Makalah ini membahas tentang masuknya hermeneutika dalam penafsiran Al Qur'an. Hermeneutika secara harfiah berarti tafsir, tetapi secara istilah merujuk pada metode penafsiran teks. Hermeneutika berbeda dengan tafsir karena mengikuti konteks bukan Al Qur'an. Tafsir tetap mengikuti sumber-sumber dasar Islam seperti Al Qur'an dan hadis. Makalah ini juga membedah perbedaan pendek
1. 1
MASUKNYA HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN
oleh :
Asmaul Husna
‘Azzah Nurin Taufiqatuzzahro`
Siti Rohmatun Ni’mah
I. Pendahuluan
Islam adalah agama yang telah dipilih oleh Allah Subhānahu wa ta’ālā.
Agama mempunyai landasan dalam hukum syariah. Dasar hukum yang pertama
dalam Islam adalah Al Qur’an, kedua hadis, ketiga qiyas, dan yang keempat
adalah ijma’ atau sepakat para ulama.
Al Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dalam keadaan berangsur. Al Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa arab yang
di dalamnya banyak sekali balaghah dan butuh dengan penjelasan atau penafsiran.
Salah satu tugas Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah untuk menjelaskan
tentang isi dalam Al Qur’an. Setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi
Muhammad itu adalah Hadis. Jadi, Hadis adalah suatu alat yang digunakan untuk
menafsirkan Al Qur’an yang belum jelas.1
Setelah Rasulullah wafat dasar untuk menafsirkan Al Qur’an adalah sahabat.
Setelah zaman sahabat berakhir, dilanjutkan oleh tabiin lalu tabi’ tabiin dan
seterusnya. Al Qur’an yang ditafsirkan berdasarkan dengan Hadis dan qaul
shahabat dinamakan dengan penafsiran bi al ma’thur. Sedangkan yang dari tabiin
dan pemikiran mufasir dinamakan dengan bi al ra’yi.
Dengan berjalannya waktu yang dengan mudah mengganti hari menjadi bulan
dan bulan menjadi tahun akhirnya ada kitab yang dibakukan dimana kitab tersebut
membahas tentang tafsir Al Qur’an. Pada tahap awal penafsiran masih
menggunakan sumber bi al ma’thur. Namun setelah berjalan waktu berubah
menjadi bi al ra’yi dan ada juga campuran dari bi al ma’thur dan bi al ra’yi atau
dinamakan dengan muqarrin.
Kemudian kitab tentang tafsir Al Qur’an semakin banyak. Mufasir juga tak
terhingga, baik dari kalangan ulama maupun orientalis. Dalam menafsirkan Al
Qur’an antara ulama dan orientalis sangatlah berbeda. Sebagian dari orientalis ada
yang menggunakan metode penafsiran yang mereka sebut dengan hermeneutika.
1 Musthafa al Bugho, Fikih al Manhaj, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2011), 17-18.
2. 2
Sebenarnya hermeneutika dulu digunakan untuk mengkaji Bibel. Namun setelah
itu hermeneutika digunakan untuk mengkaji beberapa karya umum, termasuk
untuk menafsirkan Al Qur’an. Hal tersebutlah yang menjadikan pertanyaan besar
apa sebenarnya hermeneutika itu, dan apa pula perbedaan hermeneutika dengan
tafsir, serta dimana titik temu antara keduanya. Maka, dalam makalah ini penulis
akan membahas persoalan tersebut guna memberikan wawasan mengenai
pengertian hermeneutika, perbedaannya dengan tafsir, serta titik temu antara
keduanya.
II. Masuknya Hermeneutika dalam Penafsiran
A. Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika secara harfiah adalah tafsir. Namun ketika dilihat dari istilah
Yunani, hermeneutika berasal dari kata hermeneuin yang artinya menafsirkan.
Kata hermeneutika berasal dari hermes, dimana dalam metodologi Yunani hermes
dikenal sebagai Dewa yang bertugas untuk menyampaikan pesan dari dewa
kepada manusia2. Dari tradisi ini hermeneutika berkembang sebagai metodologi
penafsiran Bibel dan berlanjut digunakan untuk menafsirkan ilmu umum, baik
dalam segi sosial, ilmu hukum, dan ilmu filsafat, begitu juga Al Qur’an.
Ada tiga pendapat mengenai hermeneutika, yakni :
1. Hermeneutika khusus (Regional Hermeneutics), yaitu hermeneutika
merupakan cabang disiplin ilmu. Setiap ilmu mempunyai hermeneutik
masing-masing.
2. Hermeneutika umum (General Hermeneutics), yaitu hermeneutika tidak
terkait dengan cabang cabang ilmu tertentu. Hermeneutika digunakan untuk
memahami semua cabang ilmu. Pelopor dari hermeneutika ini adalah
Freidrich Schleirmacher.
