Makalah ini membahas tentang metodologi penafsiran Al-Qur'an. Terdiri dari pendahuluan, pembahasan, dan penutupan. Pembahasan mencakup pengertian metodologi tafsir Al-Qur'an, perkembangan metodologi tafsir yang meliputi zaman Nabi Muhammad SAW hingga zaman modern, dan klasifikasi metodologi tafsir."
1. METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah AIK Studi Al-Quran
Dosen Pengampu : Siti Hajar, M.Ag.
Disusun Oleh :
Juwairiyah
140621007
Empat Patonah
140621009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2015 - 2016
2. KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Metodologi Penafsiran Al-Qur’an”.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
memberi semangat dan bantuannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dengan segala kemampuan yang
ada. Penulis juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan
yang harus diperbaiki. Oleh karena itu penulis dengan sangat terbuka menerima
kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan dimasa yang akan
datang.
Penulis berharap makalah ini dapat menjadi salah satu sumber tambahan
pengetahuan bagi penbaca. Sehingga makalah ini dapat dikatakan berguna.
Cirebon, Oktober 2015
Penulis
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………............ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……..……………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………....2
C. Tujuan Penulisan…………………………….…………………………….2
D. Manfaat Penulisan…………………………...………………………….... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Metodologi Tafsir Al-Qur’an..…………………………...……3
B. Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur’an……………………………..4
C. Klasifikasi Metodologi tafsir………………………………………………7
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan………………………………………………………………20
B. Saran……………………………………………………………………...20
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………21
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang diturunkan Allahﷻ kepada
Nabi Muhammad ﷺ melalui Malaikat Jibril1 untuk seluruh umat manusia.
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk belajar dan memperoleh ilmu.
Indikasi ini bisa dilihat bahwa ayat al-Qur’an yang pertama kali
diturunkan merupakan seruan untuk membaca, dengan membaca manusia
dituntuk untuk belajar.
ْ﴿اقْا ََّلَقل اِْبَذَّلَعْىاذ۞ْاَّلُمَركَْاْل َكُّبَْرَْوْأَر۞ْاق ٍقَلَعْناْمَنَٰ َسن
ِ
ْاإل َقَلَخْ۞ َقَلَخْىاذْاَّل َاكبَْراْس اِْبْأَرَْذَّلَعْ۞ْ َمَْنَٰ َسن
ِ
ْاإل
﴾۞ ََّلعَيْمَل
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang maha Pemurah yang mengajar manusia dengan kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq,
96:1-5)
Salah satu bentuk dari apa yang telah diisyaratkan al-Qur’an dalam
ayat diatas adalah munculnya berbagai ayat ragam kajian atas al-Qur’an
dan metodologi tafsir. Munculnya ragam kajian yang telah dilakukan
tersebut sangat memungkinkan, karena sebagai teks,2 al-Qur’an bersifat
Interpretebel bisa memiliki banyak makna (yahtamilu wujuh al-ma’na),
sehingga mengandung berbagai kemungkinan ragam penafsiran.3 Sejak al-
Qur’an diturunkan hingga sekarang ini para mufassir yang melakukan
studi terhadap al-Qur’an dan metodologi penafsirannya telah mengalami
perkembangan yang cukup bervariasi.
1
“Dia dibawa turun oleh al-Ruh Al Amin(Jibril).” (QS. Al-Syu’ara’ 26:193)
2
Menyatakan al-Qur’an sebagai teks memang penuh resiko. Pertama, sebagai teks al-Qur’an tidak bisa lepas
dari konteks budaya dan sejarah. Kedua, pendekatan yang digunakan adalah kebahasaan dan sastra yang
memperhatikan aspek cultural dan historitas teks. Ketiga, titik tolak studial-Qur’an berubah dari keimana
menjadi keilmuan dan objektivitas. Salah satu tokoh yang menggunakan al-Qur’an sebagai teks (nash) adalah
Nashr Abu Zayd. Dengan pendekatan ini dia sering mendapat kritik dari ulama Al-Azhar di Mesir.
