Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berlangsung dari 1966 hingga 1998. Meskipun berhasil membangun ekonomi, masa ini juga diwarnai oleh kolusi, korupsi, dan nepotisme akibat kebijakan Soeharto. Pemerintahan selama 32 tahun menekan demokrasi dan partisipasi masyarakat.
1. KompasianaKompas.comCetakePaperKompas
TVBolaEntertainmentTeknoOtomotifFemaleHealthPropertiUrbanesiaImagesMore
BeritaPolitikHumanioraEkonomiHiburanOlahragaLifestyleWisataKesehatanTeknoMediaMu
daGreenJakartaFiksianaFreez
Home
Politik
Politik
Artikel
Jadikan Teman | Kirim Pesan
Aku adalah kertas pasir, yg menginginkan gaung di detak waktu ini. Suka membaca dan
menulis.Pendiri Kalfa (Kaldera Fantasi)- Kalfa (Kaldera Fantasi) ialah komunitas pecinta
fiksi fantasi. Hadir juga di www.facebook.com/groups/kalfa
0inShare
Pemikiran Soeharto
REP | 08 April 2011 | 08:28 Dibaca: 1610 Komentar: 4 2
Ia adalah enigmatic. Soeharto presiden ke 2 di republik Indonesia menjadi salah seorang
tokoh yang determinan dalam sejarah Indonesia modern. Sejauhmanakah peran dari seorang
tokoh dalam menentukan hela jatuh bangun arus besar kehidupan sosial politik? Dalam
novelnya Pramodya Ananta Toer menuturkan dua sosok yang diametral, dalam cerita yaitu
Wiranggaleng dalam Arus Balik dan Minke dalam Bumi Manusia .[1] Yang satu begitu
hegemonik dalam melahap sebahagian besar porsi dari sebuah arus besar , yang satu
merupakan noktah dari gambaran besar arus yang ada. Dalam hal ini Soeharto terlanjur
dilekatkan dengan kemampuannya melahap banyak saham dalam warna Orde Baru. Hal ini
dapat dilihat pada analisis para Indonesianis maupun dalam negeri, bahkan Liddle
mengistilahkannya dengan Soeharto deterministic.
Siapakah Soeharto? Berbeda dengan pendahulunya Soekarno yang lebih glamour dalam garis
keturunan, Soeharto cenderung tidak menonjolkan silsilah keluarganya ke khalayak ramai.
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di dusun Kemusuk. Dia adalah seorang anak desa yang lahir
2. dari keluarga petani miskin. Ibunya ialah Sukirah dan ayahnya ialah Kertosudiro. Penderitaan
hidup sedari kecil membuatnya berhati- hati untuk bergantung pada orang lain dalam hal apa
pun. Ia juga lebih menyukai hubungan dekat dengan beberapa orang saja dimana ia menjadi
tokoh dominannya.[2] Hal inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengenai blok aliansi
yang dipintal dan disulam oleh Soeharto sepanjang masa kekuasaannya.
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam
usaha penumpasan PKI. Episode seputar perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke
Soeharto hingga saat ini masih menyisakan sekelumit misteri yang mengusik, mulai
dari surat Supersemar, Gestapu yang terjadi, dan peran penting Soeharto dan lain
sebagainya. Pada awalnya Soeharto bukanlah tokoh yang diperhitungkan dan kuat
namun seiring perjalanan waktu kepiawaiannya dalam mengelola pintal kekuasaan
membuatnya teramankan di kursi RI 1. Masa pemerintahan Soeharto dikenal
dengan istilah Orde Baru sebagai antitesa dari masa pemerintahan Soekarno yang
diistilahkan dengan istilah Orde
Lama. Perbedaan yang didengungkan antar kedua fase sejarah ini ialah Orde Baru
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sedangkan Orde Lama
tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tentunya hal ini
merupakan tafsiran yang debatable di masa reformasi dikarenakan bagaimana atas nama
konstitusi justru menjadi pelumpuh kegiatan oposisi, demokrasi yang jauh dari harapan, dan
pengokohan otoriter dalam durasi yang panjang.
Akibat langsung dari masa Orde Lama ialah 2 terminologi penting dalam Orde Baru yaitu
pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik. Dalam hal pembangunan ekonomi, bagaimana
Soeharto mempercayakan pada etnis Tionghoa dalam mengembangkan bisnisnya baik itu dari
kalangan keluarga maupun pengusaha yang dibesarkan oleh Negara. Dalam hal ini dapat
dilihat percikan pengaruh dari masa kecil Soeharto yang mempercayakan pada beberapa
pihak dengan dirinya menjadi tokoh. Pembangunan ekonomi juga memberi ruang bagi
masuknya modal asing dan sejumlah pinjaman asing. Dalam hal ini bagaimana teori Harold
Dumer yang menekankan pada modal dan investasi diterapkan untuk menyokong
pembangunan ekonomi yang dinamis. Teoritrickle down effect akhirnya menjadi pemenang
dalam fase Orde Baru setelah debat intelektual dan adu kekuatan yang mengerucut pada
peristiwa MALARI. Sedangkan dalam hal stabilisasi politik, melalui otobiografinya,
Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya – dijelaskan bahwa hanya oposisi loyal yang
dibolehkan hidup.[1] Hal ini membawa dampak pada pelumpuhan pemikiran dan aksi
oposisi. Oposisi di masa kejayaan Soeharto tertindas secara struktural dan kultural.
3. Kemeriahan yang diperlihatkan dalam konfigurasi persaingan pemilu 1955, tiada terlihat
sepanjang pemilu di masa Orde Baru dikarenakan relatif berusaha dimandulkannya politik
aliran dan hegemoniknya Golkar dalam setiap kemenangan dalam sejarah pemilu Orde Baru.
Stabilisasi politik ini menjadi permasalahan dikarenakan menimbulkan korban jiwa (seperti
peristiwa Tanjung Priok,dll) dan mencederai jiwa demokrasi yang menghargai perbedaan
pendapat .
