Teks tersebut membahas tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan hadis seperti pengertian hadis, pemetaan istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar, bentuk-bentuk hadis, dan unsur-unsur hadis. Tujuannya adalah untuk memahami definisi hadis dan istilah terkait serta elemen-elemen penting dalam hadis.
1. KAJIAN SEPUTAR ISTILAH HADIS
DAN YANG BERKAITAN DENGANNYA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadis
Oleh
Muhammad Maghfur Amin
NIM. F12518226
Dosen Pengampu:
Dr. H. Abdus Salam Nawawi, M. Ag
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2018
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan dasar ajaran Islam. Salah satu fungsi hadis adalah menjadi
penjelas bagi al-Qur’an.1
Kedudukannya disepakati umat Islam sebagai sumber
hukum Islam ke-2 setelah al-Qur’an.2
Ia juga dipandang sebagai sumber pengetahuan
yang seyogyanya dipelajari dan diimplementasikan sebagai jalan hidup setiap
muslim.3
Tanpa henti ulama terus menghidupkan kajian hadis dan ilmu hadis.
Pengertian dan ruang lingkup istilah-istilah dalam kajian hadis dan ilmu hadis
dirumuskan dengan teliti. Akan tetapi perbedaan adalah hal yang sulit dihindarkan.
Tidak terkecuali dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Semisal dalam pengertian istilah
hadis, sunnah, khabar dan atsar. Pada keempat istilah tersebut, terbuka ruang
perdebatan mengenai batasan serta ruang lingkupnya. Oleh karena itu definisi yang
dihasilkan pun saling berbeda diantara pada ulama.
Sikap dalam pengambilan (resepsi) hadis pun berbeda-beda. Jika resepsi
terhadap hadis diibaratkan sebagai sebuah bahan baku masakan maka setidaknya ada
tiga pola resepsi. Pertama, menyikapi dengan berperan sebagai pengumpul bahan
utama yang diperlukan untuk dimasak. Ini adalah kalangan ulama ahli hadis dan
tekstualis. Kedua, bersikap sebagai koki atau pemasak bahan utama dimana bahan
itu harus dimasakan untuk menghasilkan masakan yang siap disajikan. Pola kedua ini
adalah kalangan ushuliyyin dan substansialis. Ketiga, merespsi hadis sebagai bahan
utama yang tersedia namun dianggap kurang lengkap untuk menghasilkan masakan
yang mereka inginkan. Oleh kaena itu mereka menambahkan bahan lain. Bahkan
bahan tambahan itupun dipaksakan agar diakui (dianggap) sebagai bahan utama.
Yang terakhir ini adalah kalangan pembuat hadis palsu.
1
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2015), hal 1
2
Hal ini didasarkan pada al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 132 yang memuat perintah mentaati Allah
dan Rasul-Nya
3
Sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad saw. Bersabda bahwa beliau meninggalkan
3. 3
Kalangan dengan tipe resepsi ketiga memanfaatkan hadis sebagai alat
legitimasi, sebagai hujjah untuk mendukung suatu pendapat. Bahkan ketika dasar
yang mereka kehendaki tidak terdapat dalam al-Qur’an dan juga hadis, maka hadis
dha’if bahkan palsu pun mereka ajukan. Hal ini tentu menimbulkan out-put yang
berbeda di masyarakat, sebagai hasil resepsi mereka terhadap hadis yang tersebar.
Hal itu juga merupakan proses ‚kembali pada al-Qur’an dan Hadis‛ yang
menyimpang dan terancam oleh sabda Nabi Muhammad.
Semboyan kembali ‚pada al-Qur’an dan Hadis‛ ini juga berkembang menjadi
gerakan. Mereka melakukan kritik terhadap fenomena tertentu yang terjadi di
masyarakat. Kritik tersebut dilakukan dengan menggunakan verivikasi satu arah.
Melalui kesesuaian dengan hadis (secara tekstual) semata mereka menentukan benar
atau tidaknya sebuah fenomena yang menjadi sasaran. Sehingga mereka mengambil
sikap bahwa sesuatu yang tidak sesuai dengan ungkapan hadis secara tekstual adalah
bid’ah.
Mengingat demikian penting hadis dalam Islam maka perlu ada pembahasan
kritis terhadap makna hadis itu sendiri dan terma yang melingkupinya. Dalam
makalah ini penulis mencoba mengulas dan menelaah hal-hal seputar kajian hadis
dengan merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Hadis?
2. Bagaimana Pemetaan Istilah Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar?
3. Apa sajakah Bentuk-bentuk Hadis?
4. Apa sajakah Unsur-unsur Hadis?
5. Bagaimana Kolerasi antara Hadis, Sunnah dan Bid’ah
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hadis.