3. Hermeneutika filsafat (Hermeneutical Philoshophy), yaitu hermeneutika
yang objeknya bukan teks yang dipahami, tetapi pemahaman itu yang
ditempuh dengan perenungan filsafat atau filosofis. Pemahaman ini tidak
mengenal kebenaran melalui metode ilmiah.
Ada cara dalam memahami hermeneutika, yakni dengan cara subjektif dan
objektif. Pertama hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik,
2 Adian Husaini, Hermeneutika & Tafsir al Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 7.
3. 3
khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911)
dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti
memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang
disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya,
sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau
tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan
bersifat intruktif.
Untuk mencapai cara tersebut Schleiermacher mempunyai dua cara yakni
setiap teks mempunyai dua sisi, sisi linguistik yang merujuk pada bahasa yang
memungkinkan proses memahami menjadi mungkin. Sisi yang kedua adalah
psikologis yang merujuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan
pada style bahasa yang digunakan.
Kedua hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern
khususnya Hans George Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930).
Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif
yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan oleh model hermeneutika
objektif melainkan memahami apa yang tertera pada teks itu sendiri. Stressing
mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis.
Inilah perbedaan yang mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat
diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu teks dipublikasikan dan dilepas, ia
telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena
itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan
berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan ketika penulis
sudah mati dalam pandangan kelompok ini. karena itu pula pemahaman atas
tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak
diperlukan lagi.
Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya
sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan
teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi
4. 4
sendiri berarti mematikan pikiran dan kreativitas. Sebaliknya, justru seseorang
harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini, apa yang dilihat,
dan apa yang diperoleh kemudian3.
B. Perbedaan antara Tafsir dan Hermeneutika
Berpijak pada penulisan entri hermeneutika dalam Oxsford English
Dictionary, melegitimasi pijakan kuat bahwa hermeneutika muncul di Barat
berhubungan secara mendasar dengan masalah pemahaman kitab suci umat
Kristiani. Kritik internal seorang pemuka Kristen Katholik, Martin Luther (1483-
1546) membukakan keran bagi hermeneutika untuk mengalirkan airnya bukan
hanya ke ranah teologi, tetapi juga ke semua ilmu humaniora. Ia menyerukan
untuk membaca Bibel secara bebas.
Ada tiga hal yang menjadi masalah masyarakat Kristen sejak lama, yaitu:
1. Penetapan injil-injil yang dinukil secara verbal kepada mereka ke dalam
bentuk korpus tertulis.
2. Terbentuknya sekumpulan syariat langit dan pada waktu yang sama
menjelaskan hubungan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru
(PB).
3. Membentuk doktrin-doktrin primer dengan bantuan pemahaman-
pemahaman filsafat Yunani kuno.
Semua ragam ini memiliki karakteristik hermeneutik, seperti ceramah
misionaris dan pengajaran Kristen serta pengungkapan-pengungkapan lain yang
hidup dari teologi gereja.
Sedangkan tafsir berasal dari kata fa sa ra. Secara etimologis tafsir dapat
diartikan sebagai keterangan atau penjelasan yang menerangkan maksud dari
suatu lafal. Pengertian ini diambil dari firman Allah:
( اًريمسْفَت َنَسَْحأَو مقَْاْلمب َاكَنْئمج اَلمإ ٍلَثَمِب َكَنوُتْأَي ََلَو33)4
3 Erik Sabti Rahmawati, “Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir”, (Tesis di UGM Yogyaakarta,
2003), 177.
4 Al Qur’an, 25:33.
5. 5
“dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang aneh, melainkan kami datangkan kepadamu
yang benar dan penjelasan yang paling baik”. (Al Furqaan : 33)
Kalimat اًريمسْفَت َنَسَْحأَو yang ada diakhir ayat tersebut bermakna “pasti kami
datangkan kepadamu suatu kebenaran dengan lafal (kata-kata) yang lebih baik dan
lebih jelas daripada yang mereka datangkan kepadamu”5.
Hermeneutika sangat berbeda dengan tafsir. Dalam menafsirkan Al Qur’an,
hermeneutika mengikuti konteks bukan mengikuti Al Qur’an. Hermeneutika
adalah metode yang menghasilkan tafsir kontekstual. Adapun tafsir kontekstual
itu sendiri adalah tafsir yang mengikuti zaman atau bisa disebut juga dengan tafsir
modern. Suatu contoh yang dilakukan oleh Musdah menguraikan metode
kontekstualisasi untuk surat al Mumtahanah ayat :10.
