Dokumen ini membahas implementasi nilai-nilai Pancasila dan pemecahan konflik sosial. Penulis menjelaskan bahwa nilai-nilai Pancasila jarang diimplementasikan dalam kebijakan dan kehidupan nyata, sehingga menyebabkan ketidakadilan sosial dan konflik. Untuk mencegah konflik lebih parah, perlu mengamalkan sistem ekonomi pasal 33 UUD 1945 dan memberdayakan masyarakat marjinal melalui pendidikan dan pem
2. Pengantar
Puji syukur kepada Allah, yang telah banyak memberi nikmat kepada kita-
keluarga besar KAHMI. Selawat dan salam dihaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW semoga keluarga besar KAHMI dimanapun berkiprah
diberi kekuatan, keteguhan hati dan keberanian meluruskan kekeliruan
dalam membangun Indonesia sehingga terwujud keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Saya sampaikan terima kasih, KAHMI telah mengundang saya menjadi
narasumber dalam seminar yang bertema "Reaktualisasi Nilai-Nilai
Pancasila sebagai Upaya Mengantisipasi dan Mengatasi Konflik Sosial".
Tema seminar dari Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI
tersebut, saya rubah dalam makalah singkat ini menjadi "Implementasi
Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial", karena dilandasi suatu
pemahaman empirik melalui pengamatan dan pengalaman inderawi bahwa
Pancasila dan UUD 1945, hanya hadir dalam sumpah/janji ketika pejabat
pemerintah, pejabat negara, pejabat TNI/Polisi dilantik menjadi pejabat.
4. Dalam tataran kebijakan dan operasional, nilai-nilai Pancasila
tidak hadir. Ideologi Pancasila tidak membumi dalam realitas
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada
hal tujuan bangsa Indonesia berbangsa dan bernegara sesuai
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 antara lain
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Kesenjangan antara visi dan misi dalam berbangsa dan
bernegara dengan implementasi dalam kehidupan nyata,
telah menyebabkan masyarakat menjadi
korban. Masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi,
banyak mengalami stres dan bahkan depresi, sehingga
mudah mengamuk yang diwujudkan dalam bentuk konflik
sosial seperti konflik antara sesama warga sekampung dan
kampung lain, konflik antara sesama mahasiswa dan pelajar,
konflik antara warga dengan pengusaha, konflik antara warga
dengan aparat, dan lain sebagainya, sehingga negeri yang kita
cintai telah menjadi negeri tawuran.
5. Spirit Memajukan Masyarakat
Para pendiri bangsa Indonesia (founding fathers) telah menancapkan spirit
memajukan masyarakat Indonesia seperti tertuang dalam pembukaan UUD
1945 yang telah dikemukakan diatas.
Spirit memajukan masyarakat juga tertuang dalam lima sila dalam
Pancasila. Sila pertama dari Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa",
spiritnya ialah masyarakat Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai yang
tercantum dalam kitab suci, untuk meraih keselamatan, kemajuan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sila ini mengajarkan pentingnya manusia
Indonesia membangun hubungan vertikal dengan sang Pencipta.
Sila kedua, yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab", mengajarkan
kepada seluruh bangsa Indonesia supaya mengamalkan nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab semakin redup dikalangan bangsa Indonesia, karena mulai dari
para elit kemudian diikuti masyarakat luas sudah mengamalkan budaya
materialistik, hedonistik dan pragmatik. Akibatnya idealisme yang diajarkan
sila kedua dari Pancasila dikalahkan oleh kepentingan sesaat, dan berlaku
prinsip "menghalalkan segala cara".
8. Sila ketiga, "Persatuan Indonesia" nyaris tidak dipedulikan
karena para elit menggunakan jargon "persatuan" hanya
untuk menggalang dukungan massa dalam rangka mencapai
suatu tujuan. Setelah tujuan tercapai, persatuan Indonesia
ditanggalkan. Inilah ironi Indonesia di era Orde
Reformasi, persatuan Indonesia mengalami
ancaman, karena Bhinneka Tunggal Ika, hanya diucapkan
tetapi tidak diamalkan.
Sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Sila
ini telah dikesampingkan karena kerakyatan telah dipimpin
oleh kekuatan uang. Masalah permusyawaratan telah
ditinggalkan dengan implementasi "voting" yang
sesungguhnya merupakan import dari budaya barat. Kalau
dalam Islam sangat jelas perintahnya "wa syawirhum fil amri"
(dan bermusyawarahlah di dalam suatu urusan". Dilain ayat
disebutkan "wa amruhum syuura bainahim" (dan mereka
9. Selain itu, penyelewengan terhadap Pancasila
khususnya sila keempat adalah peniadaan demokrasi
perwakilan. Kalau mengacu pada sila keempat dari
Pancasila, maka pemilihan Presiden/Wakil
Presiden, Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Pemilihan Bupati/Wakil Bupati, dan
pemilihan Walikota/Wakil Walikota adalah melalui
sistem perwakilan, bukan seperti sekarang melalui
demokrasi langsung/direct democracy, yang memilih
pemimpin adalah seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila ini tinggal nama saja, karena implementasinya
nyaris tidak ada. Keadilan sosial mustahil terwujud
kalau sistem ekonomi yang diamalkan adalah sistem
liberalisme dan kapitalisme. Sistem ekonomi yang
diserahkan pada mekanisme pasar, akan melahirkan
ketidakadilan sosial. Inilah yang terjadi di Indonesia.