Berbeda dengan Soekarno yang meluap- luap emosinya dalam pidato, figur
Soeharto merupakan sosok yang kalem. Soeharto juga tidak meninggalkan
kumpulan tulisan seperti halnya Mao, Ho Chi Minh, ataupun Mahathir. Yang menarik
dari
penuturan salah seorang teknokrat Orde Baru bahwa dalam beberapa tahun pertama ketika
mereka bertemu Soeharto, ia akan duduk dan mendengarkan. Dengan menggunakan pulpen
Parker gemuk, ia mencatat pada buku notes besar selagi mereka terus berbicara. Namun, sang
teknokrat ini menyatakan, bahwa setelah beberapa tahun, ketika ia cukup menguasai apa yang
perlu ia ketahui, malah ia yang berbicara, dan giliran para teknokratlah yang mengeluarkan
pena untuk mencatat apa- apa yang ia minta untuk dikerjakan.[1]
Kemandirian Soeharto sedari kecil membawa imbas pada ketrampilan Soeharto dalam
memimpin pemerintahan. Soeharto begitu leluasa untuk memikat dan memarginalisasikan
kelompok maupun orang- orang di sekitarnya. Dalam lingkar kekuasaannya berdiri para
teknokrat, pengusaha, petinggi militer, sebagai mesin patronase yang rumit yang memastikan
bahwa semua pelaku dalam Orde Baru secara praktis terkompromikan dan berutang budi
kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Kemampuannya dalam
mengendalikan dan memilah kelompok yang akan dijadikan pendamping kekuasaannya
memperlihatkan aksi politik yang unik bahkan dalam skala dunia sekalipun.
Dalam kaitannya dengan politik aliran, tradisionalisme Jawa juga mempengaruhi corak
pemikiran dari Soeharto sepanjang pemerintahannya. Idiom- idom Jawa yang ditunjukkannya
pada sejumlah kesempatan dan penghayatannya yang mendalam pada falsafah Jawa. Pada era
1990-an, pada dekade terakhir pemerintahannya terjadi perubahan signifikan pada diri
Soeharto dengan memberikan akses lebih terbuka bagi kalangan muslim yang selama ini
termarginalisasikan dalam kebijakannya. ICMI dan Muamalat dianggap representasi dari
kekuatan sosial politik dan ekonomi ummat yang menjadi pertanda Soeharto di usianya yang
kian menua mulai berusaha mendalami Islam dan tertarik pada Islam. Sekalipun begitu unsur
4. budaya Jawa tidak lantas hilang sama sekali. Istilah lengser keprabon yang kemudian dipakai
bagi pergantian pucuk RI 1 merupakan idiom Jawa. Terakhir, Soeharto merupakan dinamika
yang unik dan teramat mewarnai corak Indonesia pada masanya dan masih kita rasakan
gaungnya hingga sekarang. Diperlukan penilaian sejarah yang jernih dan kearifan untuk
memaafkan sosok yang menyejarah ini.
[1] R.E.Elson, Suharto Sebuah Biografi Politik (2005), Jakarta:Minda, hal
578
[1] Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi (1999), Bandung:
Rosdakarya, hal xx
[1] Eep Saefulloh Fatah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan (1999),
Bandung: Rosdakarya, hal 79
[2] R.E.Elson, Suharto Sebuah Biografi Politik (2005), Jakarta: Minca, hal
575
Laporkan
Tanggapi
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana
menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang
menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan
akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
Siapa yang menilai tulisan ini?
2
Meysha Lestari
Menarik
Jack Soetopo
Aktual
5. KOMENTAR BERDASARKAN :
TANGGAL
8 April 2011 15:48:16
begitulah….orang nya sudah wafat baru dingat kebaikan2 nya, manusiawi tidak ada manusia
yang sempurna demikian juga dengan beliau…. salam kenal
Laporkan Komentar
0
Balas
Yuda Adhi Wisudha
8 April 2011 16:00:50
apapun adanya beliau adalah bapak Pembangunan Indonesia. Di masanya Indonesia mencapai
zaman pembangunan yang memang di perlukan oleh rakyat.
Terkadang dengan berbagai keributan/kerusuhan yang ada sekarang…. rindu juga pada
pemerintahan orde lama yang cenderung tenang dan tertib meski hanya di permukaan saja….
Laporkan Komentar
0
Balas
Meysha Lestari
8 April 2011 19:34:43
terima kasih untuk penyegarannya.
Dari literatur yang anda punya, ada ga latar belakang desain politik indonesia sehingga pemilu
berasas LUBER
thnx
nb : mampir yah ke post dgn judul ‘Apa buktinya anda memilih Saya?’
Laporkan Komentar
0
Balas
Glmaxsoul
16 April 2011 17:30:31
@yuda: betul lebih baik positive thinking & fokus pada sisi cahaya dari seseorang
@meysha:iya pembangunan ekonomi dan stabilitas politik memang menjadi konsep dr Orde
Baru, klo sekarang konsep Indonesia apa ya??
@gimax:salah satu trisukses golkar yakni kepemimpinan nasional dipegang oleh
Soeharto..maka pemilu tak lebih dari sarana legitimasi dimana pemenangnya sudah diketahui
sebelum hari H.literaturnya bisa dilihat dr sejumlah buku eep saefulloh,donald k
emerson,dll…oke saya akan lihat tulisan berjudul ‘apa buktinya anda memilih Saya?’
Laporkan Komentar
0
6. Balas
Zainal Arifin
Tulis Tanggapan Anda
Submit
REGISTRASI | MASUK
FEATURED ARTICLE
Agus Jamali, Militansi Si Penggila Bola …
slamet dunia akhirat
TRENDING ARTICLES
Ingin Tulisan Menarik, Hindari ini …
Dony Purnomo| 5 jam yang lalu
Yabes, Striker Tarkam Andalan Timnas U-19 …
Zen Muttaqin| 5 jam yang lalu
Kekayaan Ahok, Atut, Permainan APBD, dan …
Amyarumnavisa| 9 jam yang lalu
Bu Atut Tak Suka Istilah …
Ira Oemar| 9 jam yang lalu
Mundurnya Ruhut Sebagai Momentum SBY …
Ellen Maringka| 10 jam yang lalu
INFO & PENGUMUMAN
KONTAK KOMPASIANA
INDEX
Inilah 3 Pemenang Test Drive Chevrolet …
FREEZ: Jajanan di Sekolah
Ikuti Kompasiana Nangkring Bareng …
TERAKTUAL
INSPIRATIF
8. Orde baru yang dijalankan oleh Presiden Soeharto yang berakhir dengan
krisis moneter memberikan perubahan dalam pembangunan politik dan
perekonomian.
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM POLITIK ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsiyang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5
tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut
pada tahun 1973, 1978, 1983,1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto
memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk
melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebutlustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis
Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer
Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui
pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk
menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET
(eks tapol).
9. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya
bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang
didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD
tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan
jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari
seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang
diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan
dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan
ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga
pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan
sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Eksploitasi sumber
daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-
an dan 1980-an.
A. System Otoritarianisme Orde Baru
Para ilmuwan politik, terutama yang mempunyai kepedulian terhadap stdi
politik Indonesia memberikan julukan yang beragam dalam mendeskripsikan
karakterristik politik dan pemerintahan orde baru. Meskipun demikian terdapat
benang merah yang menjembatani di antara berbagai perbedaan tersebut, yakni
dominasi Negara atau birokrasi atas masyarakat.
Menurut Hikam, pengristalan sebuah Negara yang sangat kuat ini
kompatibel dengan model pembangunan yang dikembangkan oleh orde baru,
yakni model Negara kapitalis. Model ini mensyaratkan adanya Negara yang
kuat yang mampu menjamin stabilitas politik dan keamanan yang
berrkelanjutan. Stabilitas yang kuat ini diorientasikan untuk memberi rasa aman
bagi invetasi dan implementasi kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh
Negara. Oleh karena itu Negara orde baru secara intensif memelihara stabilitas
politik melalui dua strategi pokok, yakni strategi diskursif dan bangunan
institusional. Strategi diskursif yang telah dilaksanakan meliputi pemikiran-
pemikiran mengenai diskontinuitas historis dan konstitusionalisme yang
berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis di mana pengembangan
hegemoni kekuasaan dibangun, melainkan sebagai justifikasi untuk
menghalalkan penindasan fisik, pelarangan, dan peggusuran orang-orang yang
10. tidak sepaham. Sementara itu pada level institusional, pemikiran mengenai
Negara yang kuat diimplementasikan melalui rancangan korporatis terhadap
organisasi-organisasi social-politik dan kelompok-kelompok di masyarakat
yang memiliki pengaruh besar dalam penggalangan politik seperti organisasi-
organisasi buruh, kelompok-kelompok industry, kelompok-kelompok
keagamaan, serta organisasi kepemudaan.
Dalam menganalisis politik orde baru beserta tatanan yang menopangnya,
para ilmuwan politik telah menggunakan beberapa label, yang di antaranya
dapat diidentifikasi sebagai berikut: “statequa-state” yang diberikan oleh Ben
Anderson, “bureaucratic polity” oleh Karl D.Jackson, “bureaucratic pluralism”
oleh Donald Emmerson, “bureaucratic authoritarianism” oleh Dwight King, dan
“limited pluralism” oleh William Liddle.
Karl D.Jackson menyebut orde baru sebagai masyarakat politk birokrasi,
menggambarkan bagaimana arena politik sangat di dominasi oleh birokrasi
Negara. Menurutnya dalam suatu masyarakat politik birokrasi sebagaimana
dicirikan oleh birokrasi orde baru, keputusan-keputusan penting diformulasikan
dalam birokrasi, korps militer, dan administasi sipil. Kelompok-kelompok di
luar birokrasi, sebagai konsekuensi kuatnya organisasi birokrasi, seperti
pemimpin kharismatik, partai politik, kelompok-kelompok kepentigan, dan
gerakan massa tidak mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini,kebijakan nasional dibuat dalam
lingkaran kecil elit yang berpengaruh dan biasanya kebijakan tersebut ditujukan
untuk merespon nilai-nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat
tingkat tinggi.
Kuatnya dominasi Negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan
masyarakat membuat pembangunan politik pada masa orde baru tidak berjalan
denagn baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Jeffery Winters, dalam masa
kekuasaannya, Soeharto melakukan permainan politk yang lihai, sambil terus-
menerus mendepolitisasi dan memobilisasi masyarakat umum. Langkah-
langkah ini menurutnya telah memberikan rassa aman kepada para investor
dalam dan luar negeri sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi dapat terwujud di
negeri ini. Ini berakibat padda tidak adanya pembangunan politik elementer.
Soeharto dan sekutunya di ABRI melaksanakan politik penyingkiran secara
pribadi, dan bukannya dengan cara membangun institusi-institusi politik yang
kuat (yang terus dapat berfungsi, terlepas siapapun yang berkuasa).
Begitu kuatnya kekuasaan politik Soeharto yang ditopang oleh birokrasi dan
militer membuat struktur politik tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
Politik dan pemerintahan yang didominasi oleh birokrasi dan militer yang pada
perkembangan selanjutnya mempresentasi pada diri Soeharto. Ini telah
memandulkan fungsi-fungsi struktur politik demokrasi hingga hanya sebagai
pelayan atas keinginan-keinginan Soeharto dan kroni-kroninya.
Golkar telah berperan sebagai partai hegemonic, yang meskipun dirinya
sendiri tidak mau disebut sebagai partai politik. Sebagai partai hegemonic,
11. Golkar mempunyai keunikan, yakni bukan partai kader dan partai massa. Ini
karena partai hegemonic tidak diciptakan dan dikembangkan oleh kelompok
atau kelas tertentu dalam masyarakat sebagaimana partai massa dan kader,
tetapi dibangun oleh pemerintah. Dalam praktinya, partai hegemonic ini
mempunyai massa yang besar sebagaimana dalam partai massa, tetapi anehnya
mempunyai anggota yang berasal dari kalangan elit sebagaimana biasa terjadi
dalam partai kader. Namun berbeda dengan kedua partai ini ,partai hegemonic
mempunyai faksi-faksi dalam dirinya, yang terdiri dari faksi militer dan
birokrasi. Kedua faksi ini secara bersama berfungsi sebagai politburo yang
mengontrol kebijakan-kebijakan partai. Dalam konteks Indonesia pembuatan
keputusan secara formal addalah ketua partai, tetapi dalam kenyataannya berada
di tangan presiden.
Di sisi lain, ketiadaan pembangunan politik juga membuat politik pada masa
orde baru minim partisipasi politik. Pada tingkat system, otoritarianisme politik
yang dikontekstasikan orde baru telah membuat system politik tidak lagi
responsive terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan
ekonomi yang semestinya ditujukan untuk mendorong kemakmuran rakyat ,
dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir elit politik dan ekonomi
terutama yang berada dalam lingkaran keluarga cendana.
