Abstrak: The hadith, sunnah, khabar, and atsar are inseparable materials from the knowledge of the hadith, the word hadith, sunnah, khabar, and atsar have different resolutions in terms of etymology or language, the hadith is al-jadid (looking for new), sunnah means al-Tariqah (the path that is traversed) either praiseworthy or despicable, khabar means al-naba' (news or news) originating from the prophet, whereas atsar is interpreted as al-baqiy which means (relic or used) of the prophet Muhammad saw. The hadith, sunnah, khabar, and atsar resolutions have the same meaning that is relied on the prophet to see, from the words or actions or decrees, or the nature of the prophet or which is relied on the companions and tabiin. The hadith has a position as a source of Islamic law after the Qur'an was published in the Qur'an and the hadith and reviewed by ijma '. Besides that it has a function as bayan al-taqrir (elucidator of the Qur'an), bayan tasyri 'which gives legal certainty when there is no verse in the Qur'an that explains and bayan al-tafsir (interpreter of the Qur'an) ) which is divided into three (takhshis' am, nasakh commentary, and bayan mujmal).
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
1. 1
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI
HADITS
Muhammad Rizaki
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura
Email: izaki2596@gmail.com
Abstrak: The hadith, sunnah, khabar, and atsar are inseparable materials from the
knowledge of the hadith, the word hadith, sunnah, khabar, and atsar have different
resolutions in terms of etymology or language, the hadith is al-jadid (looking for new),
sunnah means al-Tariqah (the path that is traversed) either praiseworthy or despicable,
khabar means al-naba' (news or news) originating from the prophet, whereas atsar is
interpreted as al-baqiy which means (relic or used) of the prophet Muhammad saw. The
hadith, sunnah, khabar, and atsar resolutions have the same meaning that is relied on the
prophet to see, from the words or actions or decrees, or the nature of the prophet or which is
relied on the companions and tabiin. The hadith has a position as a source of Islamic law
after the Qur'an was published in the Qur'an and the hadith and reviewed by ijma '. Besides
that it has a function as bayan al-taqrir (elucidator of the Qur'an), bayan tasyri 'which gives
legal certainty when there is no verse in the Qur'an that explains and bayan al-tafsir
(interpreter of the Qur'an) ) which is divided into three (takhshis' am, nasakh commentary,
and bayan mujmal).
Kata Kunci: Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar.
I. PENDAHULUAN
Nabi Muhammad telah Allah utus
sebagai nabi terakhir atau penyempurna
agama Allah yang bernama Islam. Dalam
Islam ada dua sumber hukum yang wajib
dijadikan pedoman orang muslim dalam
melakukan kehidupan sehari-hari baik
dalam masalah hukum ibadah, muamalah,
nikah, politik dan sebagainya yaitu al-
Qur’an dan hadist.
Dalam khazanah ilmu hadits,
terdapat sejumlah istilah yang dari sisi
terminologis memiliki pengertian serupa,
yakni: hadīts, sunnah, khabar, dan atsar.
Menurut mayoritas ulama hadits, keempat
terma itu dianggap sinonim, sehingga
dalam pemakaiannya dapat dipertukarkan
satu sama lain.
Sementara sebagian lainnya,
beranggapan bahwa tiap-tiap terma itu
mempunyai kandungan makna yang
berbeda. Hadits merupakan sumber hukum
Islam kedua setelah al-Qur’an yang
diwariskan oleh Nabi Muhammad kepada
umat Islam. Sebagai sumber hukum kedua,
kita sebagai umat Islam wajib mempelajari,
khususnya pelajar muslim harus
mengetahui pengertian hadits dan istilah
ilmu hadits lainnya seperti sunnah, khabar,
dan atsar, persamaan dan perbedaannya,
serta bentuk-bentuk hadits. Oleh sebab itu
penulis akan fokus pada apa definisi dari
hadist, sunnah, khabar, dan atsar? dan
bagaimana kedudukan hadist, sunnah,
khabar, dan atsar?. Tujuan dari tulisan ini
Untuk menjelaskan definisi dari hadist,
sunnah, khabar, dan atsar dan menjelaskan
kedudukan hadist, sunnah, khabar,
dan atsar.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits
Kata hadith merupakan sebuah
kata multimakna dalam al-Qur’an yang
telah digunakan oleh orang Arab pada masa
Jahiliah dan tetap digunakan pasca
pewahyuan al-Qur’an hingga sekarang.
Sebelum kata ini digunakan secara khusus
dalam ilmu hadis, ia telah digunakan oleh
orang Arab pada masa Jahiliah. baik dalam
percakapan sehari-hari maupun dalam syair
2. 2
gubahan mereka.1
Orang Arab pada masa
Jahiliah telah menggunakan term hadith.
Bahkan para penyair dalam sebagian syair
mu’allaqat pun menggunakannya, seperti
Zuhayr ibn Abu Sulma (530-627 M.) yang
menggunakan kata hadith Tarafah ibn al-
‘Abdi al-Bakri (543-569 M.) yang
menggunakan kata hadath, ahdatha, dan
muhdath, ‘Amru ibn Kulthum (526-584 M.)
yang menggunakan kata hudditha, dan al-
Harith ibn Hillazah (w. 580 M.) yang
menggunakan kata hawadith. Pada masa
ini, term hadith identik dengan kabar
tentang peristiwa besar yang terjadi di
kalangan orang Arab, karena menurut al-
Baladhuri (w. 297 H./892 M.) dan al-
Asfahani (897-967 M.), bermakna
“pemberitaan” (ikhbar) sejak mereka
menamakan hari-hari besar mereka dengan
ahadith.2
Hadits menurut bahasa adalah
kebalikan dari qadim (sesuatu yang
terdahulu atau lama) dan dipakai juga
dengan makna kabar. Dinyatakan dalam al-
Qamus, “والخبر الجديد هو ”الحديث (hadis
artinya suatu yang baru atau berita). 3
Hadits mempunyai beberapa
sinonim atau muradhif menurut pakar ilmu
hadits yaitu sunnah, khabar, dan atsar.
Secara terminologi, banyak dari ahli hadits
memberikan definisi yang berbeda redaksi
namun maknanya sama, yakni suatu yang
datag atau yang bersumber dari atau
disandarkan kepada Nabi baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun sikap
persetujuan. Dari definisi diatas
memberikan kesimpulan bahwa hadits
mempunyai tiga komponen, yakni sebai
berikut;
a. Hadis perkataan yang disebut dengan
hadits qauli, misalnya:
ﷲ صلى ﷲ رسول قال قال هريرة ابي عن
به ماحدثت ﻷمتي تجاوز ﷲ ان وسلم عليه
به اويعملوا يتكلموا مالم انفسها.