2. Untuk Mengetahui Pemetaan Istilah Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar.
3. Untuk Mengetahui Macam-macam Bentuk Hadis.
4. Untuk Mengetahui Unsur-unsur Hadis.
5. Untuk Mengetahui Kolerasi antara Hadis, Sunnah dan Bid’ah.
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
1. Kata ‚Hadis‛ dalam Kajian Bahasa
Kata hadis berasal dari bahasa Arab. Memiliki bentuk kata mufrad
(singular) ْ ٌِْ َ artinya satu hadis dan bentuk plural, isim jamak ْ ٌِْ َ َ artinya
beberapa hadis.4
Akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu huruf )ح h}a>’(, )da>l(,
dan )tsa>’(. Derivasi (tashrif) kata yang diturunkan dari tiga huruf tersebut
adalah:
َث َ َ َ َ َ ْ ُ ُ ُ ُ ْ ٌَ َ َ َ
Hadis dari akar kata di atas memiliki beberapa makna. Diantara makna
yang sesuai dengan objek dalam tema ini sebagai berikut:
1. ٌ لج (al-jadi<d) atau baru, dalam arti sesuatu yang ada setelah sebelumnya
tidak ada.5
Lawan dari kata al-qadi<m atau terdahulu.6
2. لخبر (al-khabar) atau berita, informasi dan )كالمْل al-kala>m( atau perkataan.
3. لطري (ath-thari) yakni lunak, lembut, dan baru. Ibnu Faris mengatakan
bahwa hadis dari kata ini karena berita atau kalam secara silih berganti dan
cepat menyebar.7
Tiga makna di atas menunjukkan bahwa hadis secara bahasa adalah
perkataan dan kabar dengan sifatnya yaitu menyebar. Selain itu ia adalah lawan
kata al-qadim. Menurut Dzafar Ahmad ibn Lathif Kata ‚hadis‛ ini tepat
digunakan, untuk menunjukkan bahwa ia adalah sesuatu yang baru yang datang
dari Nabi Muhammad di luar al-Qur’an yang qadi<m.8
4
Menurut al-Farra’, ahadis adalah bentuk jamak dari kata uhdusah kemudian dijadikan bentuk plural
bagi kata hadis
5
Abu al-Husain Ahmad ibn Faris, Maqa>yis al-Lughah, Juz II, (Beirut: Darul Fikr, t.t.), 36.
6
Ibn Manzhu>r, Lisa>n al-‘Arab, (Mesir: Dar Al-Mishriiyah, t.t.), 796-798.
7
Ibn Faris, Maqa>yis al-Lughah, 36.
8
Dzafar Ahmad ibn Lathif al-Usmani, Qawa’id fi< Ulu>m al-Hadi<s, (Kairo: Dar As-Salam, 2000), 24
5. 5
2. Pengertian Hadis Menurut Istilah
Ulama jumhur berpendapat hadis dan sunnah adalah sinonim. Antara hadis
dan sunah dapat diibaratkan dua sisi koin. Para ahli memberikan definisi
terrminologis yang berbeda-beda terhadap hadis atau sunnah, sesuai cara pandang
dan latar belakang keilmuannya.
a. Pengertian Hadis menurut Ulama Hadis
Di kalangan muhaddisin (ulama hadis) ada beberapa pengertian hadis
atau sunnah:
1) Segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya.
2) Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat.
3) Semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad (hadis marfu’), para
sahabat (hadis mauquf) dan para tabi’in (hadis maqhtu’)9
Perbedaan yang terdapat dalam pengertian diatas adalah dalam hal
ruang lingkup pengambilan hadis. Namun titik temunya adalah kesamaan
cara pandang muhaddisin terhadap hadis. Sikap muhaddisin terhadap hadis
meletakkannya sebagai objek utama kajian dan tidak untuk mengungkap
kandungan dan implikasi hukum yang lebih spesifik darinya.
b. Pengertian Hadis menurut Ulama Ushul Fiqh
Menurut ulama ushul fiqh hadis atau sunnah ialah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad selain al-Qur’an, baik berupa
perkataan, perbuatan dan pengakuan yang patut dijadikan hukum syara’.10
Artinya menurut ulama ushul fiqh jika sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad tidak menyangkut hukum, maka tidak patut disebut hadis dan
sunnah.
9
Muhammad Mahfudz ibn Abdillah Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi an-Nadzar. (Jeddah: Al-Haramain,
1974), 8
10
Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyyah wa-Ahkamuha. (Kairo: Maktabah Gharib, t.t.),
17
6. 6
Hal ini menunjukkan bahwa hadis dalam pandangan ulama ushul fiqh
adalah sebagai perangkat untuk menghasilkan kaidah hukum syara’. Maqshud
asy-syara’ yang terungkap dari kandungan hadis lah yang menjadi sasaran
utama bagi ulama ushul fiqh. Sehingga hadis bagi mereka berkedudukan
sebagai objek penelitian dalam rangka mengungkap implikasi hukum syara’
yang dikandung olehnya.
c. Pengertian Hadis menurut Ulama Fiqh
Menurut ulama’ fiqh (fuqaha) sunnah adalah segala ketetapan yang
datang dari Rasullah dan tidak termasuk kategori fadlu, dan wajib, dan
termasuk hukum yang lima.11
Atau dalam pengertian lain sunnah adalah sifat
syara’ yang menuntut untuk dikerjakan, tetapi tidak wajib dan tidak disiksa
bagi yang meninggalkanya.
