Dokumen tersebut membahas tentang paradoks perkotaan akibat urbanisasi di Indonesia, khususnya di Jakarta, dimana urbanisasi yang pesat menyebabkan munculnya pemukiman kumuh dan kemiskinan di perkotaan meskipun pertumbuhan ekonomi kota juga cepat.
1. UNIVERSITAS INDONESIA
PARADOKS PERKOTAAN AKIBAT URBANISASI
(SLUM AREA JAKARTA)
TUGAS MAKALAH PENDEK
Pengajar : Prof. Susiyati B. Hirawan, Ph.D
Disusun Oleh :
Rani Nurhaerati Riyanto Putri
1706087470
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
MEI 2018
2. 1
Universitas Indonesia
A. Pendahuluan
Umumnya kota-kota besar mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai
akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran dan terutama juga pengaruh dari perpindahan
penduduk yang sangat pesat dari desa ke kota (urbanisasi). Dengan pesatnya pembangunan
fisik perkotaan, banyak orang-orang dari desa menuju ke kota untuk mencari kesempatan
mengubah nasib. Berpindahnya penduduk meninggalkan desa atau kota kecil menuju kota
yang lebih besar karena adanya sesuatu yang lebih menarik dan lebih menguntungkan
untuk tinggal di kota besar dibandingkan dengan desa atau kota kecil daerah asalnya.
Faktor-faktor penarik yang ada di kota besar ini disebut “faktor penarik” (pull factor),
sedangkan faktor-faktor yang ada di desa atau kota kecil yang mendorong penduduk
meninggalkan daerah asalnya disebut “faktor pendorong” (push factor).
Kota besar menjadi tempat berkembangnya industri dengan sektor ekonomi tersier yang
kuat dan daya beli masyarakat yang kuat menyebabkan derasnya arus urbanisasi menuju
daerah perkotaan. Sektor industri perkotaan membutuhkan beraneka ragam tenaga kerja,
mulai dari tenaga kerja berpendidikan yang terampil sampai dengan tenaga kerja kasar.
Penghasilan yang lebih mudah diperoleh melalui partisipasi di sektor industri dan sektor
ekonomi tersier di kota menyebabkan hasrat penduduk di pedesaan untuk memperbaiki
nasib di kota semakin tinggi. Meskipun pendatang-pendatang baru itu pada umumnya tidak
memiliki pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan, namun mereka ingin merasakan
kesempatan hidup yang lebih baik dengan mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi,
dimana lebih besar kemungkinannya diperoleh di kota jika dibandingkan kalau mereka
tetap tinggal di desa. Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap penduduk pendatang di
Jakarta ditemukan bahwa bila dilihat dari segi pendapatan yang diperolehnya sebagai
tenaga kerja, maka ada kecenderungan penghasilan kaum urban lebih baik dibandingkan
dengan pendapatannya ketika berada di desa asalnya. Oleh sebab itu, kaum urban ini
biasanya sudah siap untuk melakukan pekerjaan kasar apapun, asalkan dapat mengubah
3. 2
Universitas Indonesia
kehidupannya (Auslan, 1986; Adisasmita, 2010). Di Indonesia, para migran dari desa ini
pada mulanya sering mengalami berbagai perasaan dan perilaku tertentu seperti gejala
perilaku yang muncul akibat merasa terasing dari kebiasaan perkotaan yang disebut
cultural lag yaitu adanya perbedaan pada tingkat kemajuan unsur-unsur kebudayaan yang
dimiliki, dalam perkotaan yakni tingkat pengetahuan dengan teknologi. Akibatnya kaum
migran ini tidak memiliki nilai yang dapat mendukung bagi kehidupan kota yang beradab,
sehingga mudah muncul tindakan/perilaku yang mengganggu ketertiban umum bahkan
mengarah pada kriminalitas, contoh : membangun tempat berjualan tanpa memperhatikan
aspek lingkungan seperti menggunakan halte bis atau jembatan penyeberangan sebagai
tempat berjualan.