3
Abdul Mustaqim, “Metodologitafsir perspektif gender”, dalam studial-Qur’an kontemporer, ed. Abdul
Mustaqimdan Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: Tiara Wacana,2002) 65
5. Pentingnya pemahaman yang tepat terhadap ayat-ayat al-Qur’an
menjadikan kedudukan Ilmu tafsir sebagai disiplin ilmu yang karena
penafsiran merupakan cara untuk menjembatani kesenjangan antara
perkembangan kehidupan masyarakat yang cepat dengan tulisan ayat-ayat
Kitab Suci, termasuk al-Qur’an yang sudah baku.4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian metode penafsiran al-Qur’an?
2. Bagaimana perkembangan metode penafsiran al-Qur’an?
3. Bagaimana klasifikasi metodologi tafsir?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian metode penafsiran al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan metode penafsiran al-
Qur’an.
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi metodologi tafsir.
D. Manfaat Penulisan
Bagi penulis dan pembaca, untuk meningkatkan pengetahuan
tentang metodologi penafsiran al-Qur’an dan supaya lebih meningkatkan
keimanan kita kepada Allah.ﷻ
4
Joachim Wach, The Comparative Studyof Religions(New York:Columbia UniversityPress, 1958), hal. 73.
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Istilah metodologi adalah terjemahan dari kata methodology
(Inggris) yang berasal dari Latin methodos (dari kata meta dan hodos)
yang berarti cara atau jalan, dan logos yang berarti kata atau pembicaraan.
Jadi, metodologi adalah merupakan wacana tentang cara melakukan
sesuatu. Dalam bahasa Arab, metodologi dapat diterjemahkan dengan
manhaj atau minhaj seperti diungkap dalam Surat. Al-Ma’idah: 48,
ْ ًج َْناْمَْوًةَع اِْش ُُكناْم َنلَعَْجٍ ُكال
yang berarti jalan yang terang.
Dalam bahasa Indonesia, metodologi berarti “ilmu atau uraian
tentang metode”. Dan metode berarti “cara yang teratur dan berpikir baik-
baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan”. Secara umum, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip
dan prosedur dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya.5
Istilah tafsir secara etimologis berarti ْوالتبينيحة إضإلاْ (penjelasan dan
uraian). Istilah yang berasal dari bahasa Arab ini merupakan serapan dari
bentuk taf’il al-fasr, yaitu kata kerja fassara yufassiru dengan arti
“keterangan dan takwil”. Istilah “tafsir” dalam Al-Qur’an hanya terdapat
pada Surat al-Furqan: 33:
اًْي اسَفتَْن َسحَأَْْواقَحل اِْب َكٰنئاْج ذإل
ِ
ْا ٍَلثَمابْ ََكنُوتْأَيْ َإلَوْ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan kami Datangkan kepadamu suatu yang
benar dan paling baik penjelasannya” (QS Al-Furqan: 33). Selain itu, kata
5
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer:Dalam Pandangan Fazlur Rahman, Sulthan
Thaha Press, Jambi, 2007, hlm. 288
7. tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفرس) yang berarti لكشفاإِبنةْوإلا) )
“menerangkan dan menyingkap.”6
Secara terminologis, tafsir adalah “penjelasan tentang arti atau
maksud firman-firman Allahﷻ sesuai dengan kemampuan manusia
(mufassir)”. Sementara tujuan penafsiran adalah untuk meng-klarifikasi
maksud agar jelas maknanya. Ia juga berfungsi secara simultan meng-
adaptasikan teks pada situasi yang sedang dihadapi mufassir.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tafsir tidak terlepas dari metode,
yakni suatu cara yang sistematis untuk mencapai tingkat pemahaman yang
benar tentang Al-Qur’an yang dikehendaki Allah. Jadi, metode tafsir dapat
diartikan sebagai suatu prosedur sistematis yang diikuti dalam upaya
memehami dan menjelaskan maksud kandungan Al-Qur’an. Dengan kata
lain, metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam
menginterpretasikan pesan-pesan Al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir
adalah analisis ilmiah mengenai metode-metode penafsiran Al-Qur’an.7
B. Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir
telahdikenal sejak zaman Rasulullahﷺ dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi
empat periode yaitu:
1. Tafsir Pada Zaman Nabiﷺ
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga
mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an.
Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah
mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan
tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung
dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif
6
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Ilmu At-Tafsir, Dar Al-Fikr, Kairo, tahun, hlm. 5
7
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, op.cit, hlm. 289
8. dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang
yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullahﷺ selalu
memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman
Allah,ﷻ
َْنُرذكَفَتَيُْمهذلَعَلَْْوماْيَل
ِ
ْاَلازُنْ َمْ اس ذنلالْ َ انيَبُتالْ َكيَل
ِ
ْا َنلَزنَأَْوارُبُّْوالز اتٰنايَبل اِبْ
Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan
Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
supaya mereka memikirkan,(QS.16:44). Contohnya hadits yang
diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya
mendengar Rasulullahﷺ berkhutbah diatas mimbar membaca
firman Allah:ﷻ
ُهَلْاوُدَعَأَوٍْةذوُقْنامْ ُُتعَطَتس َمْمْ
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
Rasulullahﷺ bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang
Allah ﷻ janjikan kepadaku (nanti) di surga.
2. Tafsir Pada Zaman Shahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an
adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,menafsirkan Al-
Qur’an dengan sunnah Rasulullah,ﷺatau dengan kemampuan
bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan
Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.Diantara
tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman,Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah binZubair dan
Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka
adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’uddan Abdullah bin
Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
9. Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah
kedudukannya sama dengan hadist marf8 atau paling kurang adalah
Mauquf.9
3. Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh
berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir
dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk
kajian ilmu tafsir diantaranya:
Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang
melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair,
Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-
Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang
menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam,
Abul‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara
murid-muridnyayang terkenal adalah Al-Qomah bin
Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah binDi’amahAs-
Sadusy.Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa
menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan
diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan
dalil atas pendapat yanglainnya.10
4. Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan
permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam
subbagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua,Pemisahantafsirdari hadits dan di bukukan
secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan
setiap penafsiran ayat di bawah ayat tersebut, seperti yang
8Marfu’ adalah perkataaanatauperbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
9Mauquf adalahperkataanatau perbuatanyangdisandarkankepada para shohabat
10majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnutaimiyah 13/370 danbukumabahits fi ulumul al-qur’anole mann’ al-
qotton hal ;340-342
10. dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury,
Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan
mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas
sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan
orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir
berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau
kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan
ayat ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat
bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan
Nasroni.
Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai
dengan buku – buku tarjamahan dari luarIslam. Sehingga metode
penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan
dengan metode binnaqly (denganperiwayatan). Pada periode ini
juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum
seperti Alqurtuby. Pakarsejarah melihatnya dari sudut sejarah
seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin danseterusnya.
Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir
menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya
At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan
Nasihwal Mansukh, Al-Wahidi dengan Asbabun Nuzul dan Al-
Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
C. Klasifikasi Metodologi Tafsir
Ketika menafsirkan Al-Qur’an, mufassir biasanya merujuk kepada
tradisi salaf, namun tidak jarang yang merujuk pada ulama kontemporer.
Metode tafsir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf dalam menafsirkan
Al-Qur’an adalah: (1) tafsir berdasarkan riwayah (al-tafsir bi al-ma’tsur);
11. (2) tafsir berdasarkan dirayah (al-tafsir bi al-ra’y), dan (3) tafsir
berlandaskan isyarat (al-tafsir al-isyari). Sementara pakar ada yang
memilih metode tafsir berdasarkan pendekatan dan mazhab yang dianut.
Sebagian pakar menyebutnya corak tafsir. selain itu, ada pula yang
memilahnya kepada metode klasik (yang merujuk pada Al-Qur’an dan
Hadis (riwayah, dirayah, dan isyari) dan kontemporer (global, analitis,
perbandingan, tematik, dan kontekstual).11
1. Tafsir Riwayah (Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur)
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat
yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-
Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an
dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan
perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat
sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang
sangat ideal yang patut dikembangkan.
Jika kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi,ﷺ
ditemukan bahwa pada dasarnya, setelah gagal menemukan penjelasan
nabi dalam masalah-masalah tertentu, mereka merujuk kepada
penggunaan bahasa dan sya'ir-sya'ir Arab. Misalnya Umar ibn al-
Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah :
Aw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS. 16:47). Seorang Arab dari
kabilah Hudzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan".
Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan sya'ir
pra Islam. “Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari
sya'ir-sya'ir tersebut dalam rangka memahami Al-Qur'an (Asy-Syatibi,
tt :18). Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba 'at-tabi'in, masih
mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan sebelumnya.
Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua
bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al sunnah atau ucapan sahabat
yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.12
11
Ibid., hlm. 290
12
Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-
Halaby, 1957), hal 3. Pengertian diatas, lebih kurang sama dengan definisi yang dikemukakan Ali al-Shabuni
12. Keistimewaan Metode bil ma'tsur, antara lain, adalah :
1) Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan
pesan-pesan,
3) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga
membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan
(Shihab,1999:157),
4) Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan
periwayatan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya
(Zahabi,1961:157)
Kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang
mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli
tafsir, antara lain adalah :
1) Terjerumusnya mufassir dalam uraian kebahasaan dan
kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-
Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu.
2) Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau
sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan
sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan
dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa
budaya (Shihab, 1999:49).
3) Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab,
politik dan usaha-usaha musuh Islam.13
yang menyebutnya sebagai penjelasan Allah SWT. Berdasarkan ayat Al-Qur'an, sunnah Rasulullah Saw dan
ucapan sahabat. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, op cit, hal 65. dalam definisi al-Farmawi ditambah dengan
penjelasan Allah berdasarkan ucapan tabi 'in. lihat al-Farmawi, op cit., hal. 25
13
Sejauh mana penetrasiunsur-unsur asing dalam aliran-aliran teologi yang menyimpang dari Al-Qur'an
menurut Zahabi dapat dilihat dalam bukunya Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur'an, terjemahan M.
Husein (Jakarta : CV Rajawali Press, 1991), hal 100-115.
13. 4) Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi
dan Nasranike dalam penafsiran Al-Qur'an.
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat
dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta
menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka ingin membuktikan
kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Di antara kitab-kitab tafsir bil-Ma’thur adalah:
1) Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alquran karya Imam Ibn Jabir al-Thabary
2) Tafsir Alquran al-‘Adhim karya Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir
3) Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bil Ma’tsur karya Jalaluddin al-
Suyuthi
2. Tafsir Dirayah (Al-Tafsir Bi Al-Ra’yi)
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana
seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya.
Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-
ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapat
diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau
penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya (Ash-Shabuni,
1985:351).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yi al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang
diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-
Qur’an dan as-sunnah
Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil
ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini
diantaranya Tafsir Al-Qurtuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-
Baidhowy
Ar-Ro’yi Al-mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela /
dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan
14. pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya
menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-
nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para
ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya.
Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara
contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir
Zamakhsyary, Tafsir syiah “Dua belas”, Tafsir As-Sufiyah dan
Al-Bathiniyyah.
Tafsir bi ar-ra’yi ini berawal pada abad ke-3 hijriyah. Pada
masa itu, peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka
berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat
Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam
rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud
itu, mereka mencari ayat-ayat Al-quran dan hadis-hadis Nabi saw,
lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Kaum fuqaha (ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fiqih,
seperti yang dilakukan oleh al-Jashshash, al-Qurtuby, dan lain-lain;
kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis
seperti alkasysyaf, karangan al-Zamakhsyari; dan kaum sufi juga
menafsirkan Alquranmenurut pemahaman dan pengalaman batin
mereka seperti Tafsir Al-quran al-Adhim oleh al-Tustari.14
3. Tafsir Ijmali (Global)
Kata ijmali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan
penjumlahan. 15
dengan demikian tafsir ijmali adalah penafsiran Al-qur’an
yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an
melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian dan
pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. 16
Keterangan lain menyebutkan bahwa metode tafsir ijmali berarti menafsirkan
14
Ali Hasan al-Aridl. Sejarah Dan Metodologi Tafsir. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 48.
15
Muhammad Amin Suma, studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (jakarta: pustakafirdaus,2001),hal 113
16
ibid
15. ayat Al-Qur’an yang dilengkapi dengan penjelasan yang mengatakan bahwa
sistematika penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam mushaf Al-
Qur’an dengan bahasa yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan
mencakup.17
Dengan demikian metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk
menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Qur’an baik dari aspek
hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum, ringkas,
tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup
sehungga mudah dipahami oleh semua orang yang berpengetahuan rendah
sampai dengan orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai dengan metode
tafsir ijmali adalah :
1) Al-tafsir al-farid li al-Qur’an al-madjid, oleh muhammad abd. Al mun’im.
