Skripsi ini membahas kewenangan Kementerian Hukum dan HAM dalam mengeluarkan keputusan terkait partai politik yang bersengketa sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. UU tersebut memperkenalkan penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Partai Politik dan tidak memberikan kewenangan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk mengeluarkan keputusan sebelum ada putusan terkait dari Mahkamah Partai Polit
1. KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM DALAM
MENGELUARKAN KEPUTUSAN TERKAIT PARTAI POLITIK YANG
BERSENGKETA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN
2008 SEBAGIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG
NO. 2 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK
SKRIPSI
Diajukan UntukMemenuhi Tugas Akhir Guna Memenuhi Salah Satu
Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Oleh : Anre Satria Akbar
NPM : 10040010162
Jurusan : Hukum Tata Negara
Dibawah Bimbingan :
Rusli Iskandar, S.H., M.H.
Nurul Chotidjah, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1437 H / 2016 M
2. LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : ANRE SATRIA AKBAR
NPM : 10040010162
Judul Skripsi : KEWENANGAN KEMENTERIAN
HUKUM DAN HAM DALAM MENGELUARKAN
KEPUTUSAN TERKAIT PARTAI POLITIK YANG
BERSENGKETA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-
UNDANG NO. 2 TAHUN 2008 SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 2
TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK.
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab , penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah
ditulis maupun diterbitkan oleh orang lain. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa
paksaan dari pihak manapun.
Bandung, Agustus 2016
Penulis
Anre Satria Akbar
10040010162
3. KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM DALAM MENGELUARKAN
KEPUTUSAN TERKAIT PARTAI POLITI YANG BERSENGKETA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2008 SEBAGAIMAN TELAH DIUBAH
TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI
POLITIK
Disusun Oleh:
Anre Satria Akbar
10040010162
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH
Pembimbing: Pendamping Pembimbing
Rusli Iskandar, S.H.,M.H. Nurul Chotidjah, S.H.,M.H.
MENGETAHUI
Dekan Fakultas Hukum Unifersitas Islam Bandung
Prof. Dr. Nandang Sambas, S.H., M.H.
4. MOTTO
“Ibnu umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang
dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang
dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga
suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya.
Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas
memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal
yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan
ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang
dipimpinnya”. H.R Bukhari dan Muslim
5. i
ABSTRAK
Partai politik di negeri ini seperti istana pasir. Sedikit angin menerpa, partai sudah pecah.
Tak peduli partai muda atau partai paling tua, semua terbelah. Sebagian nasib mereka ditentukan
campur tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Menkumham). Menkumham punya stempel negara yang bisa mengesahkan salah satu kubu
yang bertikai. Tidak untungnya, sang menteri berasal dari partai seberang, yang sangat mungkin
punya agenda berbeda. Pembentuk UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) paham betul bagaimana pentingnya
menyelesaikan sengketa parpol, terutama sengketa kepengurusan. Itulah sebabnya diintroduksi
mahkamah parpol untuk menyelesaikan segala rupa sengketa parpol secara internal, termasuk
sengketa kepengurusan. Mekanisme penyelesaian mahkamah parpol menggeser mekanisme
sebelumnya yang diatur dalam UU 2/2008. Mekanisme terdahulu menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa parpol dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. Bila tidak
tercapai, tersedia dua pilihan penyelesaian, melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Jalan
pengadilan ditempuh dengan mengajukan perkara kepada pengadilan negeri, yang harus
memutus dalam jangka waktu 60 hari. Bila tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri, hanya
tersedia upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA harus menyelesaikan dalam tenggat
waktu 30 hari. Alhasil, dalam rentang 90 hari (3 bulan) perkara sudah akan selesai. Jalan di luar
pengadilan dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase.
Rekonsiliasi adalah cara penyelesaian yang mengandalkan kesadaran para pihak yang berselisih
untuk merekatkan kembali perbedaan-perbedaan yang timbul sehingga menyatu kembali. Jalan
ini tidak mudah karena semata-mata mengandalkan kesadaran pihak yang berperkara. Itulah
sebabnya dikenalkan juga jalan mediasi.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan
spesifikasi penelitian deskriptif analitis, dan metode analisa data yang digunakan ialah normatif
kualitatif.
Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai kewenangan
Kementerian Hukum dan Ham dalam mengeluarkan keputusan terkait Partai Politik yang
bersengketa tidak diatur di dalam Undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik atau
aturan lainnya. Sebagai mana diatur di dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
pasal 32 dan pasal 33 Kementerian Hukum dan Ham hanya dapat mengeluarkan keputusan
apabila sudah ada keputusan yang tetap mengenai hasil akhir dari sengketa tersebut baik dari,
Makhamah Partai Politik, Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung. Mahkamah partai
politik merupakan mahkamah atau badan peradilan yang dibentuk atas dasar undang-undang,
dalam pembentukan diserahkan sepenuhnya kepada partai politik yang bersangkutan, kemudian
dilaporkan oleh pimpinan partai politik kepada kementrian, yang berkuasa penuh atas
penyelesaian perselisihan internal partai politik yang berkaitan dengan internal partai, dengan
mengemban tugas yang telah tercantum dalam ayat selanjutnya yaitu membuat keputusan yang
berkenaan dengan perselisihan internal yang bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal
yang berkenaan dengan masalah kepengurusan partai. bersifat final dan mengikat secara internal
dalam hal yang berkenaan dengan masalah kepengurusan partai.
6. ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala anugrah dan prekenan-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
SAW suri tauladan bagi seluruh umat dan pembawa kebenaran di muka bumi.
Dengan perkenaan Allah SWT serta ikhtiar yang tiada putus, penulis berhasil
menyelesaikan penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang berjudul
“KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM DALAM
MENGELUARKAN KEPUTUSAN TERKAIT PARTAI POLITIK YANG
BERSENGKETA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 2
TAHUN 2008 SEBAGAIMANA TELAH DEIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK”.
Penulisan hukum (Skripsi) ini dalam rangka untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
Penyusunan skripsi ini jauh untuk dikatakan sempurna mengingat keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun membangun untuk memperbaiki
skripsi ini. Serta penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah
penegtahuan bagi pembaca dan penulis pada penulis
7. iii
Penulis menyadari dalam menulis skripsi ini banyak sekali hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi, namun berkat izin Allah SWT serta kerja keras, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dengan selesainya skripsi ini, izinkanlah penulis untuk menya
mpaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
telah membantu penulis, baik berupa moril maupun materil. Ucapan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya terutama penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapa
Rusli Iskandar, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing dan Ibu Nurul Chotidjah, S.H., M.H.
selaku dosen pendamping pembimbing penulis yang dengan penuh perhatian telah berusaha
meluangkan waktunya yang sangat berharga, tenaga dan pikirannya dalam memberikan motivasi,
bimbingan, pengarahan, dan petunjuk-petunjuk hingga sekarang penulis dapat menyelesaikan
skripsi. Dan mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Bapa DR.Efik Yusdiansyah,
S.H., M.H selaku dosen penguji.