Terma sunnah menurut ulama fiqh lebih kepada salah satu dari lima
hukum yang dihasilkan dalam proses istinbath. Dalam fiqih terdapat dua
kategori hukum yang termasuk dalam implikasi perintah nash, yakni fardhu
atau wajib dan sunnah atau nadb. Sedangkan dua hukum yang adalah
lawannya, yaitu makruh dan haram. Adapun yang satu merupakan hukum
yang bersifat netral.
B. Pemetaan Istilah Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar
Hadis memiliki tiga sinonim atau mura>dif yakni sunnah, khabar dan atsar..
Untuk mendapatkan pemetaan yang tepat penjelasan terma hadis akan kembali
diulas beserta tiga muradifnya.
1. Hadis dan Sunnah
Hadis secara bahasa adalah perkataan atau perbuatan, yang baru, yang
mengalir dan lunak.12
Sedangkan sunnah secara bahasa berarti jalan, baik yang
terpuji maupun yang tercela.13
11
Dr. Mushthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha di at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar as-Salam,
1998), 57
12
Ibn Faris, Maqa>yis al-Lughah, 36.
13
Muhammad Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 17
7. 7
Menurut ulama hadis, secara istilah, hadis dan sunnah mencakup segala
perkataan, perbuatan, penetapan, himmah, sifat dan akhlaq maupun lainnya, baik
sebelum dan setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul.14
Maka hadis
menurut ulama ahli hadis bersifat umum dan mutlak.
Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqh, sunnah tidak sama dengan hadis.
Menurut ulama ushul hadis ialah setiap yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad yang berupa perkataan (hadis qouli). Adapun sunnnah lebih umum
daripada hadis karena sunnah mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi
Muhammad.15
Selain itu, menurut ulama ushul segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad yang dapat disebut sunnah atau hadis adalah yang memiliki
maksud syara’ atau implikasi hukum. Artinya jika dilihat dari masa, hadirnya
sunnah menurut ulama ushul fiqh dibatasi sejak Nabi Muhmmad diangkat
menjadi Nabi.
Jadi menurut ulama’ ahli hadis sunnah bisa disebut hadis, begitu pula
sebaliknya. Sedangkan menurut ulama ushul, hadis adalah bagaian dari sunnah.
Karena itu dapat dikatakan sunnah lebih umum daripada hadis.
2. Hadis dan Khabar
Secara bahasa khabar berarti berita atau informasi. Menurut istilah ahli
hadis, khabar idenstik dengan hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad dan selain beliau baik yang berupa perkataan, perbuatan ataupun
penetapan.16
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh khabar berbeda dengan hadis dan
sunnah. Khabar mencakup berita atau informasi secara umum baik hal yang
terkait dengan Nabi Muhammad ataupun selainnya. Informasi sejarah tentang
umat-umat Nabi terdahulu menurut mereka termasuk dalam kategori khabar.17
Mereka berargumen bahwa dengan sebab itulah orang yang mempelajari hadis
dan ilmu hadis disebut dengan muhaddis, sedangkan orang yang mempelajari
14
Ajjaj al-Khathib, As-Sunnah, 19
15
Ibid., 19
16
Ibid., 19
17
Ibid., 28
8. 8
sejarah disebut dengan informan. Dengan demikian khabar lebih umum dari pada
hadis dan sunnah.
3. Hadis dan Atsar
Atsar secara bahasa adalah suatu bekas, sesuatu yang tertinggal, tersisa.18
Hadis dapat dikatakan sebagai atsar karena hadis adalah peninggalan Nabi
Muhammad.
Secara istilah, ulama ahli hadis berpendapat atsar adalah sinonim hadis,19
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh atsar lebih umum daripada, sunnah dan
hadis. Ada yang berpendapat atsar sama dengan khabar yakni mencakup sejarah
baik yang terkait Nabi Muhammad ataupun selainnya. Ada pula yang
berpendapat atsar lebih umum daripada khabar. Hipotesa yang dapat diajukan
dari pendapat tersebut, argumen mereka adalah bahwa yang dapat juga
dikategorikan sebagai khabar adalah bukti-bukti dan situs sejarah.
Dari pengertian dan hubungan antara keempat istilah tersebut dapat diketahui
bahwa menurut ulama ahli hadis keempatnya adalah istilah yang sepadan. Sedangkan
menurut ulama ushul fiqh keempatnya saling berbeda dalam segi batasan atau
cakupannya. Hubungan keempat istilah tersebut, sesuai pendapat ulama ushul fiqh,
dapat dipetakan dengan bagan berikut:
Bagan pemetaan istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar.
