SlideShare a Scribd company logo
1 of 10
HAM DAN PEMBANGUNAN
TEORI RELATIVISME BUDAYA DAN TEORI UNIVERSAL
Perkembangan Hak Asasi Manusia terdapat banyak kemajuan sekaligus hambatan-
hambatan baik. Sejauh ini asal-usul munculnya hak asasi manusia sebagai norma
internasional yang mempunyai universal serta perkembangannya dalam ilustrasi generasi-
generasi hak. Legitimasi ataupun delegitimasi HAM saat ini banyak dikumandangkan
diberbagai macam pihak, ini yang menjadi faktor utama bagaimana bahwa HAM itu sejatinya
bisa diterima diberbagi macam kalangan, dia bukan berasal dari proses kolonialisasi ataupun
westernisasi seperti yang diasumsikan oleh sebagian pemikir absolutis. Itu memang menjadi
sesuatu hal yang sangat rumit, ketika pernyataan para pemikir Absolutis mempertanyaakan
bahwa konsepsi Martabat Manusia itu adalah proses budaya juga, jadi sewajarnya menurut
mereka jangan memaksakan budaya satu dengan dimensi budaya yang lain.
Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah konflik
antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional,
yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Di satu sisi,
universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada
akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan
budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu
budaya tradisional tidak dapat diubah. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut tentang dua
‘ideologi’ tersebut.
1. Teori Universalis (Universalist theory) Hak Asasi Manusia.
Semua nilai adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk
menyesuaiakan adanya perbedaaan budaya dan sejarah suatu negara menganggap nilai-nilai
HAM berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat diterapkan pada
masyarakat yg memiliki latar belakang yg budaya & sejarah yg berbeda. Doktrin
kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral
universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari
perkembangan universalisme nilai moral. Hal tersebut mencakup suatu pandangan moral dan
keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang menyajikan dasar untuk
membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang “benar” dan yang “konvensional”.
Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep
individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai
nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.
Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaanakan
keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia.
Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas-budaya
dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral
di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics,
Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan
ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh
sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam
serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem
hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu
sistem keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi
sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal
konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang
alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang
tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Dalam model
relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal
konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa
kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai
negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai
imperialisme budaya. Namun demikian, negara negara tersebut mengacuhkan fakta bahwa
mereka telah mengadopsi konsep nationstate dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya
juga mencakup kemakmuran secara ekonomi.
Teori Universalisme HAM
 HAM sebagai hak alamiah bersifat fundamental, dimiliki individu terlepas dari nilai-
nilai masyarakat ataupun negara.
 Tidak perlu pengakuan dari pejabat atau dewan manapun.
 Merupakan pembatasan kewenangan dan yuridiksi negara.
 Fungsi negara adalah untuk melindungi dan hak-hak alamiah masyarakatnya bukan
untuk kepentingan monarkhi atau sistem kekuasaan.
2. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang
Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional.
Teori ini berpandangan bahwa HAM harus diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan
menolak pandangan adanya hak yang bersifat universal. Gagasan tentang relativisme budaya
mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah
moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan
masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama
yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya
menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya
tertentu. Seperi golongan komunitarian di Amerika Latin, Sebagian Negara Kanada, Sebagian
negara dunia ke tiga. Contoh di Iran dan negara timur tengah lainnya yang masih memakai
legitimasi dogma keagamaan.
Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang
sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali
adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana
“mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak
kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu
hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak asasi manusia
tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan
dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu. Sebagai contoh, dalam pandangan
liberal Barat, setiap sistem selain sistem liberal dominan tidak akan kondusif untuk
menegakkan hak asasi manusia.
Penganut faham liberal berpendapat bahwa setiap sistem politik selain liberal tidak
dapat melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karenanya, menurut mereka,
penegakan dan pemajuan hak asasi manusia hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem
politik itu sendiri. Di sisi lain, mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat
menjamin pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka hak asasi
manusia hanya akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan satu tujuan, yaitu untuk
menegakkan rezim liberal di seluruh dunia. Ini hanya akan menciptakan suatu lingkaran
perdebatan dan konfrontasi mengenai interpretasi dan implementasi hak asasi manusia.
Nilai-nilai moral & budaya bersifat pertikular bersifat lokal dan spesifik, sehingga
berlaku khusus pada suatu negara. Penerapannya ada 3 model :
 Lebih menekankan pada hak sipil, politik dan pemilikan pribadi.
 Lebih menekankan pada hak ekonomi & sosial.
 Lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri & pembangunan ekonomi.
Landasan HAM yang lain adalah kehidupan sosial dan kultural/budaya masyarakat.
Landasan ini dibangun dan dikembangkan secara turun temurun melalui sistem pranata,
norma, dan nilai-nilai budaya dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Masyarakat
pedesaan misalnya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan dalam bentuk
pranata sosial, kesusilaan, sopan santun, hubungan kekerabatan, serta ditandai dengan