1 Mohammad Subhan Zamzami, “Term Hadith
dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Jami’ al-Bayan ’an
Ta’wil Ay al-Qur’an Karya Muhammad ibn Jarir al-
Thabari 224-310 H/839-923 M)” (Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, 2019), 4.
2 Zamzami, “Term Hadith dalam Al-Qur’an, 5-6.
3 Nuruddin ’Itr, ’Ulumul Hadis, trans. oleh Mujiyo
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 13-14.
"dari Abu Hurairah r.a., berkata,
rasulullah bersabda sesungguhnya Allah
tidak akan ambil peduli terhadap
umatku, selama yang berbicara hanya
hatinya, tapi belum diucapkannya atau
belum dilaksanakannya.”4
b. Hadits perbuatan, disebut hadits fi’li
misalnya shalat beliau, haji, perang.
c. Hadits persetujuan disebut dengan hadits
taqriri, yaitu suatu perbuatan dan
perkataan di antara para sahabat yang
disetujui nabi, misalnya nabi diam ketika
melihat bahwa bibi ibn Abbas
menyuguhi beliau dalam satu nampan
berisikan minyak samin, mentega, dan
daging binatang dhabb, beliau makan
sebagian dari mentega dan minyak samin
dan tidak mengambil daging dhabb
karena jijik.5
Menurut Ibn Manzur yang dikutip
oleh Badri Khaeruman bahwa hadits
berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata al-
hadits jamaknya al-ahadits, al-haditsan,
dan al-hudtsan. Secara etimologis kata ini
memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid
(yang baru), lawan dari al-qadim (yang
lama), dan al-khabar (yang berarti
kabar/berita). Penjelasan Ibn Manzhur ini
dinyatakan pula oleh Mahmud Yunus yang
menyatakan bahwa kata al-hadits
mempunyai dua pengertian:
a. Jadid (baru) lawan dari qadim (lama)
jama’nya hidats dan hudatsa;
b. Khabar (berita) atau riwayat jamaknya
ahadits, hidtsan, dan hudtsan. 6
Ahli hadits berbeda-beda dalam
memberikan definisi sesuai dengan latar
belakang disiplin keilmuan masing-masing,
berikut adalah definisi hadits secara
terminologis menurut ahli hadits.
a) Mahmud Thahan dalam kitabnya Taisir
Musthalah al-Hadits mendefinisikan
hadits sebagai berikut:
ل ْوَق َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ﷲ ىﱠلَص يِبﱠنا ىَلِا َْفي ِضُا اَم
علِف ْاوةّفَص ْوَا ْري ِرْقَت ْوَا
4 Ma’mur Daud, Terjemah Shahih Muslim (Jakarta:
WIDJAYA,1986), 59.
5 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta:
AMZAH, 2012), 2-4.
6 Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), 60.
3. 3
“Sesuatu yang disandarkan kepada nabi
saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan maupun sifat beliau.”7
b) Menurut Muhammad Ajaj al-Khatib
yang dimaksud dengan hadits adalah:
او فعل او قول من ﷺ النبي عن اثر ما كل
اوخلقية الخلقية اوصفة تقرير
“Segala sesuatu yang diberitakan dari
nabi baik berupa perbuatan, ketetapan,
sifat-sifat maupun hal ihwal lainnya”8
c) Menurut jumhur muhadditsin yang
dikutip oleh Fatchur Rahman bahwa
definisi hadits adalah sebagai berikut:
تقريرا او فعﻼ او قوﻻ ﷺ النبي الى اضيف ما
نحوها او
“Sesuatu yg dinisbatkan kepada nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan
atau perbuatan atau ketetapan atau
sebagainya”.9
d) Sebagian muhadditsin juga berpendapat
bahwa definisi di atas merupakan
definisi hadits secara sempit. Menurut
mereka hadits mempunyai cakupan yang
lebih luas, tidak hanya terbatas pada apa
yang disandarkan kepada nabi (hadits
marfu’) melainkan termasuk juga
disandarkan kepada sahabat (hadits
mauquf) dan tabiin (hadits maqtu’).
Sebagaimana disebutkan oleh Al-Tirmisi
yang dikutip oleh Munzier Suparta
sebagai berikut:
ﷲ صلى اليه بالمرفوع يختص ﻻ الحديث ان
اضيف ما وهو بالموقوف جاء بل وسلم عليه
الى اضيف ما وهو والمقطوع الصحابى الى
التابعى
“Bahwasanya hadits itu bukan hanya
untuk sesuatu yang marfu’ yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada nabi saw,
7 Mahmud Thahan, Taisir Mustalah Al-Hadits
(Iskandariyah: Markaz Madani li Al-Dirasat, 1415
H), 16.
8 Muhammad Ajaj Al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-
Tadwin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1975), 19.
9 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadits
(Bandung: Al-Ma’arif, 1991), 6.
melainkan bisa juga untuk sesuatu yang
mauquf yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat, dan maqtu’ yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada
tabiin”10
Hal ini juga disampaikan oleh
Nuruddin ‘Itr seperti yang disampaikan
muhadditsin bahwa cakupan definisi
hadits juga melibatkan sahabat dan
tabiin.
ل ْوَق َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ﷲ ىﱠلَص يِبﱠنا ىَلِا َْفي ِضُا اَم
ْوَا ْري ِرْقَت ْوَا علِف ْاوخلقي وصفاو خلقي او
التابعى و الصحابي الى اضيف
“Sesuatu yang disandarkan kepada nabi
saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan, sifat diri atau sifat pribadi
atau yang dinisbatkan kepada sahabat
atau tabiin.”11
Dari definisi tersebut dapat
dimengerti bahwa hadits meliputi biografi
nabi saw, sifat-sifat yang melekat padanya,
baik berupa fisik maupun hal-hal yang
terkait dengan masalah psikis dan akhlak
keseharian Nabi, baik sebelum maupun
sesudah terutus sebagai Nabi.12
Di kalangan ulama hadits, hadits
merupakan sinonim sunnah, namun hadits
pada umumnya digunakan untuk istilah
sesuatu yang diriwayatkan dari rasulullah
setelah diutus menjadi nabi (bi’tsah).