Serta penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua penulis yaitu Ayah Arizon dan Ibu Maryana, S.,Pd atas segala cinta dan
kasih sayang serta berkat dukungan dan doa mereka yang tanpa henti, hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Selain itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan rasa
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. dr. M. Thaufik Boesoeri, M.s., Sp THT KL(K), selaku Rektor
Universitas Islam Bandung.
2. Bapak Prof. Dr. Nandang Sambas S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung.
8. iv
3. Ibu Dr. Neni Ruhaeni S.H., LL.M., selaku wakil dekan I Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung.
4. Ibu Dr. Hj. Lina Jamilah S.H., M.Hum., selaku wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung.
5. Ibu Rusli Iskandar S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
6. Ibu Dr. Hj. Yeti Sumiati S.H., M.H selaku Dosen Wali penulis yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas
Islam Bandung.
7. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung yang
telah banyak memberi ilmu pengetahuan pada penulis selama belajar di Fakultas
Hukum sampai selesai.
8. Seluruh staf akademik dan staf bagian administrasi Fakultas Hukum Universitas
Islam Bandung khususnya Bapak Wahyudin dan Bapak Idris yang telah banyak
membantu penulis.
9. Seluruh staf perpustakaan Universitas Islam Bandung yang telah banyak
membantu penulis.
10. Seluruh narasumber yang telah membantu penulis dalam mencari informasi
untuk penulisan skripsi ini.
11. Kakak tercinta Gita Kristanti dan Adik tercinta Muhammad Arya Isroq.
12. Seluruh kader Himpuanan Mahasiswa Islam se-UNISBA dan pengurus HmI
KOMHUK UNISBA khusus periode 2012-2013 dan pengurus HmI KORKOM
UNISBA khusus periode 2013-2014.
9. v
13. Kekasih tercinta dan tersayang Nadia Khairunnisa Syahidah S.H yang selalu
menemani menyemangati dan membantu.
14. Teman-teman dan Senior yang terus menyemangati dalam penulisan skripsi ini,
Annis Irawan S.E, Hafid Zikri S.H, Syawaludin Abdurchman S.E, Rachmat
Januardi Tanjung, Pironi Knight Grimaldi S.H, Jefri Maulana Akbar S.H, Tonny
Irawan S.H, Mkn., Dennis M. Septian, Muhamad Harisman S.H, Eksa Pabelan
S.H, Nahlia Madiny S.H, Maulana Ahmad Siddiq, Luthfi Dwi Amali, dan masih
banyak tidak bisa disebutkan satu persatu.
15. Teman-teman terbaik Ridho Prastio, Fajar Wahyu Wibiwo, M. Iqbal Noverdi,
Didin Faturaman, Hendra, Angga Tukul, Decky Utama .
16. Teman-teman Fakultas Hukum Unisba Angkatan 2010 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu namanya.
17. Teman-teman Universitas Islam Bandung yang tidak bisa disebutkan satu persatu
namanya.
18. Teman-teman Alumni SMA Kemala Bhayangkari, Kotabumi, Lampung Utara,
Anggakatan 2009.
19. Teman-teman Alumni SMP N 3, Kotabumi, Lampung Utara, Anggkatan 2006.
20. Teman-teman Alumni SD N 4, Tanjung Aman, Kotabumi, Lampung Utara,
Angkatan 2003.
Akhir kata, semoga partisipasi dan jasa baik yang telah diberikan oleh semua
pihak kepada penulis, mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah SWT, Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
11. vii
DAFTAR ISI
Abstrak............................................................................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................................................. ii
Daftar Isi...................................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Identifikasi Msalah...............................................................................................................9
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................................9
D. Kegunaan Penelitian ..........................................................................................................10
E. Kerangka Pemikiran...........................................................................................................11
1. Teori Kewenangan.......................................................................................................11
1.1 Pengertian Kewenangan dan Wewenang...............................................................11
1.2 Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan ........................................................13
2. Teori Partai Politik.......................................................................................................14
F. Medote Penelitian ..............................................................................................................18
1. Metode Pendekatan..........................................................................................18
2. Spesifikasi Penelitian.......................................................................................19
3. Tahap Penelitian ..............................................................................................19
4. Teknik Pengumpulan Data...............................................................................19
5. Metode Analisis Data.......................................................................................20
12. viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Kewenangan...........................................................................................................21
1. Pengertian Kewenangan dan Wewenang...................................................21
2. Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan ............................................25
B. Teori Pemerintahan.........................................................................................................28
C. Teori Kepartaian..............................................................................................................31
1. Pengertian Partai politik...............................................................................................31
2. Sisitem Kepartaian.......................................................................................................36
3. Fungsi Partai Politik.....................................................................................................39
D. Teori Konflik....................................................................................................................41
1. Pengertian Konflik.......................................................................................................41
2. Bentuk-bentuk Konflik ................................................................................................43
3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik................................................................46
BAB III DESKRIPSI KASUS
A. Kronologi Konflik Dualisme Kepemimpinan Partai Golkar ......................................50
B. Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia .........................................52
C. Kebijakan Regeling dan Beschikking ............................................................................53
D. Salinan Surat Keputusan Meteri Hukum dan HAM ...................................................56
E. Salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara .........................................................59
13. ix
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM DALAM
MENGELURAKAN KEPUTUSAN TERKAIT PARTAI POLITIK YANG
BERSENGKETA dan ANALISIS PERAN MAHKAMAH PARTAI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PARTAI POLITIK
A. Analisis Kewenangan Kementerian Hukum dan HAM Dalam Mengeluarkan
Putusan Terkait Partai Politik Yang Bersengketa .......................................................66
B. Analisis Peran Mahkamah Partai Dalam Menyelesaikan Sengketa Partai Politik...73
1. Mahkamah Partai Politik Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai
Politik...........................................................................................................................73
2. Peran Dan Fungsi Mahkamah Partai Menurut Undang-Undang Partai Politik ...........77
3. Prosuder Menyelesaikan Konflik Internal Partai Menurut Undang-Undang No. 2
Tahin 2011 Tentang Partai Politik...............................................................................80
4. Kompetensi Pengadilan Negeri Dalam Menyelesaikan Perselisihan Internal Partai...85
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................................................88
B. Saran ..................................................................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA
14. 1
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Reformasi pasca otoritarisme orde baru, telah menghidupkan kembali
demokrasi. Pertumbuhan partai politik pada masa ini tidak terhindarkan lagi sebab
partai politik merupakan pilar demokrasi yang harus ada didalam suatu negara
modern. Masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memperjuangkan keinginan
sosial mereka. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan
untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu,
memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta
menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai.