Bagan 2.1
18
Ajjaj al-Khathib, As-Sunnah, 28
19
Abdul Hayy dalam kitabnya Dzafrul Amani mengatakan bahwa pengertian khabar secara istilah
adalah riwayat yang datang dari Nabi Muhammad, sahabat atau tabi’in baik marfu’, mauquf atau maqhtu’ .
Hal serupa juga diungkapkan oleh Nawawi al-Bantani dalam Syarh Shahih Muslim-nya.
Atsar
Khabar
Sunnah
Hadis
9. 9
C. Kategori Hadis Berdasarkan Bentuknya
Berdasarkan bentuknya, apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ada
lima kategori, antara lain:
1. Hadis Qauli
Hadis qauli ialah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad yang
berupa perkataan dan ucapan secara mutlak, baik yang memuat maksud syara’,
aqidah, akhlak, kisah, peristiwa, maupun yang lainnya.
Jika diperhatikan hadis qauli menggunakan dengan bentuk kalimat
langsung. Ada beberapa contoh hadis qauli dengan berbagai ragamnya. Salah satu
contoh hadis qauli adalah ucapan Nabi Muhammad memerintahkan untuk
mengerjakan shalat sebagaimana yang beliau lakukan, yang berbunyi:
ًِّلَصُ ًِْن ْ ُمُتٌَْ َر َمَك ْ ُّلَص(رى لبخ ه ر)20
‚Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat‛ (HR. Bukhori)
Hadis ini tidak penulis kategorikan dalam hadis fi’li, berbeda dengan
yang dinukil oleh Munzier Suprapta dalam bukunya, Ilmu Hadis. Hal ini
mengingat bahwa pemilahan ini adalah dalam kategori macam bentuk hadis dan
bukan kategori maksud syara’ yang dikandung oleh hadis. Maka dalam
pemilahannya, sebuah hadis seharusnya dipandang dari sudut ‚apa yang dalam
teks‛ dan bukan dengan sudut pandang ‚apa yang melingkupi teks‛.
Jika diamati dengan pendekatan ‚apa yang di dalam teks‛ atau kritik
matan, secara redaksi hadis di atas berbentuk kalimat perintah. Selain itu ia
menggunakan bentuk kalimat langsung. Maka dengan tegas kita dapat
mengatakan bahwa kalimat atau redaksi hadis diatas adalah sebuah penuturan
(qaul) seseorang kepada orang lain.
Adapun apabila didekati dengan ‚apa yang melingkupi teks‛, maka
redaksi diatas dapat termasuk hadis fi’li. Dengan argumen bahwa hadis itu
bermuatan perintah yang berhubungan dengan perbuatan Nabi.
20
Hadis nomor 631 dalam Shahih al-Bukhari
10. 10
Namun jika kedua pendekatan itu digunakan secara bersamaan atau
tertuka, tentu membuat kategorisasi bentuk hadis ini menjadi rancu. Penulis
menawarkan jalan keluar dalam hal ini{{: hadis ini bisa dikatakan hadis qauli jika
dipilah berdasarkan kategori bentuk hadis, bisa juga dikatakan sebagai hadis fi’li
jika dikategorisasikan berdasarkan maqsud syara’.
Sebagaimana ketika ada seorang instruktur senam mengatakan ‚ikuti
gerakan saya!‛. Jika perintah instruktur senam tersebut dapat diibaratkan seolah
seperti hadis qauli, maka gerakan-gerakan senam yang dicontohkan oleh
instrukstur tersebut, baik yang dilakukan sebelum atau sesudah memberikan
perintah, adalah hadis fi’li.
Jadi perintah Rasulullah di atas adalah bentuk hadis qauli. Sedangkan
yang patut dikategorikan sebagai hadis fi’li dalam hal ini adalah riwayat yang
menjelaskan bagaimana shalatnya Rasulullah.
2. Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad yang
berupa perbuatan. Dengan kata lain, yang dikategorikan hadis fi’li adalah hadis
yang berbentuk deskripsi sahabat tentang apa yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad.
Jika contoh hadis yang berisi peristiwa Rasulullah memerintahkan
sahabat mencontoh shalatnya diatas termasuk kategori hadis qauli, maka hadis
fi’li dari perintah tersebut adalah deskripsi sahabat mengenai cara shalat Nabi
Muhammad. Seperti penjelasan sahabat yang pernah menyaksikan Nabi
Muhammad melakukan shalat diatas kendaraan dalam hadis berikut:
ِهِب ْتَهَّج َ َت َم ُ ٌَْ ِهِتَلِ َر ىَلَع ًّلَصٌُ َمّلَس َ ِهٌَْلَع هللا ىَّلَص ًُّبّنل َن َك(رمذىّتل ُه َ َر)21
‚Nabi Muhammad shalat di atas tunggangannya, kemana saja tunggangannya itu
menghadap.‛ (HR. at-Tirmidzi)
Atau contoh lain yang memuat cara shalat Nabi Muhammad dalam hadis
berikut:
21
Hadis nomor 230 dalam Sunan at-Tirmidzi
11. 11
ىِب ِب ْي َكلِباىًةال َك ىِبا َّنلا ىَك َك ْي َك َك ىِبا َّنلا ى َك َك ىًةال َك ىِبا َّنلا ى َّن َك َك ىَك َّن َك َك ىِب ْي َك َك ى َّن ى َّن َك ىُّي ِب َّنلا ىَكا َكى
(حمد هى ر)22
‚Nabi Muhammad adalah orang yang paling ringan dalam melakukan shalat
ketika bersama manusia (berjamaah). Namun paling panjang shalatnya bila
melakukannya sendirian.‛ (HR. Ahmad)
3. Hadis Taqriri
Secara bahasa, taqrir bermakna penetapan. Secara istilah, hadis taqriri
adalah hadis yang memuat ketetapan Rasulullah. Dengan pemahaman yang lain,
hadis taqriri adalah ketika Nabi Muhammad bersikap diam dan membiarkan
sahabat melakukan sesuatu yang dilihatnya atau yang diketahui, tidak
memerintahkan dan tidak mencegah.
