Sintesis antrakuinon dari antrasena melalui oksidasi dengan CrO3. Antrasena direfluks dengan asam asetat glacial sebelum ditambahkan larutan CrO3 secara bertahap. Larutan direfluks lagi lalu dipisahkan untuk memberikan antrakuinon awal yang dimurnikan dengan sublimasi menghasilkan antrakuinon murni berbentuk kristal jarum berwarna kuning.
1. k.wr ‘14
SINTESIS ANTRAKUINON
TUJUAN
1. Mempelajari reaksi oksidasi senyawa aromatic polisiklik
2. Memurnikan antrakuinon hasil sintesis dengan teknik sublimasi
DASAR TEORI
Atom atau molekul dikatakan teroksidasi saat kehilangan satu atau lebih electron, dan
dikatakan tereduksi saat menerima satu atau lebih electron. Saat atom teroksidasi, bilangan
oksidasinya meningkat, dan saat tereduksi bilangan oksidasinya menurun (Macomber, 1996).
Saat dihadapkan dengan atom karbon, oksidasi dan reduksi akan lebih mudah diketahui
tanpa penghitungan bilangan oksidasi. Reaksi penambahan ikatan C – O (pengurangan ikatan C
– H atau C – C) disebut oksidasi. Reaksi berkurangnya ikatan O (bertambahnya ikatan C – H atau
C – C) disebut reduksi (Starkey, 2012).
Senyawa aromatic polisiklik dirujuk sebagai senyawa aromatic polinuklir, fused-ring,
atau condensed ring. Senyawa aromatic ini dicirikan oleh cincin-cincin yang memakai atom-
atom karbon tertentu secara bersama-sama dan oleh awan pi aromatic biasa. Beberapa
senyawa aromatic polisiklik adalah sebagai berikut (Fessenden, 1986).
Contoh bentuk resonansi pada senyawa aromatic polisiklik yakni pada naftalena adalah
sebagai berikut (Sumardjo, 2006).
Refluks merupakan proses pemanasan rekatan secara kontinu, pendinginan uap air, dan
mengembalikan kembali ke labu sebagai larutan. Refluks digunakan untuk mensintesis suatu
senyawa, baik organik maupun anorganik dalam waktu lama pada suhu tertentu. Umumnya
digunakan untuk mensistesis senyawa yang mudah menguap. Penggunaan batu didih atau
magnetic stirrer akan menjaga pendidihan larutan dari “bumping” (Faith, 1975).
Senyawa dengan tekanan uap di bawah titik lelehnya dapat dimurnikan dengan
sublimasi jika takmurniannya secara signifikasn lebih tinggi atau rendah dari tekanan uapnya
pada suhu yang sama. Keuntungan sublimasi daripada rekristalisasi sebagai teknik pemurnian
2. k.wr ‘14
yakni tidak memerlukan pelarut dan lebih efektif. Padatan dipanaskan pada container yang
dalam beberapa detik akan mendingin pada permukaannya (Pedersen, 2011).
Antrasena berbentuk padatan tidak berwarna yang tidak larut dalam air, tapi larut
dalam benzene. Antrasena dapat mengalami reaksi adisi dan substitusi elektrofilik. Antrasena
yang mengalami oksidasi dengan natrium dikromat dan asam sulfat akan membentuk 9,10-
antrakuinon. Agen pengoksidasi lainnya seperti asam nitrat dan udara dalam V2O5 juga
membentuk 9,10-antrakuinon (Bahl, 2008).
Struktur dan bentuk resonansi antrasena adalah sebagai berikut (Sumardjo, 2006).
Antrakuinon merupakan turunan dari antrasena. Antrakuinon berbentuk padatan
kuning yang tidak larut air tapi larut dalam benzene panas dengan titik leleh 286⁰C .