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits
hanya terbatas ucapan dan perbuatan nabi,
sedangkan persetujuan dan sifat-sifatnya
tidak termasuk karena keduanya merupakan
ucapan dan perbuatan sahabat.13
B. Definisi Sunnah
Sunnah dipandang sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua. Sebenarnya
timbulnya sunnah atau hadits adalah
konsekuensi dari pelaksanaan tugas.
Rasulullah saw adalah menyampaikan
risalah dari Allah. Risalah Allah itu
disampaikan kepada pendengaran manusia
10 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), 3.
11 Nuruddin ’Itr, ’Ulumul Hadis, 14-15.
12 Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Musthalah
Hadits (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 13-14.
13 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 6.
4. 4
dengan jalan membcakan kalimat-kalimat
risalah itu.14
Sunnah secara bahasa (lughah)
bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji
atau tercela. Suatu tradisi yang sudah
dibiasakan dinamakan sunnah, walau tidak
baik. Jamaknya sunan. Sedangkan sunnah
secara istilah menurut muhadditsin ialah
segala yang dinukil dari nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
pengajaran sifat, perilaku, perjalanan hidup
nabi saw, sebelum diangkat menjadi rasul
maupun sesudahnya. Sebagian besar
muhadditsin menegaskan, bahwa sunnah
dalam arti ini menjadi muradif bagi kata
hadits.15
Badri Khaeruman mendefinisikan
sunnah secara bahasa sebagai
berikut; الطريقةمحمودةمدمومة او كانت yaitu
jalan yang dilalui, baik terpuji atau
tercela”16
, sedangkan menurut Abdul Majid
Khon sunnah secara bahasa banyak artinya,
di antaranya السيرالمتبعة ة yaitu suatu jalan
yang diikuti, baik dinilai perbuatan yang
baik atau perbuatan yang buruk.17
Sedangkan definisi sunnah secara
terminologis Badri Khaeruman mengutip
apa yang disampaikan oleh Muhammad
Ajaj Al-Khatib yaitu;
ﷺ النبي عن أثر ماتقرير او فعل او قول من
او البعثة قبل كان سواء سيرة او الخلقية اوصفة
بعدها
“Segala yang dinukilkan dari nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup, baik sebelum nabi diangkat menjadi
rasul maupun sesudahnya.”
Dalam kitabnya Nuruddin Thalib
menjelaskan bahwa definisi sunnah sama
dengan definisi hadits seperti yang ditulis
dalam kitabnya sebagai berikut:
14 Akmal Hawi, Dasar-dasar Studi Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 101.
15 Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT
Pustaka Riski Putra, 2009), 6-7.
16 Khaeruman, Ulum Al-Hadis, 64.
17 Khon, Ulumul Hadis, 5.
الطريقة اصلها السنة,فﻼن سنة على فﻼن تقول
للحديث مردفة وهي ،لطريقته تابعا كان اذا
بالالخ للنبي أضيف ما وهو اﻷول معنى.
“Sunnah artinya mengikuti, seperti
dikatakan “Fulan atas sunnah Fulan” jika
Fulan meniru cara Fulan. Adapun sunnah
merupakan sinonim hadits seperti makna
sebelumnya yaitu apa yang disandarkan
kepada Nabi dan seterusnya ” 18
Jika mengikuti pendapat Nuruddin
Thalib maka penegertian antara hadits dan
sunnah tidak ada bedanya. Adapun lafal
“sunnah” jika disebutkan dalam syara’
maka yang dimaksud adalah sesuatu yang
diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh
nabi saw, baik berupa perkataan atau
perbuatan. Oleh karena itu dalam dalil-dalil
syara’ disebut al-Kitab dan as-Sunnah yang
berarti al-Qur’an dan al-Hadits.19
Dengan demikian sunnah dan
hadits bersumber dan disandarkan kepada
nabi saw, hanya sunnah lebih spesifik dan
khusus karena merupakan soal-soal praktis
yang dicontohkan nabi saw, kemudian
berlaku menjadi tradisi di kalangan umat
Islam.
Dalam kitab Syarh al-Nukhbah dan
al-Taqriib yang dikutip oleh Nuruddin ‘Itr
bahwa dalam tradisi Islam, istilah sunnah
juga dipakai sebagai istilah bagi perilaku
yang Islami, seperti dikatakan: “si Fulan
sesuai dengan sunnah” atau “sunnah dan
bid’ah”. Menurut fuqaha’ kata sunnah
adalah istilah bagi segala tindakan yang
pelakunya akan diberi pahala dan orang
yang meninggalkan tidak diberi disiksa.
Menurut istilah sebagian muhadditsin
bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada nabi saw, secara
khusus. Sedangkan menurut yang lain
sunnah adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada sahabat dan tabiin.20
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sunnah menurut ulama
hadits lebih bersifat umum, yaitu meliputi
18 Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits
‘Ulumuhu wa Musthalahuhu (Beirut: Dar Al-Fikr,
1975), 19.
19 Al-Khatib, Ushul al-Hadits, 66.
20 ’Itr, ’Ulumul Hadis, 5.
5. 5
segala sesuatu yang datang dari nabi dalam
bentuk apapun, baik berkaitan dengan
hukum atau tidak.21
C. Definisi Khabar
Khabar menurut bahasa diartikan
sebagai al-naba’ ()النبأ yang berarti berita,
sedangkan menurut istilah Muhadditsin
khabar identik dengan hadits, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
(baik secara marfu’, mauquf, dan maqtu’),
baik berupa perkataan, perbuatan, atau sifat.
Secara umum ahli hadits mendefinisikan
khabar sebagai berikut:
او اصحابه من وغيره ﷺ النبي عن جاء ما
دونهم من او التبعين التابع او التابعين
“Suatu yang datang dari nabi saw, dan
selain nabi seperti sahabat atau tabiin atau
pengikut tabiin atau orang-orang
setelahnya”22
Menurut Ibnu Hajar yang dikutip
oleh Nuruddin Thalib bahwa di kalangan
ulama ada yang mendefinisikan khabar
sebagaimana hadits, ada pula yang
mengatakan bahwa hadits khusus hanya
disandarkan kepada nabi saw, sedangakan
khabar disandarkan kepada selain nabi.