paguyuban (hubungan antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal
mengenal, akrab, toleransi, gotong royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya).
Sedangkan karakteristik interaksi sosial masyarakat kota bersifat patembayan, artinya
hubungan antar individu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih
individual. Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan
secara fisik finansial. Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak langsung
dengan teknologi, sehingga tidak saling kenal mengenal.Kegotongroyongan sudah digantikan
dengan kontribusi uang sehingga tatap mukaantar individu sudah digantikan dengan
substitusi lainnya.
Teori Relativisme Budaya
 Kebudayaan adalah satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaedah moral.
 HAM harus di pahami dalam konteks budaya masing2 negara.
 Nilai-nilai Asia : HAM = individualisme + nilai-nilai barat yang tidak sesuai dan tidak
urgent dengan nilai-nilai asia.
 Di Asia Tenggara yang urgen bukan demokrasi, melainkan pemerintah yang kuat,
bertanggung jawab, transparan dan tidak korup. Pembangunan ekonomi di topang
pemimpin yang kuat jauh lebih penting dari pada kebebasan individu atau HAM.
Makna Universalisme dan Relativisme Kultural HAM
Telah banyak kesepakatan yang dibuat untuk menempatkan posisi relasi antar manusia.
Khususnya yang mengatur batas-batas kewenangan pemimpin dan warga negara. Bahkan
sebelum modernitas menyapa dunia. Namun, hal itu tidak terlalu membawa dampak
signifikan, meski asumsi moral pun telah diajukan. Dalam kondisi tersebut, diperlukan respon
global yang menyeluruh pentingnya pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Tidak hanya
sekedar motivasi moral, namun juga memiliki kekuatan hukum dan politik.
Dalam Prinsip Universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-
hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi, maka
dari itu HAM memang sepantasnya diterapkan dengan prinsip universalisme di setiap negara
agar tidak terjadi perbedaan hukum dan norma di mana pun masyarakat itu berada.
Sedangkan dalam Prinsip Relativisme Budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial.
Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan
persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama.
Relativisme VS Universalisme
Dari sekian banyak permasalahan tentang instrumen hak asasi manusia internasional,
wacana universalisme vs. relativisme HAM merupakan permasalahan yang paling utama.
Perdebatan tentang dua perspektif diatas sudah berlangsung sejak ditandatanginya Deklarasi
Universal HAM pada tahun 1948 atau sekitar 60 tahun yang lalu. Perdebatan tidak saja
menyangkut tentang perlindungan terhadap hak-hak fundamental seperti hak untuk hidup,
untuk beragama, persamaan hak melainkan juga menyangkut ruang lingkup hak asasi
manusia secara keseluruhan. Salah satu penyebab utama terjadinya permasalahan tersebut
adalah karena adanya perbedaan budaya, moralitas dan sistem hukum di berbagai negara.
Perbedaan tersebut sangat berasalan karena pelaksanaan dari hak asasi manusia di
seluruh dunia selalu bersinggungan dengan budaya, tradisi, agama, hukum nasional dan
praktik-praktik lokal lainnya sebagai sumber hukum di negara-negara. Yang menjadi
pertanyaannya kemudian adalah, mungkinkah hak asasi manusia secara universal
dilaksanakan dibawah bayang-bayang relativisme di berbagai negara. Atau justru sebaliknya
relativisme hak asasi manusia merupakan cara yang tepat untuk melaksakan hak asasi
manusia di berbagai negara dengan satu syarat tidak bertentangan dengan prinsip dasar HAM
atau tidak.
Perdebatan panjang tentang universalisme dan relativisme didalam hak asasi manusia
telah membelah negara-negara Barat yang mendukung universalisme hak asasi manusia
dengan negara-negara Timur yang mengedepankan relativisme budaya. Selain itu, perdebatan
juga melibatkan para pakar hukum, politik, filsafat dan pendukung hak asasi manusia
internasional. Salah satu perbedaan mendasar dari kedua pendukung ini adalah terletak pada
apakah implementasi hak asasi manusia harus mengadopsi sumber-sumber hukum lokal atau
tetap bersikeras menegakan universalisme hak asasi manusia.
Disini terlihat bahwa ada perbedaan yang mencolok tentang konsep dasar
ditetapkannya hak asasi manusia internasional. Pertama, kelompok relativisme hak asasi
manusia cenderung menerima dan bahkan menganjurkan realitas sosial di suatu masyarakat
untuk menerapkan hak asasi manusia. Selain itu, perspektif ini juga menerima produk
perundang-undangan di suatu negara untuk menerapkan hak asasi manusia karena hukum
nasional selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakatnya.
Menurut penganut relativisme, sebuah hukum tidak akan berlaku efektif ketika
masyarakat menentangnya karena tidak sesuai dengan norma-norma dan tradisi yang ada.
Begitu juga yang terjadi dengan hak asasi manusia internasional yang ditetapkan berdasarkan
konsensus internasional negara-negara. Jika tidak mengakui relativisme budaya dan nilai-
nilai yang berkembang di negara-negara, instrumen internasional justru bisa menjadi
‘impotent.’ Salah satu sebabnya adalah karena instrumen internasional tidak mampu
mengintervensi sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sebuah negara
karena adanya aturan hukum Piagam PBB yang melarang intervensi asing terhadap
kedaulatan sebuah negara.
Sedangkan penganut universalisme cenderung menerapkan teori positivisme dimana
sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Paham ini berusaha
menihilkan realitas sosial didalam masyarakat karena tujuan hukum memang diperlukan
untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat tersebut. Perspektif ini tentu memerlukan
sebuah infrastruktur hukum yang sangat kuat dan saling terkait. Sedangkan negara-negara
yang mendukung universalisme hak asasi manusia adalah negara-negara di Amerika Utara
dan negara-negara di Eropa Barat sebagai penggagas konsep hak asasi manusia internasional.
Di negara-negara tersebut, hak asasi manusia sudah sangat maju meskipun ada beberapa
persoalan hak asasi manusia yang masih harus diperbaiki.
Didalam konteks perdebatan individu, perbedaan pendapat juga terjadi antara Amartya
Sen dan Martha Nussbaum. Menurut Sen, hak asasi manusia adalah ‘seperangkat tujuan’
yang mana masing-masing masyarakat bisa mengembangkan tujuan tersebut. Menurutnya,
hak asasi manusia adalah artikulasi dari tuntutan-tuntutan etika yang bersifat terbuka.
Pendapat Sen tersebut mendukung relativisme budaya karena tujuan yang ingin dicapai
didalam hak asasi manusia harus memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sebab-
sebab yang mendasari pendapat Sen adalah bahwa masing-masing budaya, tradisi atau agama
mempunyai ciri khas tentang etika dan moralitas yang berbeda-beda. Itulah yang kemudian
melahirkan nilai yang pluralis tentang hak asasi manusia. Masing-masing individu yang
mempraktikan pluralisme nilai tersebut juga berbeda secara fisik, psikologis, atau mempunyai
latar belakang ekonomi dan lingkungan yang berbeda.
Dilain pihak, Nussbaum berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah pencapaian-
