Dokumen tersebut membahas tentang hukum Arab pra-Islam yang mencakup empat poin utama, yaitu: 1) berbagai jenis perkawinan yang berlaku pada masa itu, 2) praktik riba, 3) adopsi anak, dan 4) sistem warisan berdasarkan kekerabatan.
2. A. PENDAHULUAN
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT
pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun
ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6
Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin
Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT
untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia,
yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak
seluruh system social, terutama system hukum yang ada
pada masyarakat Jahiliyyah Muhammad Ridho,
Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama,
cet. V (Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H)
hlm. 59.
3. Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah
suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek
kehidupan setiap Muslim, dan meliputi materi-materi-
materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual
keagamaan. Melalui penelitian sejarah yang empiris,
Joseph Schacht menyebut Islamic Law sebagai ringkasan
dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam yang
sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, cet.
II (Oxford: Oxford University Press, 1964), hlm. 1.
S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an
Essay in Exegesis" dalam Jurnal The Muslim World, vol. L
(Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960),
hlm. 23. Schacht, An Introduction…, hlm. 1.
4. B. Sejarah Arab Pra-Islam
Sejarah penetapan hukum Islam tidak terlepas dari
pengaruh kondisi sosio-kultural masyarakat Arab
Jahiliyah. Masyarakat Arab Jahiliyah adalah
masyarakat yang memiliki ketaatan yang tinggi
terhadap kepercayaan nenek moyang, berani, gemar
sastra dan jarang melanggar janji.Pola kehidupan
masyarakat Arab pada masa itu dengan cara
berpindah-pindah (nomaden).
5. Kenyataan ini membuat suku-suku di Arab
membentuk suatu perkumpulan yang lebih besar.
Mereka juga menanamkan rasa kesetiaan pada kaum
dan sekutu-sekutunya. Hanya suku yang dapat
menjamin keamanan anggotanya.
Doktrin ini dinamai dengan muru’ah. Muruah
diartikan sebagai keberanian dalam berperang,
pengabdian terhadap tugas untuk melakukan
pembalasan kesalahan yang dilakukan terhadap suku,
melindungi para anggota yang lemah dan menghadapi
yang kuat.
Doktrin ini dijaga dari generasi ke generasi, setiap
anggota wajib membela saudara sesuku dan taat
terhadap pemimpin.
6. Dibidang keagamaan, orang Arab Pra-Islam memiliki
beberapa tradisi menyembah tuhan. Ada yang
menyembah matahari, bulan, bintang, dan melalui
perantara berhala. Di antara berhala-berhala yang
paling dikenal yaitu Manata, Lata, dan Uzza.
Orang-orang Arab yang menyembah berhala
sebenarnya telah mengenal Allah, sayangnya berhala-
berhala tersebut dijadikan sebagai keluarga Allah dan
wajib pula untuk di sembah. Setiap tahunnya,
masyarakat Arab Jahiliyah melakukan ibadan
mengelilingi ka’bah dengan cara mereka masing.
7. Dibidang ekonomi, masyarakat Arab Jahiliyah
mengandalkan penghasilannya dari sektor
perdagangan. Pedagang yang memiliki modal besar
akan lebih menguasai pasar dari pada pedagang yang
bermodal kecil. Sering terjadi tindakan diskriminasi.
Hak-hak rakyat miskin tidak pernah diperhatikan
bahkan mereka sering kali ditindas, harta anak-anak
yatim dipergunakan dengan sewenang-wenang, dan
masih banyak sisi gelap kondisi masasyarakat Arab
Pra-Islam.
8. Secara umum, periode Makkah pra-Islam disebut
sebagai periode Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan
barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K.
Hitti, masyarakat Makkah pra-Islam adalah
masyarakat yang tidak memiliki takdir keistimewaan
tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi
tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired
prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang
terwahyukan (no revealed book) dan menjadi
pedoman hidup.
9. Sehubungan dengan sejarah kemanusiaan, hukum
Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada kelompok
tertentu yang dapat disebut memiliki karakter rasial, feudal
dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah
bisa ditunjukkan dengan adanya perasaan kebangsaan
yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan
('ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-
orang yang berada dalam komunitas kesukuan (qabilah)
yang sama.
10. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal istilah al-
'ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang berarti
kecenderungan seseorang untuk membela dengan
mati-matian terhadap orang-orang yang berada di
dalam qabilah-nya dan dalam qabilah lain yang masuk
ke dalam perlindungan qabilah-nya. Benar atau salah
posisi seseorang di dalam hukum, asal dia dinilai
sebagai inner group-nya, pasti akan selalu dibela mati-
matian ketika berhadapan dengan orang yang dinilai
sebagai outer group-nya.
11. 2. Karakter Feudal
Karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan
adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum
bangsawan di atas kaum miskin dan lemah.
Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab
Makkah pada waktu itu yang mengutamakan kesejahteraan
materi menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan
bangsawan di atas golongan miskin dan lemah.
Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang
tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang
makmur dan sejahtera di Makkah, kebalikan dari kaum miskin
dan lemah.
12. Sistem hukum dan sejarah perbudakan di kalangan
Arab pra-Islam merupakan bukti kuat adanya karakter
feudal pada hukum Jahiliyyah masyarakat Arab pra-
Islam tersebut.
Budak adalah manusia rendahan yang memiliki
derajat jauh di bawah rata-rata manusia pada
umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa diperlakukan
apa saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak
asasi manusia sewajarnya selaku seorang manusia.
13. 3. Karakter Patriarkhis
Karakter berikutnya yang melekat kuat pada hukum
Jahiliyyah adalah patriarkhis. Dalam penelitian Haifaa,
kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan
yang tinggi dalam relasi laki-laki dengan perempuan,
diposisikan lebih tinggi di atas kaum perempuan,
Kaum perempuan mendapatkan perlakuan
diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap sebagai
biang kemelaratan dan symbol kenistaan (embodiment
of sin).
14. Dalam sistem hukum Jahiliyyah, perempuan tidak
memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai
harta warisan itu sendiri. Kelahiran anak perempuan
dianggap sebagai aib, sehingga banyak yang kemudian
dikubur hidup-hidup ketika masih bayi. Secara
singkat, dalam istilah Haifaa, perempuan
diperlakukan sebagai a thing dan bukan sebagai a
person.
15. B. Tasyri’ Periode Mekkah Dan
Madinah
Hukum islam pada masa Nabi Muhammad Saw dapat dibedakan
menjadi dua fase: fase Mekkah dan Madinah. Adapun
masyarakat pada fase Mekkah dapat di cirikan sebagai berikut:
1. Jumlah muslim masih minoritas
2. Kekuatan yang dimiliki masih sangat lemah
3. Dikucilkan dari masyarakat Mekkah saat itu (blokade
ekonomi)
Oleh karena itulah langkah awal yang dilakukan Nabi Muhammad
Saw saat itu adalah menguatkan akidah terlebih dahulu sebagai
pondasi amaliah ibadah.
16. Dalam al-Qur’an fase Mekkah ayat yang turun rata-
rata seputar penolakan terhadap syirik dan mengajak
kepada ketauhidan dan hikmah dari kisah terdahulu.
Pada fase ini al-Qur’an masih sedikit membahas
masalah ibadah kecuali setelah hijrah tetapi erat
kaitannya dengan ibadah, seperti pengharaman
bangkai, darah, semblihan yang tidak menyebutkan
nama Tuhan.
17. Pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau
disambut dengan meriah oleh pengikut-pengikutnya,
selain itu umat muslim sudah bisa meninggalkan
aqidah lamanya. Ciri-ciri masyarakat fase Madinah
sebagai berikut:[6]
1. Jumlahnya telah banyak serta berkualitas
2. Mengeliminasi permusuhan dalam rangka
mengesakan Allah SWT
3. Telah adanya syariat Islam untuk mencapai
kebaikan dalam masyarakat
4. Membentuk aturan damai dalam perang
18. Adapun syariat yang muncul ketika fase Madinah seperti
muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumpah,
dan peradilan.