UU RI No. 2 tahun 2011 tentang partai politik menyatakan bahwa:
“Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan, kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa, dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik indonesia Tahun 1945”.1
Keberadaan partai politik dapat dilihat dari perspektif hak asasi manusia
serta keberadaannya sebagai suatu badan hukum. Manusia adalah makhluk
individu sekaligus makhluk sosial. Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa dari
sisi etika politik manusia adalah individu, yang secara hakiki bersifat
1
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 2011 tentang Partai
Politik.
15. 2
sosial. 2
Individualitasnya dihayati dalam tindakan manusia yang sadar dan
disengaja. Individualitas tersebut memberi manusia kebebasan bertindak, baik
menyesuaikan diri maupun melawan masyarakat. Kebebasan tersebut
menghasilkan pertanggung jawaban yang dipilih. Namun, kemampuan itu hanya
dimiliki karena seseorang manusia merupakan anggota masyarakat, terdapat
kebutuhan yang hanya dapat dipermudah dalam kebersamaan dengan orang lain
atau yang pemenuhannya dipermudah apabila dilakukan bersama-sama. Manusia
hanya mempunyai eksistensi karena orang lain, serta hanya dapat hidup dan
berkembang karena keberadaan orang lain. Hubungan sosial manusia terjadi
secara berstruktur sebagai suatu organisasi. Organisasi sebagai bentuk hubungan
sosial manusia berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia
mulai dari keluarga hingga organinasi yang bersifat Internasiaonal.
Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup
berorganisasi. Dalam pandangan Locke dan Rousseau, kecenderungan
berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan
yang sama dari individu-individu untuk mencapai tujuana bersama berdasarkan
persamaan pikiran dan hati nurani. Oleh karena itu, dalam perkembangannya
kebebasan berserikat menjadi salah satu kebebabasan dasar manusia yang diakui
secara Universal sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan istilah
kemerdekaan berserikat (freedom of association). Menurut Richard H. Pildes,
tanapa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan dapat berkurang
2
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 15.
16. 3
karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat mengekspresikan pendapat
menurut keyakinan dan hati nuraninya.3
Politik adalah cara untuk mencapai sebuah kekuasaan dan untuk mencapai
sebuah kekuasaan bisa dengan beberapa cara salah satunya yaitu dengan melalui
partai politik, namun partai politik berbeda dengan organisasi lainnya, ia
merupakan a special kind of political organization. Partai Politik adalah satu
bentuk pengelompokan warga negara berdasarkan kesamaan pikiran dan
kepentingan politik. Hal itu telah terjadi sejak keberadaan lembaga perwakilan
dalam struktur kekuasaan negara. Namun, partai politik sebagai organisasi yang
terstruktur baru muncul pada 1830-an sebagai wujud perkembangan demokrasi
modern, yaitu demokrasi perwakilan. Perkembangan demokrasi telah
meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bernegara. Sarana
kelembagaan yang harus dimiliki untuk mengorganisasi perluasaan peran serta
partai politik tersebut adalah partai politik.4
Di Indonesia, munculnya partai-partai politik tidak terlepas dari adanya
iklim kebebasan yang luas pada masyarakat pasca pemerintahan kolonial Belanda.
Kebebasan demikian memberikan ruang kepada masyarakat untuk membentuk
organisasi, termasuk partai politik. Selain itu, lahirnya partai politik di Indonesia
juga tidak terlepas dari peran gerakan-gerakan yang tidak saja dimaksudkan untuk
memperoleh kebebasan yang lebih luas dari pemerintah kolonial belanda, juga
3
M. Ali Safa’at, Pembubaran Partai politik, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 14.
4
Samuel P. Huntington, Tertib Politik Di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003, hlm. 472.
17. 4
menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-
partai sebelum kemerdekaan.5
Disamping didorong oleh iklim demokrasi, munculnya partai-partai politik
di Indonesia juga tidak lepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang
majemuk. Sebagaimana dikatakan oleh John Furnival :
“Masyarakat Indonesia atau Hindia Belanda ketika itu merupakan
masyarakat plural (plural society), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua
atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan satu sama lain.
Hanya saja, di antara mereka itu tidak pernah bertemu di dalam suatu unit
politik. Namun realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat yang
majemuk itu pada akhirnya bergabung dalam suatu unit politik besar yang
dinamakan partai politik.6
Dengan semakin banyak munculnya partai poltik di Indonesia sudah tentu
makin banyak permasalahan politik yang ada, baik permasalahan antara
pemerintah dengan partai politik, partai politik dengan partai politik, atau di
dalam internal partai politik itu sendiri, hal tersebut tentunya akan mengganggu
stabilitas politik yang ada di Indonesia.
Partai politik terbentuk karena adanya ideologi yang sama, namun dalam
pelaksanaannya ideologi yang sama tidak cukup untuk membentuk sebuah partai.
Karena sesungguhnya di dalam sebuah partai masih terdapat perbedaan orientasi,
cita-cita, nilai dan kehendak masing-masing individu. Inilah yang menjadi salah
satu penyebab munculnya perselisihan dalam tubuh partai yang saat ini banyak
5
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia “Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru”,
Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 60.
6
Ibid, hlm. 63.
18. 5
terjadi. Perselesihan tidak bisa dihindarkan karena sejauh berdirinya sebuah partai
pasti terdapat kepentingan-kepentingan pribadi yang berbeda satu sama lain.
Hoogerwerf menyatakan bahwa konflik politik adalah suatu keadaan
dalam politik yang terjadi ketika seseorang atau kelompok berusaha menghalangi
seseorang atau kelompok lain untuk kepentingannya dalam mencapai tujuan
daripartai politik tersebut.7
Hal ini sejalan dengan Surbakti bahwa konflik politik
terjadi karena adanya perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara
sejumlah individu, kelompok dan organisasi dalam upaya mendapatkan dan
mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat.8
Sebagai wujud dari
gejala sosial, konflik memang akan selalu ada pada setiap kehidupan karena
antagonisme atau perbedaan yang menjadikan ciri penunjang terbentuknya suatu
masyarakat sehingga perbedaan memang tidak bisa dihindari.
Pernyataan di atas tersebut menjelaskan konflik menjadi salah satu
karakteristik dalam kehidupan manusia yang sudah ada sejak dahulu sampai era
globalisasi sekarang ini yang tidak mungkin dihindari dalam perubahan sosial.