pencapaian fundamental yang tidak dapat dinegosiasikan dengan alasan apapun. Nussbaum
menihilkan masyarakat dengan maksud agar ada standar internasional tentang pencapaian hak
asasi manusia. Hal ini dikarenakan hak asasi manusia didalam instrumen internasional
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Ketika ada pengaruh dari lokalitas nilai di suatu
masyarakat tertentu, maka ruang lingkup dari hak tersebut bisa dibatasi oleh pemahaman-
pemahaman yang diskriminatif. Ini dikarenakan banyak nilai lokal di negara-negara yang
masih bersifat primordial dan sektarian berdasarkan nilai yang berkembang didalam
masyarakat terentu.
Beberapa poin yang bisa diambil dari dua perbedaan pendapat diatas adalah bahwa ada
beberapa ketidaksesuaian antara hak asasi manusia internasional yang lebih cenderung
menerapkan perspektifnya Nussbaum sedangkan ada banyak negara yang mempraktikan
pendapatnya Sen. Padahal didalam praktiknya, implementasi dari hak asasi manusia bukanlah
berdimensi internasional melainkan menjadi persoalan nasional negara-negara. Artinya,
meskipun komunitas internasional ada karena adanya negara-negara yang diatur oleh sistem
internasional yakni hukum internasional, namun implementasi hak asasi manusia dan semua
jenis persoalannya tetap berdimensi nasional selama pelanggaran tersebut tidak dikategorikan
sebagai gross violation. Lokalitas HAM inilah yang menyebabkan implementasinya
menghadapi persoalan yang beragam karena banyak negara masih mendefinisikan,
memahami dan melaksanakan hak asasi manusia secara parsial karena adanya benturan nilai
antara konsep HAM dengan moralitas dan etika di negara-negara.
Malcolm Shaw berpendapat bahwa hak-hak yang ada didalam instrumen-instrumen
internasional bisa dengan mudah diimplementasikan ketika aturan hukum yang diatur
didalamnya sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sehingga hak asasi
manusia yang diatur didalamnya tidak lagi harus memaksakan ‘kewajiban hukum’ bagi setiap
manusia untuk menghormatinya melainkan berisi tindakan kolektif dari masyarakat
berdasarkan moralitas setempat. Ketika ini terjadi, maka implementasi hak asasi manusia bisa
sangat mudah karena adanya penerimaan dari nilai-nilai lokal di masyarakat. Didalam
praktiknya, banyak sekali penolakan dari budaya dan tradisi yang dijadikan sumber hukum
nasional suatu negara. Meskipun demikian, sudah sangat jelas bahwa prinsip-prinsip hak
asasi manusia harus dipahami sebagai aturan hukum yang tidak bisa ditawar lagi oleh semua
negara karena isu-isu tentang hak asasi manusia sudah menjadi perhatian dunia internasional.
Majelis Umum PBB juga mengingatkan negara anggota dengan menggunakan frase
‘bahwa negara-negara anggota mempunyai kewajiban untuk melindungi, mempromosikan,
dan menjamin hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.’ Anjuran dari Majelis Umum
ini bisa diartikan bahwa instrumen dan lembaga internasional tentang hak asasi manusia tidak
mengenal relativisme budaya didalam hak asasi manusia.
Jika melihat dari deskripsi diatas, bisa disimpulkan ada konflik yang signifikan antara
praktik-praktik negara yang masih dipengaruhi oleh unsur budaya dan tradisi lokal dengan
prinsip universalisme hak asasi manusia. Konflik hukum antara keduanya semakin terlihat
ketika nilai dari budaya atau tradisi tersebut bertentangan dengan konsep hak asasi manusia.
Sebagai akibatnya, aturan didalam hak asasi manusia dipahami secara berbeda-beda
tergantung dari konteks sosial budaya setempat suatu negara. Disinilah peran negara menjadi
sangat penting karena implementasi hak asasi manusia sangat bergantung pada kepatuhan
hukum suatu negara terhadap instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia.
Praktik-praktik yang berasal dari lokalitas budaya, tradisi atau agama bisa diterapkan didalam
implementasi hak asasi manusia selama praktik tersebut tidak ‘menyerang budaya inti’ HAM
seperti asas non diskriminasi dan persamaan hak bagi semua manusia.
Sekalipun subtansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian
tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hampir semua
negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memeliki perbedaan pandangan dan
cara pelaksanaan HAM. Perdebatan antara universalitas dan partikular HAM tercermin
dalam dua teori yang saling berlawanan: Teori Relativisme Kultural dan Teori Universalitas
HAM. Teori Relativisme Kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat
partikular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang universal, semua
tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak hak dasar bisa diabaikan atau
disesuaikan dengan praktik-peraktik sosial. Oleh karenanya, ketika berbenturan dengan nilai-
nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sehingga nilai-nilai moral HAM bersifat
lokal dan spesifik dan hanya berlaku khusus pada suatu negara, tidak pada negara lain.
Para penganut relativisme kultural yang mendukung konstektualisasi HAM cenderung
melihat universalitas HAM sebagai emperialisme kebudayaan barat. Hak asasi, sebagaimana
ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai peroduk politis barat, sehingga tak bisa
diterapkan secara universal. Keengganan untuk menerapkan DUHAM secara menyeluruh
juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap pluralitas dengan dasar bahwa kemerdekaan
pertama tama berarti kemerdekaan untuk berbeda, sehingga penyeragaman HAM dipandang
sebagai perampasan kemerdekaan itu sendiri.
Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori radikal
universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan
perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman historis dan sisitem nilai tidak
meniscayakan HAM dipahami secra berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari satu
kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM
adalah bersifat universal yang tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan
budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini menganggap hanya ada satu paket
pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama dimana pun dan
kapanpun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya
dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai
HAM berlaku universal.
Dari berbagai penjelasan di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa Hak Asasi
Manusia adalah sesuatu yang bersifat kodrati dan berasal dari Tuhan. Dalam sejarah
perkembangan pemikiran manusia untuk mencapai perdaban yang lebih baik maka harus ada
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian yakni HAM. Dari berbagai penjelasan yang ada
kita dapat memberikan saran dalam konteks masyarakat internasional harus menghormati
declaration of human right dari PBB. Yang artinya bahwa semua negara harus tunduk dan
patuh terhadap deklarasi PBB tentang penegakan HAM di skala nasional maupun
internasional. Jadi dengan adanya deklarasi tersebut masyarakat sadar akan tidak di
benarkannya penindasan dan penjajahan terhadap manusia dengan alasan apapun.