2) Marah labid tafsir al-nawawi /al-tafsir al-munir li ma’alim al-tanzil, oleh
al syekh muhammad nawawial-jawi al-bantani
3) M. Farid Wajdi (1875-1940) dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Keunggulan metode ini terletak pada karakternya yang simplistis dan
mudah dimengerti, tidak mengandung elemen penafsiran yang berbau
isra’iliyat, dan terkesan lebih mendekati bahasa Al-Qur’an. sementara
kelemahannya adalah menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial dan
tidak ada ruang untuk analisis yang memadai 18
sehingga menimbulkan
ketidakpuasan pembacanya.
4. Tafsir Tahlili (Analitis)
Metode Tahlili menurut etimologi, yakni jalan atau cara untuk
menerangkan arti ayat-ayat dan surat dalam mushaf, dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut19
.
17
Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran Al-Qur’an, cet. 1, (yogyakarta: pustakapelajar,1998),hal.13
18
Nasharuddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, PustakaPelajar, Jakarta, 1998, hlm. 3-5
19
Abd. al-Hay al-Farmawi. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, cet. ke2, (Mesir: Maktabat Jumhurriyat,
1977), 24.
16. Metode penafsiran ini, muncul sejak akhir abad II atau awal abad III H, yakni
periode pembukuan tafsir sebagaisuatu istilah yang berdiri sendiri. 20
Dalam metode ini, para penafsir menggunakan makna yang
terkadang oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai
dengan urutannya didalam mushaf. 21
Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian
kosa kata, konotasi kalimat, latar belakang turunnya ayat, munasabah
dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah)
dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir
ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para
tabi’in maupun ahli tafsir lainnya 22
. Diantara metode tafsir ini adalah
tafsir al-Maraghi (karya Musthafa al-Maraghi), tafsir al-Manar (karya
Muhammad Abduh), tafsir fi Dzilal al-Qur’an (karya Sayyid Quthub)23
.
Dengan demikian, ciri-ciri metode tahlili sebagaiberikut24
:
a. Penafsir al-Qur’an berdasarkan ayat perayat sesuai dengan
urutan mushaf.
b. Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sangat rinci meliputi segala
aspek yang berkaitan dengan penjelasan makna ayat, baik
dari segi bahasa,munasabah ayat dan lain sebagainya.
c. Luasnya penafsiran tergantung dari luasnya ilmu yang
dimiliki para mufassir.
d. Sumber pengambilan boleh jadi dari Tafsir bi al-Ma’tsur,
Tafsir bi al-Ra’yi25
, sumber-sumber fiqih dan lain sebagainya.
Kelebihan dan Kelemahan Metode Tahlili (Analitis)26
Kelebihan Metode Tahlili antara lain:
a. Dapat dengan mudah untuk mengetahui tafsir suatu ayat atau
suatu surat dengan lengkap, karena penafsiran al-Qur’an
20
Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961),
140-141.
21
Ibid, 32.
22
Ibid, 31-32.
23
Ibid, 104. Lihat juga di Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Nashruddin Baidan, 32.
24
Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007), 104
25
Ibid, 32.
26
Ibid, 53-62.
17. dijelaskan sesuai dengan susunan ayat atau seperti
berdasarkan urutan yang terdapat dalam mushaf.
b. Dapat dijadikan acuan dalam rangka menghimpun ayat yang
dikaji dengan metode maudhu’i .
c. Mudah untuk mengetahui relevansi dan korelasi antara satu
ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain
d. Memungkinkan untuk memberikan penafsiran pada semua
ayat walaupun inti penafsiran ayat yang satu merupakan
pengulangan dari ayat yang lain. Bilamana ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut sama atau hampir sama.
e. Mengandung banyak aspek pengetahuan, filsafat, hukum dan
lain-lain27
.
Kelemahan Metode Tahlili antara lain28
:
a. Terkesan adanya penafsiran secara berulang-ulang. Terutama
terhadap ayat-ayat yang menghimpun topik sama29
b. Tidak mencerminkan penafsiran secara utuh atau bulat
terhadap suatu masalah. Sebab ayat yang mempunyai topik
yang sama letaknya terpencar dalam beberapa surat.
c. Urain terkesan panjang lebar, bahkan terlalu jauh dari
maksud tafsir itu sendiri sehingga timbul rasa bosan dalam
mempelajarinya dan mengkajinya.
