Emha Ainun Nadjib memandang Pancasila secara religius dan mengidentikannya dengan ajaran Islam. Ia melihat keserasian antara lima sila Pancasila dengan lima rukun Islam. Cak Nun menganggap Pancasila sebagai simbol ikatan antara manusia Indonesia dengan tanah airnya, dan bahwa orang Islam sejati secara otomatis sudah mewujudkan Pancasila melalui ajaran dan praktik agamanya."
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Pendidikan pancasila agil
1. i
PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB TENTANG
PANCASILA
NAMA :AHMAD AGIL ILHAMSYAH
NIM : 17060484162
KELAS : IKOR 2017D
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI
PRODI S-1 ILMU KEOLAHRGAAN
2. ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………… ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
LatarBelakang …………………………………………………………… 1
Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........... ……………………………………………………. 3
A. Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pancasila dalam Budaya Islam............... 3
B. Pancasila di Langit biru menurut Cak Nun................................................ ......... 5
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 7
Kesimpulan …………………………………………………………….. 7
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………......... 8
3. iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Karya Tulis ini
dengan tepat pada waktunya.
Makalah ini berisikan tentang Pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang Pancasila
Kami berharap agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Kami menyadari
bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa meridhai segala usaha kita.
Surabaya, 20 Februari 2018
Penyusun
Ahmad Agil I
17060484138
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat, hampir orang tidak bisa membedakan antara
politik dan kekuasaan. Politik dan korupsi (uang), politik dan kebohongan, politik dan
intervensi. Hal ini disebabkan oleh proses pembodohan politik yang selama ini terjadi
pada masyarakat. Politik tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan
bersama, namun lebih dari itu sebagai usaha untuk meraih “kekuasaan” dengan jalan
mengintervensi dan memanipulasi. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya,
ketika membahas masalah kekuasaan biasanya selalu dikaitkan dengan masalah ideologi
dan politik. Masyarakat yang kurang terdidik secara politik, telah menyebabkan mereka
cenderung pasif dan mudah dimobilisasi untuk kepentingan pribadi/jabatan oleh para elite
politik. Akibatnya terjadi disintegrasi lokal, dimana antar kelompok masyarakat, dan antar
massa pendukung pasangan/calon tertentu saling sikut-menyikut, karena beda pilihan
politik (perbedaan pilihan politik tidaklah dianggap lumrah). Lebih dari itu, mereka juga
tidak bisa ikut mempengaruhi secara signifikan proses pengambilan keputusan yang
berkaitan erat dengan kehidupan mereka. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa
proses demokratisasi yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi politik yang otonom
dari warga negara. Indonesia salah satu negara demokrasi yang telah berusia 70 tahun,
dan sudah beberapa kali mengalami pergantian presiden, masing-masing presiden
mempunyai pemikiran yang khas untuk diterapkan pada masa pemerintahanya. Tidak
semua pemikiran yang diterapkan masa pemerintahanya mendapat pandangan yang positif
di mata rakyat. Misalnya saja pada masa pemerintahan presiden Soeharto, pada umumnya
menyebut masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Dengan sistem pemerintahan yang
otoriter tersebut Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun.
Selama berkuasa tidak jarang orang menentang atas kebijakan yang diterapkan.
Berbeda-beda pula jalan yang ditempuh untuk mengkritik sebuah kebijakan yang
diterapkan oleh sistem pemerintahan pada saat itu. Misalnya saja seorang budayawan,
yang juga sebagai kolumnis karena sering menulis di media- media masa pada saat itu.
Sebut saja Emha Ainun Nadjib yang aktif menulis di berbagai surat kabar, baik inisiatif
5. 2
sendiri maupun permintaan langsung dari media yang akan memuat tulisanya. Misalnya
dalam buku Slilit Sang Kiai yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan beliau dan
dihimpun menjadi sebuah buku. Dalam buku tersebut beliau menyinggung sebuah
kebijakan pemerintah yang menurutnya menghilangkan identitas pribadi atau keaslian,
dengan kata lain menyembunyikan tujuan sebenarnya dalam kebijakan pemerintah
tersebut. Emha merupakan sosok yang bisa dikatakan misterius dalam dunia perpolitikan
Indonesia. Karena selain menentang kebijakan pemerintahan Orde Baru yang tidak tepat,
beliau juga salah satu tokoh yang diundang oleh presiden Soeharto untuk menemaninya di
saat akan lengser atau dipaksa turun dari kursi kepresidenannya. Mungkin karena aktifitas
Emha yang tidak hanya menguasai satu bidang tertentu saja, perhatianya terhadap
permasalahan sangat kompleks dan luas, meliputi bidang-bidang sosial, ekonomi, budaya,
seni, politik, organisasi sosial, agama, serta berbagai problem kehidupan masyarakat.