Sebagai contoh hadis taqriri adalah sikap diam Nabi Muhammad ketika
terjadi perbedaan pemahaman sahabat mengenai ucapan beliau .
ََل ْمُهُضْعَب َل َقَف ٌِق ِرَّلط ًِف ُرْصَعْل ْمُهَضْعَب َكَرْ َأَف َثَْظٌَرُق ًِنَب ًِف ََّلِإ َرْصَعْل ٌ َ َ َّنٌَِّلَصٌُ ََل
َمَّلَس َ ِهٌَْلَع ُ َّهللا ىَّلَص ًِِّبَّنِلل َِركُذَف َكِلَذ َّنِم ْ َُرٌ ْمَل ًِّلَصُن ْلَب ْمُهُضْعَب َل َق َ َهٌَِتْأَن ىَّتَ ًِّلَصُن
ْمُهْنِم ًد ِ َ ْ ِّنَُعٌ ْمَلَف(رى لبخ ه ر)23
‚Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali
(setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka
mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita
tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya
mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang
membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi Muhammad, ternyata
beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka‛. (HR. Bukhari)
Contoh hadis taqriri lainnya, tentang sikap Nabi Muhammad ketika
dalam sebuah perjalanan bersama beliau sebagaian sahabat berbuka dan sebagian
lain tetap berpuasa :
َرَطْف َ َنُضْعَب َم َصَف َن َضمَر ًِْف سلم علٌه هللا صلى هللا ِل ْ ُسَر َعَم َنْرَف س ل ق نس ْنَع
ِِما َّصل ىَلَع ر ِط ُمل َل َ ر ِطْ ُمل ىَلَع ُمِا َّصل ْ ِعٌَ ْمَلَف َنُضْعَب(مسلم ه ر)24
22
Hadis nomor 20.902 dalam Musnad Ahmad
23
Hadis nomor 4.119 dalam Shahih al-Bukhari
12. 12
‚Dari Anas bin Malik, ia berkata: Kami bepergian bersama Rasul SAW pada
bulan Ramadlan. Di antara kami ada yang berbuka dan ada pula yang tetap
berpuasa. Yang berpuasa tidak mencela yang berbuka. Yang berbuka tidak
mencela yang berpuasa.‛ (HR. Muslim)
4. Hadis Hammi
Pengertian Hadis Hammi adalah hadis yang berupa keinginan Nabi
Muhammad yang belum terlaksana. Seperti hadis tentang keinginan Nabi
Muhammad untuk berpuasa pada tangal 9 bulan Asyura’. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas disebutkan:
ٌم ْ ٌَ ُهَّنِإ ِ َّهللا َل ُسَر ٌَ ُل َق ِهِم ٌَ ِصِب َنَرَمَ َ َء َر ُش َع َم ْ ٌَ َمَّلَس َ ِهٌَْلَع ُ َّهللا ىَّلَص ًُِّبَّنل َم َص
َنُْمص ُلِبْقُمْل ُم َعْل َن َك َذِإَف َمَّلَس َ ِهٌَْلَع ُ َّهللا ىَّلَص ِ َّهللا ُل ُسَر َل َقَف ىَر َصَّنل َ ُ ُهٌَْل ُهُمِّظَعُت
َمَّلَس َ ِهٌَْلَع ُ َّهللا ىَّلَص ِ َّهللا ُل ُسَر ًَِّف ُ ُت ىَّتَ ُلِبْقُمْل ُم َعْل ِتْأٌَ ْمَلَف ِعِس َّتل َم ْ ٌَ(ب ه ر
)25
“Nabi Muhammad berpuasa pada tanggal sepuluh muharam dan memerintah
kita untuk melakukannya. Kemudian shahabat bertanya: Wahai Rasulullah,
bukankah hari itu hari yang dimuliakan yahudi dan nashrani?. Kemudian
Rasulullah bersabda: Tahun depan kita akan melakukan puasa juga pada tanggal
sembilan muharram. Namun, ternyata tidak sampai tahun berikutnya beliau
wafat.” (HR. Abu Daud)
5. Hadis Ahwali
Yang dimaksud hadis ahwali ialah hadis yang berisi deskripsi sahabat
mengenai sifat dan kepribadian Nabi Muhammad. Diantara contoh hadis ahwali
adalah:
ِِنا َبْل ٌِلِ َّلط ِب َْسٌَل ًدقْلَخ ُهَنَسْ َ َ ًدهْج َ ِس َّنل َنَسْ َ َمَّلَس َ ِهٌَْلَع ُ َّهللا ىَّلَص ِ َّهللا ُل ُسَر َن َك
ٌر ِصَقْل ِب ََل َ
‚Rasulullah SAW adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi
fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ‛. (HR. Bukhari)
24
Shahih Muslim, juz II, 787
25
Hadis nomor 2089 dalam Sunan Abi Daud
13. 13
D. Unsur-unsur Hadis
Dalam setiap riwayat hadis terdapat tiga unsur utama. Disini ketiga unsur
utama tersebut akan dijelaskan masing-masing pengertiannya dan kemudian
dipaparkan contohnya.