Antrakuinon dapat dihasilkan dari antrasena yang dioksidasi dengan natrium dikromat dan
asam sulfat atau udara dalam vanadium pentoxide pada 400⁰C. Antrakuinon juga dapat
dihasilkan dari benzene yang direaksikan dengan phthalic anhidrat dalam aluminium klorida,
sehingga o-benzoybenzoic acid terbentuk, di mana penambahan asam sulfat akan
menghasilkan antrakuinon (Bahl, 2008).
ALAT DAN BAHAN
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini meliputi labu leher tiga 250 ml, pendingin
bola, gelas ukur, gelas beker, pipet tetes, corong Buchner, corong gelas, gelas arloji, pengaduk
magnet, pengaduk gelas cawan porselin, lampu spiritus, pipa kapiler, dan elektrotermal.
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini meliputi antrasena, asam asetat
glacial, larutan NaOH 1 M, CrO3, akuades, dan kertas saring.
Skema Alat
3. k.wr ‘14
CARA KERJA
Sintesis Antrakuinon
Bubuk antrasena sebanyak 2,5 gram dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan
ditambahkan 25 ml asam asetat glacial. Lalu dimasukkan pengaduk magnet dan larutan
direfluks selama 10 – 15 menit pada suhu 230 – 250 ⁰C. Sementara itu, disiapkan 5 gram
kromium trioksida yang dilarutkan dengan 4 ml akuades pada gelas beker, dan
ditambahkan 12,5 ml asam asetat glacial. Larutan lalu dimasukkan ke corong pisah dan
diteteskan pelan-pelan ke dalam larutan dalam labu leher tiga sebelumnya sambil terus
diaduk dan dipanaskan. Saat penambahan, suhu diturunkan hingga dibawah 100⁰C.
Setelah semua larutan dimasukkan ke dalam labu leher tiga, kemudian larutan kembali
direfluks selama 30 menit pada suhu 230 – 250 ⁰C. Setelah itu, larutan dituangkan ke
100 ml akuades dingin dan disaring serta dicuci dengan akuades panas, 25 ml larutan
NaOH 1 M panas, dan akuades dingin. Padatan antrakuinon yang diperoleh lalu
dikeringkan.
Pemurnian Teknik Sublimasi
Antrakuinon kotor dimasukkan ke dalam cawan porselin yang di atasnya
diletakkan kertas saring yang dilubangi kecil-kecil, dan diatasnya lagi diletakkan corong
gelas yang ditutupi kapas. Cawan kemudian dipanaskan dengan lampu spiritus yang
menyebabkan artakuinon menyublim dan mengembun kembali di atas kertas saring.
Padatan yang berbentuk kristal jarum berwarna kuning itulah yang kemudian diambil
sebagai antrakuinon yang telah dimurnikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PERCOBAAN
Massa antrakuinon : 0,08 gram
Warna : kuning
Bentuk : kristal jarum
Bau :
Titik leleh : 266,9⁰C – 272,4⁰C
% Rendemen : 2,75%
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini dilakukan sintesis antrakuinon yang berasal dari proses
oksidasi senyawa aromatic polisiklik. Jenis senyawa aromatic polisiklik yang digunakan
yakni antrasena yang mana memiliki 14 elektron pi, sedangkan senyawa
pengoksidasinya yakni Cr(VI) dalam bentuk senyawa kromium trioksida (CrO3).
4. k.wr ‘14
Proses reaksi pada sintesis antrakuinon ini dilakukan dengan metode refluks
karena campuran tersebut berupa campuran senyawa organik di mana pada umumnya
reaksi-reaksi senyawa organik berjalan begitu lambat pada suhu ruang, sehingga agar
campuran tersebut bereaksi lebih cepat maka dilakukan pemanasan pada suhu tinggi
(eksotermis). Selain itu, asam asetat glasial yang digunakan bersifat sangat volatil,
sehingga jika menggunakan pemanasan biasa dapat menyebabkan pembentukan uap
yang akan mengurangi hasil kuantitatif dari suatu reaksi. Oleh karena itu
pemanasan digunakan refluks karena uap yang terbentuk akan dikondensasi
kembali menjadi larutan. Refluks dapat mempercepat reaksi dengan jalan
pemanasan tetapi tidak mengurangi jumlah zat yang ada. Selain itu, penggunaan refluks
juga untuk menyempurnakan reaksi yang terjadi.
