan lainnya tidak membuat mereka menjadi baik tetapi justru membuat mereka mendapatkan komunikasi dan transformasi pengetahuan dan membina relasi yang cenderung mengindikasikan adanya pengulangan perbuatan tindak pidana. Karakteristik hukuman berdasarkan masing- masing perbuatan pidana justru tidak tertangani dengan baik sehingga pelaksanaan konsep pemasyarakatan juga tidak berjalan dengan baik. Pemenuhan pelaksanaan konsep pemasyarakatan sering tersandung dengan kurangnya kemampuan profesional dan integritas moral. Sejatinya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan telah mengatur secara rinci bagaimana teknis pola pembinaan yang seharusnya dilaksanakan. Namun aturan tersebut pada akhirnya menjadi sekedar teori sebagai akibat lemahnya beberapa faktor utama dan faktor pendukung yang mempengaruhi pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan yakni: Pola dan tata letak bangunan, struktur organisasi, lemahnya kepemimpinan, kualitas dan kuantitas petugas, manajemen, kesejahteraan petugas, sarana dan fasilitas pembinaan, anggaran, sumber daya alam serta kualitas dan ragam program pembinaan. hal ini diperburuk dengan lemahnya koordinasi antara petugas, masyarakat dan warga binaan sehingga terkesan pelaksanaan konsep pemasyarakatan seperti setengah hati dan jalan di tempat. E. Mekanisme Pengawasan Banyak pendefinisian mengenai pengawasan, diantaranya didefinisikan sebagai segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.3l Bentuk pengawasan di organisasi pemerintah secara umum diatur dalam Lampiran Inpres No. 15 tahun 1983 dan dalam Inpres No. 1 tahun 1989 yaitu: 1. Pengawasan Melekat 2. Pengawasan Fungsional 3tsujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengautasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal.20 27
  • 38. 3. Pengawasan Masyarakat 4. Pengawasan Legislatif Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.0i.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan mengatur dua bentuk pengawasan yakni pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat yang dilakukan oleh setiap pimpinan satuan organisasi sedangkan secara fungsional melalui Inspektorat Jenderal Departemen Hukum dan HAM. Pengawasan masyarakat dan pengawasan legislatif tidak ada mekanismenya dalam sistem organisasi pemasyarakatan. Terkait pengawasan melekat yang dilakukan oleh pimpinan satuan organisasi di LP dalam tataran pelaksanaan terasa kurang efektif karena masih ada semangat pimpinan untuk melindungi bawahan, di sisi lain demi prestise organisasi dalam wilayah kerjanya pimpinan cenderung melakukan pengawasan secara tertutup dan jarang mengambil pembinaan, pendisiplinan hingga tindakan pada oknum petugas yang menyimpang. Sebagai contoh saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat memberhentikan sementara Kepala Lapas karena adanya penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan, akan tetapi dasar pemberhentian Kepala l,apas tersebut menjadi tidak jelas karena didasarkan pada kebijakan bukan berdasarkan pada peraturan. Artinya ada kebutuhan untuk melihat kembali sistem dan regulasi pengawasan dan penjatuhan sanksi di organisasi pemasyarakatan. Instrumen pendisiplinan selain dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM juga digunakan PP.30 tahun 1980 yang mengatur sanksi administratif sedangkan untuk penyimpangan yang menjurus ke delik pidana digunakan instrumen umum seperti KUHP. Sejauh ini masih ditemukan petugas yang melanggar dan telah dijatuhkan hukuman iidana narnun statusnya tetap menjadi pegawai aktif di LP32. Ini menunjukan lemahnya pengawasan baik ditingkat pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional. ez Ahgan, disampaikan pada focus group discussion Penelitian LP, Jakarta - 22 Mei 2007 28
  • 39. F. Koordlnasl dan Kerjasama Kelembagaan Koordinasi internal dalam organisasi LP pada umumnya masih kurang. Sebut saja lemahnya koordinasi antara bidang registrasi dan bidang bimbingan kemasyarakatan mengenai data warga binaan dan tahanan. Yang sering terjadi adalah sulitnya bidang bimbingan kemasyarakatan guna mengakses data yang dibuat oleh bidang registrasi. Idealnya data yang dimiliki oleh bidang registrasi secara komputerisasi dimiliki oleh setiap bidang teknis. Dalam penelitian ditemukan, masih ada bidang lain yang mencatat secara manual data tahanan dan warga binaan walaupun di bidang registrasi sudah dikomputerisasi. Mengenai kerjasama antar lembaga telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.UM.O6.07.127 Tahun 1988 tentang Tata Cara Pembuatan Kerja Sama Dengan Instansi Lain Dan Pihak Swasta. Meskipun ada aturannya kondisi di lapangan menunjukan banyak sekali kelemahan Kerjasama kelembagaan praktis kurang berjalan diakibatkan kurangnya inisiatif masing-masing instansi untuk bekerja sanna, hal yang dapat dijadikan contoh adalah lemahnya kerjasama antara lembaga pemasyarakatan dengan departemen sosial, departemen tenaga kerja, departemen pendidikan dan LSM yang peduli dengan pembinaan di lembaga pemasyarakatan. HaI lain yang merupakan teknis hukum adalah mengenai lemahnya pelaksanaan peran KIMWASMAT dan peran Jaksa Pengawas sebagaimana diatur dalarn KUHAP, jalan keluar seperti koordinasi dan konsolidasi justru tidak terlihat. G. Akuntabilitas dan Transparansi Prinsip tata pemerintahan yang baik (good gouentancel saat ini banyak digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kinerja instansi pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang mengabdi pada publik. Diantara beberapa prinsip tata pemerintahan yang baik adalah prinsip akuntabilitas atau pertanggungjawaban dan prinsip transparansi atau keterbukaan. Dua prinsip ini belum terlihat dalam organisasi dan manajemen Lembaga Pemasyarakatan. Akuntabilitas dapat digunakan sebagai mekanisme untuk menilai atau mengevaluasi seluruh pelaksanaan 29