Orang yang berkecimpung dalam dunia
hadits disebut muhaddits, sedangkan orang
yang berkecimpung dalam urusan tarikh
atau sejarah dan sebgainya disebut
ikhbariy.23
Menurut muhadditsin berpendapat
bahwa definisi Khabar bersinonim dengan
definisi Hadits dimana hadits adalah
sesuatu yang berasal dari nabi Muhammad
saw, sedangkan Khabar adalah sesuatu
yang berasal dari selain nabi saw dan
khabar lebih umum daripada hadits, karena
hadits adalah sesuatu yang berasal dari nabi
Muhammad saw, sedangkan khabar adalah
sesuatu yang berasal dari rasulullah saw
dan dari selain beliau.24
21 Khon, Ulumul Hadis, 9.
22 Ibid., 10.
23 Thalib, Bayan ma li al-Hadits, 29.
24phttp://academycref.com/perbedaan-sunnah-
hadist-khabar-dan-atsar/ (diakses pada 26 Februari
2020).
Secara terminologis ulama hadits
mengatakan bahwa khabar adalah sinonim
dari hadits yang artinya baik hadits dan
khabar memiliki arti yang sama yaitu
berita, baik berita yang datang dari Nabi
atau dari yang lain seperti sahabat atau
tabiin.25
Mayoritas ulama melihat hadits
lebih khusus dimana hanya berasal dari
Nabi, sedangkan khabar lebih luas baik
datangnya dari Nabi dan dari yang lain
termasuk berita umat-umat terdahulu, para
nabi, dan seterusnya. Khabar sering
digunakan bahkan kebiasaan orang sehari-
hari menyampaikan suatu berita termasuk
khabar.26
D. Definisi Atsar
Secara etimologi atsar diartikan
sebagai peninggalan atau bekas sesuatu,
maksudnya peninggalan atau bekas nabi
(hadits). Atau bisa diartikan sebagai yang
dipindahkan dari nabi seperti doa yang
disumberkan dari Nabi. Secara istilah atsar
berarti segala sesuatu yang diriwayatkan
daripara sahabat dan juga dapat disandarkan
kepada nabi. Atsar merupakan istilah bagi
segala yang disandarkan kepada para
sahabat atau tabiin, tapi terkadang juga
digunakan untuk hadits yang disandarkan
kepada nabi Muhammad Saw. apabila
berkait.27
Menurut Ibn Faris (w. 395 H.), ada
tiga makna dasar dari atsar; yaitu
mendahulukan sesuatu, penyebutan sesuatu,
dan gambaran sisa sesuatu. Selain itu, kata
atsar dapat juga berarti khabar. Secara
terminologis, atsar juga dianggap sinonim
dengan hadits, sunnah, dan khabar.
Mayoritas ulama hadits mengartikan atsar
sebagai ‘sesuatu yang disandarkan kepada
nabi saw, sahabat, ataupun tibiin’.
Sementara al-Nawāwī (w. 676 H.),
menyebutkan bahwa atsar dalam
terminologi ulama salaf dan mayoritas
ulama khalaf, adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari nabi saw (marfū’)
25 Khaeruman, Ulum Al-Hadis, 67.
26 Khon, Ulumul Hadis, 10.
27https://www.academia.edu/38110245/Kelompok_
1_Defenisi_Hadis_Sunnah_Khabar_dan_Atsar
(diakses 26 Februari 2020).
6. 6
maupun dari sahabat (mawqūf).28
Menurut
sebagian ulama hadits, ada distingsi antara
terma hadits dan atsar. Cakupan hadits
hanyalah riwayat-riwayat marfū’ saja.
Sedangkan atsar, cakupannya adalah
riwayat-riwayat mawqūf dan maqthū’.
Menurut Abdul Majid Khon atsar
dari segi bahasa adalah الشيئ بقية او البقية
yang artinya peniggalan atau bekas sesuatu,
maksudnya peninggalan atau bekas nabi,
karena hadits merupakan peninggalan atau
bekas nabi. Sedangkan atsar juga bisa
diartikan المنقول yang berarti dipindahkan,
seperti kalimat المأثور الدعاء artinya doa
yang disumberkan dari Nabi. Sedangkan
menurut istilah ada dua pendapat. Pertama,
atsar adalah sinonim hadits. Kedua, atsar
adalah sesuatu yang disandarkan pada
sahabat (mauquf) dan tabiin (maqtu’), baik
perkataan atau perbuatan.29
Menurut al-Qasimi yang dikutip
oleh Munzier Suparta bahwa atsar dalam
pendekatan bahasa sama pula artinya
dengan khabar, hadits, dan sunnah.
Sedangkan secara istilah terjadi perbedaan
pendapat di antara ulama hadits, di
antaranya yaitu;30
كﻼم على اطﻼقه ويجز الصحابة عن روي ما
ايضا النبي
“Sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat
dan boleh jadi disandarkan kepada nabi
saw”
Sedangkan menurut Badri
Khaeruman kata atsar akan lebih jelas
pengertiannya apabila diberi keterangan di
belakangnya, seperti atsar Nabi, atsar
sahabat, atsar tabiin, dan sebagainya. Akan
tetapi dalam istilah ilmu hadits, kata atsar
diidentikan kepada yang diterima dari
selain nabi, yaitu sahabat dan tabiin.31
Menurut ulama fikih Khurasan,
sesuatu yang bersumber dari Nabi saw,
disebut sebagai khabar, dan yang berasal
dari sahabat sebagai atsar. Jadi, pengertian
28 Dzikri Nirwana, “Rekonsepsi Hadits dalam
Wacana Studi Islam [Telaah Terminologis Hadits,
Sunnah, Khabar, dan Atsar],” Edu Islamika, 02, 4 (2
September 2012), 303.
29 Khon, Ulumul Hadis, 11.
30 Suparta, Ilmu Hadis, 17.
31 Khaeruman, Ulum Al-Hadis, 67.
atsar hanya terbatas pada sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat (mawqūf) dan
bukan tabiin. Namun, secara tidak
langsung, pendapat tentang distingsi hadits
dan atsar tersebut, telah disanggah oleh
beberapa sarjana hadits kontemporer.
Shubhī al-Shālih menyatakan bahwa kata
atsar, sebenarnya sinonim dengan kata
hadits, sunnah, maupun khabar. Hal ini
dapat dilihat misalnya dalam Tadrīb al-
Rāwī karya al-Suyūthī (w. 911 H.), yang
menyebutkan ungkapan “atsartu al-hadīts
artinya “saya telah meriwayatkan hadits”.