B. Penopang Kekuasaan Orde Baru
Rezim orde baru di bawah Soeharto telah mampu mempertahankan
kekuasaannya selama lebih dari tiga decade. Pada tahun 1993, di majalah
CEO/International Strategis, Jeffrey Winters mengatakan bahwa setelah Kim II
Sung dari Korea Utara, Soeharto adalah kepala Negara terlama di kawasan Asia
saat itu, dan jika Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan hingga tahun
1996 maka ia akan menjadi kepala Negara kepulauan terbesar di dunia selama
tiga decade.
Secara umum, sekurang-kurangnya terapat empat sumber utama yang menjadi
penopang kekuasaan orde baru:
1. Represi politik
Sejak orde baru melakukan konsolidasi politik pada awal tahun 1970-an,
tindakan kekerasan dan represif merupakan instrument utama yang dipakai oleh
pemerintah untuk mencapai stabilitas politik. Organisasi militer yang
ditempatkan hingga ke desa-desa dalam bentuk Bantara Pembina Desa
(Banbinsa), sementara pada waktu bersamaan pemerintahan orde baru telah
mendirikan banyak instrument guna melakukan represi terhadap warga
negaranya. BAIS ( Badan Intelijen Strategis) yang terdiri dari unsure tentara,
BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen) yang banyak diisi oleh orang-orang sipil,
Kopkamtib yang kemudian diubah menjadi Bakorstanas (Badan Koordinasi
12. Strategi Nasional) telah menjadi lembaga-lembaga represif yang mengontrol
masyarakat.
2. Klientelisme ekonomi
Ini dilakukan seiring dengan melimpahnya sumber ekonomi yang berasal dari
hasil ekspor minyak dan hasil alam lainnya. Dengan sumber inilah, Soeharto
berhasil secara efektif membeli dukungan elit dan masyarakat luas.
3. Wacana partikularistik
Dalam kaitan ini, orde baru telah mengembangkan banyak wacana
partikularistik yang diorientasikan untuk memapankan orde baru, seperti
wacana tentang demokrasi pancasila, tanggung jawab social warga Negara, hak
asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika politik
represi dan klientlisme ekonomi adalah mekanisme control terhadap perilaku
politik,maka politik wacana merupakan mekanisme control terhadap persepsi
dan pola piker partisipan politik. Dalam konteks inilah, orde baru berhasil
membangun legitimasinya dengan menyosialisasikan beberapa wacana baru
seperti stabilitas politik, integrassi nasional,kegagalan demokrasi liberal, dan
lain sebagainya.
4. Korporatisme Negara
Korporatisme Negara dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang diarahkan
sebagai sumber mobilisasi massa. Korporatisme ini mewujud dalam bentuk
penunggalan kelompok-kelompok profesi dan kepentingan yang ke bawah
menempati posisi penting di hadapan anggotanya, tetapi sangat rentan terhadap
intervensi Negara. Beberapa organisasi korporatis di antaranya adalah Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Kamar
Dagang dan Industri (KADIN), dan lain sebagainya. Biasanya pemerintah
menempatkan orang-orang kepercayaannya di lembaga-lembaga ini sehingga
lembaga ini , bukannya memperjuangkan kepentingan anggotanya vis-à-vis
Negara atau pemerintah, tetapi malahan menjadi alat control terhadap
anggotanya yang mempunyai peluang untuk melawan kebijakan rezim.
C. Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru
· Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
· Sukses transmigrasi
· Sukses KB
· Sukses memerangi buta huruf
· Sukses swasembada pangan
· Pengangguran minimum
13. · Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
· Sukses Gerakan Wajib Belajar
· Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
· Sukses keamanan dalam negeri
· Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
· Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
D. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi si kaya dan si miskin)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang
dibreideli
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan
program "Penembakan Misterius" (petrus)
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden
selanjutnya)
E. Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam
berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan
pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-
hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
14. 2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun.
Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 –
1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan
tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian.
Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu
lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu
meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan
terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh
sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan
sebanyak 6 kali.
Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang
besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga
mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional
IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian
Indonesia mencapai kemajuan.
Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya
dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan
ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang
mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997,
Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam
fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis
moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan
perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab
runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.
F. Peran dan Posisi Militer
Sejarah kekuasaan orde baru adalah sejarah neofasisme (militer) yaitu suatu
pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme,
irasionalisme, nasionalisme, dan korporatisme. Pembahasan system otoriter
orde baru tidak dapat dilepaskan dari peran militer dalam menopang
kekuasaannya melalui paradigma dwifungsi ABRI. Ada 3 peran penting yang
dilakukan ABRI terutama dalam kaitannya dengan usaha-usaha menopang
kekuasaan Soeharto, yaitu:
· Militer menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati,
anggota golkar, dan duduk mewakili dirinya di DPR.
15. · Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti dalam kasus
pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan kassospol
ABRI, Letjen Syarwan Hamid, yang mengumpulkan para guru besar
dari seluruh Indonesia di Bogor pada Maret 1997.
· Militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.
G. Krisis dan Keretakan System
Kejatuhan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari krisis moneter yang
melanda Indonesia pertengahan 1997. Yang awalnya melanda Thailand. Krisis
tersebut segera menyebar dan menjalar ke Negara-negara lain seperti Korea
Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Indonesia membutuhkan waktu dua
tahun lebih lama dibandingkan dengan Negara lain di kawasan Asia
yang mengalami krisis. Keterlambatan Indonesia keluar dari krisis karena krisis
moneter menjadi penyulutbagi krisis yang lain sehingga krisis menjadi bersifat
multidimensi. Krisis ekonomi telah bermetamorfosis menjadi krisis
multidimensi yang akut.
Implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam
merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintahan
Soeharto hancur berantakan. Bahkan lebih parah lagi rezim ini tidak lagi
dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi, dan
akibatnya krisis ekonomi berkembang menjadi krisis politik. Krisis ekonomi
telah mendorong kehancuran kredibilitas pemerintah. Kehancuran kredibilitas
pemerintah di mata masyarakat luas dan dunia internasional tersebut telah
mengakibatkan hilangnya kepercayaan yang dapat dilihat dari pernyataan
pejabat representative Bank Dunia untuk Indonesia, Dennis de Tray, ketika
pemerintah meminta pertolongan dari IMF. Menurutnya Indonesia tidak
mengalami krisis ekonomi tetapi mengalami krisis kepercayaan. Menurut
Dawam Raharjo, krisis kepercayaan masyarakat masyarakat terhadap
pemerintah dapat dilihat dari respon masyarakat yang sering kali berlawanan
dengan tujuan dan arah berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Suatu kebijakan pemerintah yang menggiring ekspektasi masyarakat kea rah
kanan justru menimbulkan reaksi masyarakat kea rah kiri, dan sebaliknya. Ini
terutama disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap berbagai langkah
pemerintah yang tidak jelas, baik menyangkut arah maupun tujuannya,
ketidakkonsistenan pemerintah dan langkahnya teladan dari para pemimpin
bangsa. Factor lainnya adalah semakin tidak meratanya distribusi pendapatan
dan kekayaan sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas social.
