tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
Dokumen.pdf
1. • Bab 1
Pendahuluan
• As-Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum Syara’ menurut Abu Hanifah dan Malik bin Anas.
As-Sunnah merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifat. Salah satu bentuk dari As-Sunnah yaitu Hadits
Ahad yang dapat dijadikan sumber hukum. Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas untuk
menilai Hadits Ahad dan Imam Malik bin Anas menggunakan Amal Ahli Madinah untuk menilai
Hadits Ahad. Tujuan dari penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti yaitu pertama, untuk
mengetahui pendapat Imam Abu Hanifah tentang As-Sunnah sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Syara’, kedua, untuk mengetahui pendapat Imam Malik bin Anas tentang As-Sunnah sebagai
Sumber dan Dalil Hukum Syara’, ketiga, untuk mengetahui perbandingan pendapat Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Sunnah bersifat bayani yang menjalankan fungsi untuk
menjelaskan hukum Al-Qur’an . Namun dalam kedudukan sunnah sebagai dalil yang berdiri
sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, menjadi bahan perbincangan di kalangan
Ulama, karena di dalam Surah Yunus ayat 37 dijelaskan, bahwa Al-Qur’an sudah sempurna
tidak ada keraguan di dalamnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah pendekatan
kuantitatif dengan metode komparatif. Yaitu membandingkan antara pendapat Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik bin Anas tentang As-Sunnah sebagai Sumber dan Dalil Hukum Syara’. Jenis
data yang dipergunakan dalam penelitian ini karya Musthafa Assiba’i: As-Sunnah wa Makanatuha
Fii Tasyri’i Islam, juga kitab, buku, dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil dari
penelitian ini adalah pertama, pendapat Abu Hanifah bahwa kedudukan Qiyas ada diatas Khabar
Ahad dapat dijadikan sumber hukum, apabila ‘illatnya berasal dari ketetapan yang pasti dan tidak
dapat dijadikan dalil hukum dalam masalah aqidah tetapi dalam amal perbuatan, kedua, pendapat
Malik bin Anas bahwa Khabar Ahad yang tidak bertentangan dengan Amal Ahli Madinah dapat
dijadikan sumber hukum karena Kota Madinah merupakan tempat menyebar luasnya Hadits,
dengan kultur sosialnya yang masih sederhana. Ketiga, Persamaan pendapat keduanya adalah
Khabar Ahad dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Sedangkan perbedaan keduanya yaitu,
Khabar Ahad tidak dapat dijadikan Dalil Hukum dalam masalah aqidah menurut Imam Abu
Hanifah dan Khabar Ahad dapat dijadikan Dalil dalam cabang hukum syarat.
• Sunnah atau Hadis menempati posisi penting dalam Islam ya ini sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an. Tidak semua persoalan keagamaan ditemukan jawabannya dalam al-
Qur’an. Maka dari itu, para ulama merujuk kepada sunnah atau hadis sebagai otoritas hukum
kedua setelah al-Qur’an. Dalam sejarahnya, istilah sunnah kemudian disinonimkan dengan istilah
hadis. Ulama muhaddis|in pada umumnya mengidentikkan antara sunnah dengan hadis, yakni
segala sabda, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi. Akan tetapi jika kita memperhatikan
perspektif historisnya, maka sunnah dan hadis sesungguhnya merupakan dua konsep yang
berbeda meskipun di antara keduanya terdapat jalinan yang erat. Maka Rahman memandang dan
menyatakan bahwa sunnah dan hadis dapat dijadikan pedoman kedua setelah al-Qur’an.
Berbeda halnya dengan Ahmad, karena ia memandang bahwa dalam menentukan suatu hukum,
hanya al-Qur’an saja yang bisa dijadikan pedoman dan tidak perlu tambahan kitab-kitab lain,
seperti hadis ataupun sunnah. Aspek yang menjadi perbandingan yang digunakan pada
penelitian ini mencakup tiga pembahasan yang meliputi: Pertama¸ Makna Sunnah, Kedua,
Otentisitas Hadis, Ketiga, Implikasi Terhadap Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam.
• Ada perbedaan pendapat mengenai pengertian sunnah dan hadits di kalangan
ulama. Dikutip dari buku Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya
oleh Muhammad Syuhudi Ismail, ulama hadits pada umumnya menyamakan
pengertian kedua istilah tersebut. Dalam uraiannya, sunnah dan hadits diartikan
sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir, dan sifat Rasulullah SAW.
Dalam pendapat lain, seperti dikatakan Asep Herdi dalam bukunya Memahami Ilmu
Hadis, yang termasuk dalam kategori hadits adalah perkataan nabi (qauliyah),
perbuatan nabi (fi'liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah).
2. Di samping itu, segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah (shirah), kelahiran,
dan keturunannya (silsilah) serta tempat dan yang bersangkutan dengan hal
tersebut juga termasuk di dalamnya.
Pengertian Hadits Menurut Bahasa, Fungsi, dan Kedudukannya
Menurut ahli ushul fikih sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Manna Al-Qaththan
dalam bukunya Pengantar Studi Ilmu Hadits, hadits adalah perkataan, perbuatan,
dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.
Adapun, sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits.
Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits berfungsi untuk
melengkapi tiga hal. Antara lain 1) melengkapi sabda, perkataan, dan taqrir nabi, 2)
melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, dan 3) melengkapi perkataan,
perbuatan, dan taqrir tabi'in.
Adapun, sunnah menurut bahasa dimaknai sebagai jalan yang dijalani, baik terpuji
atau tidak. Menurut Muhadditsin, sunnah diartikan sebagai segala sesuatu yang
dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir,
pengajaran, sifat, kelakukan, perjalanan hidup baik sebelum maupun sesudah Nabi
SAW.
• As-Sunnah menurut para fuqaha' adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi SAW
namun tidak bersifat wajib. Sunnah adalah satu dari hukum takfili yang lima, yaitu
wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.
Para ulama ushul fikih menjelaskan, sunnah adalah apa yang bersumber dari Nabi
SAW selain Al Quran, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.