Konflik menjadi suatu hal yang menarik jika dibandingkan dengan bahasan
lainnya dalam politik, karena pada umumnya politik itu sendiri adalah konflik
atau paling tidak politik itu senantiasa berkaitan erat dengan konflik, karena sifat
yang berbeda-beda tersebut yang memicu timbulnya pertentangan. Hal ini
disebabkan adanya suatu keadaan kebutuhan atau pun kehendak yang ingin coba
dipenuhi. Konflik ada disetiap bidang kehidupan manusia, ketika adanya
7
Hoogerwerf, Ilmu Pemerintahan, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 240.
8
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widya Pustaka Utama, Jakarta
1992, hlm. 151.
19. 6
kesenjangan yang memunculkan permasalahan, yang tidak dapat terelakan lagi,
melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya.
Sejalan dengan itu pula konflik partai politik merupakan hal yang dapat
ditemukan ketika dalam organisasi terdapat kondisi yang berubah, karena partai
politik itu sendiri terorganisir dalam organisasi yang basis massanya sangat besar.
Kemungkinan adanya konflik internal dengan berjalannya organisasi akan timbul
ketika organisasi tersebut sudah tidak sejalan, sehingga partai politik dikatakan
tidak memiliki keutuhan internal ketika terdapat perbedaan ideologi dan paham
yang berbeda antar anggota partai. Adanya permasalahan di dalam partai seperti
ini yang kemudian dapat menghambat kinerja partai politik tersebut. Hal ini
bertolak belakang dengan tujuan partai politik yaitu tercapainya visi misi dari
partai bukan kepentingan politik kader partai.9
Pembahasan di atas dapat menyimpulkan bahwa konflik dapat timbul
dalam organisasi sebagai hasil dari adanya masalah terkait komunikasi, pribadi
ataupun dari struktur organisasi. Seperti halnya di dalam partai politik, dimana
adanya keterbatasan ataupun kesalahan dalam menjalankan organisasi yang tidak
mampu mempertahankan jalannya organisasi tersebut maka, kekuasaan sekalipun
tidak dapat mempengaruhinya untuk tetap ada di dalam organisasi partai politik
yang saat ini banyak terjadi pemberhentian ketua-ketua partai.
Perselisihan atau konflik yang terjadi di dalam internal Partai Politik
terjadi di Partai Golkar, kasus tersebut bermula sejak akhir 2014 lalu ketika
dualisme kepengurusan, yang pertama kepengurusan kubu Agung Laksono yang
9
http://digilib.unila.ac.id/6253/15/BAB%20I.pdf, diakses 18 maret 2016, jam 20.39 WIB.
20. 7
mengadakan musyawarah nasional partai golkar ke - IX di Jakarta pada tanggal 6
sampai 8 Desember 2014 yang kemudian menetapkan Agung Laksono sebagai
ketua umum partai golkar, kemudian kepengurusan kubu Aburizal Bakrie yang
mengadakan musyawarah nasional partai golkar ke – IX di Bali pada tanggal 30
November sampai 4 Desember 2014 yang kemudian menetapkan Aburizal Bakrie
sebagai ketua umum partai golkar, kedua kubu tersebut mengaku bahwa
kepengurusan masing-masing kubu sah. Tidak terhenti di penyelenggaraan
musyawarah nasional, kedua kubu partai golkar terus berselisih dengan saling
menggugat hasil musyawarah nasional kubu masing-masing. Kubu Agung
Laksono menggugat musyawarah nasional Bali ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 5 Januari 2015 dan hasilnya ditolak, majelis hakim menolak
dalil penggugat bahwa masalah sudah diselesaikan di internal partai sehingga
tidak perlu dibawa lagi ke mahkamah partai golkar. Lalu kubu Aburizal bakrie
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 12 Januari
2015 dan hasilnya ditolak, majelis hakim menolak dalil penggugat karena
dianggap gugatan terlalu dini dan penyelesaian perselisihan lebih baik
dikembalikan kepada mekanisme partai. Pada akhirnya Aburizal Bakrie pada
tanggal 11 Februari sampai 3 maret 2015 mengajukan gugatan kepada mahkamah
partai golkar, mahkamah partai menetapkan musyawarah nasional yang diadakan
oleh kubu Agung Laksono yang sah.
Berdasarkan ketetapan tersebut, Menteri Hukum dan HAM
menandatangani surat keputusan yang menyatakan musyawarah nasional kubu
Agung Laksono yang sah. Hasil keputusan tersebut digugat oleh kubu Aburizal
21. 8
Bakrie ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tata Usaha Negara
membatalkan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM karena dianggap
keputusan yang mengangkat kubu Agung Laksono sah bukanlah keputusan
mahkamah partai golkar melainkan pernyataan dua hakim mahkamah partai
saja.10
Berdasarkan pemaparan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul :
“KEWENANGAN KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM DALAM
MENGELUARKAN KEPUTUSAN TERKAIT PARTAI POLITIK YANG
BERSENGKETA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 02
TAHUN 2008 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 02 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK’’
10
https://selaras.com//politik/kronologi-konflik-golkar-dua-munas-yang-saling-
menggugat.html, diakses 30 november 2015, jam 13.55 WIB.
22. 9
B. Identifikasi Masalah
Masalah dalam penelitian merupakan suatu hal yang perlu diterangkan
dengan jelas, agar ruang lingkup penelitian ini jelas tujuannya dan dapat
dilaksanakan secara tuntas. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis
mengidentifikasikan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Kementerian Hukum dan HAM, dalam
mengeluarkan keputusan terkait Partai Politik yang bersengketa?
2. Seberapa penting peran mahkamah partai dalam menyelesaikan sengketa
partai politik?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan hukum ini diharapkan dapat menghasilkan hal-hal yang
bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam persoalan
kewenangan Kementerian Hukum dan HAM dalam mengeluarkan keputusan
terkait Partai Politik yang bersengketa yaitu:
1. Untuk mengetahui kewenangan Kementerian Hukum dan HAM dalam
mengeluarkan keputusan terkait Partai Politik yang bersengketa.
2. Untuk mengetahui penyelesaian perselisahan Partai Politik menurut
Undang-undang.
23. 10
D. Kegunaan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis.
1. Kegunaan teoritis
Kegunaan secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam persoalan kewenangan
Kementerian Hukum dan HAM dalam mengeluarkan keputusan terkait Partai
Politik yang bersengketa dan seberapa penting peran Mahkamah Partai dalam
menyelesaikan sengketa Partai Politik.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pembinaan, pembangunan dan pembaharuan Hukum di
Indonesia.
24. 11
E. Kerangka Pemikiran
1. Teori Kewenangan
1.1 Pengertian Kewenangan dan Wewenang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata wewenang memiliki
arti :
1. Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan
2. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang lain
3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan11
Sedangkan kewenangan memliki arti :
1. Hak berwenang
2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu12
Sumber kewenangan dan kekuasaan adalah dua hal yang berbeda.
Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok yang
mempunyai dukungan atau mandat pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian,
dalam pengertian wewenang terkandung adanya legitimasi, sehingga orang atau
organ yang memiliki wewenang memiliki kekuasaan tertentu untuk
memerintahkan orang lain, dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya, yang
diakui dan dilindungi Undang-Undang.13
11
Romi Librayanto, Trias Politica Struktur Ketatanegaraan Indonesia, pukap, Makassar,
2008, hlm 61.
12
Ibid, hlm 61.
13
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hlm
79-80.
25. 12
Praduji Atmosudirjo membedakan antara “kewenangan” (authority, gezag)
dan “wewenang” (competence, bevoegdheid). Kewenangan merupakan kekuasaan
formal dari kekuasaan eksekutif. Kewenangan adalah kekuasaan atas segolongan
orang-orang tertentu dalam suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat.
Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan publik. Di dalam
kewenangan terdapat beberapa wewenang, namun dalam praktek perbedaan
tersebut cenderung tidak perlu.14
H.D. Stout yang dikutip oleh Ridwan HR, mengatakan bahwa wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintah, yang dijelaskan
sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam
hubungan hukum publik.15
Sementara itu F.P.C.L. Tonnaer berpendapat bahwa kewenangan
pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan
hukum positif, dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara
pemerintah dengan warga negara.16
Menurut Bagir Manan, Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
14
S. Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995,
hlm 78.
15
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 70.
16
Ibid, hlm 71.
26. 13
atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten).17
1.2 Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan
Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang
undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, mandat.18
Disisi lain
ada yang berpendapat, bahwa dalam kepustakaan hukum administrasi ada dua
cara memperoleh wewenang pemerintah yaitu, atribusi dan delegasi, sedangkan
mandat merupakan kadang-kadang saja, oleh karena itu di tempatkan secara
tersendiri, kecuali dikatakan dengan gugatan tata usaha negara, mandat disatukan
karena penerima mandat tidak dapat digugat secara terpisah.19
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. Van Wijk/W illem
Konijneblt mendefinisikan sebagai berikut :
a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan
b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan lainnya
c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya di jalankan organ lain atas namanya.20
17
Ibid, hlm 72.
18
Ibid, hlm 73.
19
Sadjijono, Pokok Hukum Administrai, Press Indo Laksbang, Yogyakarta, 2008, hlm 64.
20
Ridwan H.R, Op.Cit., hlm 74.
27. 14
2. Teori Partai Politik
Partai Politik merupakan organisasi politik (orpol) yang menjadi
barometer demokrasi. Demokrasi tidaknya sistem politik suatu negara sangat
tergantung dari ada tidaknya partai politik. Jumlah partai tidak menentukan kadar
demokrasi suatu sistem politik. Jumlah yang banyak belum tentu menjamin
terpeliharanya institusi dan nilai-nilai demokrasi. Namun jumlah partai politik
yang hanya satu (partai tunggal seperti dibekas-bekas negara komunis) tidak dapat
disebut sebagai suatu sistem yang demokratis. Jumlah partai politik yang
proposional dapat menjaga “suhu tubuh sistem politik” tetap dalam kehangatan
yang stabil. Suhu politik senantiasa diukur dari naik turunnya jumlah (kuantitas)
maupun sepak terjang (kualitas) partai-partai politik. Yang menarik untuk kasus
Indonesia bahwa partai politik adalah bahwa partai politik secara historis selalu
berkurang. Sebagian besar pertai politik berasal dari organisasi massa (organisasi
sosial) seperti : Masyumi, PSII, NU, dan lain-lain21
.
Dari berbagai unit analisa ilmu politik, partai politik termasuk di
antaranya, sekian banyak unit analisis yang dari hari ke hari tak lepas dari
perubahan atau perkembangan. Perkembangan ini mencakup tidak saja tingkah
laku berbagai partai yang ada di berbagai sistem politik, namun semua juga
menyangkut perkembangan teoritis studi kepartaian. Perkembangan ini kini makin
penting untuk mengingat betapa studi partai politik ini telah menjadi salah satu
wilayah studi yang populer dalam ilmu politik.
21
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988,
hlm 22.
28. 15
Maurice Duverger menguraikan proses pembentukan partai politik dengan
membedakan partai kedalam dua katagori besar. Yaitu, partai yang tumbuh dalam
lingkaran intra parlemen dimulai proses pembentukannya dengan terbentuknya
kelompok-kelompok parlementer yang diikuti dengan munculnya komite-komite
pemilihan, kemudian berkembang menjadi suaru hubungan permanen antara
partai-partai politik. Dalam kenyataanya, menurut Maurice Duverger proses
tersebut di atas dimulai dengan terbentuknya fraksi-fraksi sebelum akhirnya
secara bertahap berkembang menjadi kelompok-kelompok parlementer.
Sementara itu, partai-partai yang terbentuk diluar lingkaran parlemen memulai
pembentukan di luar parlemen, seperti masyarakat-masyarakat filisofis,
kelompok-kelompok buruh, surat kabar dan lain sebagainya22
.
Roy Marcridis mengungkapkan sejarah, tipologi dan fungsi partai-partai
politik. Mengenai sejarah, Marcridis membagi perkembangan partai politik ke
dalam lima tahap, yaitu: (1) Awal abad ke-19; (2) Pertengahan abad ke-19; (3)
Akhir abad ke-19; (4) Kemunculan partai-partai komunis sebelum Perang dunia
II; (5) Pasca Perang Dunia II, terutama di negara-negara berkembang.
Perkembangan partai ini terlihat memiliki kesejajaran dengan perkembangan
politik yang terjadi. Berkaitan dengan tingkat kesadaran politik masyarakat,
peluang yang disediakan sistem politik, kepentingan-kepentingan dan ideologi
yang terpola dalam masyarakat, dan perkembangan spesialisasi-diferensiasi
masyarakat politik.23
22
Ibid. Hlm 24
23
Ibid, hlm.25.
29. 16
Pada umumnya para ilmuan politik menggambarkan adanya empat fungsi
partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Mariam Budiardjo,
meliputi; (1) sarana komunikasi politik; (2) sosialisasi politik (political
sosialization); (3) sarana rekrutmen politik (political recruitment); (4) pengatur
konflik (conflict management).
Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knaap, fungsi partai politik
mencangkup fungsi (1) mobilisasi dan integrasi; (2) sarana pembentukan
pengaruh terhadap prilaku memilih; (3) sarana rekrutmen politik; dan (4) sarana
eleborasi pilihan-pilihan kebijakan24
.
Fungsi pertama, partai politik sebagain sarana komunikasi politik, partai
berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest
articulation) atau political interest yang terdapat tersembunyi dalam masyarakat.
Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide,
visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Kemudian ide dan kebijakan
atau aspirasi kebijakan itu direalisasikan sehingga diharapkan dapat
mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Fungsi kedua, partai politik juga berperan penting dalam melakukan
sosialisasi politik (political socialitation), ide, visi, dan kebijakan strategis yang
menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk
mendapatkan umpan balik (feedback) berupa dukungan dari masyarakat luas.
Kemudian partai politik juga sangat berperan penting dalam rangka pendidikan
24
Yves Meny and Andrew Knaap, Goverment and Politics in Western Europe; Britain,
France, Italy, Germany, Third edition, Oxford University Press, 1988. Dalam Jimly Asshiddiqie,
hlm 717.
30. 17
politik, karena partai politik menjadi struktur antara yang harus memaikan peran
dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat
warga negara.
Fungsi ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik (political
recruitment). Pembentukan partai politik dimaksudkan untuk menjadi kendaraan
yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jabatan-jabatan
dan posisi-posisi tertntu. Kader-kader itu ada yang dipilih langsung oleh rakyat,
ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti Dewan Perwakilan
Rakyat, atau melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Oleh karena itu tidak
semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana
rekrutmen politik. Jabatan-jabatan professional di bidang kepegawaianegrian, dan
lain-lain yang tidak bersifat politik, tidak boleh melibatkan peran partai politik.
Partai politik hanya boleh terlibat dalam pengisian jenjang-jenjang yang bersifat
politik, sehingga pengangkatan pejabatnya juga membutuhkan prosedur politik
(political appointment).
Fungsi keempat, partai politik sebagai pengatur dan pengelola konflik
yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Nilai-nilai (values) dan
kepentingan-kepentingan (interest) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat
sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bersebrangan
satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka
ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang
menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda satu sama
lain. Partai politik sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management)
31. 18
partai berperan sebagai agregasi kepentingan yang menyalurkan ragam
kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan partai politik.
Oleh karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola
konflik dapat dihubungkan dengan integrasi partai politik. Partai politik
mengintegrasikan dan mengagregasikan beragam kepentingan itu dengan cara
menyalurkan dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan
politik kenegaraan25
.
F. Metode Penelitian
Perpaduan antara ilmu dan penelitian sudah demikian erat, sehingga tidak
mungkin orang memisahkannya. Ilmu dan penelitian dapat diibaratkan dua sisi
dari mata uang yang sama, karena ilmu dan penelitian dapat dikatakan identik.26
Metodelogi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam suatu
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. 27
Teknik pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu;
1. Metode pendekatan
Peneliti ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif)
yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data-data sekunder yang
25
Ibid, hlm 720.
26
Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta,2005,
hlm.9.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Islam (UI
press), Jakarta, 2006, hlm.7.
32. 19
berkaitan dengan kewenagan Kementerian Hukum dan HAM dalam
mengeluarkan keputusan terkait Partai Politik yang bersengketa.28
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian pada penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode deskriprif analitis yaitu suatu penelitian yang
menggambarkan suatu kenyataan kemudian dianalisis, dan mengumpulkan
data-data untuk menganalisis persoalan tentang kewenagan Kementerian
Hukum dan HAM dalam menyelesaikan perselisihan Partai Politik, dan
peran Mahkamah Partai dalam menyelesaikan sengketa Partai Politik.29
3. Tahap Penelitian
Penelitian yang disusun penulis menekankan pada tahap penelitian
kepustakaan yang menggunakan data sekunder 30
, yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau penunjang.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumen
yaitu memperoleh data dari bahan-bahan hukum tersebut mencakup:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1954, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, peraturan
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.13.
29
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1970, hlm.38.
30
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Loc.cit, hlm.13.
33. 20
perundang-undangan yang lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku dan karya ilmiah
para sarjana yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan
skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang dapat dijadikan
sebagai tambahan dalam pembuatan skripsi ini.
5. Metode Analisis
Analisis data menggunakan metode analisis normatif/kulitatif. Normatif,
karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada
sebagai norma hukum Indonesia. Sedangkan kualitatif dimaksudkan
analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan
informasi-informasi yang bersifat ungkapan..
34. 21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Kewenangan
1. Pengertian Kewenangan dan Wewenang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata wewenang memiliki
arti :
1. Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan
2. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang lain
3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan31
Sedangkan kewenangan memliki arti :
1. Hak berwenang
2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu32
Wewenang menurut Stout adalah keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan pengguanaan wewenang-wewenang pemerintah
oleh subjek hukum publik dan hubungan hukum publik.33
Kemudian Nicolai
memberikan pengertian kewenangan yang berarti kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu (tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum, dan mancangkup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu)34
.
31
Romi Librayanto, Loc.Cit, hlm 61.
32
Ibid, hlm. 61.
33
Ibid, hlm. 63.
34
Ibid, hlm. 63.
35. 22
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal
hukum administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang di perolehnya, artinya keabsahan tindakan
pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan (legelitiet beginselen)35
. Menurut Bagir Manan, di dalam bahasa hukum
wewenang tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak
dan kewajiaban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu atau menurut pihak lain melakukan hal tertentu, sedangkan
kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu 36
. Sedangkan menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung arti
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum37
. Dengan demikian wewenang
pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain :
a) Ekspress implied
b) Jelas maksud dan tujuannya
c) Terikat pada waktu tertentu
d) Tunduk pada batasan-batasan tertulis dan tidak tertulis
e) Isi wewenang dapat bersifat umum38
35
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 56.
36
Ibid, hlm. 58.
37
S.F Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 154-155
38
Ibid, hlm. 155.
36. 23
Berkaitan dengan hal ini maka pada dasarnya kewenangan pemerintah
dalam penyelenggaraan negara berhubungan dengan asas legalitas. Dalam konteks
ini, asas legalitas menjadi sebuah hal yang mendasar untuk pemberian sebuah
kewenangan.
Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan negara hukum
(het democratish ideaal en het rechstaat ideaal)39
. Gagasan demokrasi menurut
setiap undang-undang dan berbagai bentuk keputusan mendapatkan persetujuan
dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat,
sebagaimana yang dikatakan Rosseau bahwa undang-undang merupakan
personifikasi dari akal sehat manusia dan aspirasi kepentingan masyarakat.40
Gagasan tentang negara hukum menurut adanya penyenggaraan urusan
kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan
memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Hal ini selaras apa yang
dikatakan Sjahran Basah bahwa asas legaliats berarti upaya untuk mewujudkan
dua integral secara harmonis antara paham kedaulatan rakyat dan paham
kedaulatan hukum berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat
dan hakikatnya konstitutif 41
.
39
Ridwan HR, Op.cit, hlm. 67
40
Ibid, hlm. 67.
41
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Atas Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 2.
37. 24
Prajudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi setiap penyelenggara negara yaitu :
1. Efektifitas, artinya setiap kegiatan harus dapat mengenai sasaran yang
telah ditetapkan.