Selama ini, legitimasi utama pemerintahan orde baru adalah pada
pembangunan ekonomi. Di luar itu, keberhasilan ekonomi rezim ini tidak
mempunyai basis legitimassi apapun. Pembangunan telah menjadi ideology
rezim yang dipropagandakan ke seantero Indonesia. Pihak-pihak yang
16. menentang disingkirkan dan dianggap subversive. Krisis moneter dan ekonomi
telah menghancurkan sama sekali basis legitimasi ekonomi yang dibanggakan
rezim. Bahkan krisis ekonomi juga telah menyadarkan banyak pihak bahwa
bangunan ekonomi yang katanya kokoh ternyata tidak mampu menahan gejolak
ekonomi global. Sebaliknya, Indonesia menjadi Negara paling lama keluar dari
krisis ekonomi jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga yang
mengalami krisis yang sama.
Selanjutnya, akibat dari krisis moneter yang sangat parah adalah pilar-
pilar ekonomi Indonesia mengalami keguncangan. Sector ekonomi modern,
seperti industry,konstruksi dan keuangan telah hancur berantakan.dampak yang
ditimbulkannya adalah jutaan kaum pekerja telah kehilangan lahan kehidupan
mereka, sehingga menambah jumlah orang yang masuk ke dalam barisan
pengangguran.
Ringkasnya, tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis moneter yang
berujung pada krisis multidimensi telah membuat kondisi kemiskinan menjadi
semakin buruk. Penyakit pembangunan yang muncul sebagai akibat
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan yang dilaksanakan sejak akhir
tahun 1960-an telah semakin merajalela dan bertambah parah seiring
ketersediaan lapangan kerja, pendidikan untuk kaum miskin, akses layanan
kesehatan, gizi balita, dan jaminan lingkungan yang semakin buruk, ataupun
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bertambah luas, serta amburadulnya
penegakan hokum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembangunan
yang telah dilakukan oleh rezim orde baru selama lebih dari 3 dasawarsa telah
gagal total dalam meraih tujuan masyarakat adil dan makmur, seperti yang
selalu digembar-gemborkan oleh penguasa orde baru. Implikasi dari kegagalan
ini adalah kehancuran basis legitimasi orde baru, yakni pembangunan ekonomi.
Padahal, di luar pembangunan ekonomi, rezim soeharto tidak mempunyai basis
legitimasi. Pembangunan politik demokrasi tidak dilakukan sama sekali.
Kebebasan pers juga dikekang, dan kebebasannya sangat ditentukan oleh mood
penguasa. Ikatan-ikatan social juga dihancurkan sebagai akibat politik pemecah-
belahan yang dilakukan rezim orde baru.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Orde baru yang telah berlangsung selama 32 tahun oleh presiden Soeharto
mengalami perkembangan dan penurunan dalam kinerja pemerintah terutama
dalam perekonomian.
17. Di samping itu sistem kemiliteran (ABRI) memiliki peran penting dalam
orde baru dalam menopang kekuasaan otoriter orde baru. Namun yang menjadi
krisis dan keretakan sistem orde baru ialah krisis ekonomi dan moneter serta
kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut sehingga
membuat legitimasi pemerintahan Soeharto hancur berantakan.
B. SARAN
Melalui makalah sistem politik orde baru ini, kita dapat mengambil tindakan
yang bijak dan lebih peduli terhadap setiap kebijakan yang diputuskan
pemerintah. Karena melalui orde baru kita dapat mengambil sebuah perubahan
terutama dalam bidang perekonomian dimana pada masa orde baru sistem
pemerintahannya berakhir dengan krisis moneter. Dengan berakhirnya krisis
moneter tersebut berakhir pula sistem pemerintahan orde baru, maka sebuah
perubahan itu perlu dilakukan secepat mungkin dalam mengambil setiap
keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
Winarno,Budi.2007.Sistem Politik Indonesia Era
Reformasi.Yogyakarta:Medpress.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1966-1998)
Diposkan 14th November 2012 oleh aya anipar
Jejak Soeharto : Petualangan Politik Seorang
Jenderal Godean
18. September, tahun 1945. Para pemuda
Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang. Ibu Umiyah Dayino, 75 tahun, masih
ingat sebuah pemandangan. Soeharto, eks tentara Peta, sering datang ke bilangan
Pathook di Yogya. Sebuah kawasan yang kini terkenal sebagai pusat oleh-oleh bakpia
ini, sekitar 50 tahun silam, menjadi sarang berkumpul pemuda-pemuda bawah
tanah yang disebut Kelompok Pathook. Para pemuda itu berkumpul, berdiskusi,
berbagi informasi, merakit senjata, menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh partai.
Penggerak-penggerak utama “geng” ini adalah Dayino, Koesomo Soendjojo, dan
Denyoto. Semuanya kini sudah almarhum. Umiyah, yang tinggal di Ngabean, Yogya,
adalah janda dari Dayino. “Dulu, rumah ini memang menjadi rumah kedua markas
pemuda Pathook. Markas utama ada di rumah Koesomo Soendjojo, di Kampung
Pathook,” katanya kepada TEMPO suatu sore.
Di situlah Soeharto sering mendengar orang berdiskusi. Memang tak sampai setiap
hari, tapi ia bisa saja mampir dua kali seminggu. Ia tiba setiap pukul delapan malam
dan dan bertahan sampai pukul tiga pagi. Itu semua dilakukan untuk “belajar
politik” kepada Dayitno dan Soendjojo, yang dekat dengan para politisi sosialis.
Adalah Marsoedi, seorang eks tentara Peta, yang memperkenalkan Soeharto kepada
kelompok Pathook. “Pemuda Pathook itu seperti pemuda Menteng 31 Jakarta.