  • 40. fungsi, tugas dan wewenang dalam suatu lembaga. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Ke{a Lembaga Pemasyarakatan mengatur mengenai akuntabilitas namun akuntabilitas tersebut bersifat internal tidak bersifat eksternal akibatnya masyarakat tidak mengetahui apa yang akan, sedang dan sudah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan sedangkan dalam prinsip pemasy.arakatan tanggungjawab pembinaan tidak hanya di lembaga tetapi juga masyarakat. Oleh sebab itu lembaga pemasyarakatan melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus membuat mekanisme akuntabilitas yang dapat diakses oleh publik. Sebangun dengan itu prinsip transparansi juga perlu ditingkatkan, transparansi disini diartikan sebagai keterbukaan lembaga untuk memberikan akses informasi mengenai kinerja lembaga pemasyarakatan kepada masyarakat. Prinsip transparansi ini dapat dimulai dengan membuat web site dan membuatpress release tentang segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga sebagai bentuk keterbukaan kepada masyarakat, dalam hal ini lembaga melihat publik sebagai mitra untuk bersama melakukan pembinaan terhadap warga binaan dengan proses sosialisasi program pembinaan, keterbukaan yang saat ini dilakukan oleh organisasi pemasyarakatan dalam hal ini menteri hukum dan HAM adalah dengan melakukan dengar pendapat dengan DPR. Lemahnya transparansi dapat diukur dengan sulitnya masyarakat untuk mengakses informasi yang terjadi dalam LP. 30
  • 41. BAB IV SARANA DAN PRASARANA DALAM PROSES PEMASYARAKATAN A. Instrumen Peraturan Proses pemasyarakatan mengacu pada peraturan perundang- undangan yang tersebar di berbagai peraturan dari undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri. Secara umum, peraturan- peraturan yang terkait dengan proses pemasyarakatan sudah cukup memadai, dan jika diperbandingkan antara ketentuan yang ada dengan Standard Minimam Rules for tLrc Treatment of Prisonerg diketahui tidak ada gap yang besar. Banyak ketentuan dalam standar minimal tersebut sebenarnya telah diadopsi dalam sistem pemasyarakatan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian masih ada beberapa ketentuan yang perlu dikritisi lebih lanjut, diantaranya terkait dengan proses pemenuhan hak Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB). Untuk memperoleh hak-hak ini memerlukan prosedur yang panjang dan sulit untuk dipenuhi oleh warga binaan. Karena rumitnya prosedur ini, banyak warga binaan yang enggan untuk mengajukan permohonan. Menurut pengakuan Rahardi Ramelan,33 proses memperoleh hak ini sangat panjang. Untuk mengurusnya saja Rahardi Ramelan membutuhkan waktu 3 bulan dengan setumpuk dokumen yang diperlukan. Sayangnya, menurut Rahardi, setelah semua persyaratan dipenuhi ternyata Menteri Hukum dan HAM menolak permohonan itu tanpa alasan yang jelas. Dasar hukum pokok penyelenggaraan pemasyarakatan adalah UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Melalui undang-undang ini diatur berbagai hal terkait dengan pemasyarakatan. Hanya saja, tidak semua hal dapat diatur melalui undang-undang, sehingga undang-undang ini 33Ttanskrip FGD, Baseline gtrueg Pelaksanaan Sbtem Pemasgarakatan Di Lemboga PemasAarakata4 MAPPI FH UI, KRHN, LBH Jakarta dan Partnership, 16 Mei 2007, di Jakarta. 31
  • 42. mengarnanatkan untuk diterbitkan setidaknya 12 peraturan pemerintah guna mengatur lebih lanjut melengkapi undang-undang ini. Hanya sqja, sejak UU No. 12 Tahun 1995 disyahkan pemerintah barr menerbitkan'4 buah PP yaitu PP 3r /1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga Binaan Kemasyarakatan, PP 32/1999 tentang syarat dal Tata cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Kemasyarakatan, pp sz /lggg tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan, dan PP No. 58 Tahun 1999 tentang syarat-syarat dan Tata cara Pelaksanaan wewenang Trgas dan Tanggungjawab perawatan Tahanan. Selain itu, empat PP yang ada juga mengamanatkan penerbitan Kepmen. Sayangnya sampai saat ini, masih banyak Kepmen yang belum diterbitkan memenuhi perintah PP. wataupun ada beberapa Kepmen yang berlaku, tetapi Kepmen tersebut terbit sebelum pp dikeluarkan. Artinya pp dibentuk dengan menyesuaikan Kepmen yang ada. padahal sehaiusnya, Kepmen yang mengikuti ketentuan Pp. B. Over Kapasitas Saat ini, problem yang dialami oleh hampir semua Lp adalah over kapasitas. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah warga binaan. saat ini, di LP cipinang jumlah penghuni 3800 orang, padahal kapasitas hanya untuk 1500 orang, LP Tangerang jumlah penghuni 3.753 kapasitas 800 orang, LP Bekasi penghuni I77O orang kapasitas 300 orang, Lp Paledang 1639 kapasitas 500 orang, dan Lp Narkotika cirebon penghuni 1143 kapasitas 362 orang. secara nasional, prosentase peningkatan penghuni LP lebih tinggi dibanding perkembangan bangunan Lp. pada tahun 2003 penghuni LP (Tahanan dan Narapidana) ZL.S8Z orang kapasitas 64.345 orang, tahun 2004 penghuni 86.450 orang kapasitas untuk 66.891 orang, tahun 2005 penghuni97.67l orang kapasitas untuk 68.L4L orang, dan tahun 2006 penghuni 118.453 orang kapasitas 76.550 orang. Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari kapasitas yang semestinya. 32
