PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
Modul 14 kb 1
1. 1
Mampu menganalisis hakekat akhlak dan kekuatan pendukungya dalam jiwa
manusia
1. Mendefinisikan hakekat akhlak al-karimah.
2. Membedakan potensi-potensi jiwa; Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab,
Quwwah asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah dalam jiwa manusia.
3. Menganalisis terbentuknya akhlak al-karimah dengan sumber-sumber
kemuliaan; hikmah, syaja'ah, iffah, dan ‘adalah
URAIAN MATERI
1. DEFINISI AKHLAK AL-KARIMAH
Bagaimana Saudara sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Saudara tidak perlu
tegang atau takut. Ingat tidak ada yang susah kalau Saudara sudah bisa. Dan tidak ada yang
tidak bisa diraih kalau Saudara sungguh-sungguh “ وجد جد ”من
Baik, kita mulai fahami menurut bahasa terlebih dahulu.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari /خلقkhuluqun
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut
mengandung segi persesuaian dengan perkataan /خلقkhalqun berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan /خالقkhalik yang berarti pencipta, demikian pula /مخلوقmakhluqun yang
berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak
Tasawuf, 2008: 11)
KEGIATAN BELAJAR 1:
CAPAIAN PEMBELAJARAN
INDIKATOR KOMPETENSI
2. 2
Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi akhlak menurut
para ahli berikut:
a. Ibnu Miskawih
الخلقحالللنفسداعيةلهاإلىأفعالهامنغيرفكروالروية
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir
dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi
jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-
tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara
sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.
b. Al-Ghazali
الخلقعبارةعنةَئْيَهيِفِسْفَّنالَةخِسا َراَهْنَعُِردْصُتَلاَعْفَ ْاْلةَلوُهُسِبَورْسُي
ْنِمِْريَغةَجاَحىَلِإرْكِفَّةيِو َر َو
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging
yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang
tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005;
890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging
yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat
spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak.
Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung
ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.
c. Prof. Dr. Ahmad Amin
Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab
al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan,
bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung,
kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012; 10).
Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan
membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau
buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk
perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt.
3. 3
Selain tiga tokoh ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih
banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar
(ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga
sekan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih
ada waktu coba baca sekali lagi! Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan menganalisis
unsur-unsur yang ada di dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi terbentuknya
akhlak.
2. KEKUATAN JIWA DAN SUMBER TERBENTUKNYA AKHLAK AL-
KARIMAH
Setelah Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira
Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya?
Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul mendarah
daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang itu harus dididik
dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di mana ia tinggal sampai benar-
benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu
memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik
bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan
(al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-
Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu
kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936), keempatnya adalah sebagai berikut:
1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah
manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong
dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan,
mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi
pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan
mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih
maju dari sebelumnya.
4. 4
Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala
sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
يِتْؤُيَةَمْك ِحْالْنَمُءَاشَيْنَم َوَتْؤُيَةَمْك ِحْالْدَقَفَيِتوُأاًْريَخاًيرِثَكاَم َوَّكَّذَيُرَّالِإ
وُلوُأِباَبْلَ ْاْل(البقرة:269)
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah
maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya
orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-
Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang
bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing
kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa
manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah
satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama
diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:
ْنَعيِبَأ،َة َْري َرُهَلاَق:َلاَقُلوُس َرِللاىَّلَصُللاِهْيَلَعَمَّلَس َو" :اَمَّنِإْثِعُبُت
َمِمَتُ ِْلَحِلاَصِق ََلْخَ ْاْل"(رواهاحمد)
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus
hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya
berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya untuk
mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan
kebahagiaan dunia akhirat. Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak
mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep
hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir
(baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam
pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-
‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.
a. Husnu at-Tadbir
5. 5
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas
dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan). Ia akan
bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit
apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu
memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil
keputusan yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia
dalam berbagai urusan kehidupan.
b. Jaudat adz-Dzihn
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni
memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika
dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-
pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep yang
memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.
c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni
mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang
dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan
masyarakat.
d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia
akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang
terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama
memikirkannya.
Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi
dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb
terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya
kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali tidak
benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab
karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot
dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
6. 6
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam
membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk
konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan itu
baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila konsep dirinya
buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Selesai sudah pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup
melanjutkan? Hayoo … kita lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke
dua yaitu Quwwah al-Ghadhab.
2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak
disenangi dan memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia
bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta
menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa
berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan
bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga
berani maju mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang
diyakininya benar.
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran
Saudara mengenai hubungan konsep Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih
fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat
turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil
atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah yang menyangkut
kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong
siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan
penekad juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka
harus berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia
berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh
7. 7
kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit
manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri
dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak
terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam
menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam
menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.
g. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan,
banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan.
Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang
tidak perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam
seluruh perkara kebaikan.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-
Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia
bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya
(Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149). Misalnya berani maju ikut
tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan
resikonya bisa mati terbunuh.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia
bisa bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri
dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut mengadapi ujian, padahal ujian
adalah satu cara yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin meningkatkan dan
memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan
berikutnya, yakni Quwwah asy-Syahwah
3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang
yang mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang
bersifat zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan
8. 8
minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia
menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-
Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri
dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang
yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam
menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun
jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.
'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah
sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan
daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan
membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia.
Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. /الحياءhaya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan
oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya.
Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak
ada lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan
damai. Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam
melakukan kemaksiatan
b. /القناعةqana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw.,
sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang
berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela
menerima keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat
menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakekat
dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud
dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c. /السخاءsakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi
memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan
dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun
sekedar ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).
Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang
yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan
tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian,
kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.
9. 9
d. /الورعwara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir
membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat,
yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam
semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari
itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat.
Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya antara lain; rakus, tabdzir, ria,
hasud dan lain-lain.
Bagaimana, faham? Kalau sudah, kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni
Quwwah al-‘Adl
4. Quwwah al-‘Adl
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang
diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan
penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935). Sementara Ibnu Miskawaih meskipun tidak
menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya
juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan
menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan menjadi
sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan yang
benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan
serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata lain ilmunya
sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal
yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber
berbagai akhlah yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan akal dan syariat condong
pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada
sifat lemah dan pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik
oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber
dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-
lain. Dan sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila
10. 10
congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong
pada hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal)
dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya.
Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok
keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.