1. Dokumen tersebut membahas tentang pengertian dan bentuk-bentuk toleransi dalam Islam. Toleransi dalam Islam hanya dianjurkan dalam masalah muamalah dan kemasyarakatan, bukan dalam masalah akidah dan ibadah.
2. Beberapa bentuk toleransi dalam Islam adalah menolong siapa pun baik muslim maupun non-muslim, tetap menjalin hubungan dengan keluarga non-muslim, dan boleh memberi hadiah kepada non-muslim.
1. 1
Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan
perspektif tawassuth, tawaazun, dan tasaamuh, yang berkategori advance
materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten),
“mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-
hari.
1. Menganalisis makna toleransi dalam Islam dan batas-batas toleransi
2. Bersikap toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat dan madzhab
1. Pengertian toleransi dalam Islam
2. Bentuk-bentuk Toleransi
3. Ucapan Selamat Natal
4. Kawin Beda Agama
URAIAN MATERI
1. Toleransi dalam Islam
a. Pengertian Toleransi dalam Islam
Kata toleransiberasaldari tolerandalam KBBI diartikan menenggang atau menghargai
pendirianyang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalambahasa Arab, toleran
adalah“tasâmuh”, yang berarti sikap baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan dengan
KEGIATAN BELAJAR 4:
CAPAIAN PEMBELAJARAN
SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN
POKOK-POKOK MATERI
2. 2
orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Umat manusia diciptakan dengan
berbagai ras, bangsa, suku, bahasa, adat, kebudayaan, dan agama yang berbeda. Menghadapi kenyataan
tersebut, setiap manusia harus bersikap toleran atautasamuh. Dengan sikap toleransi dantasamuhyang
luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu masyarakat yang saling menghargai, menghormati, dan
terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, bangsa, negara, maupun dalam
kehidupan secara umum. Kemudian masyarakat yang harmonis cenderung akan menghasilkan karya-
karya yang besar yang bermanfaat bagi manusia.
Toleransi dianjurkan dalam masalah muamalah dan hubungan kemasyarakatan bukan
menyangkut masalah akidah dan ibadah. Toleransi dalam masalah ibadah dan akidah tertolak
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin
Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui
Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan
kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan
agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari
tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurtubi/14:425)
Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat 1-
6 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah.AllahSwt berfirman:
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Sedangkan sikap toleransi dalam masalah muamalah dan kemasyarakatan dijelaskan oleh
Allah dalam Alqur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9,
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah
orang yang zalim.” (TQS. Al-Mumtahanah: 8-9)
Ibnu Katsir ra berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim
yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara
mereka. Hendaklah kalian berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang
berbuat adil.” (Tafsir Alqur’a al-Azhim, surat ke 7 ayat 247)
Inilah toleransi yang diajarkan di dalam Islam. Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya
untuk bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun demikian, sikap toleransi tidak boleh
dipraktikkan dalam hal yang menyangkut akidah.Inilah ketentuan syariat yang berhubungan
dengan toleransi.
3. 3
b. Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam
Ada beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
1. Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit, muslim
ata nonmuslim, bahkan terhadap binatang sekalipun.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رْجَأ ٍةَبْط َر ٍدِبَك ِلُك ىِف
“Dalam setiap hati yang basah( makhluk hidup yang diberi makan minum) ada pahalanya”
(HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam mengajarkan peduli sesama.
2. Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وفُرْعَم اَيْنُّدال يِف اَمُهْب ِاحَص َو اَمُهْعِطُت الَف مْلِع ِهِب َكَل َْسيَل اَم يِب َك ِرْشُت ْنَأ لىَع ََاكدَهاَج ْنِإ َوا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Dalam ayat di atas sekalipun seorang anak dipaksa syirik oleh orang tua, namun tetap
kita disuruh berbuat baik pada orang tua.Lihat Asma’ binti Abi Bakr ra ketika ia berkata,
“Ibuku pernah mendatangiku di masa NabiSawdalam keadaan membenci Islam. Aku pun
bertanya pada Nabi untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.”
Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,
ِِينالد ىِف ْمُكوُلِتاَقُي ْمَل َِينذهال ِنَع ُ هَّللا ُمُكاَهْنَي َال
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8)
3. Boleh memberi hadiah pada non muslim.
Islam memperbolehkan umat Islam memberi hadiah kepada non muslim, agar
membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin berdakwah dan atau ingin agar mereka tidak
menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu ‘Umar ra. , beliau berkata,
ِىِبهنلِل َلاَقَف ُعاَبُت ٍلُج َر ىَلَع ةهلُح ُرَمُع ىَأ َر–وسلم عليه هللا صلى–ْال َم ْوَي اَهْسَبَْلت َةهلُحْال ِهِذَه َْعتْباِةَعُمُُج
َلاَقَف . ُدْف َوْال َكَءاَج اَذِإ َو«ْنَم اَذَه ُسَبْلَي اَمهنِإِة َر ِاآلخ ىِف ُهَل َقَالَخ َال. »ِ هَّللا ُلوُس َر َىِتُأَف–هللا صلى
وسلم عليه–َتْلُق اَم اَهيِف َتْلُق ْدَق َو اَهُسَبْلَأ َْفيَك ُرَمُع َلاَقَف . ٍةهلُحِب اَهْنِم َرَمُع ىَلِإ َلَس ْرَأَف ٍلَلُحِب اَهْنِمَلاَق
«اَهَسَبَْلتِل اَهَكُسْكَأ ْمَل ىِنِإَاهوُسْكَت ْوَأ اَهُعيِبَت ،. »َمِلْسُي ْنَأ َلْبَق َةهكَم ِلْهَأ ْنِم ُهَل ٍخَأ ىَلِإ ُرَمُع اَهِب َلَس ْرَأَف
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada
Nabi shallallahuSaw, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika
ada tamu yang mendatangimu.” NabiSaw pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan
4. 4
pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian
RasulullahSaw didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada
‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi
mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?”
NabiSaw menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.”
Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum
saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619).
Umar bin Khattab masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang
non muslim.
c. Toleransi Antar umat Beragama
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia lain dalam
rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang
individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengannya salah satunya
adalah perbedaan kepercayaan / agama.Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri
akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam
masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi
gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya". Sehigga kita sebagai warga Negara
sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi
menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "Tolerare" yang berarti dengan sabar
membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap
manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai
setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial budaya yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap golongan-golongan
yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas pada suatu masyarakat. Misalnya
toleransi beragama dimana penganut Agama mayoritas dalam sebuah masyarakat mengizinkan
keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap
5. 5
manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan
menghargai manusia yang beragama lain.
Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi "golongan /
Kelompok" yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik, dan lain-lain. Sampai
sekarang masih banyak kontroversi serta kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari
kaum konservatif atau liberal.
Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertaqwa kepada tuhan menurut
agama dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang mutlak. Karena Semua agama
menghargai manusia oleh karena itu semua umat beragama juga harus saling menghargai.
Sehingga terbina kerukunan hidup anatar umat beragama
d. Persyaratan Pendirian Tempat Ibadah
Dalam pendirian rumah untuk peribadatan, wajib memperoleh izin khusus. Dalam
mendirikan sebuah bangunan wajib mendapatkan izin tertulis dari pemerintah, izin mendirikan
bangunan dan lain-lain. Terlebih lagi dalam pendirian rumah untuk peribadatan, wajib memperoleh
izin khusus. Ketentuan soal izin khusus ini dijelaskan dalam sejumlah aturan, sebagai berikut.
Dasar hukum tata cara pendirian rumah ibadah terdapat dalam Peraturan bersama Menteri
agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang pedoman
pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Dalam
peraturan ini yang dimaksud dengan Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara
permanen.
Akan tetapi masing-masing daerah memiliki peraturan tersendiri, seperti misalnya di daerah
khusus ibukota atau DKI yang telah membuat aturan dalam Peraturan Gubernur Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 83 tahun 2012 tentang prosedur pemberian persetujuan pembangunan
rumah ibadat. Syarat dan prosedur pendirian rumah ibadah antara lain harus memenuhi syarat
administratif (kelengkapan dokumen IMB dll), selain itu juga harus memenuhi persyaratan khusus,
meliputi:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90
orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
a) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa.
b. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
6. 6
a) Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
Jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat
dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat, sehingga
hak setiap warga dalam menjalankan ibadahnya dapat terjamin
http://www.gresnews.com/berita/tips/113137-aturan-dan-prosedur-pendirian-rumah-ibadah/
2. Ucapan Selamat Natal
Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama lain seperti
agama Kristen misalnya dianggap haram oleh sementara orang dan dinilai sesat dan
menyesatkan. Berita itu yang biasa terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan
ulama di Timur Tengah.Berikut tulisan ulama besar SuriahMustafa Az-Zarqa’ yang termuat
dalam kumpulan fatwanya “Fatwa Mustafa Az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed
Ahmad Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf al-Qardhawy. Al-
Qardhawy mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya dan merasa bangga menulis pengantar
tentang kumpulan fatwa itu.