  • 43. Kondisi ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners. standar minimar yang harus dipenuhi oleh suatu lembaga terkait dengan akomodasi tahanan adalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihuni sendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian bagi ruangan yang besar dapat ditempatkan lebih dari satu orang tahanan dengan cerrn-at memilih tahanan yang akan ditempatkan dalam satu kamar. Untuk nrangan yang sempit dan ditempati lebih dari satu tahanan sifatnya harus sementara. Selain tidak sesuai dengan standar minimal, menurut petugas Lp, kelebihan kapasitas juga mempengaruhi proses pembinaan yang dilakukan. Proses pembinaan menjadi tidak optimal dan Balai Latihan kerja kurang berjalan. Konsentrasi lebih dititikberatkan pada pengamanan dari pada pembinaan, sehingga banyak sumber daya LAPAS tersedot untuk pengaman€rn dibandingkan dengan pembinaan. Adanya tren peningkatan jumlah penghuni Lapas, tidak terlepas dari adanya peningkatan angka kejahatan, terutama kasus narkoba. penghuni Lapas d.idominasi oleh mereka yang terkena kasus narkoba. Apabila diprosentase, penghuni Lapas dengan kejahatan narkoba, baik pengedar maupun pemakai, mencapai kurang lebih 23 persen dari total penghuni Lapas. Untuk mengatasi problem kelebihan kapasitas, ad.a beberapa langkah bisa ditempuh. Pettama" perlu ada pemindahan warga binaan. perlu ada keseimbangans+ kapasitas jumlah hunian antara Lapas satu dengan Lapas yang lain dengan jalan melakukan pemindahan warga binaan.3s Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari petugas di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penyebaran penghuni Lapas tidak merata. Ada Lapas yang penghuninya masih dibawah kapasitas, tetapi ada beberapa Lapas 34LAPAS di Jawa Tengah, misalnya Kedung Pane Semarang penghuninya. 3sMenurut petugas LP, pemindahan warga binaan bukan pemindahan warga binaan dapat mempengaruhi kemanan LAPAS. yang enggan dipindah dengan berbagai alasan. masih memadai untuk ditambah pekerjaan yang mudah. Karena Selain itu, banyak warga binaan 33
  • 44. yang kelebihan warga binaan,eo bahkan hingga hampir 4OO o/o dari daya tampung. " Ked.ua, memperrnudah prosedur pemenuhan hak-hak warga binaan meliputi Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB) secara konsisten dan transparan. Jika cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat diterapkan secara konsisten, dipastikan dapat mengurangi secara signifikan penghuni Lapas. Menurut Rahardi Ramelan yang pernah menghuni di Lapas Cipinang, prosedur memperoleh hak-hak ini sangat sulit. C. Bangunan dan Letak Lapas Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam bangunan Lapas yaitu konsep bangunan dan letak bangunan. Kedua hat ini harus disesuaikan dengan konsep dan gagasan pemasyarakatan. Konsep bangunan Lapas terkait dengan desain bangunan apakah sesuai dengan konsep pemasyarakatan dan ruang-ruartg penghuni memadai sebagai tempat tinggal (sesuai standart kesehatan). Mengacu pada ketentuan Standard Minimum Rrttes for Treatment of Prisoners, seluruh kelengkapan dalam kamar harus memenuhi standar kesehatan yang meliputi volume udara, luas lantai, penerangan, pemanasan dan ventilasi. Di seluruh ruang pencahayaan alami dan masuknya udara segar harus dapat dirasakan oleh seluruh tahanan. Bagian untuk membuang hajat dan mandi harus tersedia dan tetap te{aga kebersihannya, sehingga dapat digunakan setiap saat oleh tahanan.3T Secara umum, kondisi bangunan Lapas belum sesuai dengan standar minimal, bahkan dapat dikatakan tidak manusiawi. Ruang-ruang sel sangat sempit, tidak disediakan tempat tidur, tidak ada sirkulasi udara yang memadai, dan tidak ada kamar mandi dan toilet. Ketiadaan toilet ini mengakibatkan warga binaan kesulitan jika harus buang air, terutama di malam hari karena setiap warga binaan pada umumnya diwajibkan masuk 3t LAPAS Cipinang, Bekasi, Paledang, Tangerang, dan Narkotika Cirebon yang menjadi objek penelitian ini, semuanya mengalami kelebihan warga binaan. 3z Pasal 10, 1 L, L2 dan L 3 Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners 34
  • 45. sel sejak pukul 17.00 - 06.00 wIB. Dalam kurun waktu tersebut semua warga binaan harus berada di sel yang dikunci sehingga men5rulitkan mereka untuk keluar. Untuk menyiasati masalah ini warga binaan memanfaatkan plastik atau bahan yang lain sebagai tempat menampung kotoran, yang akan dilempar keluar l,apas atau dibuang pagt hari, setelah sel dibuka.' Bangunan-bangunan gedung Lapas yang ada saat ini, sebagian besar' merupakan warisan kolonial Belanda yang dibangun untuk tdrran pidana penjara (penjeraan). Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin, infrastruktur Lapas hampir 60 persen merupakan peninggalan Belanda, yang lokasinya tidak memenuhi syarat karena berada di tengah permukiman.se Meskipun demikian menurut Rahardi Ramelan,3e bangunan Lapas peninggalan Belanda secara konsep masih lebih baik dibandingkan dengan bangunan Lapas yang baru dibangun. Rahardi mencontohkan, dalam fasilitas dan tempat tidur. Konsep Lapas peninggalan Belanda ada lubang angin untuk sirkulasi udara di bawah tempat tidur. Fungsi lubang ini selain untuk sirkulasi udara, juga untuk mencegah rematik karena tidur langsung bersentuhan dengan lantai/tanah. Sementara pada Lapas baru tidak tersedia lubang angrn. Selain itu, petugas tidak menyediakan kasur, sehingga banyak penghuni yang terkena rematik. Kondisi ini diperkuat oleh Adi Sujatno, mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Depkumham, bahwa bangunan Lp jaman peninggalan Belanda masih bermanfaat seperti di LP Madiun, Sukamiskin, Madura. Bangunan-bangunan itu tahan hingga ratusan tahun dan masih alnan untuk pembinaan. Selain itu, bangunan Lapas juga belum menunjang proses pembinaan, karena ruang yang tersedia banyak dipergunakan untuk ruang sel. Hampir semua Lapas, minim ruang publik atau ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh warga binaan untuk berbagai aktivitas. Untuk menunjang proses pembinaan, diperlukan ruang d.engan luas yang ssRepublika, Sabtu, 14 April 2OO7, 80 Persen Napi Meninggal karena Narlaba. 3elYanskrip FGD, Baseline Surueg Pelaksanaan Sstem Pemasgarakatan D Lembaga Pemasgarakata4 MAPPI FH UI, KRHN, LBHJakartadan Partnership, 16Mei2OO7, diJalarta. 35
  • 46. memadai terutama untuk keperluan program pembinaan. Secara umum, kebutuhan fasilitas yang mendukung proses pembinaan adalah ruang serba BU[a, ruang sekolah, taman, perpustakaan, rualtg kerja (pertaniaan, perternakan, perikanan, bengkel, lapangan olahraga, dll.). Minimnya ruang publik dalam Lapas, salah satunya disebabkan karena keberadaan Lapas mayoritas berada di tengah kota sehingga sulit untuk memperoleh luas tanah yang memadai. D. Sistem Peugamanan Hampir di semua Lapas, aspek pengamanan menjadi aspek utama. dalam proses pemasyarakatan. Mereka beralasan, jika ada warga binaan kabur dari Lapas atau terjadi keributan antar warga binaan dapat berimplikasi jauh, bahkan berimbas pada sanksi disiplin. Beda halnya jika terjadi kegagalan dalam proses pembinaan yalg tidak punya imbas apa- apa, terutama bagi pegawai Lapas di bidang pembinaan. Untuk itu, pengamanan lebih diutamakan .dibandingkan dengan pembinaan. Terkait dengan pengamanan, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sistem pengamanan, SDM pengamanan dan sarana pengamanan. Ketiga hal ini sangat mempengaruhi proses pemasyarakatan. Secara umum, sistem pengamanan penjara diklasifikasi menjadi tiga kategori yatf:. maximum securitg, super maximum seanritg, dan minimum seanitg.ao Ciri-ciri penjara yang menggunakan maximum securitg adalah narapidana diisolasi di dalam sel, human contact dilaksanakan seminimal mungkin, narapidana tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan narapidana lain (atau dengan petugas peqjara), narapidana dilarang untuk mendekorasi sel mereka, narapidana dikurung dalam sel selama 16 jam sehari, dan apabila ia akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, maka ia harus dirantai baik tangan, pinggang, hingga kedua kakinya. Adapun ciri-ciri penjara dengan sistem super maximrum securitg adalah narapidana dikurung dalam sel selama 23 jam sehari, narapidana tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tindakan yang dilakukan +oWidiada Gunakaya S.A, SH, SeTarah dan Konsepsi Pemasgarakatan, Arrnico, Jakarta, 1988. 36
  • 47. terhadap mereka bersifat represif, tidak ada interaksi antar narapidana, kebebasan berkreatifitas sangat terbatas, lingkungan yang dikontrol secara penuh, sistem kunci yang permanen, dan kontrol psikologi dan fisik secara total. Sementara, ciri-ciri dari sistem penjara dengan minimum securitg adalah narapidana boleh berinteraksi dengan penjaga maupun narapidana lainnya, narapidana dikurung dalam sel selama 11 jam sehari, narapidana diperbolehkan untuk mendekorasi sel mereka dan apabila ia akan dipindahkan ke tempat lain, ia tidak dirantai. Berdasarkan kategori di atas, hampir semua Lapas di Indonesia menggunakan sistem pengaman€rn minimum secuitg, walaupun ada beberapa l,apas yang menggunakan maximum securitg. r Melihat sarana pengamanan yang ada, dapat dianggap cukup memadai. Pengamanan dibuat secara berlapis melalui beberapa pos pengamanan. Dan, hampir semua sistem pengamanan sel di Lapas, menggunakan sistem gembok.a2 Setiap pos bertanggungiawab untuk memeriksa orang-orang yang hendak berhubungan dengan warga binaan. Selain sistem pengamanan dibuat secara berlapis, di beberapa Lapas seperti Lapas Cipinang dan Narkotika Cirebon, juga sudah dibekali dengan fasilitas sarana pengamarlan yang super ketat seperti X Ray, Metal Detector, serta Jammer (a1at pemutus sambungan telepon selular dari luar maupun dalam Lapas). Meskipun prosedur pengamanan telah dibuat sedemikian rupa nampaknya belum mampu membendung penyelundupan barang terlarang atau transkasi illegal di Lapas. tembaga pemasyarakatan (LP) disinyalir menjadi tempat transaksi narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba) terbesar.a3 Selain lemahnya pengawasan di dalam LP, hat ini juga 4rDi Ir{I'AS Batu Nusakambangan, terdapat beberapa sel yang menggunakan sistem pengamanan maximum security. Sel-sel ini terpisah dengan blok hunian dal warga binaan yang berada dalam sel ini terpisah satu sama lain dan tidak dapat berkomunikasi. Di LP Narkotika Cipinang juga menggunakan sistem pengamanan ini. 42Beberapa kalangan menilai, sistem ini sudah saatnya ditihjau, mengingat sistem ini sangat berbahaya bagi warga binaan, terutamajika terjadi kebakaran. Warga binaan akan sulit dievakuasi, jika terjadi kebakaran. Sudah saatnya dipikirkan menggunakan sistem pengamanan sel yang lebih baik. 43 Temngkapnya pabrik narkoba di Rumah Tahanan Negara @utan) Kelas I Medaeng, Jawa Timur menjadi salah satu bukti dari masalah http: / /txlmr.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/ 2OO7 / OS /28lbrk,2OO7O528- LOO766,id.html. 37 Lihat,