5. Tafsir Muqarin (Perbandingan)
Metode ini definisikan sebagai suatu penafsiran yang bersifat
perbandingan dengan mengemukakan penafsiran ayat Al-Qur’an yang ditulis
oleh para mufassir. Dalam hal ini, seorang mufassir mengoleksi sejumlah
ayat Al-Qur’an, lalu dikaji dan diteliti penafsiran para pakar tafsir
menyangkut ayat-ayat tersebut dengan mengacu pada karya tafsir yang
mereka sajikan. 30
Sementara yang menjadi sasaran kajiannya meliputi:
27
Ibid,54.
28
Ibid, 55-62.
29
Ibid, 72.
30
Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i, op.cit., hlm. 45
18. perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, perbandingan ayat Al-Qur’an
dengan Hadis, dan perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain.31
Manfaat yang dapat dipetik melalui metode ini adalah untuk
membuktikan ketelitian Al-Qur’an, meyakinkan bahwa tidak ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang kontradiktif, memperjelas makna ayat, dan tidak
menggugurkan hadis yang berkualitas sahih. Karya tafsir yang menerapkan
metode ini adalah Durrat al-Tanzil wa Ghurrat at-Ta’wil karya al-Iskafi
(w.240 H), dan al-Burhan fi Taujih Mutasyabahah al-Qur’an karya al-
Karmani (w. 505/111).
Metode ini unggul karena mempu memberikan wawasan realatif luas,
metolerir perbedaan pandangan yang dapat mencegah sikap fanatisme pada
aliran tertentu, memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat, dan
bagi mufassir termotivasi untuk mengkaji berbagai ayat, hadis dan pendapat
mufassir yang lain. Sementara kelemahannya adalah tidak cocok dikaji oleh
pemula (mubtadi’) karena memuat bahasan yang teramat luas, kurang dapat
diandalkan dalam menjawab problem masyarakat, dan dominan membahas
penafsiran ulama terdahulu ketimbang penafsiran baru.32
6. Tafsir Maudlu’i (Tematik)
Secara umum, metode tematik memiliki bentuk kajian, yaitu:
pertama, mengakji satu surat Al-Qur’an secara utuh dan komprehensif
dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, dan menerangkan
kaitan antara berbagai persoalan yang dimuatnya. Di sini, mufassir hanya
menyampaikan pesan yang dikandung dalam satu surat saja. Kedua,
mengkoleksi sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu
persoalan tertentu, lalu ayat-ayat itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan di
bawah satu topik, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik.
Namun demikian, ulama kontemporer cenderung menetapkan kajian
yang kedua sebagai “tafsir maudlu’i”. Mereka mendefinisikannya sebagai
metode yang “menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud
dan topik yang sama serta menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab
31
M. Quraish Shihab et. all, Sejarah ‘Ulum al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 186-191
32
Baidan, op.cit.,hlm.142-144
19. turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian si penafsir mulai memberikan
keterangan dan mengambil kesimpulan”.33
Ciri-ciri tafsir tematik antara lain :
a. Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti
tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku
dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema tertentu yang ingin
diketahui makna atau pengertiannya secara integral menurut
pandangan Al-Qur'an,
b. Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang
dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c. Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek
kronologi turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d. Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-
masing ayat dan lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami
dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa, konteks
kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai
ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu
lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan
sebagainya,
f. Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik
yang ditetapkan,
g. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana
dikemukakan oleh al-Farmawy (1977 : 51-55) dalam bukunya al-
Bidayah di al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan
hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-
Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau
kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.
h. Dalam tafsir tematik sumber utama atau dasar yang dipakai untuk
menafsirkan adalah Al-Qur'an berbicara menurut konsepnva sendiri,
apapun yang diinginkannva dan bukan menurut selera mufassirnya.