Gambar 1. Paradoks Perkotaan Akibat Urbanisasi
Dari penjelasan diatas, masalah urbanisasi seringkali diikuti masalah sosio kultural pada
perkotaan. Dampaknya, arus urbanisasi tidak selalu seiring dengan gemerlap perkotaan.
Laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan ternyata membawa beragam
permasalahan seperti kemacetan dan kesemrawutan kota, kemiskinan, meningkatnya
kriminalitas, munculnya pemukiman kumuh (slum area) terutama pada lahan-lahan kosong
seperti jalur hijau disepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman-taman kota
maupun di bawah jalan layang.
4. 3
Universitas Indonesia
B. Landasan Teori
1) Urbanisasi
Urbanisasi adalah adaptasi masyarakat pada kondisi sosial ekonomi dan perubahan
biofisik (Schneider & Woodcock, 2008; Seto, Sanchez-Rodriguez, & Fragkias,
2010). mengidentifikasi kekuatan pendorong urbanisasi penting untuk memahami
mekanisme urbanisasi yang sebenarnya. Akibatnya, semakin banyak penelitian
yang ditujukan menyelidiki kekuatan pendorong ini, dan telah menyarankan
urbanisasi itu terutama didorong oleh faktor geografis (misalnya, kemiringan dan
elevasi), mengubah status sosial ekonomi (misalnya, PDB dan populasi), dan
kebijakan penggunaan lahan (Liu, Zhan, & Deng, 2005; Seto & Kaufmann, 2003;
Tian, Chen, & Yu, 2014; Zhang, Su, Xiao, Jiang, & Wu, 2013). Urbanisasi
seringkali diwakili oleh proporsi total populasi di perkotaan, seperti dalam studi
oleh Fan et al. (2006), Lin et al. (2009), Liddle dan Lung (2010) dan Zhou et al.
(2011). Penelitian mereka menemukan bahwa jutaan penduduk pedesaan telah
bermigrasi ke kota-kota di China sejak pembukaan negara dan reformasi di akhir
1970-an. Namun, mereka memiliki peluang kerja yang jauh lebih buruk dan jauh
dari cakupan kesejahteraan, dibandingkan dengan penduduk asli kota sehingga
membuat proses urbanisasi tidak merata. Ye dan Wu (2014) menunjukkan bahwa
urbanisasi dicirikan oleh pola populasi dan ekspansi yang cepat dari perkotaan dan
akhinrnya urbanisasi yang terjadi tidak mampu mencapai efisiensi dan penuh
risiko. Oleh karena itu, selain persentase penduduk perkotaan, tingkat pekerjaan
perkotaan juga menjadi indikator dalam mengukur kualitas urbanisasi, khususnya
yang relevan dengan negara-negara yang tidak berpenghasilan tinggi dan masih
mengembangkan ekonomi.
5. 4
Universitas Indonesia
2) Kawasan Kumuh
Daerah kumuh memiliki tingkat yang berbeda-beda berdasarkan berbagai identitas
kelompok dan bagaimana masing-masing kelompok terisolasi dari yang lain.
Akibatnya, koneksi dalam grup lebih kuat dan interaksi sosio-budaya terbatas
antara kelompok-kelompok. Terdapat penelitian bahwa hubungan spasial
menunjukkan jarak sosial antara berbagai kelompok dan merupakan salah satu
saluran utama komunikasi lintas individu dan kelompok sosial (Vithayathil &
Singh, 2012). Hubungan antara status sosio-ekonomi dan pilihan tempat tinggal
telah dipelajari secara luas di masa lalu, terutama dalam konteks pada negara-
negara berkembang. Lebih jauh, sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan
Diferensiasi kontekstual untuk berbagai jenis permukiman kumuh didasarkan pada
infrastruktur, akses ke layanan publik dasar dan ketahanan (Lall, Lundberg, &
Shalizi, 2008; Nijman, 2008; O'Hare, Abbott, & Barke, 1998; Ram & Needham,
2017).