Mungkin karena itu beliau dipercaya oleh presiden soeharto untuk ikut serta
mengantarkan dari masa yang saat ini disebut otoriter menuju masa reformasi 1998.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Ian L. Betts tentang Jalan Sunyi Emha, dia
menyebutkan bahwa Emha Ainun Nadjib dikenal karena kreativitasnya yang fenomenal
seringkali tercermin dari banyaknya orang yang mendefinisikan mengenai dia, ada yang
mengenalnya sebagai sastrawan, pekerja dan aktivis sosial, kolumnis, pembicara dalam
seminar, kiai, seniman, humoris, dan lain sebagainya. Bahkan menurut definisi yang
dibuatnya sendiri. Kesejahteraan merupakan tujuan dibentuknya negara, berbagai sistem
yang dibentuk untuk diterapkan dalam suatu negara. Salah satunya menggunakan sistem
demokrasi.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pancasila?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang Pancasila?
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pancasila dalam Budaya Islam
Ingat Pancasila, ingat Idul Adha. Aneh. Otak langsung muluk ke langit. Nonton
pemuda kecil Ismail telentang di atas batu. Dengan senyum jernihnya ia menunggu
kilatan pedang Ibrahim bapaknya yang akan menyembelih lehernya. Lantas flying lagi
dan ketemu Nabi-Nabi lain yang juga penuh luka pengorbanan. Ketemu Imam Buchari
dan Imam Muslim, dua perawi masyhur yang sedang jalan- jalan santai dengan
seorang malaikat. Ketemu berbagai lanskap sejarah, yang silam dan yang membayang
di depan. Ketemu ahli-ahli penafsir Islam. Ketemu orang- orang yang tak kusangka
tak kuduga bisa masuk surga, sampai akhirnya tersadar kembali dari lamunan dan
terjerembab ke bumi.
Pancasila begitu Religius. Paling tidak untuk saya. Lebih religius,
daripada politis. Soalnya saya duluan tahu alif-bengkong dab wawu-kecambah
daripada a-b-c-d Latin. Duluan tahu kasidah shalawat Nabi dari pada lagu wajib “Dari
Sabang Sampai Merauke”. Jadi ketika Pak Guru Markilin di sekolah mengajari saya
perihal Pancasila, otak saya langsung mengidentifikasikannya dengan rukun Islam
yang juga lima. Ketuhanan Yang Maha Esa itu Syahadatain.
Sila kedua Muamalah ma’annas. Ketiga Uchuwah. Keempat
jelas: Musyawarah. Lha yang kelima, pasal keadilan itu, Zakat atau Qurban-lah tentu
Ini tak ada hubungannya dengan politik. Lokasi ‘desa kediaman’ saya amat
jauh dari Desa Politik. Ini gejala psikologis biasa saja. Kalau misalnya ada “Operasi
Sapu Lidi” yang khusus bertugas membersihkan penyelewengan ideologi negara
umpamanya, maka saya bukan orang yang patut ditangkap. Bahkan, identifikasi di
atas harus diartikan justru merupakan suatu jabaran realistis yang
mendukung kasektennya Pancasila. jangan khawatir. Atau sebaliknya, secara
kesejarahan Pancasila menetes antara lain dari wawu kecambah itu, di samping
Amitabha Buddha, Kristus Penebus Dosa, dst.
7. 4
2. Pancasila di Langit biru menurut Cak Nun
Menurut Cak Nun, Pancasila itu hanyalah sebuah cincin kawin bagi
seorang suami isteri yang bernama manusia Indonesia dan negeri yang bernama
Indonesia. Sama halnya sebuah cincin kawin, maka benda ini tidak begitu penting
dibandingkan ikatan lahir batin antara suami dan isteri tersebut. Cincin kawin
hanyalah sebuah simbol ikatan, karenanya yang harus diperhatikan adalah
sejauhmana si suami ini cinta pada isteri lahir batin dan cinta itu diwujudkan dalam
sebuah “out come” yang nyata..Sialnya saat ini kita sibuk menyembah cincin kawin
tersebut dan meributkannya dalam berbagai konflik dalam bingkai “agama-
sekularisme”, namun lupa mengurus ikatan suami isteri tersebut agar menghasilkan
keluarga harmonis, dan berdampak bagi kesejahteraan lahir dan batin. Jelaslah tidak
ada masalah antara Pancasila dan Islam. Orang kalau sudah sampai tataran Islam
yang sejati, otomatis ia adalah seorang Pancasilais, meski ia tidak pernah ikut
penataran Pancasila (P4) atau masuk Lemhanas. Mengapa? Jawabnya sederhana