More Related Content

What's hot

Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalEvirna Evirna
 
Aliran aliran hukum pidana
 Aliran aliran hukum pidana  Aliran aliran hukum pidana
Aliran aliran hukum pidana hanggardatu
 
Subjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumSubjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumEga Jalaludin
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnDella Mega Alfionita
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Idik Saeful Bahri
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Idik Saeful Bahri
 
Replik dalam perkara perdata
Replik dalam perkara perdataReplik dalam perkara perdata
Replik dalam perkara perdataTopan Erlando
 
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)Arman Solit
 
Aliran yg menghubungkan uu,hakim,hukum
Aliran yg menghubungkan uu,hakim,hukumAliran yg menghubungkan uu,hakim,hukum
Aliran yg menghubungkan uu,hakim,hukumDian Permata Sari
 
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCESOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCEDian Oktavia
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANADian Oktavia
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumrabu12
 

What's hot (20)

Perbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum PidanaPerbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum Pidana
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
 
UPAYA PAKSA
UPAYA PAKSAUPAYA PAKSA
UPAYA PAKSA
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Aliran aliran hukum pidana
 Aliran aliran hukum pidana  Aliran aliran hukum pidana
Aliran aliran hukum pidana
 
Subjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumSubjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukum
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
 
Hukum Islam
Hukum IslamHukum Islam
Hukum Islam
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
 
Anatomi kontrak
Anatomi kontrakAnatomi kontrak
Anatomi kontrak
 
Replik dalam perkara perdata
Replik dalam perkara perdataReplik dalam perkara perdata
Replik dalam perkara perdata
 
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
 
Aliran yg menghubungkan uu,hakim,hukum
Aliran yg menghubungkan uu,hakim,hukumAliran yg menghubungkan uu,hakim,hukum
Aliran yg menghubungkan uu,hakim,hukum
 
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCESOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
 