ياأيهاالذيناوآمنإذاجاءكماملؤمناتاترمهاجفامتحنوهنهللاأعلم
بإمياهننفإنعلمتموهنمؤمناتفالترجعوهنإىلالكفارَلهنحلهلم
وَلهمحيلونهلنوآتوهممااوأنفقوَلجناحعليكمأنتنكحوهنإذا
آتيتموهنأجورهنوَلاومتسكبعصمافروالكاواسألوماأنفقتماوليسألوما
اوأنفقذلكمحكمهللاحيكمبينكموهللاعليمحكيم6
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-
benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang
Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan
hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat diatas menerangkan tentang keharaman pernikahan bagi beda agama.
Musdah menyatakan dalam metodenya, yaitu:
5 Adian Husaini, Hermeneutika & Tafsir al Qur’an, 45.
6 Al Qur’an, 60:10.
6. 6
“jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini
sangat wajar karena mengingat kaum kafir quraisy sangat memusuhi
Nabi dan pengikutnya. waktu itu konteksnya adalah peperangan
antara kaum mukmin dan kaum kafir. larangan ini ada karena untuk
membedakan mana yang kafir dan mna yan mukmin. jika peperangan
itu tidak ada maka hkum tersebut bisa dihapus”
Dari contoh di atas dapat dilihat bagaimana metodologi kontekstual historis
yang digunakan sangat sembarangan dan menjadikan satu hukum menjadi tidak
relatif dan berubah mengikuti kemauan dari penafsir. Hal ini ada karena tidak ada
standar dan metodologi yang baku.
C. Titik Masuknya Hermeneutika dalam Penafsiran Al Qur’an
Hermeneutika merupakan tradisi Yunani yang berkembang sebagai metode
penafsiran Bibel, dan kemudian digunakan untuk menafsirkan naskah umum baik
ilmu-ilmu sosial dan humaniora7. Sebenarnya hermeneutika adalah suatu metode
kajian yang digunakan untuk menemukan kebenaran dalam Bibel. Sebagian orang
ada yang menyatakan bahwa hermeneutika sama dengan tafsir dan ada juga yang
mengatakan bahwa hermeneutika adalah salah satu metode dalam penafsiran
hinga cocok digunakan untuk menafsirkan Al Qur’an.
Hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan salah satu metode tafsir atau
satu filsafat tentang penafsiran. Hermeneutika tidak cocok untuk menafsirkan Al
Qur’an karena hermeneutika adalah suatu penafsiran yang digunakan untuk
menafsirkan Bibel. Perlu diketahui bahwa Bibel dan Al Qur’an itu berbeda. Bibel
bukanlah kitab yang otentik, seperti layaknya Al Qur’an.
Metode hermeneutika diambil untuk melengkapi metode tafsir klasik Al
Qur’an yang selama ratusan tahun telah dikenal dan diterapkan para ulama dalam
menafsirkan Al Qur’an. Metode hermeneutika sebenarnya adalah metode yang
digunakan untuk menafsirkan Al Qur’an berdasarkan keadaan alam. Tokoh yang
menyatakan hal ini adalah Sumaryono seorang katolik, M. Amin Abdullah, dan
Nasr Hamid Abdullah. M. Amin Abdullah menyatakan bahwa hermneutika adalah
kebenaran yang harus disampaikan kepada umat Islam.
7 Humaniora adalah ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni
dan sebagainya.
7. 7
III.Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut kami dapat menyimpulkan bahwa Hermeneutika dulu
merupakan tradisi Yunani yang berkembang sebagai metode penafsiran Bibelyang
digunakan untuk mencari kebenaran dari Bibel itu sendiri, dan kemudian
digunakan untuk menafsirkan naskah umum baik ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Kemudian dengan berkembangnya zaman akhirnya hermeneutika digunakan
untuk menafsirkan Al Qur’an.
Untuk memahami heremeneutika ada dua metode yang digunakan. Dengan
menggunakan metode subjektif yang mana metode tersebut diprakarsai oleh salah
satu tokoh yakni Hans George Gadamer, hermeneutika bukan usaha menemukan
makna objektif yang dimaksud si penulis seperti seperti yang diasumsikan model
hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera pada teks itu sendiri.
Sedangkan metode objektif Friedrick Schleiermacher penafsiran berarti
memahami teks, atau ungkapan jiwa pengarangnya.
Hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan salah satu metode tafsir atau
satu filsafat tentang penafsiran. Hermeneutika tidak cocok untuk menafsirkan Al
Qur’an karena hermeneutika adalah suatu penafsiran yang digunakan untuk
menafsirkan Bibel. Perlu diketahui bahwa Bibel dan Al Qur’an itu berbeda. Bibel
bukanlah kitab yang otentik, seperti layaknya Al Qur’an.
8. 8
Daftar Pustaka
Husaini, Adian. Hermeneutika & Tafsir al Qur’an. Jakarta: Gema Insani,
2007.
Rahmawati, Erik Sabti. “Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir”. Tesis di
UGM Yogyaakarta, 2003.
Bugho (al), Musthafa. Fikih al Manhaj. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2011.