1. Dokumen tersebut menjelaskan konsep ikhlas berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis, serta menganalisis penafsiran ulama tentang arti ikhlas.
2. Ikhlas dijelaskan sebagai hati yang bersih dan tulus dalam beribadah hanya kepada Allah tanpa mengharap pujian atau balasan dari manusia.
3. Ayat Al-Quran dan hadis menekankan pentingnya mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah meskipun
1. 1
1. Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi
2. Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan
toleransi
URAIAN MATERI
1. Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah
sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat
diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah
pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi
di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan
keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran.
Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar
menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya. Dalam
hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai bagian dari riya’
maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat diartikan sebagai
kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah semata dalam
menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal
yang dapat merusak niat itu sendiri.
Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani
itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal
KEGIATAN BELAJAR 3:
INDIKATOR KOMPETENSI
2. 2
yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan
kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari
amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya
untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan
kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa
ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa, merasa
lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan sifat ikhlas
tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut:
- Surah Ghafir (QS.40: 14)
َونُرِفََٰكْٱل َه َِرك ْوَل َو َِينٱلد ُهَل َين ِصِلْخُم َ هٱَّلل ُ۟واعْدٱَف
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah
kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari
memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan
agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah
memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan)
penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir
maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai
hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits
yang relevan, diantaranya ialah:
َانَثهدَح :ُدَمْحَأ ُماَمِ ْاْل َلاَقٌمَاشِه َانَثهدَح ، ٍْريَمُن ُْنب ِ هَّللا ُدْبَع-ِْريَبُّالز ِْنب َة َو ْرُع بن يعني-ْنَع
ُِربُد يِف ُلوُقَي ِْريَبُّالز ُْنب ِ هَّللا ُدْبَع َانَك :َلاَق ِيِكَمْال مدرس بن مسلم بن ِدهمَحُم ِْريَبُّالز يِبَأ
هَلِإ َهَلِإ ََل :ُمِلَسُي َين ِح ٍة ََلَص ِلُكَلَع َوُه َو ،ُدْمَحْال ُهَل َو َُْلُمْال ُهَل ،ُهَل ََي َِرَ ََل ُهَدْح َو ،ُ هَّللا
َل ،ُههايِإ هَلِإ ُدُبْعَن ََل َو ،ُ هَّللا هَلِإ َهَلِإ ََل ،ِ هاَّللِب هَلِإ َة هوُق ََل َو َل ْوَح ََل ،ٌِيردَق ٍءَْيَ ِلُكُهَل َو َُُمْعِالن ُه
3. 3
َنهثال ُهَل َو ،ُلْضَفْال:َلاَق "َونُرِفاَكْال َه ِرَك ْوَل َو َِينالد ُهَل َين ِصِلْخُم ،ُ هَّللا هَلِإ َهَلِإ ََل ،ُنَسَحْال ُءا
ٍة ََلَص ِلُك َُربُد هنِهِب لِلَهُي َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هَّللا هلَص ِ هَّللا ُلوُسَر َانَك َو
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz
Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di
Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu
mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan
selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagi-
Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan
tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain
Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua
nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah,
(kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya,
sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair
mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut
setiap usai salatnya.
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa
Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa
berikut:
ََل .ٌِيردَق ٍءَْيَ ِلُك َلَع َوُه َو ،ُدْمَحْال ُهَل َو َُْلُمْال ُهَل ،ُهَل ََي َِرَ ََل ُهَدْح َو ،ُ هَّللا هَلِإ َهَلِإ َ"َل
ِالن ُهَل ،ُههايِإ هَلِإ ُدُبْعَن ََل َو ُ هَّللا هَلِإ َهَلِإ ََل ،ِ هاَّللِب هَلِإ َة هوُق ََل َو َل ْوَحُءَانهثال ُهَل َو ،ُلْضَفْال ُهَل َو َُُمْع
"َونُرِفاَكْال َه ِرَك ْوَل َو َِينالد ُهَل َين ِصِلْخُم ُ هَّللا هَلِإ َهَلِإ ََل ،ُنَسَحْال
Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya
kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak
menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia,
dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan
ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).