Deasy 2 (surat dakwaan)
Deasy 2 (surat dakwaan)Deasy 2 (surat dakwaan)
Deasy 2 (surat dakwaan)
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
 
Kriminologi
KriminologiKriminologi
Kriminologi
 
Sistem hukum
Sistem hukumSistem hukum
Sistem hukum
 

Similar to HAM DAN BUDAYA

Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP
Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIPMateri kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP
Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIPNur Fitriana Damayanti
 
Bab vii nilai filosofis sila v
Bab vii nilai filosofis sila vBab vii nilai filosofis sila v
Bab vii nilai filosofis sila vfanny oktaviani
 
4 demokrasi dan etika politik
4   demokrasi dan etika politik4   demokrasi dan etika politik
4 demokrasi dan etika politikWanda Ramadhan
 
Membangun etika politik
Membangun etika politikMembangun etika politik
Membangun etika politikMuhammad Yunus
 
Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila Sebagai Ideologi NegaraPancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila Sebagai Ideologi NegaraAdministrasi Publik
 
masyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdfmasyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdfRasya Rianto
 
Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...
Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...
Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...Rajabul Gufron
 
Bab iii 5.aspek sosial dalam ketahanan nasional
Bab iii  5.aspek sosial dalam ketahanan nasionalBab iii  5.aspek sosial dalam ketahanan nasional
Bab iii 5.aspek sosial dalam ketahanan nasionalnatal kristiono
 
Pancasila sebagai ideologi
Pancasila sebagai ideologiPancasila sebagai ideologi
Pancasila sebagai ideologidea merisa
 
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdfSistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdfMohalliAhmad1
 
Budaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasional
Budaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasionalBudaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasional
Budaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasionalMuh Sudirman Sesse Albone
 
Marxism in literature
Marxism in literatureMarxism in literature
Marxism in literatureputrialda
 

Similar to HAM DAN BUDAYA (20)

05.2 bab 2.pdf
05.2 bab 2.pdf05.2 bab 2.pdf
05.2 bab 2.pdf
 
Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP
Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIPMateri kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP
Materi kuliah Antropologi Hukum,Triyono, UNDIP
 
Materi kuliah Antropologi Hukum
Materi kuliah Antropologi HukumMateri kuliah Antropologi Hukum
Materi kuliah Antropologi Hukum
 
Bab vii nilai filosofis sila v
Bab vii nilai filosofis sila vBab vii nilai filosofis sila v
Bab vii nilai filosofis sila v
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
 
4 demokrasi dan etika politik
4   demokrasi dan etika politik4   demokrasi dan etika politik
4 demokrasi dan etika politik
 
valen resum mas
valen resum masvalen resum mas
valen resum mas
 
Membangun etika politik
Membangun etika politikMembangun etika politik
Membangun etika politik
 
Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila Sebagai Ideologi NegaraPancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila Sebagai Ideologi Negara
 
masyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdfmasyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdf
 
Ideologi dan jenis
Ideologi dan jenisIdeologi dan jenis
Ideologi dan jenis
 
Pembahasan
PembahasanPembahasan
Pembahasan
 
Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...
Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...
Ideologi Pancasila dan Ideologi Liberal Kapitalis (Mata Kuliah Pendidikan Pan...
 
Bab iii 5.aspek sosial dalam ketahanan nasional
Bab iii  5.aspek sosial dalam ketahanan nasionalBab iii  5.aspek sosial dalam ketahanan nasional
Bab iii 5.aspek sosial dalam ketahanan nasional
 
Pancasila sebagai ideologi
Pancasila sebagai ideologiPancasila sebagai ideologi
Pancasila sebagai ideologi
 
Pbk
PbkPbk
Pbk
 
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdfSistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
 
Budaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasional
Budaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasionalBudaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasional
Budaya hukum dan implikasinya terhadap pembangunan hukum nasional
 
Marxism in literature
Marxism in literatureMarxism in literature
Marxism in literature
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 

Recently uploaded

Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxkhairunnizamRahman1
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptxahmadrievzqy
 

Recently uploaded (6)

Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
 

HAM DAN BUDAYA

  • 1. HAM DAN PEMBANGUNAN TEORI RELATIVISME BUDAYA DAN TEORI UNIVERSAL Perkembangan Hak Asasi Manusia terdapat banyak kemajuan sekaligus hambatan- hambatan baik. Sejauh ini asal-usul munculnya hak asasi manusia sebagai norma internasional yang mempunyai universal serta perkembangannya dalam ilustrasi generasi- generasi hak. Legitimasi ataupun delegitimasi HAM saat ini banyak dikumandangkan diberbagai macam pihak, ini yang menjadi faktor utama bagaimana bahwa HAM itu sejatinya bisa diterima diberbagi macam kalangan, dia bukan berasal dari proses kolonialisasi ataupun westernisasi seperti yang diasumsikan oleh sebagian pemikir absolutis. Itu memang menjadi sesuatu hal yang sangat rumit, ketika pernyataan para pemikir Absolutis mempertanyaakan bahwa konsepsi Martabat Manusia itu adalah proses budaya juga, jadi sewajarnya menurut mereka jangan memaksakan budaya satu dengan dimensi budaya yang lain. Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut tentang dua ‘ideologi’ tersebut. 1. Teori Universalis (Universalist theory) Hak Asasi Manusia. Semua nilai adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk menyesuaiakan adanya perbedaaan budaya dan sejarah suatu negara menganggap nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat diterapkan pada masyarakat yg memiliki latar belakang yg budaya & sejarah yg berbeda. Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral. Hal tersebut mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang menyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang “benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep
  • 2. individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional. Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaanakan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas-budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga. Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negara negara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nationstate dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi. Teori Universalisme HAM  HAM sebagai hak alamiah bersifat fundamental, dimiliki individu terlepas dari nilai- nilai masyarakat ataupun negara.  Tidak perlu pengakuan dari pejabat atau dewan manapun.  Merupakan pembatasan kewenangan dan yuridiksi negara.
  • 3.  Fungsi negara adalah untuk melindungi dan hak-hak alamiah masyarakatnya bukan untuk kepentingan monarkhi atau sistem kekuasaan. 2. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory) Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Teori ini berpandangan bahwa HAM harus diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak yang bersifat universal. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu. Seperi golongan komunitarian di Amerika Latin, Sebagian Negara Kanada, Sebagian negara dunia ke tiga. Contoh di Iran dan negara timur tengah lainnya yang masih memakai legitimasi dogma keagamaan. Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu. Sebagai contoh, dalam pandangan liberal Barat, setiap sistem selain sistem liberal dominan tidak akan kondusif untuk menegakkan hak asasi manusia. Penganut faham liberal berpendapat bahwa setiap sistem politik selain liberal tidak dapat melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karenanya, menurut mereka, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem politik itu sendiri. Di sisi lain, mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat menjamin pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka hak asasi manusia hanya akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rezim liberal di seluruh dunia. Ini hanya akan menciptakan suatu lingkaran perdebatan dan konfrontasi mengenai interpretasi dan implementasi hak asasi manusia.
  • 4. Nilai-nilai moral & budaya bersifat pertikular bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Penerapannya ada 3 model :  Lebih menekankan pada hak sipil, politik dan pemilikan pribadi.  Lebih menekankan pada hak ekonomi & sosial.  Lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri & pembangunan ekonomi. Landasan HAM yang lain adalah kehidupan sosial dan kultural/budaya masyarakat. Landasan ini dibangun dan dikembangkan secara turun temurun melalui sistem pranata, norma, dan nilai-nilai budaya dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Masyarakat pedesaan misalnya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan dalam bentuk pranata sosial, kesusilaan, sopan santun, hubungan kekerabatan, serta ditandai dengan paguyuban (hubungan antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal mengenal, akrab, toleransi, gotong royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya). Sedangkan karakteristik interaksi sosial masyarakat kota bersifat patembayan, artinya hubungan antar individu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual. Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan secara fisik finansial. Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak langsung dengan teknologi, sehingga tidak saling kenal mengenal.Kegotongroyongan sudah digantikan dengan kontribusi uang sehingga tatap mukaantar individu sudah digantikan dengan substitusi lainnya. Teori Relativisme Budaya  Kebudayaan adalah satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaedah moral.  HAM harus di pahami dalam konteks budaya masing2 negara.  Nilai-nilai Asia : HAM = individualisme + nilai-nilai barat yang tidak sesuai dan tidak urgent dengan nilai-nilai asia.  Di Asia Tenggara yang urgen bukan demokrasi, melainkan pemerintah yang kuat, bertanggung jawab, transparan dan tidak korup. Pembangunan ekonomi di topang pemimpin yang kuat jauh lebih penting dari pada kebebasan individu atau HAM.