Selain itu, ahli hadits dapat disebut sebagai
atsarī, karena penisbahannya kepada kata
atsar.32
Dalam redaksi yang lain seperti
dikemukakan ‘Alī Muhammad Nashr
bahwa pendapat yang paling kuat, adalah
yang menganggap hadits dan atsar
sinonim, dalam arti keduanya mencakup
ketiga bentuk riwayat; marfū’, mawqūf, dan
maqthū’. Hal ini dibuktikan dengan
keberadaan kitab-kitab hadits Muhadditsūn
yang memuat seluruh riwayat-riwayat, baik
yang berasal nabi saw, maupun para
sahabat dan tabiin.33
E. Kedudukan dan Fungsi Hadits
a. Kedudukan hadits
Dalam kedudukannya, hadits
adalah sebagai penjelas, hadits kadang-
kadang memperluas hukum dalam al-
Qur’an atau menetapkan sendiri hukum
di luar apa yang ditentukan Allah dalam
al-Quran.
Seluruh umat Islam, tanpa
kecuali telah sepakat bahwa hadits
merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Ia menempati kedudukannya yang
sangat penting setelah al-Qur’an.
Kewajiban mengikuti hadits bagi umat
Islam sama wajibnya dengan mengikuti
al-Qur’an. Hal ini karena hadits
mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur’an.
32 “Rekonsepsi Hadits dalam Wacana Studi Islam
[Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan
Atsar].”304.
33 Ahmad Farīd, Nazhm al-Durar fī Mushthalah Ahl
al-Atsar (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, 1415 H.),
19.
7. 7
Berdasarkan hal tersebut,
kedudukan hadits dalam Islam tidak
dapat diragukan karena terdapat
penegasan yang banyak, baik didalam al-
Qur’an maupun dalam hadits nabi
Muhammad saw. Jumhur ulama
menyatakan bahwa hadits menempati
urutan kedua dalam Islam setelah al-
Qur’an. Dalam al-Quran banyak sekali
ayat-ayat yang memerintahkan kita
untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hal tersebut dapat kita lihat dari
beberapa firman Allah QS. Al-Nisa’: 59
sebagai berikut.
ِيذﱠال اَهﱡيَأ اَيَلوُس ﱠالر واُعيِطَأ َو َ ﱠ واُعيِطَأ واُنَمآ َن
ۖ ْمُكْنِم ِرْمَ ْاﻷ يِلوُأ َوٍءَْيش يِف ْمُتْعََازنَت ْنِإَف
ِ ﱠ اِب َونُنِمْؤُت ْمُتْنُك ْنِإ ِلوُس ﱠالر َو ِ ﱠ ىَلِإ ُهﱡودُرَف
ۚ ِر ِخ ْاﻵ ِم ْوَيْال َوَٰذًيﻼِوَْأت ُنَسْحَأ َو ٌْريَخ َِكل
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya
(sunnah), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” 34
Hal ini juga terdapat pada dalil
hadits yang menerangkan bahwa hadits
adalah sumber hukum Islam, yaitu:
يِنَثﱠدَحْنَعكِلاَمُهﱠنَأُهَغَلَبﱠنَأَلوُس َرِﷲصلى
وسلم عليه ﷲقالْنَل ِْني َرْمَأ ْمُكْيِف ُتْك ََرت
ﱡل َِضتْمُتْكﱠسَمَت اَم ا ْواَمِهِبَةﱠنُس َو ِﷲ ََابتِكنبيه
"Telah menceritakan kepadaku dari
Malik telah sampai kepadanya bahwa
Rasulullah bersabda: "Telah aku
tinggalkan untuk kalian, dua perkara
yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan
34 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah
(Jakarta: Sygma, 2009), 124.
keduanya, kitabullah dan sunnah nabi-
Nya."35
Hadits sebagai dasar hukum
agama juga telah disepakati oleh ijma’
ulama dimana banyak peristiwa yang
menunjukkan terhadap kesepakatan
Menggunakan hadits sebagai sumber
hukum Islam, antara lain seperti
peristiwa berikut;36
a) Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi
khalifah, lantas Abu Bakar berkata:
“Sungguh aku tidak meninggalkan
apapun sesuatu yang diamalkan
rasulullah, sesungguhnya aku takut
tersesat apabila meninggalkan
perintahnya.”
b) Pada saat Umar Ibn Khattab berada di
depan Hajar Aswad, ia berkata “Aku
tahu bahwa engkau adalah sebuah
batu, jika saja Rasulullah tidak
menciummu maka aku tidak akan
melakukannya.”
c) Diceritakan dari Sa’ad Ibn Musayyab
bahwa Utsman Ibn Affan berkata
“Saya duduk sebagaimana duduknya
Rasulullah, saya makan sebagaimana
makannya Rasulullah, dan saya shalat
sebagaimana shalatnya Rasulullah”.
b. Fungsi Hadits
Pada dasarnya hadist memiliki
fungsi utama menegaskan, memperjelas
dan menguatkan hukum-hukum dan hal
lain yang ada di al-Qur’an. Para ulama
sepakat setiap umat Islam diwajibkan
untuk mengikuti perintah yang terdapat
pada hadits shahih. Dengan berpegang
teguh kepada al-Qur’an dan al-Hadist,
niscaya hidup kita dijamin tidak akan
tersesat. Hadits memiliki peranan
penting dalam menjelaskan (bayan)
firman-firman Allah swt didalam al-
Qur’an. Secara lebih rinci dijelaskan
fungsi-fungsi hadist dalam Islam,
sebagai berikut:37
35 Malik bin Anas, al-Muwatta’ (Beirut: Dar al-
Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1985), 899.
36 Abu ‘Abdillah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Juz I (Beirut: Al-Maktab Al-
Islamiyah, tth.), 164.