Semua berkumpul di situ, apakah itu PKI atau yang lain,” tutur Marsoedi,
mengenang. Ibrahim, 76 tahun, mantan anggota Pathook, masih ingat betul bahwa
yang sering meladeni makanan atau minuman untuk Soeharto adalah seorang
bernama Munir. Ia adalah Ketua Serikat Buruh. “Munir kemudian dijatuh hukuman
mati oleh Soeharto, padahal mereka pernah sama-sama di Pathook,” kata Ibrahim.
Jika wartawan menyempatkan diri melacak masa lalu Soeharto di Yogyakarta dan
menemukan kembali aktivis-aktivis Kelompok Pathook dulu itu ada alasannya.
19. Sebuah buku berjudul Suharto: A Political Biographykarya
R.E. Elson, yang baru saja meluncur dalam jumlah terbatas dan berharga jual Rp
400 ribu, menyinggung tentang Kelompok Pathook ini. Boleh disebut di situlah
proses pembentukan pemikiran pertama Soeharto. Atau, bisa dikatakan bahwa
Pathook adalah sebuah potret kecil bagaimana cara dan gaya Soeharto berkawan. Di
Pathook, ia tidak larut dalam pergaulan. Ia mengambil jarak. “Ia bukan anggota,”
tutur Ibrahim. Soeharto lebih banyak diam, tapi agaknya ia secara saksama
mengamati kecenderungan karakter dan sikap orang, sehingga ketika tiba suatu
“masa” ia dihadapkan pada sikap memilih mana kawan, mana lawan, ia telah siap. Ia
bahkan tega mengorbankan sahabatnya sendiri. Munir, yang punya nama lengkap
Mohammad Munir, dieksekusi pada Mei tahun 1985.
Marsudi, orang yang membukakan
cakrawala politik Soeharto, yang kemudian menjadi perwira intel Soeharto, juga
dijebloskan ke penjara selama lima tahun di zaman Orde Baru. Tudingannya?
Anggota Partai Komunis Indonesia. Buku ini adalah sebuah hasil penelitian yang
disusun secara komprehensif dan hati-hati. Ada beberapa hal yang tetap menjadi
pertanyaan: misalnya, sosok misterius Syam Kamaruzaman, yang sesungguhnya
adalah anggota Kelompok Pathook.
20. Banyak spekulasi mengatakan, kelak kemudian hari ia menjadi agen ganda dan
merupakan kunci utama Peristiwa G30S. Sayang, Elson tidak memberi ruang untuk
mengeksplorasi misteri Syam. Ada hal lain yang menarik yang sekilas disentuh
Elson, yakni soal penyelundupan Soeharto akhir tahun 1940-an. Ibu Umiyah,
misalnya, mendengar sebuah versi cerita bahwa, ketika Soeharto memimpin Brigade
X (Wehtkreise III) di Yogyakarta, ia sudah terlibat penyelundupan. Menggunakan
bahan-bahan dari WTIR (Wekelijks Territoriaal Inlichtingen Rapport) dan NEFIS
(Netherland Forces Intelligence Service), Elson membenarkan dugaan itu.
Sayangnya, pemaparannya hanya sekilas. Elson juga menuturkan periode
kepanglimaan Soeharto di Semarang tahun 1950-1959 secara selintas. Pada Juli
1957, saat menjadi Panglima Jawa Tengah di Semarang, Soeharto mendirikan YPTE
(Yayasan Pembangunan Teritorium Empat).
Mereka mendapatkan modal awal sebesar Rp 419,352 dari pajak kopra dan
sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus. Tahun itu juga, Soejono Hoemardani,
staf Soeharto, bekerja sama dengan YPTE mendirikan NV Garam di Salatiga, yang
bergerak di bidang transportasi. YPTE mendapatkan sepuluh persen dari
keuntungan. Masih pada tahun yang sama, Soejono membeli separuh saham PT Dwi
Bakti. Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaitu
Mohammad Bob Hassan, dan pengusaha Sukaca. Pada akhir tahun 1957, luar biasa,
modal YPTE langsung mencapai Rp 18 juta. Pada Agustus 1958, YPTE mendirikan
NV Pusat Pembelian Hasil Bumi, perusahaan jual-beli produksi pertanian.
Pada tahun 1959, kekayaan YPTE melonjak menjadi Rp 35 jutaan, sehingga YPTE
bisa meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta rupiah untuk mengembangkan industri
kecil di Jawa Tengah. Agustus 1959, YPTE melangkah lebih jauh lagi: menanamkan
investasi sebesar Rp 15 juta untuk membeli Pabrik Gula Pakis. Untuk mengatasi
kekurangan stok pangan di Jawa Tengah, Soeharto membuat kebijakan mengadakan
barter gula dengan beras dari Thailand dan Singapura. Maka, diutuslah agen-agen
YPTE bernama Bob Hasan dan Soejono Hoemardani untuk membuat koordinasi
tukar-menukar ilegal antara Jawa Tengah dan Singapura.
21. Soal barter inilah yang membawa
Soeharto ke hadapan tim pemeriksa Angkatan Darat dengan tuduhan korupsi. Pada
April 1957 di Jakarta, diresahkan oleh kabar merebaknya korupsi di lingkungan
tentara, A.H. Nasution meng-instruksikan membuat tim investigasi korupsi. Pada 18
Juli 1959, sebuah tim inspeksi dari Jakarta dipimpin Brigadir Jenderal Sungkono
tiba di Semarang. Aspek-aspek finansial YPTE diperiksa oleh tim yang diketuai
Letnan Kolonel Sumantri. Pada 13 Oktober 1958, Soengkono mengeluarkan
pernyataan pers di Semarang tentang kegiatan YPTE. Keuntungan yayasan ini
digunakan untuk membeli pompa air, traktor, pupuk para petani di Jawa Tengah,
dan untuk membantu para pensiunan ABRI dan kebutuhan sehari-hari keluarga
serdadu, misalnya membantu bila ada kematian atau pernikahan atau membeli
kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, tim tersebut menyatakan bahwa kasus barter ilegal
Soeharto “dapat dimaafkan” lantaran itu dilakukan untuk kesejahteraan petani dan
prajurit.