Senyawa awal yang dicampurkan (direfluks) yakni antara bubuk antrasena
dengan asam asetat glacial. Pencampuran ini dimaksudkan untuk melarutkan antrasena
yang berupa bubuk. Penggunaan asam asetat glacial sebagai pelarutnya karena
antrasena yang bersifat non polar, sehingga diperlukan pelarut non polar (pelarut
organic) untuk melarutkannya. Proses refluks dilakukan pada suhu 230-250⁰C karena
suhu tersebut merupakan suhu yang sesuai di mana antrakuinon dapat terbentuk.
Saat proses refluks, larutan diaduk menggunakan pengaduk magnet. Selain
untuk menjadikan larutan homogen, pengaduk magnet juga digunakan untuk meratakan
panas sehingga panas menjadi homogen pada seluruh bagian larutan. Panas larutan
yang tidak merata dapat menyebabkan superheated pada bagian tertentu yang
berdampak ledakan (bumping).
Sebagai oksidatornya, CrO3 dilarutkan terlebih dahulu dengan akuades dan asam
asetat glacial. Penggunaan asam asetat glacial akan menjadikan suasana larutan menjadi
asam. Proses penambahan CrO3 dalam asam asetat glacial ke dalam larutan antrasena
harus tetes per tetes. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar proses reaksi tetap
dalam keadaan stabil (tidak mengalami kenaikan suhu yang drastis, karena proses ini
berlansung dalam keadaan eksotermis, yang ditandai oleh timbulnya gelembung-
gelembung udara saat proses ini berlangsung. Oleh sebab itu, suhu saat penambahan
larutan tersebut juga harus diturunkan hingga dibawah 100⁰C karena jika terjadi pada
suhu tetap seperti sebelumnya (230-250⁰C), maka jika terjadi kenaikan suhu akibat
penambahan CrO3 tidak melebihi suhu yang seharusnya (suhu saat antrakuinon dapat
terbentuk). Jika penambahan larutan oksidatornya selesai, suhu dapat kembali
dinaikkan menjadi 230-250⁰C.
Setelah penambahan CrO3 ke dalam antrasena, larutan akan berubah warna
menjadi hijau. Warna hijau tersebut dikarenakan dalam larutan, terbentuk kompleks
antara Cr(VI) dengan antrasena. Senyawa CrO3 dapat diturunkan menjadi CrO4
2-
5. k.wr ‘14
(kromat) dan Cr2O7
2-
(dikromat) yang juga merupakan heksavalen dengan keadaan
bilangan oksidasi Cr +6. Keduanya merupakan agen pengoksidasi yang kuat.
Dalam larutan netral (basa) ion kromat akan lebih stabil. Namun, adanya
penambahan asam asetat glacial yang menjadikan suasana asam menyebabkan ion
kromat akan mudah diubah menjadi dikromat yang lebih stabil. Reaksi tersebut berjalan
reversible.
Reaksi yang terjadi pada campuran antrasena dengan oksidator Cr(VI) adalah
reaksi redoks, di mana reaksinya adalah sebagai berikut.