4. 4
ٌحِلاَص َانَثهدَح ،ٍح َِاصن ُنْب يب َِصخال َانَثهدَح ُعيِبهالر َانَثهدَح :ٍمِتاَح يِبَأ ُنْبا َلاَق-ي ِرِالم يِنْعَي-ِْنب َِامشِه ْنَع
ِنَع ،َهانسَح:َلاَق َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هَّللا هلَص ِيِبهنال ِنَع ،ُهْنَع ُ هَّللا َي ِض َر ،َةَْريَُره يِبَأ ْنَع َين ِيرِس ِْنبا
هللا "ادعوا"ٍه ََل ٍلِفَاغ ٍبْلَق ْنِم ًءاَعُد ُيب َِجتْسَي ََل َ هَّللا هنَأ واُمَلْعا َو ،َُِباَجِ ْاْلِب َونُنِقوُم ْمُتْنَأ َو
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi',
telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan
kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu
Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan
diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan
doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.
Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah
mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang
pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT.
Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang
tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi
keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain
yang mungkin tidak menyukainya.
- Surat Gahfir SQ 40: 65
Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah
ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:
َينِمَلََٰعْٱل ِبَر ِ ه َِّلل ُدْمَحْٱل َِينٱلد ُهَل َين ِصِلْخُم ُهُوعْدٱَف َُوه هَلِإ َهََٰلِإ ٓ ََل ُّ َحْٱل َُوه
Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah
Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia)
sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)
5. 5
Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan
satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan
bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya
dengan segala ketulusan.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan
menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian
penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan
penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu
Katsir ialah sebagai berikut:
َُوه َلِإ َهَلِإ ََل ُّيَحْال َُوه
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65)
Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia
tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang
Maha lahir lagi Maha batin.
َُوه َلِإ َهَلِإ ََل
Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65)
Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.
َِينالد ُهَل َين ِصِلْخُم ُهُوعْداَف
maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir:
65)
dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib
disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam
mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah”
hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu
Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
6. 6
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah,
Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair,
dari Abdullah ibnuz Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu
mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:
«له ََي َِرَ ََل ُهَدْح َو ُ هَّللا هَلِإ َهَلِإ ََل»
“Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya”
Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan
dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita
hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa
menyekutukannya.
- Surat Al A’raf ayat 29
Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al
A’raf yang berbunyi:
َب اَمَك ۚ َِينالد ُهَل َين ِصِلْخُم ُهُوعْدا َو ٍد ِْجسَم ِلُك َدْنِع ْمُكَهوُج ُو واُميِقَأ َو ۖ ِْطسِقْالِب يِبَر َرَمَأ ْلُقُدوُعَت ْمُكَأَدَون
Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepada-Nya)".
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:
(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu
perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada
lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan
luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan
menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di
setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan
sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan
7. 7
ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia
menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya
Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup
kembali.
Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan
kepada-Nya” diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya
hanya menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang
lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang
lainnya.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki
penafsiran sebagai berikut:
Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh
kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing-
masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia
menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa,
kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan
semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang
berbunyi:
ِْطسِقْالِب يِبَر َرَمَأ ْلُق
Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini
ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan
berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara.
Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:
8. 8
َو ٍد ِْجسَم ِلُك َدْنِع ْمُكَهوُج ُو واُميِقَأ َوَِينالد ُهَل َين ِصِلْخُم ُهُوعْدا
Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di
setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya”,
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan
penjelasan sebagai berikut:
“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya,
yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-
mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan
syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada
kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena
sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam
amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan
secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal
dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”
Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:
َُوندوُعَت ْمُكَأَدَب اَمَك
Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)
Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu
Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna
firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29)
ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. Adapun
menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna
“sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini,
demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat
dalam keadaan hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman
Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai
9. 9
penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak
ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam
keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa
penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak
semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan
kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli
surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah,
maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya
sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka
(penghuni neraka). Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan
orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi
orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi
mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah
“sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang
mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka
demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah
keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”
Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan syarat
diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari diterimanya sebuah amal
ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi rukun-rukunnya serta dilaksanakan
dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan
sedikitpun.