saja, yakni karena Islam mewadahi kelima sila tersebut. Inti ajaran Islam adalah
penyerahan total hanya kepada Allah SWT dalam melakukan segala tindakan
ibadahnya. Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Ya jelas, Indonesia adalah
Bumi Allah. Kalau kita cinta Allah berarti harus cinta pula terhadap ciptaanNya,
apalagi manusia (Indonesia) sudah diperintahkan atau ditugaskan menjadi
khalifatullah. Dari titik ini maka jelas duduk masalahnya bahwa Indonesia harus
dirawat, disirami, dipupuk, dan dipanen untuk kesejahteraan bersama untuk
menunjukkan rasa terima kasih kita kepada yang memberi tanah “bocoran surga”
ini, yakni Sang Pencipta: Allah SWT. Setiap tanggal 1 Juni, diperingati sebagai
Hari Lahir Pancasila. Hanya masalahnya, yang hadir hanyalah keriuhan perdebatan,
seminar, workshop, dst, yang kesemuanya dibingkai dalam kemasan politis dan
tidak sampai kepada tataran perdebatan seorang khalifatullah. Para ahli, politisi,
ilmuwan, dst yang berdebat tentang Pancasila belum sampai kepada tataran
seorang Ulinnuha, Ulil Abshar, Ulil Albab, yang intinya mendasarkan kejernihan
berpikir, kejujuran menggunakan akal, serta hati nurani yang ikhlas. Maka yang
hadir hanyalah perdebatan “kusir”, atau perdebatan politis. Mereka tidak sampai
kepada pertanyaan, misalnya apakah Pancasila masih ditaati hingga kini? Dengan
mengkaji secara kritis tentu kita berharap agar setiap peringatan bukan hanya
seremonial belaka. Bangsa ini sudah pada titik nadir kemunduran karena ideologi
pembangunan tidak jelas. Tulisan ini mencoba memperkenalkan istilah radikalisasi
Pancasila agar ideologi ini menjadi sakti mandraguna. Istilah “Radikalisasi
Pancasila” pernah diucapkan almarhum Prof.Dr.Kuntowijoyo, karena beliau sangat
resah akibat Pancasila hanya dijadikan lip service, bahkan menjadi alat politik
untuk melanggengkan kekuasaan. Hasilnya, Pancasila “tidak operasional”, sehingga
8. 5
bangsa Indonesia kehilangan arah. Pancasila memang “jimat sakti”, namun jimat itu
hanya disarungkan di pinggang dan tak pernah digunakan untuk “berkelahi”
terhadap korupsi, apalagi dijadikan sebagai ideologi yang mengarahkan
pembangunan nasional. Karenanya, jika Pancasila ingin tetap “sakti”, maka harus
ada “radikalisasi”. Istilah ini kata Kuntowijoyo menunjuk kepada upaya untuk
“mengaktifkan” sila-sila dalam Pancasila agar “operasional”, untuk menjadi dasar
negara, pedoman, filsafat, serta ideologi dan tercermin dalam perilaku keseharian
bangsa, terutama para elite politik.
Beberapa tahapan radikalisasi diantaranya, jadikan Pancasila benar-benar
sebagai : 1). Ideologi negara; 2). Salah satu sumber ilmu; 3). Laksanakan Pancasila
secara konsisten, koheren, dan koresponden; 4). Jadikan Pancasila sebagai pelayan
horizontal dan bukan vertikal; dan 5). Jadikan Pancasila sebagai kriteria kritik
kebijakan negara.Tentu saja tidak cukup ruang ini untuk menguraikan satu-persatu
hal tersebut. Karenanya akan diambil satu hal yang penting, yakni bagaimana
Pancasila mampu dijadikan ideologi yang “operasional” untuk menuntun etika dan
moralitas para politikus dan penyelenggara negara? Mengapa hanya mereka yang
dituntut? Sederhana saja, kalau rakyat tidak mungkin akan mengkhianati negara,
karena rakyat adalah pihak yang memberi amanah kepada mereka untuk
menyelenggarakan negara. Rakyat tidak memiliki kekuasaan, karena rakyat
menyerahkan kedaulatan kekuasaan kepada wakilnya dan memberi amanah kepada
penyelenggara negara. Karenanya pihak yang paling bertanggungjawab terhadap
hancurnya negara adalah para politikus dan penyelenggara negara. Indikatornya
jelas, negeri ini telah tergadai. Korupsi sudah menggurita dan bukan lagi sekadar
kasus. Kesejahteraan rakyat terus merosot. Lihat saja survai dari World Economic
Forum, CIA World Factbook, dan Transparency International (2011), Indeks
Pembangunan Manusia kita hanya peringkat 108 dari 178 negara yang disurvai.
