2. Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa
Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak
kesultanan Cirebon adalah di pantai utara pulau Jawa. Lokasi perbatasan antara
Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat Kesultanan Cirebon menjadi “jembatan”
antara kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh
kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
3. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari
pedalaman, Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
jawa. Dari pelaburan Cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung
antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain
itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh
menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Dalam buku “Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan
Kerajaan Cerbon 1479-1809” dijelaskan bahwa ada beberapa proses yang
terjadi terkait pertumbuhan Islam di Cirebon yaitu:
1. Tahun 1415 berlabuh kapal dari Armada Te Ho bersama sekretarisnya Ma
Huang
2. Tahun 1418 telah datang rombongan pedagang dari Campa, dimana
terdapat Syeh Hasanudin bin Yusuf Sidik seorang ulama penyiar Islam
3. Tahun 1418 Putri Ki Gedeng Tapa Nhay Subang Larang disuruh ayahnya
belajar ilmu agama Islam di pesantren Syeh Quro di Karawang
4. Tahun 1420 datang rombongan ulama bernama Syeh Datuk Kahfi.
4. Walangsungsang adalah putra prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah ki gedeng alang-alang meninggal
walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu pengganti ki
Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak
meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk
pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama
kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan
ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja
Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan
Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh
keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan
antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari
Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 –
1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung
Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
5. Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai
oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan
Cirebon dan banten, serta menyebar Islam di majalengka, Kuningan, kawali
Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun
1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon.
Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra
Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon
meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan
Cirebon sejak tahun 1568
6. Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para
sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran
Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu
sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri
sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati
(Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung Jati), dan telah
menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568) mewakili
Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta
Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung
Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan
ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah
panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena
ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu.
Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau
panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua
kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten
curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
7. Di lain pihak, Mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi sungguh-
suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari
banten adalah sama-sama keturunan pajajaran. Kondisi panas ini memuncak
dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura. Ia lalu
dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam
sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga
menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya
panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni
para putra panembahan Girilaya di tahan di Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan
ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti
panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa
pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu
trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram.
8. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan Girilaya yang
ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama
satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai
penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran
murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada
penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi
tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh
Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
2. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar
pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 –
1713)
9. Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua
pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya
dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai sultan, mereka
mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.
Pergantian kepemimpinan para Sultan di Cirebon selanjutnya berjalan
lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu
terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran raja
kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
kesultanan KaCirebonan.
Kehendak raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang
mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda
mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak
berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan.
Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain
bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
10. Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial
belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur
Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan
Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin
surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan
1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan
Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan
berdirinya Kota Cirebon.