- Surat Az Zumar Ayat 11
Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az Zumar yang berbunyi:
َِينالد ُهَل اًصِلْخُم َ هَّللا َدُبْعَأ ْنَأ ُت ْرِمُأ يِنِإ ْلُق
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
a. Tafsir Jalalain
10. 10
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah murni dari
perbuatan syirik.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan
bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan
“aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan
tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran
atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan bahwa
“sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya”
Berdasarkan penjelasan beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa
pentingnya esensi keikhlasan dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang
berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah, hendaknya
dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan penuh kesadaran dan kemurnian
hati. Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana
Allah telah berfirman:
ُِوندُبْعَيِل هَلِإ َسْنِ ْاْل َو هن ِجْال ُتْقَلَخ اَم َو
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
2. Toleransi
Toleransi secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang
berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap
toleran, mendiamkan membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi (mengutip
kamus Al-Munawir disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan
atau lapang dada). Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau
sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan
dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.
11. 11
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan
pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang
lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya agama,
ideologi dan ras.
Firman-Nya, َوهِب ُنِم ُّۡؤي ۡنهم ۡمُهۡنِم Di antara mereka ada orang-orang yang
beriman kepada Al-Qur’an, dan seterusnya. Maksudnya, di antara mereka yang
kamu diutus kepada mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan Al-
Qur’an ini, dia mengikutimu dan mengambil manfaat dengan apa yang kamu
diutus dengannnya. هِب ُنِم ُۡؤي هَل ۡنهم ۡمُهۡنِم َو “Dan di antaranya ada (pula) orang-
orang yang tidak beriman kepadannya.” Bahkan dia mati dalam keadaan
seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula.
ََُّبَر َوَِيندِسفُمالِب ُمَلعَا “Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang
yang berbuat kerusakan.” Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang
berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang
berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah yang
Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi masing-
masing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha
Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad SAW: “Jika orang-orang
musyrik mendustakanmu, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka.
مُكُلَمَع مُكـَل َو ِلَمَع ِل ْلُقَف “Maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu
pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya: َهُّيَأاَي ْلُقَن ُْودُبْعَت اَم ُدُبْعَا ََل # ن ْوُرِفَاكْال ا
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa
yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun: 1-2).
Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi
melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi: َيِل َو ْمُكُنْيِد ْمُكَل
ِْنيِد “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain
dijelaskan sebagai berikut:
“(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi
12. 12
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada
lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf
atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua
kondisi tersebut.”
Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna
dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan
bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.”
Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy
berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik,
baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam
upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang
kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami
dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa
menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”.
karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani
dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad, sekiranya
kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami
akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan
peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai
petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah
Saw menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-
terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik
13. 13
agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin.
Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij)
3. Murah Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah)
memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik hatikebaikan
hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia dan hangat
berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan memberi
secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
ِإ َونُقِفنُت اَم َو ۚمُكِسُفنَ ِِلَف َيرخ نِم ْاوُقِفنُت اَم َو ُُۗءَاشَي نَم ِيدهَي َ هٱَّلل هنِكََٰل َو مُهَٰىَدُه ََيَلَع َيسهلاَم َو ِۚ هٱَّلل ِهج َو َءَاَِتٱب هَل
َونُمَلظُت ََل مُتنَأ َو مُكيَلِإ هف َُوي َيرخ نِم ْاوُقِفنُت):البقرة272)
Artinya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup
sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka
memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu
mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka.
Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum
Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani
dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat ini
yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang yang
beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas)
14. 14
Firman-Nya (فِلنفسكم خير من تنفقوا )وما sebgaimana dalam Surah Fushishilat
ayat 46 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka
[pahalanya] untuk dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup
banyak di dalam Al-Quran. Firman-Nya (هللا وجه ابتَاء إَل تنفقون )وما Al-Hasari Al-
Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya
sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam
rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani mengatakan: “Yakni,
jika engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah Swt, maka
pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus.
Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari
keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya terserah pada-Nya, dan tidak ada
masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang
yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak
menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya.
Firman-Nya (تظلمون َل وأنتم إليكم يوف خير من تنفقوا )وما yang menjadi sandaran
dalam kalimat ayat sebelumnya adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga
berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu
Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda:
اهنال َحَبْصَأَف ،ٍَُيِنا َز ِدَي يِف اَهَعَض َوَف ِهِتَقَدَصِب َجََرخَف ،ٍَُقَدَصِب ََُلْيهلال هنَقهدَصَتَ ََل :ٌلُجَر "قالُس
َصِب ََُلْيهلال هنَقهدَصَتَ ََل ،ٍَُيِنا َز َلَع ُدْمَحْال َََل همُههلال :َلاَقَف !ٍَُيِنا َز َلَع َدقُصُت :َونُثهدَحَتَيَجََرخَف ،ٍَُقَد
َلاَقَف !َنيغ َلَع ََُلْيهلال دقُصُت :َونُثهدَحَتَي واُحَبْصَأَف ،ٍيِنَغ ِدَي يِف اَهَعَض َوَف ِهِتَقَدَصِبَلَع ُدْمَحْال َََل همُههلال :
ُثهدَحَتَي واُحَبْصَأَف ،ٍق ِارَس ِدَي يِف اَهَعَض َوَف ِهِتَقَدَصِب َجََرخَف ،ٍَُقَدَصِب ََُلْيهلال هنَقهدَصَتَ ََل ،ٍيِنَغصدقُت :َون
َلَع َو ،ٍَُيِنا َز َلَع ُدْمَحْال َََل همُههلال :َلاَقَف !ٍق ِارَس َلَع ََُلْيهلالاهمَأ :ُهَل َليِقَف َيِتُأَف ،ٍق ِارَس َلَع َو ،ٍيِنَغ
ْعَي هيِنََْال هلَعَل َو ،َاهَان ِز ْنَع اَهِب هفِعَتْسَت ْنَأ اَههلَعَلَف َُُيِنا هالز اهمَأ َو ؛ ْتَلِبُق ْدَقَف ََُتَقَدَصُهاََْعَأ اهمِم ُُِفْنُيَف ُرِبَت
َي ْنَأ َق ِهارسال هلَعَل َو ،ُ هَّللا"ِهِتَق ِرَس ْنَع اَهِب هفِعَتْس
Artinya: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada
malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu
jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun
membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya
Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’
15. 15
Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam
ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi
harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang
diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu
atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan
mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan
seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan:
‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap:
‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan
pencuri.’ Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya:
“Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari
zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau
menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga
si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari 1421
dan Muslim 1022).
Sayyid Quthub dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita
memperhatikan juga dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang mukmin
ketika menafkahkan hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu melainkan
karena mencari keridhaan Allah. Inilah keadaan orang-orang mukmin, bukan yang
lainnya. Dia tidak menginfakkan hartanya melainkan mencari keridhaan Allah,
bukan karena mengikuti hawa nafsu dan bukan pula karena tujuan-tujuan lain. Ia
menginfakkan hartanya ukan bermaksud untuk mengungguli orang lain dan
menyombongi mereka. Ia tidak melakukan infak melainkan semata-mata mencari
keridhaan Alah, tulus ikhlas karena Allah. Karena itu hatinya merasa mantap
bahwa Allah akan menerima sedekahnya; hatinya percaya bahwa Allah akan
memberi berkah pada hartanya; ia percaya kepada kebaikan dan kebajikan dari
Allah sebagai balasan kebaikan dan kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah.
Karena anugerah Allah di bumi, maka ia meningkat kedudukannya, menjadi suci
dan bersih. Sedangkan, karunia akhirat sesudah itu semua adalah sangat utama.