  • 5. Makna Universalisme dan Relativisme Kultural HAM Telah banyak kesepakatan yang dibuat untuk menempatkan posisi relasi antar manusia. Khususnya yang mengatur batas-batas kewenangan pemimpin dan warga negara. Bahkan sebelum modernitas menyapa dunia. Namun, hal itu tidak terlalu membawa dampak signifikan, meski asumsi moral pun telah diajukan. Dalam kondisi tersebut, diperlukan respon global yang menyeluruh pentingnya pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Tidak hanya sekedar motivasi moral, namun juga memiliki kekuatan hukum dan politik. Dalam Prinsip Universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak- hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi, maka dari itu HAM memang sepantasnya diterapkan dengan prinsip universalisme di setiap negara agar tidak terjadi perbedaan hukum dan norma di mana pun masyarakat itu berada. Sedangkan dalam Prinsip Relativisme Budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Relativisme VS Universalisme Dari sekian banyak permasalahan tentang instrumen hak asasi manusia internasional, wacana universalisme vs. relativisme HAM merupakan permasalahan yang paling utama. Perdebatan tentang dua perspektif diatas sudah berlangsung sejak ditandatanginya Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948 atau sekitar 60 tahun yang lalu. Perdebatan tidak saja menyangkut tentang perlindungan terhadap hak-hak fundamental seperti hak untuk hidup, untuk beragama, persamaan hak melainkan juga menyangkut ruang lingkup hak asasi manusia secara keseluruhan. Salah satu penyebab utama terjadinya permasalahan tersebut adalah karena adanya perbedaan budaya, moralitas dan sistem hukum di berbagai negara. Perbedaan tersebut sangat berasalan karena pelaksanaan dari hak asasi manusia di seluruh dunia selalu bersinggungan dengan budaya, tradisi, agama, hukum nasional dan praktik-praktik lokal lainnya sebagai sumber hukum di negara-negara. Yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah, mungkinkah hak asasi manusia secara universal dilaksanakan dibawah bayang-bayang relativisme di berbagai negara. Atau justru sebaliknya relativisme hak asasi manusia merupakan cara yang tepat untuk melaksakan hak asasi manusia di berbagai negara dengan satu syarat tidak bertentangan dengan prinsip dasar HAM atau tidak.
  • 6. Perdebatan panjang tentang universalisme dan relativisme didalam hak asasi manusia telah membelah negara-negara Barat yang mendukung universalisme hak asasi manusia dengan negara-negara Timur yang mengedepankan relativisme budaya. Selain itu, perdebatan juga melibatkan para pakar hukum, politik, filsafat dan pendukung hak asasi manusia internasional. Salah satu perbedaan mendasar dari kedua pendukung ini adalah terletak pada apakah implementasi hak asasi manusia harus mengadopsi sumber-sumber hukum lokal atau tetap bersikeras menegakan universalisme hak asasi manusia. Disini terlihat bahwa ada perbedaan yang mencolok tentang konsep dasar ditetapkannya hak asasi manusia internasional. Pertama, kelompok relativisme hak asasi manusia cenderung menerima dan bahkan menganjurkan realitas sosial di suatu masyarakat untuk menerapkan hak asasi manusia. Selain itu, perspektif ini juga menerima produk perundang-undangan di suatu negara untuk menerapkan hak asasi manusia karena hukum nasional selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakatnya. Menurut penganut relativisme, sebuah hukum tidak akan berlaku efektif ketika masyarakat menentangnya karena tidak sesuai dengan norma-norma dan tradisi yang ada. Begitu juga yang terjadi dengan hak asasi manusia internasional yang ditetapkan berdasarkan konsensus internasional negara-negara. Jika tidak mengakui relativisme budaya dan nilai- nilai yang berkembang di negara-negara, instrumen internasional justru bisa menjadi ‘impotent.’ Salah satu sebabnya adalah karena instrumen internasional tidak mampu mengintervensi sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sebuah negara karena adanya aturan hukum Piagam PBB yang melarang intervensi asing terhadap kedaulatan sebuah negara. Sedangkan penganut universalisme cenderung menerapkan teori positivisme dimana sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Paham ini berusaha menihilkan realitas sosial didalam masyarakat karena tujuan hukum memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat tersebut. Perspektif ini tentu memerlukan sebuah infrastruktur hukum yang sangat kuat dan saling terkait. Sedangkan negara-negara yang mendukung universalisme hak asasi manusia adalah negara-negara di Amerika Utara dan negara-negara di Eropa Barat sebagai penggagas konsep hak asasi manusia internasional. Di negara-negara tersebut, hak asasi manusia sudah sangat maju meskipun ada beberapa persoalan hak asasi manusia yang masih harus diperbaiki.
  • 7. Didalam konteks perdebatan individu, perbedaan pendapat juga terjadi antara Amartya Sen dan Martha Nussbaum. Menurut Sen, hak asasi manusia adalah ‘seperangkat tujuan’ yang mana masing-masing masyarakat bisa mengembangkan tujuan tersebut. Menurutnya, hak asasi manusia adalah artikulasi dari tuntutan-tuntutan etika yang bersifat terbuka. Pendapat Sen tersebut mendukung relativisme budaya karena tujuan yang ingin dicapai didalam hak asasi manusia harus memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sebab- sebab yang mendasari pendapat Sen adalah bahwa masing-masing budaya, tradisi atau agama mempunyai ciri khas tentang etika dan moralitas yang berbeda-beda. Itulah yang kemudian melahirkan nilai yang pluralis tentang hak asasi manusia. Masing-masing individu yang mempraktikan pluralisme nilai tersebut juga berbeda secara fisik, psikologis, atau mempunyai latar belakang ekonomi dan lingkungan yang berbeda. Dilain pihak, Nussbaum berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah pencapaian- pencapaian fundamental yang tidak dapat dinegosiasikan dengan alasan apapun. Nussbaum menihilkan masyarakat dengan maksud agar ada standar internasional tentang pencapaian hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan hak asasi manusia didalam instrumen internasional mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Ketika ada pengaruh dari lokalitas nilai di suatu masyarakat tertentu, maka ruang lingkup dari hak tersebut bisa dibatasi oleh pemahaman- pemahaman yang diskriminatif. Ini