  • 48. disebabkan oleh kecilnya risiko yang dihadapi para pengedar narkoba ketika bertransaksi di dalam LP. Sebab, jika diketahui mengedarkan narkoba di dalam LP, para pengedar tidak mungkin ditembak seperti halnya jika mereka diketahui bertransaksi di luar LP.aa Bahkan, ada warga binaan yang dapat mengendalikan jaringan internasional pengedar narkoba melalui telepon seluler. Hal ini bisa dilakukan karena dibantu dan memperoleh berbagai kemudahan dari aparat setelah sebelumnya memberikan kompensasi dalam bentuk uang. Untuk menanggulangi masalah ini, beberapa upaya telah dilakukan, diantaranya dengan melakukan penggeledahan setiap pengunjung yang datang dan dilakukanya penggeledahan rutin (harian, mingguan, bulanan) terhadap sel-sel warga binaan. Hanya saja setiap penggeledahan dilakukan, jarang ditemukan barang-barang terlarang tersebut.as Selain itu upaya juga dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kemampuan bagian keamanan dengan membekali petugas dengan berbagai ketrampilan khusus seperti pengetahuan tentang narkoba, intelijen, sistem pengamanan Lapas, dan deteksi dini terhadap penyelundupan narkoba ke dalam atau keluar Lapas/rutan. Persoalan lain yang juga penting terkait dengan pengarnanan adalah masih bebasnya peredaran uang di dalam LAPAS.46 Pada masa kepemimpinan Menteri Hukum & HAM Yuzril Ihza Mahendra, Depkumham pernah mencanangkan Lapas bebas dari peredaran uang.aT Larangan peredaran uang di Lapas/rutan dilatarbelakangi oleh adanya pemahaman bahwa tidak semua penghuni Lapas/rutan disamakan dengan masyarakat yang ada di alam bebas. Dalam praktek menunjukkan, peredaran uang di Lapas/rutan sering menjadi masalah, tidak saja soal masalah keamanan tetapi hubungan di antara sesarna penghuni Lapas/rutan dan hubungan 44 Kompas, 22 Maret 2OO3, Lembaga Pemasgarakatan Tempat Transaksi Narkoba Terbesar. 4sMenurrt informasi, setiap ada renca$a penggeledahan selalu bocor ke warga binaan, sehingga mereka membersihkan ruErng-ruang sel mereka, sehingga tidak ditemukan alat bulrti. 46 Di LAPAS Narkoba Cipinang transaksi oleh warga binaan menggunakan buku kredit. Caranya, seseorang menitipkan sejumlah uang ke petugas. Sebagai gantinya ia akan mendapat buku kredit. Dengan buku ini warga binaan dapat membeli barang-barang yang diinginkan di koperasi. Transaksi di Koperasi tidak menggunakan uang melainkan buku kredit. a7 Ada 27 r apas/rutan yang dinyatakan bebas dari peredaran uang yang tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Yoryakarta, dal Jawa Timur sudah dinyatakan bebas peredaran uang, dan empat lagi sedang dalam proses ya-kni LP kelas II A Narkotika Jakarta, LP II B Cianjur, LP II B Ciamis, dan Rumah Ta-hanan Demak, 38
  • 49. antara penghuni Lapas/rutan dengan petugas Lapas/rutan. Adanya peredaran uang telah menimbulkan efek negatif seperti suap menJruap, sogok menyogok, dan peras memeras.4s Beberapa warga binaan yang lolos dari Lapas, ternyata memberikan sejumlah uang kepada penjaga kemanan. Sampai saat ini, meskipun sudah diadakan pencanangan Lapas bebas peredaran uang, masih banyak warga binaan yang memegang uang. Persoalan keamanan yang lain terkait dengan kekerasan. Tindakan kekerasan masih saja terjadi di Lapas meskipun intensitasnya berkurang. Perkelahian yang menelan korban jiwa pada Februari dan Maret 2001. Sedikitnya, lima orang kehilangan nyawa dan 22 orang luka parah. Bahkan, dalam kerusuhan Maret 2OOl, para napi sempat membakar gedung lapas yang didirikan sejak zarrrarl Belanda itu, dan menantang aparat dengan segala macam senjata tajam. Pada Oktober 2001 juga terjadi kekerasan yang melibatkan ratusan napi penghuni Blok I Lapas Cipinang. Dalam kejadian itu dua orang meninggal dunia, dan tidak kurang empat orang lainnya luka parah akibat perkelahian massal yang diduga melibatkan dua kelompok besar napi di lapas kelas satu itu. Pada April 2006 lalu, terjadi perkelahian massal antara narapidana (napi) yang tinggal di Blok A dengan napi di Blok E. Pemicunya adalah perseteruan antara Sammy Key dan Berti, dua pentolan pemuda Maluku yang punya pengaruh di Lapas.ae Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana, tawuran seperti itu merupakan satu dari tiga jenis kekerasan yang terjadi di Lapas. Secara umum ada tiga bentuk kekerasan di lapas. Pertama, kekerasan individual; kedua, kekerasan kolektif; lwtiga, kekerasan yang berhubungan dengan pengaturan. Kekerasan individual biasanya terjadi di antara napi atau dengan salah seorang sipir penjara. Sedangkan kekerasan kolektif sering terjadi dalam masalah riot (kerusuhan, huru hara dan keributan). Kekerasan bentuk ini biasanya tidak secara spontan, tapi merupakan akumulasi persoalan yang mereka hadapi di penjara. Khusus mengenai kekerasan jenis ketiga, kekerasan itu timbul karena adanya interaksi tidak sehat antara napi dan para petugas. Masalah utama yang 48 Kompas, 27 Lembaga Pemasgarakatan Bebas Peredaran Uang, Kamis, 19 Agustus 2004 ae http : / / www. suarapembaruan. com/ News / 2 007 / 0 2 / 2 5 / Utama/ uto L . htm 39