2. Legitimasi, artinya kegiatan administrasi harus dapat diterima oleh
masyarakat agar tidak menimbulkan sebuah kekacauan.
3. Yuridiktas, Syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat
administrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.
4. Legalitas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan hukum atau
perbuatan administrasi negara tidak boleh dilakukan tanpa dasar
undang-undnag (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan
dengan dalih keadaan darurat, kedaruratan itu wajib dibuktikan
kemudian. Jika kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat
digugat di pengadilan.
5. Moralitas, yaitu salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh
masyarakat, moral dan etika hukum maupun kebiasaan masyarakat
wajib dijunjung tinggi.
6. Efisiensi, bahwa penyelenggaraan pemerintahan wajib dikejar
seoptimal mungkin, kehematan biaya dan produktivitas wajib
diusahakan setinggi-tingginya.
38. 25
7. Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-
baiknya.42
Penyenggaraan pemerintahan mesti memiliki legitimasi yang lain, selain
aturan yang tertulis untuk menjakan kewenangan dalam mewujudkan general
walfare karena aturan tertulis, mnurut Bagir Manan Hukum yang tertulis pada
dasrnya memiliki beberapa kelemahan antara lain :
1. Hukum mencakup semua aspek kehidupan masyarakat sehinnga tidak
mungkin semuanya tercakup dalam peraturan perundang-undangan.
2. Peraturan perundang-undangan sifatnya statis dan tidak mengikuti
gerak dan pertumbuhan masyarakat.43
2. Sumber dan Cara memperoleh Kewenangan
Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang
undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, mandat.44
Disisi lain
ada yang berpendapat, bahwa dalam kepustakaan hukum administrasi ada dua
cara memperoleh wewenang pemerintah yaitu, atribusi dan delegasi, sedangkan
mandat merupakan kadang-kadang saja, oleh karena itu di tempatkan secara
tersendiri, kecuali dikatakan dengan gugatan tata usaha negara, mandat disatukan
karena penerima mandat tidak dapat digugat secara terpisah.45
42
Prajudi Atmosudirdjo, Op.Cit, hlm. 31.
43
Bagir Manan, Peran Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum
Nasional, Amico, Bandung, !987. hlm. 12.
44
Ridwan HR, Op.Cit, hlm 73.
45
Sadjijono, Loc.Cit, hlm 64.
39. 26
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. Van Wijk/W illem
Konijneblt mendefinisikan sebagai berikut :
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan lainnya
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya di jalankan organ lain atas namanya.46
Untuk memperjelas perbedaan mendasar antara wewenang atribusi,
delegasi, dan mandat, berikut ini dikemukan skema tentang perbedaan
tersebut :
Atribusi Delegasi Mandat
Cara Perolehan Perundang-
undangan
pelimpahan Pelimpahan
Kekuatan
Mengikatnya
Tetap melekat
sebelum ada
perubahan
peraturan
perundangan-
undangan
Dapat dicabut
atau ditarik
kembali apabila
ada pertentangan
atau
penyimpangan
Dapat ditarik
atau digunukan
sewaktu waktu
oleh pemberi
wewenang
Tanggung jawab Penerima Pemberi Berada pada
46
Ridwan HR, Op.Cit, hlm. 74.
40. 27
dan tanggung
gugat
wewenang
bertanggung
mutlak akibat
yang timbul dari
wewenang
wewenang
(delegans)
melimpahkan
tanggung jawab
dan tanggung
gugat kepada
penerima
wewenang
(delegataris)
pemberi
mandate
Hubungan
wewenang
Hubungan
hukum
pembentuk
undang-undang
dengan organ
pemerintah
Berdasarkan atas
wewenang
atribusi yang
dilimpahkan
kepada
delagataris
Hubungan yang
bersifat internal
antara bawahan
dengan atasan
Sumber : (Sadjijino Bab Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang
PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hlm. 67).47
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sember dan cara
memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan
pertanggung jawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam pengguaan
wewenang tersebut, seriring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “geen
47
Sadjijono, Op.Cit, hlm. 67.
41. 28
bevoegdheid zonder verantwooekdelijkeheid atau there is no authority without
responsibulity (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban)48
.
B. Teori Pemerintahan
Dalam sistem pemeritahan kabinet atau parlementer, menteri tunduk dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan dalam sistem presidensial,
menteri-menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden. Kedudukan para
menteri dalam sistem pemerintahan sangat sentral, dimana kepala pemerintahan
adalah perdana meteri. Perdana menteri inilah yang menjadi menteri utama,
menteri koordinator atau menteri yang memimpin para menteri lainnya. Hal ini
berbeda berbeda dalam sistem pemerintahan presidensial, dimana kedudukan
menteri sepenuhnya tergantung oleh presiden sebagai kepala pemerintahan.
Dalam sistem pemerintahan presidensial seperti yang dianut oleh sistem
indonesia, dimana menteri itu sendiri merupakan pemimpin yang tertinggi dalam
sistem pemerintahan pada bidang masing-masing. Hal ini sebagai alasan karena
presiden dan wakil presiden terhubung oleh fungsi kepala negara dan kepala
pemerintahan sekaligus sehingga tidak memungkinkan presiden dan wakil
presiden untuk terlibat langsung secara mendetail dalam urusan-urusan
operasional pemerintahan sehari-hari. Oleh karena itu, jabatan menteri untuk
masing-masing bidang pemerintahan tersebut memang seharusnya dipercayakan
penuh kepada menteri yang memiliki kompetensi dibidangnya masing-masing.
Fungsi kepemimpinan pemerintahan dalam arti teknis, memang seharusnya
berada ditangan para menteri yang merupakan pemimpin pemerintahan yang riil
48
Ibid, hlm. 77.
42. 29
dan operasional dalam pengertian pemerintahan seharui-hari. Sesuai dengan hal
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa presiden dan wakil presiden merupakan
pemimpin pemerintahan dalam arti politik, sedangkan menteri merupakan
pemimpin pemerintahan dalam arti teknis.49
Ketentuan mengenai menteri itu diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2), dan
(3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, menteri-menteri ini
diangkat dan diberhentikan oleh presiden”, “setiap menteri membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan”.
Dalam Pasal 17 ayat (4) ditentukan pula bahwa :
“Pembentukan, pengubahan, pembubaran kementeriuan negara diatur
dalam undang-undang”.