Oksidasi :
Reduksi :
Perkiraan mekanisme reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
... (cari sendiri ya :D ) ^^
... (punyaku kemaren salah, jadi daripada memposting yang salah mending cari
sendiri hehe)
Penggunaan akuades dingin untuk menampung larutan yang telah direfluks
untuk mempercepat proses pembentukan kristal antrakuinon sebagai hasil reaksi dari
antrasena dengan Cr2O7
2-
. Akuades juga berfungsi untuk pelarut yang dapat
menghidrolisis sisa asam asetat glacial yang masih tersisa di dalam larutan. Larutan lalu
disaring dengan penyaring Buchner agar diperoleh padatan antrakuinon dengan proses
pencucian menggunakan akuades panas, NaOH panas, dan akuades dingin. Pencucian
dengan NaOH dimaksudkan untuk menetralkan suasana asam pada antrakuinon,
sehingga menjadi netral. Penyaringan dengan penyaring Buchner ini akan didapatkan
antrakuinon berbentuk serbuk berwarna kuning.
Antrakuinon tersebut masih banyak mengandung pengotor yang berasal dari sisa
reaktan maupun hasil samping reaksi lainnya. Sehingga, antrakuinon tersebut masih
perlu dimurnikan dari segala pengotornya dengan cara sublimasi agar dapat diperoleh
antrakuinon yang murni. Penggunaan teknik pemurnian dengan sublimasi karena saat
6. k.wr ‘14
pencucian dengan akuades panas ternyata antrakuinon tidak larut, sehingga proses
pemurnian tidak dapat dilakukan dengan rekristalisasi (syarat rekristalisasi harus dapat
larut dalam pelarut yang panas). Selain itu, sublimasi dipilih karena antrakuinon memiliki
tekanan uap yang cukup tinggi pada suhu di bawah titik leburnya, sehingga laju
penguapan dari padatan akan berjalan cepat dan uap terkondensasi kembali menjadi
padatan pada bagian permukaan pendingin.
Saat proses sublimasi, antrakuinon akan mengalami proses penguapan dan
kondensasi, di mana akan terbentuk tiga jenis padatan yakni padatan berwarna hitam
(antrakuinon yang telah gosong (tidak dapat digunakan lagi)), padatan berbentuk serbuk
berwarna kuning (antrakuinon yang belum mangalami sublimasi), dan padatan
berbentuk Kristal jarum berwarna kuning (antrakuinon yang telah murni). Sehingga,
padatan Kristal jarum berwarna kuning inilah yang kemudian diambil dan merupakan
antrakuinon murni.
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh antrakuinon yang berbentuk kristal jarum
berwarna kuning dengan massa 0,08 gram dan nilai rendemen 2,75%. Sementara itu,
nilai titik leleh antrakuinon hasil sintesis diperoleh 266,9⁰C – 272,4⁰C. Berdasarkan
literature, bentuk fisik antrakuinon yakni padatan berwarna kuning, dengan titik leleh
284 – 286 ⁰C. Sehingga, berdasarkan bentuk fisiknya, antrakuinon hasil sintesis sudah
sesuai dengan literatur. Sementara itu, untuk titik lelehnya sudah hampir mendekati
murni. Namun, rendemen yang dihasilkan masih terlalu sedikit karena hanya sekitar 2%.
KESIMPULAN
... (cari sendiri ya :D ) ^^
DAFTAR PUSTAKA
Bahl, A., 2008, Advanced Organic Chemistry, Chand & Company Ltd., New Delhi.
Faith, dkk., 1975. Industrial Chemicals, Fourth Edition, John Wiley and Sons Inc., New York.
Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S., 1986, Kimia Organik Jilid 2, Edisi Ketiga, (diterjemahkan
oleh: Pudjaatmaka, A. H.), Penerbit Erlangga, Jakarta.
Macomber, R. S., 1996, Organic Chemistry Volume 1, University Science Books, USA.
Pedersen, S., 2011, Undestanding the Principles of Organic Chemistry: A Laboratory Course,
Cengage Learning, Belmont.
Starkey, S., 2012, Introducttion to Strategies for Organic Synthesis, John Wiley & Sons Inc.,
Canada.
Sumardjo, D., 2006, Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan
Program Strata 1 Fakultas Bioeksata, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.