Menurut UN Habitat (2016, Hal.67) Definisi kumuh memiliki dua dimensi. Dari
perspektif hukum, permukiman kumuh adalah struktur yang tidak sah dan ilegal,
di mana penduduk tidak memiliki hak legal atas tanah yang mereka tempati.
Seringkali didapati permukiman kumuh dibangun di atas tanah yang dirambah dari
pemilik tanah pribadi, serta tanah pemerintah pusat maupun perusahaan. Dari
perspektif kualitas hidup, daerah kumuh merupakan daerah yang kekurangan
fasilitas dasar dan ditandai dengan sanitasi yang kurang memadai, jorok, dan
kondisi yang penuh sesak; karenanya, wilayah kumuh menjadi sumber bahaya
terhadap kesehatan, keselamatan, atau kenyamanan penghuninya. Urbanisasi yang
terdapat di dunia lebih sering terjadi secara informal, hal ini ditunjukkan oleh
sejumlah besar rumah tangga perkotaan yang tidak memiliki legalitas hak milik
atau mendapatkan layanan perkotaan yang tepat. Selain itu, urbanisasi informal
6. 5
Universitas Indonesia
tidak hanya merongrong kualitas hidup penduduk perkotaan, tetapi juga membatasi
perkembangan mereka di bidang lain, seperti pendidikan, kesejahteraan, dan akses
ke pekerjaan di sektor formal.
3) Pembangunan Universal dan Karakteristik Pembangunan Di Negara
Berkembang.
Menurut Michael P. Todaro, Pembangunan seharusnya diselidiki sebagai suatu
proses multidimensional yang melibatkan reorganisasi dan reorientasi dari semua
sistem ekonomi dan sosial. Adapun tujuan pembangunan yang universal adalah
sebagai berikut.
a. Menambah persediaan dan memperluas distribusi barang keperluan hidup yang
pokok seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan perlindungan bagi
semua anggota masyarakat.
b. Menaikkan taraf hidup, termasuk pendapatan yang lebih tinggi, penyediaan
lapangan kerja, pendidikan dan perhatian yang lebih banyak pada nilai-nilai
kebudayaan dan kemanusiaan. Semua ini tidak hanya akan menaikkan
kesejahteraan kebendaan saja, tetapi juga akan menimbulkan harga diri dan
kebanggaan nasional.
c. Memperluas lingkup pilihan ekonomi dan sosial bagi perseorangan dan negara
dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan, tidak hanya
dalam hubungannya dengan orang-orang dan negara-negara lain, tetapi juga
dengan kebodohan dan kemiskinan.
Fokus pembahasan dari analisa urbanisai dan pembangunan adalah masalah
pembangunan di negara-negara sedang berkembang (developing countries). Pada
Negara berkembang, karakteristiknya dapat dilihat sebagai berikut.
a. Taraf hidup yang rendah. Pada umumnya sebagian besar penduduk di negara
sedang berkembang taraf hidupnya rendah, yang dapat dilihat dari tingkat
7. 6
Universitas Indonesia
pendapatan yang rendah, perumahan yang tidak memenuhi syarat, kesehatan
dan gizi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kematian bayi
yang tinggi, dan tingkat harapan hidup yang pendek.
b. Produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas (kemampuan
berproduksi) tenaga kerja antara lain disebabkan buruknya kesehatan, tingkat
gizi yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, kurang disiplin, kurangnya
peralatan. Rendahnya produktivitas ini mengakibatkan lambatnya laju
pembangunan.
c. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pada umumnya negara yang
sedang berkembang mengalami laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, yakni
sekitar 2,5 % per tahun. Perumbuhan penduduk yang tinggi ini menimbulkan
akibat yang negatif terhadap pembangunan, yakni pengangguran yang
berlebihan, tingkat pendapatan per kapita yang rendah.
