1. 87
BAB V
PENUTUP
5. 1. KESIMPULAN
Kenyataan historis menunjukkan bahwa kuasa itu sangat berguna bagi
kehidupan manusia terutama dalam relasi antarmanusia. Manusia sebagai bagian
dari kenyataan ini juga menginginkan adanya kuasa karena kuasa mengangkat
martabat dan memposisikannya pada status sosial tertentu dan suatu jenjang yang
lebih tinggi. Kuasa digunakan oleh manusia untuk mengatur dirinya dan orang
lain, sehingga tidak terjadinya perbenturan antara kepentingan dalam ruang
kehidupan yang akan menimbulkan situasi ketidakharmonisan. Hal ini juga
ditekankan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia akan menjadi srigala bagi
manusia lainnya (homo homini lupus) bila tidak adanya kuasa yang mengatur
tatanan hidup manusia. Dari sebab itu, manusia akan berada dalam kondisi
perlawanan terhadap yang lain, sehingga hukum rimba pun akan berlaku dalam
kehidupan manusia. Manusia yang kuat akan selalu menang dan yang lemah akan
selalu kalah dan mati. Dengan demikian, kuasa harus diakui sebagai relasi yang
membentuk manusia lebih produktif dan bukan sesuatu yang dimiliki untuk
membredel, mengekang, dan mengobjekkan orang lain.
Di lain pihak, kuasa selain dipakai untuk mengatur hidup manusia
terutama dalam hidup bersama dalam masyarakat, juga dipakai oleh manusia
dengan motif-motif pribadi, kekerasan dan pengrusakkan alam. Kuasa dilihat
sebagai bentuk wahana untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Kuasa bukan
dipakai untuk kebaikan bersama (bonum commune), tetapi sebuah dorongan dari
dalam batin untuk menguasai, memeras, memperkosa dan membunuh orang lain.
Dalam kenyataan ini pula manusia dijadikan sebagai objek dari kuasa tersebut.
Hal ini terjadi karena setiap orang berkeinginan untuk memegang kekuasaan.
2. 88
Motif inilah yang menjiwai dan memotivasi setiap orang untuk bertindak dan
mengarah kepada kekuasaan. Sebab itu kuasa selalu bersifat ambigu, mempesona
dan menakjubkan.
Kuasa yang selalu mempesona, menakjubkan dan ingin dimiliki oleh
setiap orang merupakan bahan permenungan Foucault dalam mengkritik konsep
kekuasaan itu. Foucault tidak mengartikan atau mendefinisikan kuasa atau
kekuasaan (power), tetapi ia lebih memfokuskan diri pada realitas yang sering
terjadi bahwa kuasa itu selalu mendominasi yang lain. Foucault memahami kuasa
atau kekuasaan dalam kehidupan praksis. Foucault menggarisbawahi bahwa
kuasa itu ada di mana-mana untuk membangun relasi dengan siapa saja.
Kenyataan menunjukan bahwa kuasa selalu ada dalam kehidupan manusia.
Manusia selalu berada bersama yang lain dalam hidupnya. Artinya bahwa
manusia tidak sendirian dan selalu berkomunikasi dengan yang lain. Ada bersama
merupakan adanya kuasa. Kuasa muncul dalam relasi bersama yang lain setiap
saat dan dimana-mana. Setiap saat orang pasti ada bersama yang lain. Dalam
relasi tersebut kuasa berperan untuk membentuk manusia-manusia yang berelasi
secara produktif. Artinya bahwa dalam relasi tersebut kuasa harus mendatangkan
nilai positif bagi setiap orang. Kuasa menjadikan mereka lebih baik, karena relasi
yang ada tidak dibangun secara otoriter atau diskriminatif melainkan secara
kreatif dan produktif.
Namun, dalam kehidupan dan kebudayaan sekarang ini, manusia
cenderung untuk memiliki segala sesuatu termasuk kuasa. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi juga memungkinkan manusia untuk melakukan apa
saja untuk memperoleh kuasa. Orientasi memiliki telah membawa manusia
kepada kehidupan yang melimpah secara material, karena pemilikan telah
menjadi tujuan hidup manusia. Semangat untuk kuasa juga adalah sebuah
kecenderungan yang menimbulkan suasana persaingan antar manusia.
Persaingan-persaingan ini menurut Foucault terjadi dalam relasi-relasi
antarmanusia. Persaingan antara berbagai kekuatan yang terjadi di mana-mana
merupakan suatu ungkapan kuasa. Namun, persaingan itu bukan untuk saling
3. 89
bersikap otoriter terhadap yang lain tetapi untuk membentuk situasi kehidupan
bersama yang lain secara kreatif dan produktif.