Posisi Elson sendiri tampak sependapat dengan “keputusan resmi”. Ia menyangsikan
bahwa segala uang itu masuk ke kantong pribadi Soeharto, lantaran dari risetnya ia
mendapat fakta bahwa kehidupan Soeharto di Semarang sederhana . “As far as I am
aware, Suharto himself was not directly involved in such maters, and there is no evidence
that connects him directly to a share in the profits of these business, ”(Sepanjang yang saya
ketahui, Soeharto tidak terlibat secara langsung dalam kasus itu, dan tak ada fakta
yang mendukung bahwa dia mendapatkan bagian keuntungan dari bisnis ini-Red.),
demikian ditulis Elson. Elson juga menampik anggapan umum bahwa hubungan
bisnis di bawah tangan antara Soeharto dan Liem Sioe Liong terjalin di Semarang
karena-menurut Elson-pada saat itu fokus bisnis Liem berganti.
Oktober 1956, Liem mendirikan NV Bank Asia, yang kelak akan menjadi Bank
Central Asia (BCA). Tahun 1957, Liem telah meninggalkan Kudus dan pindah ke
Jakarta. Hubungan erat Soeharto dan Liem-menurut Elson-baru ketika di Jakarta, di
awal Orde Baru. Yang menjadi soal, dengan kesimpulan seperti itu adakah Elson
22. telah mewawancarai beberapa saksi hidup saat itu? Wartawan TEMPO menemui
Mayor Jenderal (Purnawirawan) Moehono, yang pada waktu itu menjabat sebagai
Jaksa Agung Muda yang diutus Nasution untuk mendampingi tim kecil Ibrahim
untuk memeriksa Soeharto.
“Jauh sebelum membentuk Yayasan Teritorial Empat, Soeharto sudah melakukan
korupsi, yaitu penjualan mobil-mobil tua, sejumlah mobil yang usianya belum
mencapai lima tahun ikut dilegonya,” tutur Muhono. Dalam daftar pustaka,
misalnya, Elson menggunakan referensi buku Letnan Jenderal Purnawirawan
Mochammad Jassin, mantan Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya 1967-
1970: Saya Tidak Pernah Minta Ampun pada Soeharto.
Entah apakah Elson mewawancarai langsung Jassin atau tidak. Sebab, dalam
wawancaranya dengan media pada tahun 1998, Jassin mengatakan: “Tiga tahun
yang lalu saya tanya ke Pak Nas sewaktu dia mengawinkan cucunya, ‘Pak Nas,
katanya Soeharto itu pernah jadi penyelundup.’ Dia bilang, ‘Iya bukan hanya teh, ada
cengkih, besi tua, tekstil. Menurut Jassin, sebenarnya Soeharto sudah mau dipecat
olek Pak Nas tapi diselamatkan oleh Gatot Soebroto.’
Menurut Muhono, yang pertama kali melaporkan penyelundupan ini adalah Pranoto
Reksosamudra. Itulah sebabnya Soeharto sangat dongkol kepada Pranoto, yang
dikenalnya di Pathook itu. Ketika di Semarang, ternyata Pranoto menjadi rival
politik Soeharto. Pranoto inilah yang oleh Bung Karno ditunjuk sebagai caretaker
keamanan pasca-G30S. Tapi, kemudian, Pranoto ditahan oleh Soeharto selama 15
tahun (dari 16 Februari 1966 sampai 16 Februari 1981). Kepada TEMPO, Umiyah,
istri Dayino, menyatakan bagaimana ia ingat saat Pranoto keluar dari penjara. Ketika
itu suaminya, Dayino, menemui Pranoto.
Kedua sahabat ini berangkulan dan Pranoto berpesan kepada Dayino: “No, kowe ojo
melu-melu sing kuoso iki, mergo sing kuoso iki iblis (Kamu jangan ikut-ikutan yang
berkuasa, karena yang berkuasa ini iblis).” Bagian penting lain yang menarik tapi
terasa tak memuaskan dahaga pembacanya adalah bab G30S-PKI. Elson tampak
bersikap ekstrahati-hati. Ia tidak ingin terjebak dalam teori konspirasi. Ia sama
sekali tidak menyentuh kontroversi keterlibatan CIA di balik G30S-PKI atau bahwa
Soeharto semacam soldier of fortune yang menjual negara.
Bagaimanapun, sikap hati-hati Elson ini memiliki sisi positif karena ia mampu
menunjukkan kritik terhadap Kol. Latief. Berdasar bahan-bahan wawancara surat
kabar, buku, dan pleidoi Latief, ia menunjukkan beberapa bagian yang tidak
23. konsisten dalam pernyataan Kolonel Latief. Misalnya, pengakuan Latief bahwa
semenjak di Brigade X ia menjadi anak buah Soeharto bertentangan dengan
pengakuannya yang lain.
Kesimpulan Elson, sebetulnya baik Latief maupun Untung sama sekali tidak akrab
dengan Soeharto. Bahwa fakta Soeharto pernah menghadiri perkawinan Untung
adalah hal yang dilebih-lebihkan. Elson berpendapat Soeharto tidak terlibat dalam
peristiwa itu. Tapi dia menangguk untung. Bagi Elson, Soeharto adalah sosok yang
sulit diketahui isi hatinya. Di tengah misterinya, Elson menganggap kekuatan utama
Soeharto adalah kemampuannya membuat kalkulasi politik.
Salah satu prinsip Soeharto: ia tak akan bertindak sebelum sampai ada tanda jelas.
Ia sabar, tahan, menunggu momen tepat, meskipun dalam rentang itu korban nyawa
berjatuhan. Contohnya adalah pada waktu malam pembunuhan jenderal itu.
Mendengar laporan Latief bahwa ada penculikan jenderal, ia tidak bertindak apa-
apa. Mungkin ia melihat sebuah kesempatan bagi dia sendiri untuk maju.
Demikianlah taktik politik Soeharto.
Menurut analisis Elson, Soeharto juga tak suka pada seorang pesaing atau rival.
Banyak pengamat menganggap, sesungguhnya dalam praktek politik sehari-hari
Soeharto tak ada orang dekat yang betul-betul dipercaya Soeharto. Sebab, jika orang
itu mulai menonjol dan dianggapnya “keluar” dari arahannya, ia akan digencet.
Elson menganggap Soeharto tak akan menghancurkan lawan (pesaingnya) apabila
dia melihat kesempatan untuk membuat sang lawan berubah menjadi anak buahnya.