d. Tingkat pengangguran yang tinggi. Tingkat pengangguran yang tinggi di
negaranegara sedang berkembang dapat dicari sebabnya pada permintaan dan
penawaran tenaga kerja. Dari sisi permintaan, permintaan tenaga kerja ini tidak
berjalan secepat pertumbuhan ekonomi. Kelambatan permintaan akan tenaga
kerja ini disebabkan proyek pembangunan, terutama di sektor industri bersifat
padat modal yang kurang menyerap tenaga kerja. Dari segi penawaran, mutu
dan kualifikasi tenaga kerja seringkali tidak memenuhi keperluan
pembangunan. Tenaga kerja ini umumnya tidak terdidik, tidak terlatih dan tidak
terampil.
8. 7
Universitas Indonesia
C. Pembahasan : Hubungan Urbanisasi, Kemiskinan Pada Pemukiman Kumuh serta
Pertumbuhan Ekonomi Kota.
Pertumbuhan Ekonomi perkotaan dan urbanisasi merupakan dua hal yang saling berkaitan.
Cepatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia, ternyata
menyisakan sebuah masalah: urbanisasi. Warga desa makin banyak yang mencari
peruntungan ke kota, dimana kebanyakan mereka berakhir tinggal di daerah kumuh.
Jumlah persentase penduduk perkotaan yang menempati suatu wilayah atau sering disebut
tingkat urbanisasi (level of urbanization) menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan proyeksi tahun 2030 tingkat urbanisasi negara-negara ASEAN sebesar 60,7 %
atau hampir sama dengan tingkat urbanisasi dunia sebesar 60,8 % (Kuncoro, 2010 ). Salah
satu masalah yang dihadapi kota-kota di negara berkembang adalah bertambahnya
penduduk kota dengan sangat pesat, sebagai akibat dari kelahiran dan terutama oleh arus
perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota (urbanisasi).
Todaro dalam Manning (1985) memperkirakan bahwa pada tahun 1950 sekitar 38%
penduduk kota tinggal di negara sedang berkembang dan pada tahun 1975 sekitar 750 juta
penduduk negara sedang berkembang berada di kota dan pada tahun 2000 diperkirakan
akan meningkat lebih dari 2 ½ kali. Selain itu, diperkirakan bahwa pada tahun 2020
penduduk perkotaan dunia akan menjadi 50% dan Asia akan menerima bagian sebesar
52%. Urbanisasi di negara berkembang Asia terutama pada negara-negara bekas jajahan
termasuk Indonesia memiliki perbedaan dengan pola urbanisasi pada negara maju yaitu
pertumbuhan penduduk kota yang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonominya. Akibat
dari urbanisasi di Indonesia adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin didaerah
perkotaan dan ini merupakan masalah krusial yang dihadapi hampir semua kota di
Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas adalah banyaknya penduduk kota yang
tinggal di pemukiman liar dan kumuh, serta terbatasnya akses penduduk ini pada pelayanan
kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi.