37 Idri, Studi Hadis, 25.
8. 8
a) Bayan Al-Taqrir
Hadits menjelaskan ayat-ayat
yang kurang jelas di dalam alpQur’an,
misalnya firman Allah dalam surat Al-
Baqarah: 110:
“ Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat” 38
Ayat di atas menjelaskan
tentang kewajiban shalat dan zakat
kemudian dikuatkan dan diperjelas oleh
sabda nabi saw:
ﱠدَح يِبَأ َانَثﱠدَح ٍذاَعُم ُْنب ِ ﱠ ُدْيَبُع َانَثﱠدَحٌم ِاصَع َانَث
َرَمُع ِْنب ِ ﱠ ِدْبَع ِْنب ِدْي َز ِْنب ِدﱠمَحُم ُْنبا َوُه َو
ىﱠلَص ِ ﱠ ُلوُسَر َلاَق ِ ﱠ ُدْبَع َلاَق َالَق ِهيِبَأ ْنَع
ِةَداَهَش ٍسَْمخ ىَلَع ُم َْﻼسِ ْاﻹ َيِنُب َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ُ ﱠ
ﱠنَأ َو ُ ﱠ ﱠﻻِإ َهَلِإ َﻻ ْنَأُهُلوُسَر َو ُهُدْبَع ًادﱠمَحُم
ِم ْوَص َو ِتْيَبْال ِّجَح َو ِةاَكﱠالز َِاءتيِإ َو ِة َﻼﱠصال ِامَقِإ َو
َانَضَم َر
“Telah menceritakan kepada kami
Ubaidullah bin Mu'adz telah
menceritakan kepada kami bapakku
telah menceritakan kepada kami Ashim -
yaitu Ibnu Muhammad bin Zaid bin
Abdullah bin Umar- dari bapaknya dia
berkata; Abdullah berkata, "Rasulullah
bersabda: "Islam dibangun atas lima
dasar: Yaitu persaksian bahwa tidak ada
tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Allah, bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul-Nya,
mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji ke Baitullah, dan berpuasa
Ramadlan."39
b) Bayan Al-Tasyri’
Hadist sebagai bayan al-tasyri’
ialah sebagai pemberi kepastian hukum
atau ajaran-ajaran Islam yang tidak
dijelaskan dalam Al-Qur’an. Biasanya
al-Qur’an hanya menerangkan pokok-
pokoknya saja. Sebagaimana contohnya
hadist dibawah ini:
38 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah
(Jakarta: Sygma, 2009), 28.
39 Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Jilid I (Beirut: Dar Al-Fikr, tth.), 79.
َةَماَسُأ ُوبَأ َانَثﱠدَح َةَبْيَش يِبَأ ُْنب ِرْكَب ُوبَأ َانَثﱠدَح
ْنَع َين ِيرِس ِْنب ِدﱠمَحُم ْنَع َﱠانسَح ِْنب َِامشِه ْنَع
ِّيِبﱠنال ِنَع َةَْريَرُه يِبَأَلاَق َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ﱠ ىﱠلَص
اَهِتَلَاخ ىَلَع َﻻ َو اَهِتﱠمَع ىَلَع ُةَأ ْرَمْال ُحَكْنُت َﻻ.
“Kami diceritakan oleh Abu Bakr bin
Abi Syaibah, kami diceritakan oleh Abu
Usamah, dari Hisyam bin Hassan, dari
Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah
dari nabi saw., beliau bersabda:
“Janganlah seorang perempuan dimadu
dengan bibinya (dari pihak bapak) dan
bibinya (dari pihak ibu).”40
Al-Qur’an tidak menjelaskan
tentang keharaman menikahi wanita
bersama bibinya serta dengan saudara
kandungnya. Memang dalam al-Qur’an
dijelaskan beberapa kerabat (keluarga)
yang dilarang dinikahi seperti ibu
kandung, saudara, anak, dan bibi. Tapi
tidak ada larangan mepoligami seorang
perempuan dengan bibinya dari pihak
bapak atau ibu. Karena tidak terdapat
penjelasan khusus didalam al-Quran
maka hadits menetapkan sendiri
hukumnya.41
c) Bayan Al-Tafsir
Hadits sebagai penjelas (tafsir)
terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah
yang terbanyak pada umumnya.
Penjelasan yang diberikan dibagi
menjadi tiga macam yaitu;42
1. Tafsir Al-Mujmal
Hadits memberikan penjelasan
terhadap ayat-ayat al-qur’an yang
bersifat global baik menyangkut masalah
ibadah maupun hukum. Misalnya
perintah shalat yang terdapat pada ayat-
ayat al-Qur’an yang mana hanya
memerintahkan untuk mendirikan shalat,
sedangkan caranya tidak disebut secara
rinci dan jelas, berapa rakaat, waktunya
kapan, dan caranya bagaimana, sehingga
dengan ayat yang bersifat global tersebut
kemudian dirinci oleh hadits nabi,
seperti:
40 Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari (Semarang: Toha Putera, tth.), 1965.
41 Idri, Studi Hadis, 30.
42 Khon, Ulumul Hadis, 21.
9. 9
ﱠدَح َلاَق ٍديِعَس ُْنب ُةَبْيَتُق َانَثﱠدَحُْنب ُوبُقْعَي َانَث
ٍدْبَع ِْنب ِ ﱠ ِدْبَع ِْنب ِدﱠمَحُم ِْنب ِنَمْحﱠالر ِدْبَع
ُوبَأ َانَثﱠدَح َلاَق ﱡيِنا َرَدْنَكْسِ ْاﻹ ﱡيِش َرُقْال ﱡي ِارَقْال
ٍدْعَس َْنب َلْهَس ا َْوتَأ ًاﻻَج ِر ﱠنَأ ٍَارنِيد ُْنب ِم ِازَح
ِف ا ْو ََرتْام ْدَق َو ﱠيِدِعاﱠسالُهُدوُع ﱠمِم ِرَبْنِمْال ي
اﱠمِم ُف ِْرعَ َﻷ يِّنِإ ِ ﱠ َو َلاَقَف َكِلَذ ْنَع ُهوُلَأَسَف
ٍم ْوَي َل ﱠوَأ َو َع ِض ُو ٍم ْوَي َل ﱠوَأ ُهُتْيَأ َر ْدَقَل َو َوُه
َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ُ ﱠ ىﱠلَص ِ ﱠ ُلوُس َر ِهْيَلَع َسَلَج
ﱠلَص ِ ﱠ ُلوُس َر َلَس ْرَأىَلِإ َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ُ ﱠ ى
ي ِرُم ٌلْهَس َاهاﱠمَس ْدَق ِارَصْنَ ْاﻷ ْنِم ٍةَأ َرْما َةَن َﻼُف
ُسِلْجَأ ًادا َْوعَأ يِل َلَمْعَي ْنَأ َارﱠجﱠنال ِكَم َﻼُغ
ْنِم اَهَلِمَعَف ُهْت َرَمَأَف َاسﱠنال ُتْمﱠلَك اَذِإ ﱠنِهْيَلَع
َج ﱠمُث ِةَبَاغْال ِاءَف ْرَطِلوُس َر ىَلِإ ْتَلَس ْرَأَف اَهِب َءا
َاه ْتَع ِض ُوَف اَهِب َرَمَأَف َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ُ ﱠ ىﱠلَص ِ ﱠ
َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ُ ﱠ ىﱠلَص ِ ﱠ َُولس َر ُتْيَأ َر ﱠمُث َانُه
َوُه َو َعَك َر ﱠمُث اَهْيَلَع َوُه َو َﱠربَك َو اَهْيَلَع ىﱠلَص
ُث اَهْيَلَعِرَبْنِمْال ِلْصَأ يِف َدَجَسَف ى َرَقْهَقْال َل ََزن ﱠم
اَهﱡيَأ َلاَقَف ِاسﱠنال ىَلَع َلَبْقَأ َغ َرَف اﱠمَلَف َداَع ﱠمُث
واُمﱠلَعَتِل َو واﱡمَتَْأتِل اَذَه ُتْعَنَص اَمﱠنِإ ُاسﱠنال
يِت َﻼَص
“Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah bin Sa'id berkata, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub bin
'Abdurrahman bin Muhammad bin
'Abdullah bin 'Abdul Qari Al Qurasyi Al
Iskandarani berkata, telah menceritakan
kepada kami Abu Hazim bin Dinar
bahwa ada orang-orang mendatangi Sahl
bin Sa'd As Sa'idi yang berdebat tentang
mimbar dan bahan membuatnya?