Indeks pembangunan pendidikan hanya peringkat 65 dari 128 negara yang disurvai,
pengangguran peringkat 75 dari 237 negara yang disurvai, infrastruktur 82 (dari 139
negara), indeks daya saing 44 (139 negara), kesehatan dan pendidikan dasar 62
(dari 139 negara), dan yang menyedihkan, indeks persepsi korupsi 110 dari 178
negara yang disurvai. Dalam Pancasila ada sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, misalnya. Jika sila ini dipegang dan dijadikan dasar etika moral politikus
dan penyelenggara negara, maka korupsi tidak akan ada. Pemerintah yang memiliki
jiwa keadilan sosial, pasti tidak akan korupsi, karena korupsi menimbulkan
ketidakadilan, kemiskinan, dan kebangkrutan negara. Dengan bertindak koruptif,
berati juga tidak mengamalkan sila ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan. Dalam
perspektif Ricoeur (1990), etika politik itu mengandung tiga tuntutan, yakni : 1).
Upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; 2). Upaya memperluas lingkup
kebebasan; dan 3). Membangun institusi-institusi yang adil. Jelas pula Pancasila
tidak kalah dengan pandangan Ricoeur ini, karena ketiga etika tersebut sudah
9. 6
termuat dalam sila-sila pancasila. Bahkan etika politik yang didasarkan Pancasila,
tidak hanya menyangkut etika individu para politikus dan penyelenggara negara,
namun etika ini juga menyangkut tindakan kolektif. Untuk menunju etika kolektif
sudah pasti dibutuhkan pandangan dan aspirasi dari berbagai pihak. Ini artinya
demokratisasi akan berjalan baik jika didasarkan atas Pancasila.
Radikalisasi Pancasila juga akan membawa arah pembangunan nasional,
karena pada dasarnya tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
sudah termaktub di dalam Pembukaan UUD 45 yang merupakan penjabaran dari
roh Pancasila. Radikalisasi Pancasila akan semakin operasional jika diterapkan
dalam membangun institusi-institusi sosial. Harus dipahami, korupsi merajalela
karena institusi-institusi sosial kita rusak parah. Institusi sosial (misalnya birokrasi)
mendefinisikan hak dan kewajiban setiap warga negara. Jika institusi sosial tidak
sehat, maka ia akan menjadi sumber “keberuntungan” bagi pihak lain (baca :
penguasa, birokrat, politikus, pengusaha, dst), dan kemalangan bagi pihak lain
(baca: rakyat). Pembangunan institusi sosial akan berjalan baik jika ada visi dan
bukan hanya strategi saja. Meski terkesan “abstrak”, visi atau ideologi perlu
ditanamkan dalam benak penyelenggara negara karena akan menuntun arah dan
kebijakan mereka. Visi dan ideologi bagai mercusuar moral. Kapal yang berjalan
tanpa dipandu mercusuar, akan menabrak karang dan kandas. Demikian pula
“kapal” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya,
radikalisasi Pancasila menjadi tuntutan yang tidak mungkin diabaikan jika ingin
agar arah kapal kita tetap kepada tujuannya dan tidak karam di tengah lautan luas.
Jika Pancasila dikebiri, ia hanya ada di langit biru, hanya di awang-awang, alias
tidak dilaksanakan sebagai ideologi negara. Sialnya, jangankan Pancasila, Allah dan
Rasulullah saja dinomorduakan.
10. 7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pancasila begitu Religius. Paling tidak untuk saya. Lebih religius,
daripada politis. Soalnya saya duluan tahu alif-bengkong dab wawu-kecambah
daripada a-b-c-d Latin. Duluan tahu kasidah shalawat Nabi dari pada lagu wajib
“Dari Sabang Sampai Merauke”. Jadi ketika Pak Guru Markilin di sekolah
mengajari saya perihal Pancasila, otak saya langsung mengidentifikasikannya
dengan rukun Islam yang juga lima. Ketuhanan Yang Maha Esa itu Syahadatain.
Sila kedua Muamalah ma’annas. Ketiga Uchuwah. Keempat jelas: Musyawarah.
Lha yang kelima, pasal keadilan itu, Zakat atau Qurban-lah tentu
Pancasila itu hanyalah sebuah cincin kawin bagi seorang suami isteri
yang bernama manusia Indonesia dan negeri yang bernama Indonesia. Sama
halnya sebuah cincin kawin, maka benda ini tidak begitu penting dibandingkan
ikatan lahir batin antara suami dan isteri tersebut. Cincin kawin hanyalah sebuah
simbol ikatan, karenanya yang harus diperhatikan adalah sejauhmana si suami ini
cinta pada isteri lahir batin dan cinta itu diwujudkan dalam sebuah “out come”
yang nyata..Sialnya saat ini kita sibuk menyembah cincin kawin tersebut dan
meributkannya dalam berbagai konflik dalam bingkai “agama-sekularisme”,
namun lupa mengurus ikatan suami isteri tersebut agar menghasilkan keluarga
harmonis, dan berdampak bagi kesejahteraan lahir dan batin