9. 8
Universitas Indonesia
Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi, 2010-2035
Provinsi
Tahun
2010 2015 2020 2025 2030 2035
DKI Jakarta 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Jawa Barat 65,7 72,9 78,7 83,1 86,6 89,3
Jawa Tengah 45,7 48,4 51,3 54,3 57,5 60,8
DI Yogyakarta 66,4 70,5 74,6 78,0 81,3 84,1
Jawa Timur 47,6 51,1 54,7 58,6 62,6 66,7
Banten 67,0 67,7 69,9 73,7 78,8 84,9
Tabel 1. Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi (Sumber Data : BPS)
Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu
orang (3,77%). Dibandingkan dengan September 2016 (385,84 ribu orang atau 3,75%),
jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,85 ribu atau meningkat 0,02
poin. Sedangkan dibandingkan dengan Maret 2016 dengan jumlah penduduk miskin
sebesar 384,30 ribu orang (3,75%), jumlah penduduk miskin meningkat 5,39 ribu
atau meningkat 0,02 poin (BPS : Maret 2017)
Tabel 2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di
DKI Jakarta, Maret 2016 - September 2016 - Maret 2017
Pada periode September 2016 - Maret 2017, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kenaikan. Indeks Kedalaman
Kemiskinan naik sebesar 0,055 poin dari 0,433 pada September 2016 menjadi 0,488 pada
Maret 2017, sementara itu Indeks Keparahan Kemiskinan juga naik sebesar 0,022 poin dari
10. 9
Universitas Indonesia
0,075 pada September 2016 menjadi 0,097 pada Maret 2017. Demikian juga jika
dibandingkan dengan Maret 2016, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) juga mengalami kenaikan. Indeks Kedalaman Kemiskinan
naik sebesar 0,031 poin dari 0,457 pada bulan Maret 2016 menjadi 0,488 pada bulan Maret
2017. Begitu juga dengan Indeks Keparahan kemiskinan naik sebesar 0,014 poin, yaitu dari
0,083 pada bulan Maret 2016 menjadi 0,097 pada bulan Maret 2017.
Gambar 2. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) di DKI Jakarta, Maret 2013 – Maret 2017
Kemiskinan di perkotaan menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan sosial, antara
lain: Meningkatnya angka kriminalitas yang dipicu oleh kesulitan ekonomi sehingga
mengakibatkan kondisi keamanan dan ketertiban yang tidak terjamin, merosotnya moral
yang ditandai dengan perilaku/tindakan asusila yang bermotifkan ekonomi (kecenderungan
memperoleh uang yang besar dengan melakukan prostitusi) serta rendahnya kualitas
kehidupan bermasyarakat akibat merebaknya slum area. Menurut Kementerian PUPR
(Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) terdapat sebelas variabel penentuan kawasan
kumuh, yakni kepadatan penduduk, pemanfaatan lahan, keadaan jalan, keadaan drainase
atau saluran air, tempat buang air besar, pengangkutan sampah, cara membuang sampah,
penerangan jalan umum, tata letak bangunan, konstruksi bangunan tempat tinggal, dan
keadaan ventilasi bangunan.
11. 10
Universitas Indonesia
Berdasarkan data dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta, ada dua
kota administratif DKI Jakarta yang tercatat memiliki jumlah RW kumuh terbanyak,
yakni Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Sementara itu, jumlah RW kumuh paling sedikit
berada di Kepulauan Seribu. Dari 264 RW kumuh yang diteliti tahun 2014, hanya 41 RW
di Jakarta yang tergolong tidak kumuh. Komposisi jumlah RW kumuh tersebut adalah lima
di Kepulangan Seribu, 32 di Jakarta Timur, 34 di Jakarta Selatan, 42 di Jakarta Pusat, 55 di
Jakarta Barat, dan 55 di Jakarta Utara. Sebagai contoh : Salah satu rumah di RT 14, RW 16
Kelurahan Kapuk Jakarta Barat, memiliki ukuran rumah 2x3 meter dan rumah tersebut
dihuni lebih dari satu keluarga.
Memasuki kawasan kumuh di Jakarta, nyaris hampir tak ditemukan pepohonan hijau.