  • 50. sering muncul di permukaan adalah soal penghukuman fisik. Para pgtugas menganggapnya sebagai bagran hukuman, tetapi para napi memandangnya sebagai bentuk penyiksaan. so Perihal kekerasan sangat mungkin terjadi di Lapas mengingat jumlah liunian yang melebihi kapasitas. Selain itu, potensi kekerasan juga dapat terjadi mengingat latar belakang para warga binaan yang beragam, dan seringkali pertengkaran melibatkan kelompok dalam jumlah yang cukup besar.. Kekerasan juga dapat terjadi karena adanya perlakuan yang tidak sama atau diskriminatif terhadap para warga binaan.sl Untuk itu, d.alam rangka menjaga keamanan, petugas kemanan bekerjasama dengan Ketua Kelompok yang ada di Lapas. Ketua kelompoklah yang akan "dipegang" untuk mengamankan kelompok yang dipimpinnya.sz Terkait dengan kekerasan yang dilakukan petugas, menunjukkan masih lemahnya pemahaman petugas terhadap konsep dan implementasi pemasyarakatan. Terkait dengan konsep pengamanan, Susanto Heru, Kalapas Cirebon, menawarkan pendekatan konsep keamanan berbasis kemanusiaan. Dengan jumlah pegawai 75 orang dan mengurusi 1162 warga binaan, sulit untuk menciptakan suasana kondusif jika pendekatan yang dilakukan adalah murni pengamanan. Warga binaan harus disentuh alam bawah sadarnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan shaing, berbincang-bincang dengan minimal 10 orang setiap hari. Dengan pendekatan kemanusiaan ini diharapkan, faktor keamanan tidak menjadi penghambat bagi proses pemasyarakatan. E. Sarana Pembinaan dan Kerja Proses pemasyarakatan dapat berhasil apabila ditunjang dengan berbagai sarana yang memadai dalam proses pembinaan dan kerja. Dalam hal ini ada dua instrumen penting yaitu fasilitas dan SDM. Sarana fisik terkait dengan ketersediaan fasilitas pembinaan maupun mang yang to tbid " di L"p"" Cipinang khususnya di Blok II, kondisinya sangat berbeda dibandingkan blok lainnya. Blok II banyak dihuni mantan pejabat ataupun orang terkenal sehingga tidak ada persoalan dengal kekerasan di sana sz Hasil Wawancara dengan Petugas LAPAS 40
  • 51. memadai bagi proses pembinaan. Secara umum, fasilitas yang tersedia sangat minim dan tidak layak bagi proses pembinaan. Ruang publik dan ruang kerja sangat terbatas, karena ruang yang tersedia lebih banyak dimanfaatkan untuk hunian. Selain itu, masih minimnya sarana olah raga, kesenian, media massa, audio visual, perpustakaan, dan balai kerja, sehingga proses pembinaan berjalan tidak optimal. Konsep pembinaan drt?* rangka pemasyarakatan tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Salah satu contohnya perihal pelatihan kerja yang tidak didukung dengan instruktur yang cukup baik jumlah maupun keahliannya. Pernah dilakukan kerjasama dengan Balai Latihan kerja, tapi saat ini proses kerjasama tersebut tidak berjalan.ss Untuk membantu proses pembinaan, terutama dalam proses pelatihan, telah dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menaker, Mensos, Menkum dan HAM) perihal kerjasama dalam rangka pemberian pelatihan pada Warga Binaan. Namun kesepakatan ini implementasinya terhambat karena era otonomi daerah. SKB ini tidak berjalan dengan baik karena semua kembali kepada Kepala Daerah rnasing-masing. Tidak semua Lapas memiliki kerjasama dengan Pemerintah Daerah. sa Untuk memanfaatkan tenaga-tenaga di Lapas, sering dilakukan kerjasama-kerjasama dengan dunia usaha untuk memproduksi sesuatri. Hanya saja, implementasinya banyak menemui hambatan. Menurut Rahardi Ramelan, perlu ada sinkronisasi proses pembinaan dengan dunia bisnis. Penjara seringkali menyebabkan ertreme idleness (keberadaan yang tidak berdaya guna). Hal ini terkait dengan lebih banyaknya kegiatan- kegrata4 yang kurang bermanfaat di penjara. Padahal, warga binaan adalah tenaga kerja potensial yang dapat menggerakkan kegiatan ekonomi, misalnya industri. Dengan kerjasama antara penjara dengan dunia bisnis, Lapas relatif akan mendapatkan manfaat dari keuntungan kegiatan ekonomi tersebut. Hanya saja, menurut Anang,ss banyak hambatan dalam melaksanakan kegiatan pelatihan dan kerja. Ruang yang dapat s3 Wawancara dengan Petugas LAPAS sa Wawancara dengan Petugas LAPAS ss Wawancara dengan Petugas LAPAS 4l
  • 52. dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas sangat minim. Selain itu, kualitas produk w-arga binaan masih dibawah standar, sehingga beberapa kerjasama banyak ditinjau ulang. Seperti telah diulas dalam pembahasan terdahulu, bahwa mayoritas penghuni Lapas karena terlibat kasus narkoba. Ada penanganan yang berbeda antara narapidana kasus narkoba dengan kasus pidana pada umumnya. Sebagaimana diatur dalam undang-undang yang ada, yaitu UU Narkolika No. 5 tahun 1997 dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur tentang kewajiban menjalani perawatan dan rehabilitasi bagi narapidana atau tahanan yang termasuk pecandu dan pengguna narkoba. Untuk itu, Idealnya, Lapas narkotika berdiri sendiri karena pola pembinaErannya berbeda dengan Lapas pada umum. Banyak dampak negatif, jika narapidana narkotika dicampur dengan narapidana umum. Pendekatan yang dilakukan di Lapas umum adalah mengenai keamanan dan pembinaan, sementara Lapas khusus narkotika, selain kemanan dan pembinaan, juga perawatan kesehatan dan rehabilitasi (khususnya pemakai). Konsep yang akan diimplementasikan dalam Lapas khusus narkotika adalah menjadi Lapas terpadu yaitu selain pengamanan dan pembinaan, juga menyediakan pengobatan yang