1. Sanad
Secara bahasa sanad merupakan bentuk mashdar berasal dari kata kerja
sanada - yasnudu artinya adalah bersandar dan sandaran, karena hadis bersandar
kepadanya.26
Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama memberikan pengertian
yang berbeda. Diantara pengertian sanad secara istilah sebagai berikut:
a) Menurut Dzafar Ahmad al-Usmani dan Al-Badru bin Jama’ah, sanad adalah
jalan yang menyampaikan pada matan.27
b) Yang lain menyebutkan, sanad ialah silsilah orang-orang yang
menyambungkan sampai pada matan.28
c) Ulama lainnya memberikan pengertian, sanad adalah silsilah para perawi
yang menukil hadis dari sumbernya yang pertama.29
Dari pengertian-pengertian di atas, sanad adalah mata rantai atau silsilah
para perawi yang menukil matan hadis dari sumber pertamanya. Antara sanad
dan matan berkaitan erat. Matan menjadi kadungan utama materi hadis,
sedangkan sanad merupakan dasar penting mengetahui otentisitasnya.
Kata yang berkaitan dengan sanad adalah isnad, musnid dan musnad.
Istilah-istilah tersebut juga digunakan oleh ulama hadis dalam kajian hadis dan
ilmu hadis. Secara istilah ketiga kata tersebut memiliki pengertian masing-
masing.
Secara bahasa, isnad berasal dari kata kerja asnada, yusnidu Isnad artinya
adalah menyandarkan. Ulama hadis menggunakan sanad dan isnad dengan
pengertian yang sama. Sedangkan musnid adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut orang yang menyandarkan atau rawi yang menjadi silsilah sampainya
26
Mahmud ath-Thahan, Tafsir Mushthala al-Hadis, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979), 15
27
Ibn Lahif al-Usmani, Qawa’id, 26
28
Ath-Thahan, Tafsir, 15
29
Ajjaj al-Khathib, As-Sunnah, 28
14. 14
matan. Adapun musnad bisa berarti hadis yang disandarkan kepada seseorang,
bisa juga berarti kitab hadis yang disusun berdasarkan nama perawi hadis.30
Sebagai tambahan, terkadang istilah sanad tidak hanya digunakan oleh
kalangan muhaddisin. Semisal dalam tradisi pesantren dan kalangan ulama salaf
yang ada di Indonesia, istilah sanad digunakan untuk menyebut mata rantai
keilmuan dan ketersambungan guru dan murid. Mata rantai tersebut berdasar
pada silsilah sesuai hubungan guru diatasnya hingga sampai ke Nabi Muhammad.
2. Matan
Kata ‚matan‛ secara bahasa artinya adalah tanah yang meninggi.
Sedangkan secara istilah, matan adalah suatu tempat berakhirnya sanad.31
Atau
dengan definisi lain, matan adalah inti atau materi dari suatu hadis.
3. Mukharrij
Mukharrij artinya adalah orang yang yang mengeluarkan. Secara istilah
Mukharrij sama dengan rawi atau perawi hadis yaitu orang yang menukil dan
menyampaikan hadis. Mukharrij disebut juga mudawwin, artinya orang yang
membukukan. Orang yang menerima hadis dan kemudian membukukan maka
dialah yang disebut mudawwin.