Dari sini dapat ditegaskan bahwa tafsir tematik sebagai suatu metode
pada kenyataannya tidak dapat secara mutlak berdiri sendiri terlepas dari metode-
metode lainnya. Sebab sebelum mufassir menyodorkan penafsirannya secara
33
Al-Farmawi, op.cit.,hlm. 52
20. tematik, ia harus terlebih dahulu menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan
tema yang akan dibahas secara terperinci. berarti ia memerlukan juga metode
tahliliy, dan untuk tidak terjebak dalam pemahaman yang mungkin keliru akibat
mengambil produk tafsir tahliliy, mufassir perlu menggunakan metode muqaran
agar dapat menginterpretasikan dan atau menterjemahkan berbagai pendapat
yang ada, disamping untuk memahami lebih jauh perbedaan kandungan antara
satu ayat dengan ayat yang lain, dan lain sebagainya.
Prosedur penafsiran Al-Qur’an dengan metode tematik dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Menentukan bahasan Al-Qur’an yang akan diteliti secara tematik.
b. Melacak dan mengkoleksi ayat-ayat sesuaitopik yang diangkat.
c. Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis dengan mendahulukan ayat
makkiyyah dan madaniyyah, dan mengetahui sebab turunnya ayat.
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut.
e. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis.
f. Melengakpi bahasan hadis-hadis terkait.
g. Mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan komprehensif dengan cara
mengkoleksi ayat yang memuat makna yang sama, mengkompromikan
pengertian yang umum dan khusus, mengsinkronkan ayat-ayat yang
tampak kontradiktif, menjelaskan nasikh dan mansukh, sehingga
semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan
dalam penafsiran.34
Disini barangkali dapat dikemukakan beberapa kitab yang membahas
tema-tema Al-Qur'an yang coraknya mirip dengan tafsir tematik, seperti :
1) Al-Mar 'ah di Al-Qur'an al-Karim, oleh Abbas al-'Aqqad,
2) Al-Riba fi Al-Qur'an, oleh Abu al-A'la al-Maududiy,
3) Al-'Agidah fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Muhammad Abu Zahrah,
4) Al-Uluhiyyah wa al-Risalah fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Muhammad as-
Sahmiy,
5) Al-Insan fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Abbas al-'Aqqad,
6) Maqumat al-Insaniyyah fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Ahmad Ibrahim
Muna,
7) Ayat al-Qasam Al-Qur'an al-Karim, oleh Ahmad Kamal al-Muhdiy
(Farmawi, 1977:60).
34
Al-Farmawi, op.cit., hlm. 61
21. Metode ini unggul karena dipandang mampu menjawab tantangan
zaman, dinamis dan praktis tanpa harus merujuk pada kitab-kitab tafsir yang
tebal dan berjilid-jilid, penataannya yang sistematis membuat pembaca dapat
menghemat waktu, dan pemilihan tema-tema terkini membuat Al-Qur’an
tidak ketinggalan zaman, serta pemahamannya pun menjadi utuh. Sementara
kelemahannya adalah menyajikan ayat Al-Qur’an secara sepotong-potong
sehingga terkesan kurang etis terhadap ayat-ayat suci, pemilihan topik
tertentu membuat pemahaman terbatas, 35
dan membutuhkan kecermatan
dalam menentukan ayat dengan yang diangkat.
7. Metode Kontekstual
Metode kontekstual adalah metode yang mencoba menafsirkan Al-
Qur’an berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah,
seosiologi, dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Arab pra Islam dan selama proses wahyu Al-Qur’an berlangsung.
Lalu, dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam
berbagai pendekatan tersebut. Metode ini pada intinya berkaitan dengan
hermeneutika, sebuah metode penafsiran teks yang dapat berangkat dari kajian
bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosofis.36
Jadi, jika metode ini dikaitkan dengan
teks Al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana
teks-teks Al-Qur’an hadir, dipahami, ditafsirkan, dan dialogkan demi menghadapi
realitas sosial masyarakat dewasa ini.
