4. Perbuatan (aktif/pasif) yg harus dilakukan;
Berbanding lurus sekaligus berbanding
terbalik dengan hak;
Aras praksis: hak lebih diutamakan
pemenuhannya dibandingkan kewajiban.
Manusia lebih suka menuntut hak;i
Secara asasi, hak dan kewajiban harus
dipenuhi secara proporsional.
5. Salmond:
Hak: kepentingan yg diliindungi oleh
hukum
Memenuhi kepentingan adlh kewajiban,
sedang melalaikannya adlh kesalahan
Allen:
Hak: suatu kekuasaan berdsrkan hkm, shg
seseorang dpt melakukan kepentingannya
6. Ihering:
Hak: kepentingan yg dilindungi oleh hukum
Holland:
Hak: kemampuan seseorang utk
mempengaruhi perbuatan orang lain tanpa
menggunakan wewenang yg ada padanya
tetapi didsrkan atas suatu paksaan
masyarakat yg terorganisir
7. Hak Dalam Perspetif Moral dan Hukum
Pelanggaran atasnya merup pelanggaran
moral dan hukum.
Sedang pentaatannya merup kewajiban
moral dan hukum
8. Salmond:
1. Melekat pada seseorang (pemegang hak);
2. Seseorang yg terkena akan terikat kewajiban
tertentu;
3. Mewajibkan seseorang utk melakukan atau tdk
melakukan sesuatu (isi hak);
4. Melakukan atau tdk melakukan berkaitan dgn
obyek tertentu;
5. Memiliki alas hak.
9. 1. Kewenangan (Hak dalam arti
sempit);
2. Kebebasan (liberties) vs tanpa hak;
3. Kekuasaan (power) vs pertanggung-
jawaban;
4. Kekebalan (immunities) vs ketidak-
mampuan.
10. Roscoe Pound:
1. Pembatasan penggunaan hak milik
2. Pembatasan atas kebebasan melakukan
kontrak
3. Pembatasan thdp kekuasaan kreditur utk
mendapatkan jaminan yg memuaskan
4. Transformasi ke arah
pertanggungjawaban yg lebih obyektif
12. INDIVIDUALISME KOLEKTIVISME
Hak individual sangat
utama;
Kepentingan kolektif
diposisikan sbg hal
elementer;
Perlindungan hukum lebih
ditujukan kepada hak
individual
Hak kolektif sangat utama;
Kepentingan kolektif
diposisikan sebagai hal
utama;
Perlindungan hukum lebih
diutamakan terhadap hak
kolektif
13. PLATO:
Hidup dalam negara (baca: masyarakat) mencakup
seluruh hidup manusia. Manusia dapat hidup dan
berkembang menurut hakikatnya melalui negara.
ARISTOTELES:
Manusia hanya dapat berkembang dan mencapai
kebahagiaan, kalau dia hidup dalam ‘polis’ (negara).
Manusia adalah warga polis, seperti halnya bagian dari
suatu keseluruhan. Manusia, pada hakikatnya, adalah
‘makhluk polis’ (zoon politicon). Keberadaan dan peran
manusia baru mempunyai arti jika berada dalam suatu
masyarakat. Pada hakekatnya, manusia adalah
’makhluk yang bermasyarakat’.
14. CICERO:
Negara (baca: masyarakat) merupakan kumpulan
orang banyak yang dipersatukan melalui suatu
aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.
Namun supaya benar, negara harus berpedoman
pada hukum alam dan memajukan ‘kepentingan
umum’;
Bagi Cicero, masyarakat merupakan suatu
kolektifitas dan ditujukan untuk memajukan
kepentingan bersama (umum). Jelas, bahwa
dalam suatu masyarakat, kepentingan sosial lebih
penting artinya dibandingkan kepentingan
individual.
15. THOMAS AQUINAS:
Negara adalah masyarakat yang sempurna (societas
perfecta). Dalam suatu masyarakat, manusia mendapat
perlengkapannya sebagai makhluk sosial. Orang yang
tidak memperhatikan kepentingan umum, tidak berlaku
sebagai makhluk sosial dan tidak sampai kepada
kesempurnaan hidup;
Bagi Thomas Aquinas, manusia sebagai makhluk sosial
pasti membutuhkan eksistensi masyarakat demi
memperoleh segala kepentingan dan kebutuhannya.