Supaya dapat lebih memahami ketiga unsur utama hadis tersebut, contohnya
dalam hadis berikut:
ِ َّهللا ِ ْبَع ِْنب َةَمْزَ ْنَع ٍ َهِش ِْنب ْنَع ٌلٌَْقُع ًِنَ َّ َ َل َق ُ ٌَّْلل ًِنَ َّ َ َل َق ٍْرٌَ ُع ُْنب ُ ٌِعَس َنَ َّ َ
َل َق َرَمُع َْنب َّنَ َرَمُع ِْنبَل َق َمَّلَس َ ِهٌَْلَع ُ َّهللا ىَّلَص ِ َّهللا َل ُسَر ُتْعِمَسَنٌَْبَِح َقِب ٌُِتتُ ٌمِا َن َنَ
ُل َق ِ َّط َخْل َْنب َرَمُع ًِلْضَف ُْتٌ َطْعَ َّمُ يِر َ ْظَ ًِف ُجُر ْخٌَ َّيِّلر ىَرَ ََل ًِّنِإ ىَّتَ ُْتبِرَشَف ٍنَبَل
َمْلِعْل َل َق ِ َّهللا َل ُسَر ٌَ ُهَتْل َّ َ َمَف..ه رالبخارى
Dalam hadis diatas, yang dimaksud sanad adalah yang bergaris bawah.
Sedangkan matannya adalah yang tercetak miring. Adapun mukharrij atau perawinya
adalah yang tercetak tebal, yakni al- Bukhari.
30
Ath-Thahan, Tafsir, 16
31
Ibid., 16
15. 15
E. Antara Hadis, Sunnah dan Bid’ah
Pembahasan dalam sub bab ini tersaji dalam bagian yang terpisah, meskipun
sebenarnya termasuk dalam pembahasan ragam definisi hadis menurut segolongan
ulama. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan fokus yang lebih tune-in dalam
pembahasannya.
Sebelum lebih jauh, dalam pembahasan ini lebih awal diulas kembali
pengertian tiga kata diatas dari segi bahasa. Berdasarkan pembahasan etimologis
yang telah diungkapkan di bagan awal makalah, hadis secara bahasa berarti sesuatu
yang ada setelah sebelumnya tidak ada (peristiwa) dan bersifat lunak. Sedangkan
sunnah memiliki arti suatu jalan, kebiasan atau tradisi.
Adapun bid’ah secara bahasa memiliki arti, yang berdekatan dengan kata
hadis, yaitu sesuatu yang baru pertama kali, tidak ada sebelumnya dan tidak ada
contohnya. Dikatakan berdekatan yakni sama-sama bermakna sesuatu yang baru.
Dalam hadis Nabi Muhammad berikut yang dimaksudkan sebagai bid’ah
diredaksikan dengan kata ‚muhdatsat‛, yang masih berakar dari kata ‚hadatsa‛.
ل ق هللا ل رس ن هللا عب بن بر ج عن:ي ه ي له خٌر هللا كت ٌ ل خٌر فإن بع م
ضاللث عث ب كل ته م ر َلم شر م م(مسلم ه ر)32
‚Dari Jabir bin Abdillah rodhiallahu’anhu bahwasannya Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ‚Amma ba’du: sesungguhnya sebaik-baik
perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk
Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, dan sejelek-jelek urusan ialah urusan
yang diada-adakan, dan setiap bid’ah ialah sesat‛. (HR Muslim)
Akan tetapi jika dibedakan, maka keduanya dapat dikatakan dengan
pembahasaan yang lain. Hadis dkatakan sebagai kreasi, sedangkan bid’ah adalah
inovasi, dalam hal menciptakan sesuatu yang baru. Kreasi dan inovasi keduanya
sama-sama berarti sesuatu yang baru, namun inovasi lebih menonjol dalam tingkat
‚daya berbeda‛nya,.
32
Shahih Muslim, juz II, 592
16. 16
Adapun golongan ulama yang dimaksud diatas adalah ulama mau’idhah.
Mereka memberikan pengertian terhadap istilah sunnah dengan definisi ‚sesuatu
yang menjadi lawan bid’ah‛.33
Atau menurut pendapat yang lain, bid’ah secara istilah adalah segala sesuatu
yang baru yang dibuat manusia, baik berupa perkataan atau perbuatan dalam agama
dan syi’ar-syi’arnya yang tidak ada contohnya dari Nabi atau para sahabat.
Argumen yang digunakan untuk menguatkan pendapat mereka adalah hadis
berikut:
ٌّد َر هَف هْنِم ْسٌَل َم هذ ن ِمْر فى َ ْ ْنَم
‚Barang siapa yang membuat yang baru dalam perkaraku ini (agama) yang tidak
daripadanya maka tertolak‛.
Dalam persoalan ini perlu diperhatikan bahwa hadis tentang muhdasat dan
bid’ah diatas membatasi bid’ah dalam hal agama. Di dalam urusan agama mencakup
dua hubungan, yakni hubungan vertikal (antara manusia dengan Allah) dan
horizontal (antara manusia dengan manusia lain). Atau dengan istilah lain ibadah dan
ubudiyyah. Ibadah tentang suatu hubungan ketuhanan sedangkan ubudiyyah tentang
hubungan kemanusiaan.
Di dalam urusan ibadah, ketentuan yang sudah dituntun oleh Rasulullah
suudah tidak dapat diganggu gugat. Seperti shalat wajib sehari semalam ada lima
waktu, puasa yang wajib adalah di bulan Ramadhan dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam urusan ubudiyyah, Rasulullah memberikan kebebasan.