Fatwa ini adalah jawaban Az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad ash-Shabbagh yang
bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut:
“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan seorang Muslim
berkaitan dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat
saya: Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya yang menganut agama
Nasrani termasuk dalam anjuran berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh
Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan perlakuan
baik semacam ini terhadap mereka, apalagi yang mulia Al-Masih dalam pandangan
aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi
yang amat diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat kepada mereka pada
hari kelahiran Isa as.haram—siapa yang menduga demikian—maka dia salah karena
tidak ada hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum Nasrani dan
pandangan mereka terhadap Isa as.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang diusung di
hadapan NabiSaw., maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu merupakan ekspresi dari rasa
agung dan dahsyat terhadap kematian—tidak ada hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi
yang mati itu.
7. 7
Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya terhadap
Non-Muslim. Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang sungguh lemah di
antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan tuduhan bahwa kaum Muslim adalah
teroris, fanatik, dan lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah image buruk
itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki
teman-teman yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia tidak membalas sikap
baik mereka itu dengan berkunjung kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran,
maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang ditujukan kepada kaum Muslim,”
demikian antara lain Mustafa az-Zarqa’.
Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjung-mengunjungi itulah yang dilakukan
juga oleh pimpinan al-Azhar Mesir.Apakah mereka salah dan sesat?Saya menduga keras
bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama dan lebih bijaksana daripada mereka yang
mengharamkan ucapan Selamat Natal, apalagi menyesatkan siapa yang membolehkan
mengucapkan Selamat Natal itu.
Ada beberapa hadits- antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang
seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits
tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika
kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut.Dalam buku Subul as-
Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil.IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan
bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami larangan tersebut dalam arti
haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam.
Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbâs. Qadhi Iyadh dan
sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada
kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza‘i.
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya
larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu
kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu
Umar, yang menyampaikan sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam
terhadap Muslim tidak berkata, “Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti
“Kematian atau kecelakaan untuk Anda”.
Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka
dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,” sehingga jika yang
8. 8
mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang
mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu).”
Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda.Dalam masyarakat kita, banyak
ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan
khusus.
Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa: Salam sejahtera
(semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam [19]: 33).
Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan
oleh Nabi mulia itu.Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak
semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks,
kondisi, situasi, dan pelaku.Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu
dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan
Yesus Kristus.Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan
“Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas.Itu semua untuk
menghindari kerancuan dan kesalahpahaman.Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata
yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau
kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian
semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata
yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai
Muhammad).Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada
di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang
keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam.Nah, mengucapkan
“Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan
akanketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah
Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat
Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun
yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”.
Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan
9. 9
‘Îsâ, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah.Dia memberiku al-Kitab dan Dia
menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan
itu?Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju
kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap
Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah?Apa salahnya
kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as., sebagaimana kita mohonkan untuk
seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) ‘Îsâ as.? Bukankah
NabiSaw. juga merayakan hari keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa
Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa,seperti
sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Mûsâ (merayakan/mensyukuri keselamatannya)
daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan
(umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu dawud, melalui Ibnu Abbas—
lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).
Untuk menjawab hukumnya, perlu dikupas ke dalam beberapa point:
Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas
menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi
sosial saat nabi MuhammadSaw hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang
hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan
orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).
Kedua, karena tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas
menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi
yang berlaku kaidah:
َو ِهْيِف ُفَلَتْخُمْال ُرَكْنُي َالِهْيَلَع ُعَمُْجُمْال ُرَكْنُي اَمهنِإ
Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan
permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.
Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya,
sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka
sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini.
10. 10
1. Sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin
Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim
mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.
Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu
wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72:
َال َِينذهال َواام َرِك واُّرَم ِوْغهاللِب واُّرَم اَذِإ َو َورُّالز َُوندَهْشَي
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Pada ayat tersebut, AllahSwt menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat
yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan,
seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian
palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak
akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat
Natal hukumnya haram.
Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
هبَشَت ْنَمْمُهْنِم َوُهَف ٍم ْوَقِب َه
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut."