Aspek sosiabilitas manusia dan kepentingan sosial
mempunyai gradasi lebih tinggi dari aspek individualitas
dan kepentingan individual.
16. HUGO DE GROOT:
Semua manusia mempunyai alam yang sama dan
kecenderungan-kecenderungan alam yang sama. Oleh
karena itu, semua manusia berhubungan satu sama lain dan
berkecenderungan untuk membentuk hidup bersama.
Kecenderungan ini disebut ’kecenderungan untuk
bermasyarakat’ (appetitus societatis). Masyarakat yang
dibentuk secara demikian adalah dinamakan ’masyarakat
manusia’ (societas humana). Akhirnya, menurut Hugo de
Groot mengatakan, masyarakat terbentuk karena adanya
kecenderungan setiap orang untuk hidup bersama secara
damai;
Bagi Hugo de Groot, sosiabilitas merupakan karakter utama
manusia, dimana manusia mempunyai kecendrungan untuk
hidup bersama.
17. SAMUEL PUFENDORF:
Aksioma dasar hukum alam adalah ‘manusia
harus mewujudkan diri sebagai makhluk sosial,
agar dapat hidup di dunia dalam damai’. Aspek
sosiabilitas manusia merupakan suatu keharusan,
jika manusia ingin mendapatkan kedamaian hidup
di dunia. Eksistensi masyarakat merupakan suatu
entitas yang harus ada dalam kehidupan, terlepas
dari kerelaan atau ketidakrelaan masing-masing
individu.
Gagasan ini menyatakan bahwa kepentingan
masyarakat menempati tempat yang lebih penting
daripada kepentingan individu.
18. ROUSSEAU:
Dalam suatu masyarakat sipil, manusia dan harta
bendanya tidak lagi bersifat individual, melainkan
menjadi bagian dari suatu kolektivitas. Kolektivitas
menjamin suatu kesatuan yang sempurna antara
orang-orang, sedemikian rupa sehingga dalam situasi
baru tersebut semua orang akan sederajat, semua
orang akan sama. Ini berarti, tidak ada orang yang
lebih berkuasa dari orang lain;
Rousseau sebenarnya juga menegaskan bahwa dalam
suatu masyarakat, kolektifitaslah yang lebuh utama
dibandingkan individualitas. Dengan demikian jelas,
bahwa kepentingan sosial lebih penting dibandingkan
kepentingan individu.
19. JOHN RAWLS:
Tertarik pada konsep ’kontrak sosial’ menegaskan,
bahwa sejak jaman dulu telah terdapat pemikir
(misalnya: Aristoteles) yang memandang manusia
sebagai makhluk sosial. Karena bersifat sosial,
manusia harus hidup dalam masyarakat;
Hanya dalam suatu kesatuan sosial, manusia dapat
menjadi utuh (only in social union is the individual
complete). Masyarakat merupakan suatu hidup
bersama dimana tercapailah keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama,
sehingga saling melengkapi.
20. HEIDEGGER:
‘Sein ist Meitsein’ (ada selalu juga ada
bersama);
‘Das mitsein is ein existenziales
konstituens des in-der-Welt-Sein’ (Ada
bersama merupakan sifat eksistensial
daripada berada di dunia).
21. HEIDEGGER:
Terdapat 3 (tiga) tingkatan dalam ko-eksistensi, yaitu:
1. ‘Ko-eksistensi biologis-psikis’, yang berdasarkan
kebutuhan ‘aku’. Dalam keadaan ini, aku dipandang
sebagai lebih tinggi daripada ‘sesama’;
2. ‘Ko-eksistensi etis’ berdasarkan ‘kesamaan hak’.
Dalam keadaan ini, ‘aku’ dipandang sama tinggi
dengan sesama. Prinsip rasional ini menjadi sumber
hukum; dan
3. ‘Ko-eksistensi etis’ berdasarkan ‘kewajiban’. Dalam hal
ini, ‘sesama’ dipandang lebih tinggi daripada ‘aku’.
Prinsip ini menjadi sumber moral hidup, dan sumber
hidup bersama bermoral, yakni ‘aku’ mau tunduk
kepada ‘sesama’ manusia demi suatu kehidupan yang
luhur sesuai dengan kehendak Tuhan.