Kehadiran metode ini dipicu oleh kekhawatiran yang akan ditimbulkan
ketika Al-Qur’an ditafsirkan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan
latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Di sinilah
mungkin letak perbedannya dengan metode tematik. Pada metode tematik,
asbâbun nuzûl hanya dipahami sebagai alat bantu untuk memahami pesan Al-
Qur’an. sementara pada metode kontekstual, tidak saja mengkaji asbâbun nuzûl,
tetapi juga menyelidiki latar belakang sosiohistoris masyarakat di mana Al-
Qur’an diturunkan, untuk kemudian dicari prinsip dan nilai moral yang
terkandung dalam kedua data sejarah tersebut. Fazlur Rahman (w. 1408/1998),
35
Baidan, op.cit., hlm. 165-168
36
Lihat: Richard E. Palmer, Hermeneutika, Musnur hery dan Damanhuri Muhammed, PustakaPelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 95
22. barangkali dapat dicatat di antara tokoh yang mempromosikan metode ini.
Misalnya, ketika ia ingin memahami pengertian literal dari kata riba menurut Al-
Qur’an, ia mengemukakan sejumlah ayat yang terkait, dan menelusuri konteks
pembicaraan ayat-ayat tersebut. Kemudian mengkaitkankannya dengan latar
sosio-historis masyarakat Arab ketika itu demi menemukan prinsip-prinsip moral
yang dikandungnya.
Untuk mengaplikasikan metode kontekstual di era kontemporer,
setidaknya ada dua pendekatan yang sangat berperan yaitu sejarah, dan
heremenutika. Sebenarnya kedua pendekatan ini tidak saja diterapkan pada
disiplin tafsir, tetapi juga pada disiplin Islam lainnya. Metode kritik sejarah, yang
menjadi salah satu bagian pendekatan sejarah misalnya, digunakan ketika
mengkaji Islam historis, yaitu mengkritisi tradisi dan disiplin-disiplin keislaman
sejak era klasik hingga kontemporer, termasuk metode tafsir yang berkembang
dalam tradisi Islam. Di sini, pendekatan sejarah melalui analisis sejarah sosial
juga sangat berperan dalam mengungkap konteks latar belakang turunnya wahyu
Al-Qur’an. sementara heremeneutika digunakan untuk mengkaji Islam normatif,
yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan hadis.
Dalam perspektif hermeneuitka, upaya penelusuran terhadap konteks
pada dasarnya merupakan satu upaya pemahaman teks untuk selanjutnya
menangkap makna dan semangat dari suatu teks, kemudian melakukan
reproduksi makna teks tersebut ke zaman di mana teks tersebut ditafsirkan
(kontekstual). Jadi, menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan analisis teks,
konteks, dan kontekstualisasi merupakan pendekatan yang dilakukan secara
hermeneutis. Meskipun ada klaim bahwa karya tafsir klasik telah memiliki ciri
khas hermeneutika modern,37
tetapi level itu baru dicapainya pada tingkat kajian
teks Al-Qur’an. karena itu diperlukan kajian hermeneutika yang lebih intens,
yang meliputi tidak saja kajian atas teks, tetapi juga atas konteks dan
kontekstualisasinya.
37
Ahmad Syukri Saleh, op.cit., hlm. 296
23. BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Metode tafsir dapat diartikan sebagai suatu prosedur sistematis
yang diikuti dalam upaya memehami dan menjelaskan maksud
kandungan Al-Qur’an. Dengan kata lain, metode tafsir merupakan
kerangka kerja yang digunakan dalam menginterpretasikan pesan-
pesan Al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir adalah analisis
ilmiah mengenai metode-metode penafsiran Al-Qur’an.
2. Perkembangan metode penafsiran al-Qur’an dibagi menjadi 4
zaman yaitu:
a. Tafsir Pada Zaman Nabiﷺ
b. Tafsir Pada Zaman Shahabat
c. Tafsir Pada Zaman Tabi’in
d. Tafsir Pada Masa Pembukuan
3. Klasifikasi metodologi penafsiran al-qur’an dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu:
a. Tafsir Riwayah (Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur)
b. Tafsir Dirayah (Al-Tafsir Bi Al-Ra’yi)
c. Tafsir Ijmali (Global)
d. Tafsir Tahlili (Analitis)
e. Tafsir Muqarin (Perbandingan)
f. Tafsir Maudlu’i (Tematik)
g. Metode Kontekstual
B. Saran
Hendaknya kita selaku umat beragama Islam untuk mempeljari
ilmu tafsir supaya kita memahami kandungan isi al-Qur’an dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari kita. Hafalan al-Qur’an
juga menentukan derajat orang di surga.