Kanan kiri dipenuhi bangunan-bangunan dan perumahan warga. Bangunan-bangunan
warga terlihat saling berhimpitan dan didominasi bangunan semi permanen. Kabel-kabel
listrik bergelantungan tidak tertata. Rumah-rumah semi permanen berlantai dua menutupi
cahaya matahari yang masuk. Terlebih lagi pemandangan drainase saluran air yang terlihat
mampet berwarna hitam pekat bercampur sampah. Bangunan-bangunan bedeng semi
permanen di sekitarnya mengokupasi sungai kecil selebar lima meter. Selain itu, akses jalan
hanya menyisakan sekat kecil untuk jalur lintasan kendaraan roda dua.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka bisa di tarik sebuah kesimpulan bahwa munculnya
slum area berasal dari ketertarikan warga desa/ pinggiran yang tidak terampil untuk bisa
12. 11
Universitas Indonesia
merasakan kue ekonomi perkotaan. Masalahnya adalah produktvitas rendah dari kaum
urban ini justru menempatkan mereka pada kemiskinan dan kehidupan yang tidak layak
pada pemukiman kumuh. Munculnya permukiman kumuh adalah bukti perekonomian
hanya tumbuh di kota-kota besar saja.
D. Kebijakan PEMDA DKI Dalam Menata Permukiman Kumuh
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi
kebijakan fiskal dan moneter harus mampu mengarah pada penciptaan dan perluasan
kesempatan kerja sehingga bisa mengurangi kemiskinan khususnya pada wilayah
perkotaan. Untuk menata permukiman kumuh perlu keberpihakan kebijakan termasuk
akses, pendamping, perbaikan wilayah yang disesuaikan dengan Kebijakan Pemerintah
Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang
menjadi satu kesatuan dan saling mendukung untuk penciptaan kehidupan layak di
perkotaan. Kebijakan-kebijakan tersebut, antara lain :
1. Perbaikan sektor pendidikan. Pendidikan selalu menjadi sektor penting menghadapi
permintaan pasar tenaga kerja yang membutuhkan tenaga terampil dengan
produktivitas yang tinggi. Dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat kelas
bawah untuk mengakses pendidikan memberikan mereka kesempatan utuk bisa
memenangkan persaingan.
2. Mencontoh dari keberhasilan Singapura, Korea Selatan, dan Jepang yang di masa lalu
berhasil berjuang mengatasi daerah kumuh melalui kemauan politik dengan merelokasi
masyarakat pada hunian layak vertikal (rumah susun).
3. Melakukan proses revitalisasi perkampungan kumuh dengan melibatkan partisipasi
warga dan masyarakat sekitar. Sebagai contoh pilot project di Yogyakarta dengan
menambahkan nilai estetika kampung dengan cat warna-warni. Dimana perkampungan
13. 12
Universitas Indonesia
ini dapat berubah menjadi nilai tambah estetika pada perkotaan sekaligus menjaga nilai
kemanusiaan dengan tidak menggusur.
4. Memperkuat kota-kota satelit di luar kota utama atau ibu kota, dengan membangun
sekolah, rumah sakit, jalan raya, dan bandara demi mendorong lebih banyak investasi.
Seperti halnya China, tidak hanya mengembangkan Beijing dan Shanghai sebagai kota
Industri tapi juga membangun spesialisasi lain yang berhasil di kota Guangzhou,
Tianjin, Shenzen, Dongguan, Taipei, Chengdu dan Hangzhou. Semua kota tersebut
mampu menjadi kota metropolitan dimana basis industri, pusat logistik, komersial,
keuangan, sains dan teknologi yang berperan penting dalam seluruh perekonomian.
E. Kesimpulan
Masalah urbanisasi yang di hadapi oleh Indonesia, khususnya ibu kota DKI Jakarta menjadi
tantangan besar bagi pemerintah DKI maupun pusat. DKI memang sudah lama dikenal
sebagai sentral untuk pemerintahan dan bisnis. Kue ekonomi terbesar di Indonesia
disumbang oleh provinsi ini. Selayaknya tujuan pembangunan, diharapkan yang terjadi di
DKI mampu memberikan efek penyebaran transformasi ekonomi ke wilayah sekitarnya
dan akhirnya menyebar di seluruh pulau di Indonesia. Namun, arus urbanisasi yang terjadi
adalah Trickle up Effect dimana pembangunan hanya mengalirkan manfaat pada wilayah
kaya saja. Jika dikaitkan dengan teori pembangunan, kendala yang dihadapi oleh DKI
adalah terpusatnya kota ini sebagai kota tujuan dan harapan, namun tidak didukung oleh
daya tampung kota khususnya dalam penyediaan lapangan kerja yang mengakibatkan
para urban tidak mampu mendapatkan hunian yang layak di perkotaan. Mereka menjadi
miskin di kota sebab di daerah pedesaan tidak bisa menjadi maju, karena tidak mempunyai
cukup modal dan tenaga ahli yang terampil. Akibatnya, mereka memandang perkotaan
memberikan peluang yang lebih besar karena seluruh potensi kemajuan terdapat pada kota.