Bila tak tunduk, ia akan berusaha keras mengisolasi pesaingnya hingga dia tidak
akan mendapat dukungan. Sepanjang sejarah, kita lihat Ali Sadikin yang “dibuang”
di masa Orde Baru. Bahkan soal sepele seperti bentuk mata uang pun bisa jadi
masalah besar bagi Soeharto.
Ketika Jusuf Ronodipuro mengusulkan agar kita memiliki uang kertas bergambar
Sukarno, Soeharto tak setuju kalau Soekarno hanya tampil sendirian. Akhirnya, uang
pecahan itu diputuskan menampilkan gambar Sukarno-Hatta. Menurut Elson, unsur
pembalasan dendam juga menjadi bagian gaya kepemimpinan Soeharto. Seorang
sumber TEMPO menceritakan, begitu Sultan Hamengku Buwono IX menjadi wakil
presiden, ia ingat betapa Soeharto tampak senang. Kepada sumber TEMPO tersebut,
Soeharto mengatakan bahwa kini Raja Jawa-lah yang harus tunduk pada dirinya-
petani dari Desa Kemusuk. Dari pernyataan itu, terasa udara dendam kelas.
24. Kelemahan utama dalam kepemimpinan Soeharto adalah dia bukan pemimpin yang
memiliki visi. Model kepemimpinannya, menurut Elson, sangat instrumental,
sederhana. Langkah-langkah yang diambilnya banyak yang karena kebutuhan
konkret dan praktis. Ia seolah pengamal ekstrem pepatah Latin, Carpe Diem: raihlah
hari ini. Soeharto tak banyak membaca. Elson pernah mendapat cerita bagaimana
seorang lingkaran dalam Istana pernah diam-diam ingin “mendidik” Soeharto.
Setiap pekan, sang sumber ini membawa setumpuk majalah luar negeri, seperti
Time, ke ruang kerja Soeharto. Tapi, tiap kali ia datang, tumpukan majalah itu tak
tersentuh. Sekali waktu di Yogyakarta, Sukarno menyebut Soeharto sebagai koppig
(keras kepala). Sikap koppig ini juga terasa bagi masyarakat di bawah
pemerintahannya karena Soeharto begitu defensif apabila ditanya soal bisnis
keluarganya. Bahkan, ketika tahun 1990-an model nepotisme yang dia bangun
rentan terhadap krisis, ia tetap defensif. Soeharto, menurut Elson, sedari awal selalu
membutuhkan sumber-sumber pemasukan off budget (di luar pembukuan) yang
tidak melalui pemeriksaan ketat. Ia menciptakan mesin-mesin uang seperti Ibnu
Sutowo, yang sepak terjangnya di luar anggaran. Pada waktu itu, semua berjalan
lancar karena faktor boom minyak. Semua “pelanggaran” yang dilakukan seolah
terlegitimasi dengan kesuksesan Pertamina membangun apa saja. Penempatan
personel militer ke dalam lapisan elite perusahaan sipil juga seolah menjadi absah.
Tahun 1967, ia menempatkan Soejono Humardani sebagai dewan utama Bank
Windu Kencana milik Liem Sioe Liong. Ia seolah memberi model bagaimana tentara
harus memanfaatkan sumber-sumber bisnis untuk membiayai operasinya. Ia juga
membiarkan ketika istrinya, Tien Soeharto, mendirikan yayasan-yayasan filantropis
yang dananya diperoleh dari perusahaan-perusahaan. Tahun 1966, bersama istri
Ibnu Sutowo, Tien Soeharto mendirikan Yayasan Harapan Kita, yang dananya
dijatah beberapa persen dari PT Bogasari.
Selanjutnya, lingkup yayasannya tambah beragam, dari yayasan agama sampai yang
bersifat tradisi seperti Yayasan Mangadek, sebuah yayasan untuk memelihara Istana
Mangkunegaran yang pasokan dananya dikoordinasi pengusaha Sukamdani.
Soeharto, mengutip istilah Harry Tjan Silalahi, adalah seorang pemimpin petani
yang memiliki mentalitas lumbung. Seorang petani sehari-hari penampilannya
sederhana, cukup mengenakan kaus, asal lumbungnya penuh. Sosok Soeharto
terlihat sederhana, tak suka pesta-pesta. Tapi ia puas lumbung keluarganya, sanak
familinya, kroninya terisi untuk tujuh turunan. Mengutip analisis Jenderal Soemitro,
Elson menyebut Soeharto memang lemah terhadap keluarganya. Itulah sebabnya
25. kondisi fisiknya semakin merosot setelah kematian istrinya pada 28 April 1996.
Padahal, sebelumnya saat kunjungan ke Kazakhstan, kondisi fisiknya masih bagus.
Ia dikabarkan masih kuat menunggang kuda lokal yang larinya cepat. Sayang, Elson
tak menjelajahi soal kematian Tien Soeharto.
Benarkah isu-isu yang tersebar selama ini? Atau ada fakta lain? Tentunya itu
menarik diulas. “Kematian Ibu Tien karena serangan jantung seperti yang ditulis
Elson itu tidak benar,” kata Muhono, yang di hari-hari kematian Tien Soeharto
mengetahui keadaan dan suasana Cendana. Buku ini memang banyak bertumpu
pada banyak pustaka dan riset dalam rangka upaya Elson mencari atau me-nemukan
gaya personal kepemimpinan Soeharto. Inilah sebuah gaya yang, celakanya, begitu
tertanam dalam birokrasi modern Indonesia. Elson tidak melakukan wawancara
dengan Soeharto. Tapi, itu bukan soal. Sebab, Cyndi Adams, yang menyusun biografi
Sukarno berdasar wawancara yang dalam dengan “pujaan”-nya itu, malah membuat
bukunya itu mengandung banyak bias emosional.
Buku Elson terbilang cukup komprehensif hanya bila pembaca ingin mengetahui
garis besar perjalanan politik Soeharto. Tapi, bila pembaca membaca buku ini
dengan semangat “pembongkaran” sesuatu yang baru dalam misteri sosok Soeharto,
atau jika ingin mendapat informasi atau data tekstual yang mengejutkan, tampaknya
buku ini tak bisa menjadi pilihan.
Sebagaimana fitrah profesi penulisnya, buku ini adalah sebuah analisis yang
komprehensif tentang petualangan politik Soeharto yang disusun dengan rapi dan
teliti tanpa gelora atau keinginan untuk menggebrak.
*Sumber: Arsip Majalah Tempo
About these ads