lengkap dan proses rehabilitasi. Lapas Khusus Narkotika hingga saat ini masih kurang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah warga binaan yang membutuhkan penanganan tersebut. Di seluruh Indonesia Lapas khusus narkotika berjumlah 13 tempat, yaitu Lapas Khusus Narkotika Pematang Siantar, Lapas Khusus Narkotika Lubuk Linggau, Lapas Khusus Narkotika Cipinang Jakarta, Lapas Khusus Narkotika Bandar Lampung, Lapas Khusus Narkotika Soekarno Hatta - Bandung, Lapas Khusus Narkotika Besi Nusa Kambangan, Lapas Khusus Narkotika Madiun, Lapas Khusus Narkotika Pamekasan, Lapas Khusus Narkotika Krobokan - BaIi, Lapas Khusus Narkotika Maros, Lapas Khusus Narkotika Abepura, Lapas Khusus Narkotika Cirebon, dan Lapas Khusus Narkotika Martapura. Hanya saja, dari 13 tempat tersebut yang berfungsi secara utuh sebagai Lapas 42
  • 53. narkotika baru empat tempat, yakni yang di Cipinang Lampung, Besi - Nusakambangdfl, dan Cirebon. Jakarta, Bandar F. Fasilltas Kesehatan Problem umum yang hampir ada di setiap Lapas adalah minimnya fasilitas kesehatan. Dalam beberapa waktu terakhir ini Lapas menjadi sorotan publik men5rusul tingginya tingkat kematian di l,apas. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang meninggal sepanjang 2006 mencapai 813 orang. Bahkan, medio Januari-Februari 2OO7 62 watga binaan meninggal di berbagai LP di Indonesia. Angka kematian tertinggi ada di lima provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dari jumlah total tersebut, 70 hingga 75 persen adalah narapidana kasus narkoba, sehingga dicurigai kasus kematian ini umumnya berlatarbelakang penyalahgunaan narkoba yang kerap bergandengan dengan HIV/AIDS. Aspek kesehatan menjadi aspek yang sangat vital di Lapas. Standar minimal internasional telah mengatur tentang hak napi untuk memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat, serta penyembuhan kelainan mental dan ketersediaan dokter spesialis. Selain itu, sarana yang berhubungan dengan air dan benda-benda toilet harus disediakan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan tahanan. Ruang untuk menjaga penampilan tahanan harus disediakan guna perawatan rambut dan jenggot dan dimungkinkan untuk bercukur teratur. Untuk melihat pelaksanaan pelayanan kesehatan di Lapas, setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sistem pelayanan, sarana dan SDM. Sistem pelayanan kesehatan belum dikelola secara maksimal. Sistem yang ada di LP belum ideal khususnya terkait dengan bagran kesehatan. Bagian kesehatan berada di bawah Kasubsie Bimkemaswat padahal seharusnya klinik ini mandiri dan bertanggungjawab langsung kepada Kalapas, agar tidak ada hambatan struktural dalam menjalankan tugas- tugasnya. Hal ini juga diperlukan untuk mengefektifkan proses penanganan 43
  • 54. kesehatan. Bidang kesehatan adalah bidang fungsional, bukan struktural jadi tidak tepat diletakkan di bawah Kasubsie Bimkemaswat. Jika ingin optimal dalam penanganan orang-orang yang sakit, tenaga medis harus dibebaskan dari belenggu struktural agar lebih konsentrasi dalam memberikan pelayanan kesehatan. selain itu, dalam memberikan pelayanan kesehatan belum ada mekanisme dan standar yang saina antara satu Lapas dengan Lapas yang lain. Dalam bekerja di Lapas sebagai tenaga medis sangat ditentukan kreativitas dan inisiasi dari dokter masing-masing, karena memang belum ada sistem yang mengarahkan atau menuntun tenaga kesehatan untuk bekerja.so Pelayanan kesehatan diberikan pada setiap Lapas melalui fasilitas klinik kesehatan. Menurut Rahardi Ramelan, poliklinik di Lapas memang ada, tetapi sangat terbatas fasilitasnya. Bahkan, poliklinik Lapas tidak dilengkapi dengan laboratorium yang memadai.sT pad.ahal, banyak penyakit yang dialami oleh warga binaan perlu deteksi laboratorium. Klinik memberikan pelayanan kesehatan kepada para warga binaan, dan apabila ada klinik tidak mampu mengatasi penyakit yang diderita warga binaan, biasanya dibawa ke rumah sakit yang telah disepakati. Menurut Rahardi, napi yang dibawa ke RS harus punya ain dan surat izin itu ada biayanya. Bagi napi miskin sulit berharap bisa dirawat di RS karena tak sanggup membayar ongkos agar surat izin ihtkeluar. Untuk mendetriksi berbagai penyakit yang dibawa oleh warga binaan, setiap napi yang baru masuk selalu diperiksa dari aspek kesehatan. Apakah mereka sudah membawa penyakit-penyakit sebelum masuk Lp. Apabila ada indikasi penyakit-penyakit yang cukup berat, maka akan dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan ini penting sehingga dapat dilakukan langkah-langkah penanganan untuk kesehatannya. Hanya saja, tidak semua Lapas melakukan hal ini. Banyak napi yang dijebloskan ke Lp Tangerangs8 tidak diperiksa dulu kesehatannya sehingga ketika berbaur s6 Wawancara dengan Dokter LApAS sTKompas Cyber Media, lO April 2007, Napi Sr:lit Berharao Peneobatan, Ledakan Kematian Bakal Terjadi. ss Hasil wawancara dengan Petugas LAPAS 44