Mereka menanyakan hal itu kepadanya.
Sahl bin Sa'd As Sa'idi lalu berkata,
"Demi Allah, akulah orang yang paling
mengerti tentang masalah ini. Sungguh
aku telah melihat hari pertama mimbar
tersebut dipasang dan hari saat
Rasulullah duduk di atasnya. Rasulullah
mengutus orang untuk menemui seorang
wanita Anshar, yang namanya sudah
disebutkan oleh Sahl bin Sa'd As Sa'idi ,
lalu Sahl bin Sa'd As Sa'idi berkata,
"Perintahkanlah budak lelakimu yang
tukang kayu itu untuk membuat mimbar
bertangga, sehingga saat berbicara
dengan orang banyak aku bisa duduk di
atasnya." Maka kemudian wanita itu
memerintahkan budak lelakinya
membuat mimbar yang terbuat dari
batang kayu hutan. Setelah diberikan
kepada wanita itu, lalu itu mengirimnya
untuk Rasulullah. Maka Beliau
memerintahkan orang untuk meletakkan
mimbar tersebut di sini. Lalu aku melihat
Rasulullah shalat diatasnya. Beliau
bertakbir dalam posisi di atas mimbar
lalu rukuk dalam posisi masih di atas
mimbar. Kemudian Beliau turun dengan
mundur ke belakang, lalu sujud di dasar
mimbar, kemudian mengulangi lagi
(hingga shalat selesai). Setelah selesai,
beliau menghadap kepada orang banyak
lalu bersabda: "Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku berbuat seperti tadi
agar kalian mengikuti dan agar kalian
dapat mengambil pelajaran tentang tata
cara shalatku."43
Maka dari itu shalat yang
diperintahkan oleh Allah dalam al-
Qur’an adalah shalat sebagaimana yang
dicontohkan oleh rasulullah.
2. Bayan Nasakh
Secara etimologi, al-nasakh
memiliki banyak arti diantaranya al-
taqyir (mengubah), atau al-itbal
(membatalkan), termasuk kata at-tahwil
(memindahkan), atau izalah
(menghilangkan). Ulama mendefinisikan
bayan al-nasakh berarti ketentuan yang
datang kemudian dapat menghapuskan
ketentuan yang terdahulu, sebab
ketentuan yang baru dianggap lebih
cocok dengan lingkungannya dan lebih
luas. 44
Salah satu contohnya yakni
tentang wasiat:
ِبْيَعُش ُْنب ُدﱠمَحُم َانَثﱠدَح ٍارﱠمَع ُْنب ُمَاشِه َانَثﱠدَح
ٍرِباَج ِْنب َدي ِزَي ُْنب ِنَمْحﱠالر ُدْبَع َانَثﱠدَح َُوربَاش ِْنب
َعِْنب َِسنَأ ْنَع ُهَثﱠدَح ُهﱠنَأ ٍديِعَس يِبَأ ِْنب ِديِعَس ْن
ُ ﱠ ىﱠلَص ِ ﱠ ِولُس َر ِةَقَان َتْحَتَل يِّنِإ َلاَق ٍِكلاَم
ﱠنِإ ُلوُقَي ُهُتْعِمَسَف اَهُباَعُل ﱠيَلَع ُلِيسَي َمﱠلَس َو ِهْيَلَع
َﻻَأ ُهﱠقَح ٍّقَح ِيذ ﱠلُك ىَطْعَأ ْدَق َ ﱠَةﱠي ِص َو َﻻ
ٍث ِار َوِل
“Telah menceritakan kepada kami
Hisyam bin 'Ammar; telah menceritakan
43 Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,417.
44phttps://www.academia.edu/37511924/Makalah_
Fungsi_Kedudukan_Hadist.doc (diaskes 26 Februari
2020).
10. 10
kepada kami Muhammad bin Syu'aib bin
Syabur; telah menceritakan kepada
kami Abdurrahman bin Yazid bin
Jabir dari Sa'id bin Abu Sa'id bahwa ia
menceritakan dari Anas bin Malik, ia
berkata; "Sesungguhnya aku sedang
berada di bawah unta Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dimana air
liurnya mengalir mengenaiku. Aku
mendengar Rasulullah bersabda:
'Sesungguhnya Allah telah memberi
masing-masing orang akan haknya,
ingatlah tidak ada harta wasiat bagi ahli
waris.” 45
Hadits ini menjelaskan bahwa
seseorang yang ingin berwasiat dilarang
berwasiat kepada ahli warisnya. Hal
mana hadist tersebut menasakh Al-
Baqarah:180 yaitu:
َكََرت ْنِإ ُت ْوَمْال ُمُكَدَحَأ َرَضَح اَذِإ ْمُكْيَلَع َبِتُك
َينِب َرْقَ ْاﻷ َو ِْنيَدِلا َوْلِل ُﱠةي ِص َوْال اًْريَخِوفُرْعَمْالِبۖ◌
َِينقﱠتُمْال ىَلَع اقَح
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabat secara ma’ruf.
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa”46
3. Takhshis ‘Am
Takhshis ‘am adalah hadits
mengkhuskan ayat-ayat yang umum
dalam al-Qu’an, karena al-Qur’an
memuat ayat-ayat yang bersifat umum.