Sebagaimana ketika ucapan Nabi Muhammad ‚kalian lebih paham tentang urusan
dunia kalian‛ yang dikatakan kepada seorang tukang kebun kurma. Hadis ini
memberikan gambaran bahwa dalam hal tradisi bersikap demokratis. Bahkan dalam
tradisi tersebut kreasi dan inovasi diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman.
33
Adil Muhammad Darwisy, Nadzharat fi as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadis (Jakarta: Kulliyat Dirasah al-
Ulya Pascasarjana UIN, 1998), 11
17. 17
Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan shalat dengan pakaian
bersarung. Meskipun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, tetapi hal itu tidak
dapat dikatakan sebagai bid’ah. Karena yang termasuk kategori ibadah adalah shalat
itu sendiri, sedangkan soal pakaian apa yang dikenakan adalah kategori ubudiyyah.
Sebaliknya, jika seseorang shalat dengan berpakain jubah, bahkan ia yakin
bahwa jubah yang dikenakannya sangat mirip dengan yang digunakan oleh
Rasulullah, akan tetapi ia melakukan shalat dengan menghadap ke arah yang
membelakangi kiblat, maka ia telah melakukan bid’ah.
Perbedaan cara memahami maqsud syara’ suatu ayat ataupun hadis juga dapat
menjadi latar belakang munculnya anggapan bid’ah. Dalam kenyataanya masih ada
kalangan yang dengan mudah menuduh kalangan lain dengan tuduhan telah membuat
atau melakukan bid’ah.
18. 18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hadis secara bahasa artinya adalah kabar, informasi, pembicaraan dan sesatu yang
baru. Sedangkan secara istilah, menurut ulama hadis, adalah segala hal yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad, para sahabat dan tabi’in baik berupa
perkatan, perbuatan, penetapan dan hal ihwal Nabi Muhammad. Adapun ‘ulama
ushul fiqh membatasi hadis pada yang memiliki maqsud syara’ saja.
2. Menurut ulama ahli hadis antara istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar adalah
sepadan. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, istilah hadis terkhusus pada
perkataan Nabi, dan sunnah lebih umum darinya yakni mencakup semua perkataan,
perbuatan dan hal ihwal Nabi, yang keduanya terbatas pada yang memiliki tujuan
syara’. Adapun khabar menurut ulama ushul fiqh mencakup apa yang berkaitan
dengan Nabi dan yang selainnya, seperti berita umat terdahulu. Menurut mereka
atsar lebih umum dari khabar.
3. Ada lima macam bentuk hadis:
a. Hadis Qauli : Memuat ucapan atau perkataan Nabi
b. Hadis Fi’li : Memuat perbuatan Nabi
c. Hadis Taqriri : Memuat sikap diam Nabi
d. Hadis Hammi : Memuat keinginan Nabi yang belum terlaksana
e. Hadis Ahwali : Memuat sifat dan kepribadian Nabi
4. Unsur utama hadis ada tiga:
a. Sanad : Mata rantai periwayatan berisi nama-nama perawi
b. Matan : Materi atau kandungan yang dimuat oleh hadis
c. Mukharrij : Perawi, Mudawwin (orang yang membukukan hadis)
5. Antara kata hadis dan bid’ah berdekatan. Karena istilah bid’ah dimunculkan dari
kata ‚muhdasat‛ yang terdapat dalam salah satu hadis. Kata muhdasat itu sendri
berasal dari akar kata ‚hadatsa‛. Istilah bid’ah digunakan untuk mengatakan
sesuatu yang selain sunnah.
19. 19
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, Sunan Abi Daud
Ahmad, Musnad Ahmad
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Jakarta : Amzah, 2015
Bukhari (al),Shahih al-Bukhari
Darwisy, Adil Muhammad, Nadzharat fi as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadis Jakarta:
Kulliyat Dirasah al-Ulya Pascasarjana UIN, 1998
Hasyim, Ahmad Umar, As-Sunnah an-Nabawiyyah wa-Ahkamuha. Kairo: Maktabah
Gharib, t.t.
Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad, Maqa>yis al-Lughah, Juz II, Beirut: Darul Fikr, t.t.
Khatib (al), Muhammad Ajjaj, As-Sunnah Qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr,
1997
Manzhu>r , Ibn, Lisa>n al-‘Arab, Mesir: Dar Al-Mishriiyah, t.t.
Muslim, Shahih Muslim, juz II
Siba’I (as), Mushthafa, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar
as-Salam, 1998
Thahan (ath), Mahmud, Tafsir Mushthala al-Hadis, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1979
Tirmidzi (at), Sunan at-Tirmidzi
Tirmisi (al) Muhammad Mahfudz ibn Abdillah, Manhaj Dzawi an-Nadzar. Jeddah:
Al-Haramain 1974
Usmani (al), Dzafar Ahmad ibn Lathif, Qawa’id fi< Ulu>m al-Hadi<s, Kairo: Dar As-
Salam, 2000