5.2. USUL-SARAN
Kuasa atau kekuasaan yang hanya dimiliki oleh seseorang harus didobrak
dan direstorasi. Kenyataan semacam ini sangat sulit untuk dielakkan, namun
harus dicoba untuk manggalakkannya agar secara praktis tidak menimbulkan efek
negatif bagi rakyat. Kuasa semacam ini dapat mengakibatkan manusia terjerumus
dalam obsesi diskriminatif dan otoriter terhadap yang lain. Tindakan demikian
tidak membawa keuntungan bagi masyarakat di Indonesia. Indonesia sebagai
suatu negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang bebas, adil dan
beradab tidak membutuhkan kuasa atau kekuasaan yang otoriter terhadap rakyat.
Berdasarkan fakta ini, penulis mengemukakan beberapa usul-saran yang
sangat relevan dalam politik demokrasi Indonesia. Konsep kuasa Foucault dapat
mengatasi persoalan kekuasaan yang mendominasi politik demokrasi Indonesia.
Konsep Foucault tentang kuasa memberikan motivasi terhadap demokrasi
Indonesia untuk mengapresiasi kebebasan, kedaulatan dan keadilan. Ketiga hal
ini menunjukkan bahwa kuasa yang terjadi di mana-mana dan terjadi dalam
berbagai kekuatan yang muncul tidak dilokalisasi; juga kuasa justru
memunculkan relasi-relasi antara individu. Politik demokrasi Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai kebebasan dan mempertimbangkan hak-hak asasi
manusia, mengafirmasi konsep kuasa Foucault tersebut. Kuasa atau kekuasaan
berusaha menjadikan manusia bertindak dan berpikir secara positif. Usaha yang
paling utama adalah menjadikan watak manusia ke arah yang baik, sebab watak
dapat mempengaruhi manusia dalam memandang kuasa. Dari sebab itu,
pemerintah dan masyarakat Indonesia hendaknya memajukan kehidupan
pluralistis bukan sebagai ajang permusuhan, melainkan sebagai wadah untuk
melahirkan kebajikan-kebajikan yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan
kuasa. Dengan ini, masyarakat menjadi lebih sehat secara mental. Dengan
demikian, dalam kehidupan masyarakat tidak adanya sistem diperalat dan
memperalat yang lain demi mencapai kuasa.
4. 90
Dalam demokrasi Indonesia, praktek kuasa sebagai milik dan
mengobjekkan orang lain diupayakan untuk dirubah secara baru. Demokrasi
mengakui martabat manusia dan tidak mengafirmasi adanya sikap dominasi.
Perhatian terhadap martabat manusia dalam kehidupan politik sangat dijunjung
tinggi. Setiap individu bebas dalam menjalankan kehidupan politiknya. Manusia
bebas dalam mengambil keputusan dan memilih pejabat-pejabat negara.
Demokrasi Indonesia terjadi apabila adanya relasi antar individu secara bebas.
Demokrasi yang mengakui adanya kemanusiaan dan menjunjung kebersamaan
dalam mencapai mufakat, merupakan realitas kuasa yang ada dalam setiap
individu. Namun, konsep kebebasan ini tidak berarti bahwa setiap individu boleh
melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini tidak berarti bahwa setiap
individu bebas bertindak dan bertutur kata tanpa mempertimbangkan nilai-nilai
etis. Penulis melihat bahwa praktek demokrasi yang mengutamakan kebebasan
secara mutlak akan menghasilkan banyak kemelut dalam hidup bersama. Dengan
demikian, konsep kuasa Foucault tidak melegalkan kebebasan mutlak, tetapi
bagaimana praktek kebebasan itu diaktulisasikan dalam relasi-relasi kuasa.
Dengan demikian, konsep kuasa Foucault sangat bermanfaat untuk
konteks Indonesia dan secara khusus dapat merubah struktur pemerintahan yang
otoriter. Pandangan manusia tentang kuasa sebagai milik yang melekat dalam diri
seseorang sebagai penguasa tidak mendapat afirmasi dari Foucault. Konsep
Foucault tentang kuasa menyadarkan manusia akan siapa dirinya yang
sebenarnya. Konsep ini merupakan struktur bangunan argumentasi yang sangat
kritis untuk politik demokrasi Indonesia. Penulis tetap mengharapkan semangat
dalam membangun relasi antara sesama sebagai makhluk yang sadar akan relasi
itu sendiri. Relasi-relasi itu bukan hanya pada konteks tertentu saja, tetapi di
mana saja manusia berada, selalu ada praktek kuasa antarmanusia. Dalam
kesadaran ini tidak ada kecenderungan untuk bersikap ekstrim dan mendominasi
orang lain. Kuasa harus membentuk manusia secara produktif dan mengutamakan
keharmonisan dalam hidup. Inilah bentuk kuasa yang sesungguhnya.