14. 13
Universitas Indonesia
F. Saran
Setiap masyarakat mempunyai keunikan dan permasalahan tersendiri, yang harus didekati
dengan pendekatan yang cocok atau dengan kombinasi pendekatan-pendekatan yang sesuai
dan saling mendukung. Masalah yang terdapat dalam masyarakat miskin perkotaan, sering
kali sudah mengalami kompleksitas. Masalah yang jelas terlihat adalah keberadaan slum
area. Sebab itu diperlukan diagnosis yang teliti terhadap masyarakat yang bersangkutan dan
pemilihan strategi yang tepat dalam penyembuhan atau pembangunannya.
Dalam hal ini, saran yang dapat diberikan adalah :
1. Perbaikan institusi di pemerintahan DKI Jakarta. Harus ada kemauan kuat untuk
menata Jakarta dengan tegas dan memanusiakan masyarakat dengan pemberian hidup
yang layak. Seperti halnya restrukturisasi Barcelona. Barcelona dibangun dengan
merombak ulang desain kota sehingga mampu membentuk tata kota yang paling rapi
di dunia, dimana berfokus pada perencanaan untuk kebersihan dan kemudahan
mobilitas dan transportasi dalam struktur Grid (Grid System).
2. Harus ada desain nasional mengenai pembangunan kota, karena daya dukung Jakarta
juga dipengaruhi oleh daerah lain di sekitarnya seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan
Bogor. Selain itu, jumlah kaum Urban terbanyak ke wilayah tujuan DKI Jakarta berasal
dari Jawa tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan.Para urban dari wilayah tersebut
memilih Jakarta sebagai tempat mata pencaharian yang baru karena Gini Ratio di
provinsi tempat asal mereka cukup besar. Urbanisasi dan ketimpangan wilayah
merupakan dua hal penting yang sedang dihadapi oleh negara berkembang. Urbanisasi
dan ketimpangan wilayah mempunyai hubungan yang sangat erat. Keterkaitan yang
erat antara urbanisasi dan ketimpangan wilayah dijelaskan oleh Gilbert dan Gugler
(1996:86) bahwa perkembangan ekonomi cenderung mendukung wilayah wilayah
geografis yang mencolok pada sistem ekonominya sehingga para penduduk berpindah
15. 14
Universitas Indonesia
dari wilayah-wilayah kritis ke wilayah-wilayah yang dinamis, dari pedesaan ke
perkotaan, dari kota-kota kecil ke kota-kota besar yang menyebabkan penduduk
terpusat secara spasial.
“This course does not aim to give students the answers to the problems that exist, but to
provide students a framework to find the answers”
REFERENSI :
Badan Pusat Statistik. Jakarta Dalam Angka 2017.
Das, Biswaroop. (2013) Slum Dwellers in Indian Cities: The Case of Surat in Western
India. South Gujarat University Campus : Working Paper Number 7.
Michael, Adam. (2017). Neighborhood Association and the Urban Poor : India’s Slum
Development Committees. World Development Vol. 96, pp. 119–135, 2017
Todaro, Michael P and Stephen C. Smith (2009). Economic Development, 9th edition. New
York: Addison Wesley