Sebagian ulama menyebutnya dengan
bayan ‘am, seperti contoh dalam QS. Al-
Nisa’: 11 yaitu:
ُِوصيۖ ْمُكِد َﻻ ْوَأ يِف ُ ﱠ ُمُكيِّﻆَح ُلْثِم ِرَكﱠذلِل
ِْنيَيَثْنُ ْاﻷ
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu
yaitu bagian seorang anak lelaki sama
45 Abu Abdullah ibn Zaid ibn Majah, Sunan Ibn
Majah, Juz II (Beirut: Dar Al-Fikr, tth.), 905.
46 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an, 40.
dengan bagian dua orang anak
perempuan”47
Ayat ini menjelaskan tentang
bagaimana warisan harus dibagi, ayat
tersebut tidak terdapat kekhususan
ataupun pengecualian, kemudian
dikhususkan oleh hadits nabi yaitu:
ُْثيﱠالل َانَأَبْنَأ ﱡي ِرْصِمْال ٍحْمُر ُْنب ُدﱠمَحُم َانَثﱠدَح
ِْنبا ْنَع َة َو ْرَف يِبَأ ِْنب َقَحْسِإ ْنَع ٍدْعَس ُْنب
َلوُس َر ﱠنَأ َة َْري َرُه يِبَأ ْنَع ٍدْيَمُح ْنَع ٍباَهِش
ِتاَقْال َالَق َمﱠلَس َو ِهْيَلَع ُ ﱠ ىﱠلَص ِ ﱠُث ِرَي َﻻ ُل
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Rumh Al Mishri, telah
memberitakan kepada kami Al-Laits bin
Sa'ad dari Ishaq bin Abu Farwah dari
Ibnu Syihab dari Humaid dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Rasulullah
bersabda: "Pembunuh tidak berhak
mendapatkan harta warisan."48
Dengan adanya hadits ini yang
semula didalam al-Qur’an dijelaskan
selama terhitung sebagai ahli waris maka
akan mendapat bagian menjadi tidak
dapat bagian karena membunuh pewaris.
III. Kesimpulan
1. Adapun kesimpulan yang dapat
dipahami dari definisi hadits adalah
Segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi baik ucapan, perbuatan, ketetapan,
atau sifat nabi. Adapula yang menyebut
bahwa hadits lebih luas karna dapat
disandarkan kepada sahabat dan tabiin.
Sedangkan definisi sunnah mayoritas
mengatakan bahwa sama saja dengan
hadits karna disandarkan kepada nabi.
Adapun yang membedakan adalah
karena sunnah bersifat praktis yang
nantinya bisa berkembang menjadi adat.
Adapun khabar sinonim dengan hadits;
yang berarti sama dengan hadits, sama-
sama berita. Hanya saja khabar adalah
perkataan, tindakan, dan ketetapan
seseorang selain Nabi Muhammad.
Sedangkan hadits adalah perkataan,
tindakan, dan ketetapan Nabi
Muhammad. Oleh karena itu, bisa
47 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an, 112.
48 Majah, Sunan Ibn Majah, 916.
11. 11
dikatakan bahwa setiap hadits dapat
disebut juga dengan khabar. Namun,
setiap khabar belum tentu dapat disebut
dengan hadits. pengertian atsar menurut
istilah ada dua pendapat. Pertama, atsar
adalah sinonim hadits. Kedua, atsar
adalah sesuatu yang disandarkan pada
sahabat (mauquf) dan tabiin (maqtu’),
baik perkataan atau perbuatan.
2. Hadits adalah sebagai sumber hukum
dan dapat dijadikan hujjah atau dalil
diakui dalam al-Qur’an, hadits, maupun
ijma’ ulama. Disamping itu hadits
memiliki fungsi sebagai bayan al-taqrir
(penjelas al-Qur’an), bayan al-tafsir
(penafsir al-Qur’an), yang dibagi
menjadi tiga (takhshis ‘am, tafsir
nasakh, bayan mujmal), dan bayan
tasyri’ yang mana memberi kepastian
hukum dikala tidak ada ayat al-Qur’an
yang menjelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teunku Muhammad Hasby.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Semarang: PT Pustaka Riski Putra,
2009.
Depertemen Agama RI. al-Qur’an dan
Terjemah. Jakarta: Sygma, 2009.
Dzikri Nirwana. “Rekonsepsi Hadits dalam
Wacana Studi Islam [Telaah
Terminologis Hadits, Sunnah,
Khabar, dan Atsar].” Edu Islamika,
02, 4 (2 September 2012).
Hawi, Akmal. Dasar-dasar Studi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2013.
’Itr, Nuruddin. ’Ulumul Hadis.
Diterjemahkan oleh Mujiyo.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2012.
Khaeruman, Badri. Ulum Al-Hadis.
Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta:
AMZAH, 2012.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Zamzami, Mohammad Subhan. “Term
Hadith dalam Al-Qur’an (Studi
Kitab Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil Ay
al-Qur’an Karya Muhammad ibn
Jarir al-Thabari 224-310 H/839-923
M).” Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel, 2019.
Majah, Abu Abdullah ibn Zaid ibn. Sunan
Ibn Majah. Juz II. Beirut: Dar Al-
Fikr, tth.
Al-Hajjaj, Abu Husain Muslim bin. Shahih
Muslim. Beirut: Dar al Fikr, tth.
Thalib, Nuruddin. Bayan ma li al-Hadits
min Musthalah bi as-Syarh
Mandhumat Ibn Farah. Beirut: Dar
Al-Basyair Al-Islamiyah, 2006.
Thahan, Mahmud. Taisir Mustalah Al-
Hadits. Iskandariyah: Markaz
Madani li Al-Dirasat, 1415 H.
Nasir, Ridwan. Ulumul Hadis dan
Musthalah Hadits, Jombang: Darul
Hikmah, 2008.
https://www.academia.edu/38110245/Kelo
mpok_1_Defenisi_Hadis_Sunnah_
Khabar_dan_Atsar
https://www.academia.edu/37511924/Maka
lah_Fungsi_Kedudukan_Hadist.doc
http://academycref.com/perbedaan-sunnah-
hadist-khabar-dan-atsar/
Hanbal, Abu ‘Abdillah Ahmad Ibn. Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Juz I. Beirut:
Al-Maktab Al-Islamiyah, tth.
Al-Khatib, Muhammad Ajaj. as-Sunnah
Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah
Wahbah, 1975.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Shahih
Al-Bukhari. Semarang: Toha Putera,
tth.
Ahmad Farīd, Nazhm al-Durar fī
Mushthalah Ahl al-Atsar. Kairo:
Maktabah Ibn Taymiyah, 1415 H.