dikarenakan banyak nilai lokal di negara-negara yang masih bersifat primordial dan sektarian berdasarkan nilai yang berkembang didalam masyarakat terentu. Beberapa poin yang bisa diambil dari dua perbedaan pendapat diatas adalah bahwa ada beberapa ketidaksesuaian antara hak asasi manusia internasional yang lebih cenderung menerapkan perspektifnya Nussbaum sedangkan ada banyak negara yang mempraktikan pendapatnya Sen. Padahal didalam praktiknya, implementasi dari hak asasi manusia bukanlah berdimensi internasional melainkan menjadi persoalan nasional negara-negara. Artinya, meskipun komunitas internasional ada karena adanya negara-negara yang diatur oleh sistem internasional yakni hukum internasional, namun implementasi hak asasi manusia dan semua jenis persoalannya tetap berdimensi nasional selama pelanggaran tersebut tidak dikategorikan sebagai gross violation. Lokalitas HAM inilah yang menyebabkan implementasinya menghadapi persoalan yang beragam karena banyak negara masih mendefinisikan, memahami dan melaksanakan hak asasi manusia secara parsial karena adanya benturan nilai antara konsep HAM dengan moralitas dan etika di negara-negara.
  • 8. Malcolm Shaw berpendapat bahwa hak-hak yang ada didalam instrumen-instrumen internasional bisa dengan mudah diimplementasikan ketika aturan hukum yang diatur didalamnya sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sehingga hak asasi manusia yang diatur didalamnya tidak lagi harus memaksakan ‘kewajiban hukum’ bagi setiap manusia untuk menghormatinya melainkan berisi tindakan kolektif dari masyarakat berdasarkan moralitas setempat. Ketika ini terjadi, maka implementasi hak asasi manusia bisa sangat mudah karena adanya penerimaan dari nilai-nilai lokal di masyarakat. Didalam praktiknya, banyak sekali penolakan dari budaya dan tradisi yang dijadikan sumber hukum nasional suatu negara. Meskipun demikian, sudah sangat jelas bahwa prinsip-prinsip hak asasi manusia harus dipahami sebagai aturan hukum yang tidak bisa ditawar lagi oleh semua negara karena isu-isu tentang hak asasi manusia sudah menjadi perhatian dunia internasional. Majelis Umum PBB juga mengingatkan negara anggota dengan menggunakan frase ‘bahwa negara-negara anggota mempunyai kewajiban untuk melindungi, mempromosikan, dan menjamin hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.’ Anjuran dari Majelis Umum ini bisa diartikan bahwa instrumen dan lembaga internasional tentang hak asasi manusia tidak mengenal relativisme budaya didalam hak asasi manusia. Jika melihat dari deskripsi diatas, bisa disimpulkan ada konflik yang signifikan antara praktik-praktik negara yang masih dipengaruhi oleh unsur budaya dan tradisi lokal dengan prinsip universalisme hak asasi manusia. Konflik hukum antara keduanya semakin terlihat ketika nilai dari budaya atau tradisi tersebut bertentangan dengan konsep hak asasi manusia. Sebagai akibatnya, aturan didalam hak asasi manusia dipahami secara berbeda-beda tergantung dari konteks sosial budaya setempat suatu negara. Disinilah peran negara menjadi sangat penting karena implementasi hak asasi manusia sangat bergantung pada kepatuhan hukum suatu negara terhadap instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Praktik-praktik yang berasal dari lokalitas budaya, tradisi atau agama bisa diterapkan didalam implementasi hak asasi manusia selama praktik tersebut tidak ‘menyerang budaya inti’ HAM seperti asas non diskriminasi dan persamaan hak bagi semua manusia. Sekalipun subtansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hampir semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memeliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Perdebatan antara universalitas dan partikular HAM tercermin dalam dua teori yang saling berlawanan: Teori Relativisme Kultural dan Teori Universalitas
  • 9. HAM. Teori Relativisme Kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang universal, semua tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak hak dasar bisa diabaikan atau disesuaikan dengan praktik-peraktik sosial. Oleh karenanya, ketika berbenturan dengan nilai- nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sehingga nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik dan hanya berlaku khusus pada suatu negara, tidak pada negara lain. Para penganut relativisme kultural yang mendukung konstektualisasi HAM cenderung melihat universalitas HAM sebagai emperialisme kebudayaan barat. Hak asasi, sebagaimana ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai peroduk politis barat, sehingga tak bisa diterapkan secara universal. Keengganan untuk menerapkan DUHAM secara menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap pluralitas dengan dasar bahwa kemerdekaan pertama tama berarti kemerdekaan untuk berbeda, sehingga penyeragaman HAM dipandang sebagai perampasan kemerdekaan itu sendiri. Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman historis dan sisitem nilai tidak meniscayakan HAM dipahami secra berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari satu kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal yang tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama dimana pun dan kapanpun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku universal. Dari berbagai penjelasan di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa Hak Asasi Manusia adalah sesuatu yang bersifat kodrati dan berasal dari Tuhan. Dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia untuk mencapai perdaban yang lebih baik maka harus ada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian yakni HAM. Dari berbagai penjelasan yang ada kita dapat memberikan saran dalam konteks masyarakat internasional harus menghormati declaration of human right dari PBB. Yang artinya bahwa semua negara harus tunduk dan patuh terhadap deklarasi PBB tentang penegakan HAM di skala nasional maupun
  • 10. internasional. Jadi dengan adanya deklarasi tersebut masyarakat sadar akan tidak di benarkannya penindasan dan penjajahan terhadap manusia dengan alasan apapun.