  • 55. dengan napi lain maka penyakit bawaan dari luar menyebar ke napi yang lain. Apabila klinik Lapas sudah tidak sanggup mengobati atau alat yang kurang, biasanya warga binaan yang sakit dibawa ke Rumah Sakit Umum dan biasanya menempati Kelas III. Namun seringkali pihak rumah sakit sering melakukan penolakan perawatan dengan alasan tidak tersedianya kamar perawatan di kelas III. Pihak Lapas tidak dapat berbuat banyak karena memang anggaran yang tersedia hanya untuk biaya pengobatan kelas III. Belum lagi anggaran untuk opnarne, dimana anggaran yang ada tidak dapat menjangkau biaya RSU. Pasien bisa dibawa ke rumah sakit swasta sepanjang ada kesanggupan dari keluarga. Untuk mengatasi minimnya anggaran, penting untuk dipikirkan perlunya asuransi kesehatan bagi kaum miskin (Askeskin), mengingat, banyak warga binaan yang tidak mampu. Lapas pada dasarnya adalah rumah sakit yalg kompleks. Tetapi tenaga kesehatan di Lapas masih sangat terbatas. Belum ada pemerataan distribusi bagi tenaga kesehatan dan belum ada system standarisasi dalam penempatan tenaga kesehatan. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin menyatakan,se akan mengangkat seribu dokter dan paramedis yang ditempatkan di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Rencana ini sangat baik, terutama untuk meningkatkan pelayanan terhadap warga binaan. Pemenuhan tenaga kesehatan seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan Lapas yakni jumlah warga binaan dan spesialisasi penyakit yang sering diaiami warga binaan. Saat ini, klinik Lapas masih minim paramedis. Seharusnya tenaga kesehatan/dokter dibantu oleh paramedic (perawat), sehingga tidak semua pekerjaan di pegang oleh dokter. Selain itu, Lapas sangat memerlukan dokter-dokter ahli untuk menangani penyakit- penyakit khusus, seperti kulit, penyakit dalam, dll. Banyak penyakit- penyakit yang sebenarnya tidak bisa diserahkan kepada dokter umum.6o ss Pidato Menteri Hukum dan HAM Hari Bakti Pemasyarakatan ke 43 oo Hasil wawancara dengan Dokter LAPAS di LP Pemuda Tangerang 45
  • 56. Untuk menjadi tenaga kesehatan di Lapas dibutuhkan kemauan yang kuat dan komitmen yang tinggi, karena memberikan layanan di Lapas sangat berbeda dengan memberikan pelayanan kesehatan pada umumnya. Hanya saja, tidak ada orientasi awal yang menjelaskan tentang bagaimana bekerja di Lapas. Seharusnya sejak awal perlu ada pratugas yang memberikan gambaran kepada mereka tentang bekerja di Lapas beserta problem yang dihadapi, sehingga setidaknya seorang dokter akan bersiap- siap. Setelah tenaga medis tersebut bertugas, mereka sangat membutuhkan berbagai perkembangan baru dalam dunia kesehatan. Tetapi, tidak ada pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan kapasitasnya sehingga dapat menunjang kerja-kerja dalam pelayanan kesehatan. Pendidikan yang berjalan, hanya pendidikan pra jabatan, yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan tugas-tugas fungsional sebagai dokter yang akan bertugas di Lapas. Setelah dokter bekerja, seharusnya ada pelatihan-pelatihan untuk memperbaharui berbagai perkembangan dalam dunia kesehatan. 61 G. Sistem Informasi Dan Komunikasi Sistem informasi menjadi bagian penting dalam proses pemasyarakatan. Ada tiga hal yang dapat dilihat dari proses komunikasi dalam proses pemasyarakatan yaitu komunikasi internal Lapas, komunikasi Lapas dengan masyarakat dan komunikasi Lapas dengan instansi-instansi terkait dalam proses pemasyarakatan. Sistem komunikasi dan informasi internal, masih dikelola secara manual. Belum ada sistem komunikasi yang bersifat onhne, yang dapat menghubungkan petugas satu dengan yang lainnya. Lapas belum memiliki database yang bersifat online tentang kondisi dan perkembangan warga binaan yang dapat diakses oleh semua petugas La.pas. Sistem teknologi informasi sama sekali belum menyentuh lembaga pemasyarakatan. Di Lapas masih ada masalah dalam transparansi data dan informasi. Saat ini data warga binaan berada di Kasubsie Registrasi dan ini sulit diakses oleh 0t Hasil Wawancara dengan Dokter LAPAS di LP Pemuda Tangerang dan Bekasi. 46
  • 57. seksi-seksi teknis. Proses pelayanan di seksi lain masih dilakukan secara manual .sehingga jika membutuhkan data warga binaan membutuhkan waktu yang cukup lama. Idealnya, ada database yang bisa on line darr dapat diakses langsung oleh seksi lainnya. Selain itu, penggunaan teknologi seperti komputer belum dimanfaatkan dengan maksimal. Saat ini banyak petugas yang tidak bisa dan tidak mau menggunakan komputer sehingga fasilitas tersebut justru banyak digunakan oleh warga binaan.62 Sudah saatnya managemen Lapas menggunakan sistem berbasis IT. Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik adatah menyangkut akuntabilitas dan transparansi. Adanya akuntabilitas dan transparansi menjadi salah satu penilaian penting terhadap kinerja pemerintahan. Sebagai bentuk pertanggungiawaban publik, semua institusi publik berkewajiban melaporkan kinerjanya kepada publik. Lapas merupakan institusi publik yang seharusnya juga menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi. Masyarakat harus memperoleh akses yang mudah terhadap berbagai informasi yang terkait dengan proses pemasyarakatan. Misalnya, database warga binaan. Lapas harus membangun sistem komunikasi publik berbasis teknologi informasi, dimana semua informasi seputar proses pemasyarakatan tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasyarakatan, La"pas terkait dengan instansi-instansi lain, terutama instansi pemerintah. Lapas dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka pemasyarakata, misalanya departemen kesehatan, perguruan tinggi, Balai Latihan Kerja, dan lain-lain. Koordinasi ini diperlukan, untuk lebih mengefektifkan proses pemasyarakatan. Hanya saja, proses komunikasi yang dengan berbagai instansi yang ada tidak berjalan dengan baik. 62 Wawancara dengan Petugas LAPAS 47