(HR. Abu Daud, nomor 4031).
Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum
Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan
dimaksud adalah haram.
2. Sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh
Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom
Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan
ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:
11. 11
ْمَل َِينذهال ِنَع ُ هَّللا ُمُكاَهْنَي َالْمُهوُّرَبَت ْنَأ ْمُك ِارَيِد ْنِم ْمُكوُج ِرُْخي ْمَل َو ِِينالد يِف ْمُكوُلِتاَقُي
ْمِهْيَلِإ واُطِسْقُت َو
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Pada ayat di atas, AllahSaw tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada
siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan,
mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non
Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.
Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam riwayat Anas bin Malik:
ُ هَّللا ىهلَص ُّيِبهنال ُهَاتَأَف ، َض ِرَمَف َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هَّللا ىهلَص هيِبهنال ُمُدْخَي ٌّيِدوُهَي مَالُغ َانَكَدْنِع َدَعَقَف ،ُهُدوُعَي َمهلَس َو ِهْيَلَع
َرَظَنَف .ْمِلْسَأ :ُهَل َلاَقَف ِهِسْأَر َلاَقَف ،ُهَدْنِع َُوه َو ِهيِبَأ ىَلِإ.َمَلْسَأَف .َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هَّللا ىهلَص ِمِساَقْال اَبَأ ْعِطَأ :ُهَل
ِارهنال َنِم ُهَذَقْنَأ ِيذهال ِ ه ِّلِل ُدْمَحْ(ال :ُلوُقَي َُوه َو َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هَّللا ىهلَص ُّيِبهنال َج ََرخَفـ )
“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya,
kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya
yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu
'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya
dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)
Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan
menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3,
halaman 586).
12. 12
Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada
non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu
bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan.
Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan.
Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut
keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan
perpecahan.
Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari
raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar
bin Khattab ra. menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’
(Quds/Palestina):
ْنَ ِْل اانَمَأ ْمُهاَطْعَأ :ِانَمَ ْاْل َنِم َءاَيِلْيِإ َلْهَأ َْنيِنِمْؤُمْال ُْريِمَأ ُرَمُع ِهللا ُدْبَع ىَطْعَأ اَم اَذَهْمِهِلا َوْمَأ َو ْمِهِسُُف
َنَك َوُمَدْهُت َال َو ،ْمُهُسِئَانَك ُنَكْسُت َال ،اَهِتهلِم ِرِئاَس َو ْمِهِناَبْلَص َو ْمِهِسِئا .
“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada
penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan
kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana.
Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-
Thabary, Juz 3, halaman 609)
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU
Malaysia.
3. Kawin Beda Agama
Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita non-muslim yang dimaksud dalam Hukum
Islam adalah apabila Wanita Non-muslim tersebut adalah dari golongan ahli kitab, artinya
orang yang mengimani kitab terdahulu, dalam hal ini Wanita Nasrani dan Wanita Yahudi, maka
pernikahan ini diperbolehkan (halal).
Mari melihatperbandingan ke-tiga Surat tersebut dalam peristiwa, AllahSwt berfirman
dalam QS Al-Baqarah Ayat 221:
13. 13
ةَمَ َْل َو ۚ هنِمْؤُي ٰىهتَح ِتاَك ِرْشُمْال واُحِكْنَت َال َوواُحِكْنُت َال َو ۗ ْمُكْتَبَُجْعَأ ْوَل َو ٍةَك ِرْشُم ْنِم ْريَخ َةنِمْؤُم
ىَلِإ َُونعْدَي َكِئَٰلوُأ ۗ ْمُكَبَُجْعَأ ْوَل َو ٍك ِرْشُم ْنِم ْريَخ نِمْؤُم ْدبَعَل َو ۚ واُنِمْؤُي ٰىهتَح َِينك ِرْشُمْالۖ ِارهنال
ْغَمْال َو ِةهنَُجْال ىَلِإ وُعْدَي ُ هَّللا َوَونُرهكَذَتَي ْمُههلَعَل ِاسهنلِل ِهِتاَيآ ُنِيَبُي َو ۖ ِهِنْذِإِب ِة َرُِف
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak
ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran".
Diketengahkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hatim dan Wahidi dari Muqatil, katanya,
"Ayat ini diturunkan mengenai Ibnu Abu Martsad Al-Ghunawi yang meminta izin kepada
NabiSaw.untuk mengawini seorang wanita musyrik yang cantik dan mempunyai kedudukan
tinggi. Maka turunlah ayat ini." Diketengahkan oleh Wahidi dari jalur Suda dari Abu Malik
dari Ibnu Abbas, katanya bahwa ayat ini turun mengenai Abdullah bin Rawahah. Ia mempunyai
seorang budak sahaya hitam yang dimarahi dan dipukuli. Dalam keadaan kebingungan ia
datang kepada NabiSaw. lalu menyampaikan beritanya, seraya katanya, "Saya akan
membebaskannya dan akan mengawininya." Rencananya itu dilakukannya, hingga orang-
orang pun menyalahkannya, kata mereka, "Dia menikahi budak wanita." Maka AllahSwt. pun
menurunkan ayat ini. Hadis ini dikeluarkan pula oleh Ibnu Jarir melalui As-Sadiy berpredikat
munqathi.
.AllahSwt berfirman dalam QS Al-Maidah/5: 5
ا َو ۖ ْمُهَل ٌّل ِح ْمُكُماَعَط َو ْمُكَل ٌّل ِح ََابتِكْال واُتوُأ َِينذهلا ُماَعَط َو ۖ ُاتَبِيهطال ُمُكَل هل ِحُأ َم ْوَيْالَُاتنَصْحُمْال َو ِتَانِمْؤُمْال َنِم َُاتنَصْحُمْل
ُمُتْيَتآ اَذِإ ْمُكِلْبَق ْنِم ََابتِكْال واُتوُأ َِينذهال َنِمِانَميِ ْاْلِب ْرُُفْكَي ْنَم َو ۗ ٍانَدْخَأ ِيذ ِخهتُم َال َو َين ِحِفاَسُم َْريَغ َِينن ِصْحُم هُنهَورُجُأ هُنهو
َين ِرِسَاخْال َنِم ِةَر ِخ ْاآل يِف َُوه َو ُهُلَمَع َطِبَح ْدَقَف
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
14. 14
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".
Sebagian Sahabat Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi) seperti
Utsman bin Affan dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah dengan wanita Nasrani dan
Hudzaifah yang menikahi wanita Yahudi.
"Dihalalkan bagi kalian wahai orang-orang yang beriman menikahi wanita-wanita
merdeka yang beriman dan ahlu kitab dari Yahudi dan Naṣrani baik dia żimmiyah atau
harbiyah apabila kalian telah membayarkan mahar mereka.Kehalalannya dibatasai
dengan pembayaran mahar untuk penegasan tentang wajibnya mahar, bukan sebagai
syarat di dalam kehalalannya.Pengkhususan penyebutan merdeka sebagai anjuran
bahwa wanita merdeka itu lebih utama, bukan berarti selain mereka (wanita merdeka)
tidak boleh dinikahi, karena pernikahan budak perempuan yang Muslimah itu baik
sesuai kesepakatan.Menurit Abu Hanifah hal itu adalah baik".
Dihalalkan bagi kalian menikahi wanita-wanita merdeka agar keadaan kalianterbebas
dari zina dengan menikahi mereka, (yaitu) wanita-wanita yang terbebas dari perbuatan keji
secara terang-terangan dan bukan pula wanita yang senang mendatangi kekejian, artinya bahwa
yang dibolehkan adalah menikahi wanita-wanita merdeka yang terbebas dari perbuatan zina
dengan syarat membayarkan mahar mereka dengan maksud menikah dan menjaga diri bukan
dengan maksud menumpahkan air (sperma) dari jalan zina secara terbuka dan bukan pula pada
jalan zina secara sembunyi-sembunyi yaitu mengambil gundik-gundik.
AllahSwt telah memperingatkan orang yang menyelisihi dan Allah senang kepada
hukum-hukum tentang kehalalan di atas, kemudian AllahSwt berfirman ( َطِبَح ْدَقَف ِيمانِ ْاْلِب ْرُُفْكَي ْنَم َو
ُهُلَمَع), maksudnya, barang siapa yang mengingkari syari’at-syari’at Islam dan mengingkari
pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya maka AllahSwt pasti membatalkan pahala amalnya
di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia dengan sempitnya amalan dia dan tidak adanya
manfaat darinya, sedangkan di akhirat dengan kerugian dan kehancuran di Neraka
Jahannam.Allah memutlakkan kata Iman pada ayat di atas dan menghendaki orang beriman
untuk mengamalkannya, itu semua hanyalah sebagai majaz bahwa yang dikendaki AllahSwt
adalah mengimani syari’at-syari’at AllahSwt dan mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Ada
juga yang menafsirkan: “Barang siapa yang mengingkari Rabb yang wajib diimani, lafal itu
merupakan majaz dengan membuang kata tertentu (yaitu kata Rabb) dan maksud dari ayat ini
adalah menunjukkan besarnya perkara yang dihalalkan Allah dan yang diharamkan-Nya. Dan
ancaman bagi orang yang menyelisihinya.