11. Spirit Keadilan Sosial
Merujuk pembukaan UUD 1945 dan sila-sila dari Pancasila terutama sila
kelima, dapat ditegaskan bahwa spirit para pendiri bangsa Indonesia ialah
memajukan seluruh bangsa Indonesia melalui perwujudan keadilan sosial.
Sila kelima dari Pancasila, diidealkan para pendiri bangsa ini untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
mendayagunakan seluruh kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuk
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Untuk memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
diwujudkan, maka dtetapkan pasal 33 UUD 1945 ayat:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
12. (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Pasal yang sangat penting dalam UUD 1945 untuk memastikan
bahwa tujuan Indonesia merdeka diwujudkan, hanya sering dikutip
para ilmuan ketika menyampaikan presentasi dalam seminar dan
pertemuan ilmiah lainnya seperti hari ini, tetapi
pengamalannya, samada di masa Orde Baru maupun di masa Orde
Reformasi tidak nampak.
Oleh karena dalam membangun ekonomi tidak merujuk kepada
pasal 33 UUD 1945 sebagaimana dikemukakan di atas, maka
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin
jauh dari yang diharapkan.
Pembangunan yang dilaksanakan hanya semakin memperkaya
orang-orang yang sudah kaya, sehingga semakin memperlebar
jurang sosial antara yang kaya dan mayoritas masyarakat Indonesia
yang miskin dan kurang pendidikan.
15. Lahir Konflik Sosial
Konflik yang terjadi diberbagai negeri ini merupakan akibat dari
pembangunan yang hanya semakin memperkaya orang-orang kaya dan para
penguasa. Pembangunan tidak melahirkan keadilan sosial.
Konflik sosial yang merebak di seluruh negeri yang kita cintai ini, telah
menyebabkan Prof. Azyumardi Azra, menyebut Indonesia dalam tajuk
tulisannya di salah satu media sebagai negeri tawuran. Konflik yang terus
merebak diberbagai pelosok tanah air merupakan buah dari
kegagalan pembangunan, yang hanya semakin memperkaya orang-orang
kaya. Sejatinya pembangunan melahirkan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial. Realitasnya, yang kaya semakin kaya sementara mayoritas
masyarakat tidak kunjung mencapai keadilan sosial.
Ini sangat membahayakan Indonesia yang berbhinneka dalam
suku, bangsa, budaya, etnik, dan agama, dan tersebar di 17.500 pulau.
Sumbu konflik tersebar disetiap
kampung/desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi di seluruh
Indonesia. Jika ada yang menyulutnya akan segera meledak. Sekitar 90
persen konflik sosial di Indonesia, akar masalahnya adalah ekonomi.
17. Perlu Penyelamatan
Untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran akibat
konflik sosial di seluruh negeri, diperlukan hadirnya para
pemimpin lokal seperti Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta,
yang egaliter, bisa memberi harapan (optims), dan dapat
memandu masyarakat untuk bangkit dan
bersemangat meraih kemajuan dan kesuksesan dalam hidup.
Selain itu dapat segera menyelesaikan persoalan yang dialami
masyarakat.
Pemimpin yang ditunggu adalah yang jujur, yaitu satunya kata
dan perbuatan. Pemimpin yang amanah, tidak mengkhianati
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pemimpin yang bisa
memberi contoh dan teladan kepada rakyat, mana yang baik
dan harus diamalkan, dan yang mana buruk, yang harus
ditinggalkan.
19. Kesimpulan
Untuk mencegah semakin memburuknya keadaan Indonesia, maka akar masalah
konflik yaitu ekonomi harus dipecahkan. Cara memecahkan ekonomi
Indonesia adalah pertama, kembali mengamalkan pasal 33 UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
Kedua, melakukan "special treatment" dibidang ekonomi semacam program
"Benteng" di masa Soekarno, untuk memberdayakan dan memajukan ekonomi
kaum pribumi yang marjinal.
Ketiga, melakukan "special treatment" di bidang pendidikan dengan memberi bea
siswa penuh kepada kaum marjinal dari "suku asli" di berbagai daerah seluruh
Indonesia untuk mengikuti pendidikan di dalam luar negeri.
Keempat, para pemimpin pemerintahan harus merubah style dalam memimpin
yaitu melayani masyarakat, memandu, memberdayakan serta memajukan
masyarakat, jangan memajukan dirinya, kelompoknya dan partainya.
Kelima, memberi harapan kepada masyarakat luas bahwa harapan itu masih
ada, jika mau merubah nasih dengan bekerja keras.
Dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan sistem ekonomi yang tercantum
dalam pasal 33 UUD 1945, maka optimis Indonesia akan bangkit dan maju menjadi
negara adidaya paling lambat pertengahan abad 21 ini.