Pada fase ini dapat dijelaskan bahwa kekuasaan hukum
didasarkan kepada Rasulullah Saw secara langsung tanpa
campur tangan orang lain. Sementara sumber yang
digunakan adalah wahyu, baik yang matlu yaitu al-Quran
ataupun ghoiru matlu yaitu Sunnah, sehingga pada masa
ini belum penah terjadi perselisihan dalam hukum. Dan
kebanyakan dari ayat-ayat yang diturunkan berkenaan atau
sesuai dengan suatu peristiwa atau menjadi jawaban dari
pertanyaan.
19. C. HUKUM YANG BERLAKU PADA
ZAMAN JAHILIYAH
1. Perkawinan
Ada beberapa jenis perkawinan yang dipraktikan dikalangan
masyarakat Arab, sebagian diakui keabsahannya oleh hukum
Islam dan sebagian lain dihapuskan karena tidak bersesuaian
dengan jiwa hukum Islam :
a. Poligami, merupakan praktik yang sudah melembaga di
masyarakat Arab, namun poligami yang dilaksanakan tidak ada
aturan dan batas-batasnya. Seorang laki-laki boleh menikahi
perempuan sebayak-banyaknya tanpa batas maksimal
20. b. Istibdla, yakni seorang suami meminta istrinya untuk
berhubungan badan dengan laki-laki mulia atau mempunyai
kelebihan sesuatu, setelah hamil si suami tidak mencampurinya
hingga istrinya melahirkan. Tujuan dari perkawinan ini adalah
untuk mendapatkan gen, sifat, atau keturunan terhormat atau
istimewa.
Rahthun, atau poliandri, yaitu seorang perempuan mempunyai
pasangan laki-laki lebih dari seorang.
d. Maqthu, seorang anak tiri menikahi ibu tirinya ketika
ayahnya meninggal. Isyaratnya, ketika si ayah meninggal, si anak
melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai pertanda ia
menyukai ibu tirinya, dan ibu tiri tersebut tidak dapat menolak.
21. 2. Riba
Menurut Muhammad Abduh (w. 1905) dan muridnya, Muhammad Rashid
Ridha, ketika menjelaskan bentuk riba yang dilarang pada masa pra-Islam,
mereka menegaskan bahwa riba pada masa pra-Islam dipraktekkan dalam
bentuk tambahan pembayaran yang diminta dari pinjaman yang telah
melewati batas tempo pembayaran, sehingga mengalami penangguhan yang
menyebabkan meningkatnya pembayaran hutang tersebut.
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa “riba pada masa jahiliyah
adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang,
bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya,
“Bayarlah atau kamu tambah untukku.” Maka apabila kreditor memiliki
sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia
menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya
(dari yang pernah dipinjamnya).
22. Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki
tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya
kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah
memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang
memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz’ah (yang
memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika
yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk
menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya
sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila
belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun
sampai ia mampu membayar.
23. 3. Anak angkat
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun
anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak
yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan
hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati
berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak
keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta
diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan
kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
24. 4. Warisan
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan
tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas
hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan
kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa
dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan
keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta
peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena
dipandang tidak mampu memangul senjata guna mempertahankan
kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau
istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa.
Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang melarang
menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan.
25. 6. Qishash
Sudah diketahui bahwa bangsa Arab telah mempunyai aturan-aturan
yang didapati oleh adat dan kebiasaan. Seluruh kabilah telah
bertanggung jawab terhadap tindak pidana anggotanya, kecuali apabila
kabilah itu mengumumkan tebusan dalam masyarakat umum.
Oleh karena itu, jarang wali dari orang yang kena pidana cukup
menerima qishash dari orang yang melakukan tindak pidana, lebih-
lebih apabila orang yang kena tindak pidana orang yang mulia atau
tuan dari kaumnya, bahkan mereka meluaskan tuntutan mereka
dengan suatu perluasan yang kadang-kadang sampai menjadikan
perang antara dua suku. Dan kebanyakan suku dari pelaku pidana
melindunginya, maka yang demikian ini menyebabkan keburukan-
keburukan dan perang-perang yang kadang-kadang penyelesaiannya
berkepanjangan (berlarut-larut)