15. 15
Yang bisa diambil dari surat al-Maidah ayat 5 di atas di antaranya adalah: Pensyariatan
menikahi wanita yang muḥshonat baik dari kalangan Muslimah maupun ahlu kitab, yang
dimaksud al-muḥshonat adalah:
1. Menurut Mujahid dan jumhur adalah wanita-wanita yang merdeka
2. Menurut Ibnu Abbas al-muḥshonat adalah Wanita-wanita yang menjaga dirinya dari
perbuatan keji
Batalnya pahala amal apabila orang yang beramal tersebut mengingkari hukum-hukum
dan syari’at AllahSwt, kufur terhadap pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya, sebagaimana
firman AllahSwt (ِيمانِ ْاْلِب ْرُُفْكَي ْنَم َ)و artinya dengan apa yang diturunkan kepada RasulullahSaw
atau mengingkari Iman maka sia-sialah amalnya maksudnya adalah batal dan sia-sialah pahala
amalnya dan amalnya tidak bermanfaat di akhirat.
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj
a. Wanita Kristen Halal Bagi Pria Muslim
Para Ulama Islam percaya agama Islam, Nasrani, dan Yahudi merupakan agama
samawi.Sehingga mereka berpendapat, selain menikahi wanita Muslim, pria Muslim
boleh menikahi wanita Kristen. Tapi wanita dari agama lain seperti Hindu, Budha, dll
haram baginya.
Mengapa pria Muslim boleh menikahi non-Muslimah? Alasanya, karena pria
dianggap sebagai pemimpin rumah tangga dan berkuasa penuh atas isterinya.Beberapa
sahabatnya juga menikahi wanita Kristen. Seperti Utsman bin Affan dan Talhah bin
Ubaidillah menikahi wanita Nasrani. Sedangkan Hudzaifah menikahi wanita Yahudi.
b. Muslimah Menikah dengan Pria Non-Muslim
Perlu ditegaskan bahwa haram hukumnya seorang Muslimah menikah dengan
laki-laki non-Muslim secara mutlak, baik laki-laki itu dari golongan Ahli Kitab (Yahudi
dan Nasrani) ataupun dari agama musyrik lainnya.Hal ini telah ditegaskan dalam
Alquran dan merupakan ijmak (konsensus) para ulama Islam. AllahSwt berfirman,
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.” (QS al-Baqarah [2]: 221).
16. 16
Dalam tafsirnya, Imam al-Thabari menjelaskan bahwa dalam ayat ini AllahSwt
telah mengharamkan wanita Mukminah untuk menikah dengan lelaki musyrik dari jenis
mana pun, maka hendaklah laki-laki beriman (para wali wanita mukminah) tidak
menikahkan seorang wanita Mukminah dengan laki-laki kafir karena itu adalah hal yang
haram dilakukan. Sungguh, menikahkan wanita Mukminah dengan seorang budak yang
beriman dan meyakini AllahSwt dan Rasul-Nya serta wahyu yang dibawanya lebih baik
daripada menikahkannya dengan seorang laki-laki merdeka tapi musyrik, meskipun
terhormat keturunannya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juga mengatakan maksud ayat ini adalah janganlah
kamu menikahkan seorang wanita Muslimah dengan seorang laki-laki musyrik. Dan umat
Islam telah berijmak bahwa seorang laki-laki musyrik tidak boleh sama sekali bercampur
dengan wanita Muslimah karena itu merupakan bentuk merendahkan Islam.
Dalam ayat lain, AllahSwt menegaskan,
“...maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS al-Mumtahanah [66]: 10).
Menurut Ibnu Katsir, ayat inilah yang mengharamkan wanita Muslimah untuk
laki-laki kafir yang pada masa awal Islam diperbolehkan. Imam al-Qurthubi juga
mengatakan, dalam ayat ini AllahSwt mengharamkan wanita Muslimah bagi laki-laki
kafir dan juga mengharamkan laki-laki Muslim menikahi wanita musyrik.