Menteri dalam prakteknya sesuai dengan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945
disebutkan bahwa menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Tetapi
nyatanya terdapat juga beberapa menteri yang tidak memimpin departemen
pemerintahan, terbukti dari adanya menteri koordinator. Secara yuridis, hal ini
tidaklah bertentangan dengan ketentuan undang-undang dasar 1945, sebab
menteri koordinator itu hanyalah berfungsi untuk mengkoordinasi beberapa
menteri yang memimpin departemen pemerintahan, selain itu masih ada beberapa
menteri yang tidak memimpin departemen pemerintahan tetapi bukan berstatus
sebagai Menteri Koordinator, yaitu Menteri Sekretaris Negara, Menteri Penertiban
Aparatur Negara, dan Menteri PPLH. Hal tersebut juga ditafsirkan pada Pasal 17
UUD 1945 bahwa menteri adalah pembantu Presiden maka tidak ada persoalan,
49
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara ,Konstitusi Press, Jakarta,
2006, hlm. 326.
43. 30
sebab presiden sebagai kepala pemerintahan bisa saja menentukan pembantu yang
diberikan tugas khusus tanpa harus memimpin departemen, artinya dalam
ketentuan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 bahwa menteri negara itu memegang atau
memimpin satu departemen bukanlah satu keharusan, semuanya tergantung pada
presiden sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi.
Hal yang perlu ditegaskan sehubungan dengan adanya menteri negara ini
bahwa, para menteri itu bukanlah pegawai tinggi biasa. Oleh karena itu, para
menteri tersebutlah yang menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir
executief) dalam praktek, dalam artian para menteri itu adalah pemimpin-
pemimpin negara. Dari penjelasan ini, sudah menjadi kejelasan bahwa para
menteri berkedudukan sebagai pemerintahan atau pemegang kekuasaan sebagai
pembantu presiden tingkat pusat.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jabatan menteri juga adalah
jabatan yang bersifat politis. Dengan kata lain, menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden sesuai dengan kebijakan politik Presiden. Menteri melaksanakan
tugas dan fungsinya sesuai dengan visi dan misi yang siusung oleh presiden serta
betanggung jawab penuh kepada Presiden. Menteri memimpin lembaga
departemen dan non-departemen sesuai dengan nomenklatur yang disusun oleh
presiden. Lembaga kementerian negara dibuat untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan. Hal ini berarti bahwa presiden memiliki kewenangan hanya ada
orangnya saja, tetapi pada struktur organisasi menteri sendiri harus diatur dalam
undang-undang, dan saat ketentuan Undang-undang nomor 38 tahun 2008 tentang
Kementerian Negara.
44. 31
C. Teori Kepartaian
1. Pengertian Partai Politik
Sebagai mana yang telah diamanatkan oleh undang-undang dasar negara
republik Indonesia tahun 1945, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan
untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul ini kemudian
diwujudkan dalam pembentukan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi
dalam sistem politik Indonesia, kenyataan menunjukan bahwa partai politik telah
memainkan peran yang cukup penting dan berarti bagi perjuangan kemerdekaan
serta pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia. Partai politik terlahir
untuk mewujudkan suatu gagasan bahwa rakyat merupakan alat yang penting bagi
rakyat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politiknya dan juga dapat berpartisipasi
dalam memperjuangkan dan menyuarakan aspirasi-aspirasinya atau kepentingan-
kepentingannya.
Sistem politik Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar
utama penyangga demokrasi. Artinya, tidak ada demokrasi tanpa partai politik.
Karena begitu pentingnya partai politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan
sebuah peraturan perundang-undangan mengenai partai politik. Peraturan
perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan partai politik
yang baik, sehat, efektif dan fungsional. Dalam kaitannya dengan keberadaan
partai politik Poerwantana menyatakan pendapatnya :
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik pada saat ini
yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal
45. 32
dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili
kepentinngan tertentu, memberikan jalan kompromi bagai pendapat yang
bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara
absah dan damai. Karena itu partai politik dalam pengertian modern
dapat didefinisakan sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon-
calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat
mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.50
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk
partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui
mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin dan turut
serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakansanaan
umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dan dalam pemilihan
umum menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan,
kelompok kepentingan duduk dalam lembaga politik seperti Dewan Perwakilan
Rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk
dalam badan itu berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya.
Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik,
anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi
tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan
50
Poerwantana, P.K, Partai Politik di Indonesia, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1994,
hlm.25.
46. 33
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Partai politik adalah sarana politik
untuk menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik
dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki
platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan
kelompok dalam urusan politik dan turut menyumbang political development
sebagai suprastruktur politik. 51
Lebih lanjut, dalam rangka mengerti dan
memahami partai politik sebagai salah satu komponen infra struktur politik dalam
negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni :
1. Carl J. Friedrich menyebutkan partai politik sebagai kelompok
manusia yang terorganisir secara stabil sengan tujuan merbut atau
mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemoimpin partainya,
dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.52
2. Leon D. Eisptern berpendapat partai politik adalah sekelompok orang
yang secara peran terlibat dalam politik dan mempnyai tujuan yang
utama, terwakilinya secara formal dalam institusi dan pembuat
kebijakan pemerintah.53
3. Mark N. Hagopian, menjelaskan bahwa partai politik adalah suatu
organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk karakter
kebijkasaan publik dalam rangka prinsip-prinsip dan kepentingan
51
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia, 1989, hlm 159.
52
Haryanto, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, yogyakarta, 1984, hlm.7.
53
Ibid, hlm.9.
47. 34
ideologi tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau
partisipasi rakyat dalam pemilihan.54
4. Mariam Budirdjo menyebutkan partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan
cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.55
5. R.H Soltou juga memberikan definisi partai politik sebagai
sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang
bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan
kekuasaan memilih, bertujuan menguasain pemerintah dan
melaksanakan kebijakan umum mereka.56
Dari pernyataan yang dikemukakan oleh sulto tersebut diatas dapat dilihat
bahwa pernyataan itu menekankan pada usaha partai untuk mengendalikan
jalannya roda pemerintahan, dan pada pelaksanaanya program-program atau
kebijaksaan umum dari partai tersebut. Berdasarkan pada pernyataan-pernyataan
yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana terkemuka, maka dapat diambil suatu
pengertian bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah suatu organisasi
yang terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai cita-cita, tujuan, dan
orientasi yang sama, dimana organisasi ini berusaha untuk memperoleh dukungan
54
Mark N. Hagopian dalam Margono, Pendidikan Pancasila : Topik Aktual Kenegaraan
dan Kebangsaan, Universitas Negeri Malang, Malang, 2004, hlm.81.
55
Op.Cit, Mariam Budirdjo, hlm.18
56
R.H Soltou dalam Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.27.
48. 35
dari rakyat dalam rangka usahanya memperoleh kekuasaan dan kemudian
mengendalikan dan mengontrol jalannya roda pemerintahan, yang kesemua itu
pada gilirannya sebagai tolak organisasi tersebut dalam usahanya merealisir atau
melaksanakan program-program yang telah ditetapkan, yang dimaksud untuk
mengonntrol jalannya roda pemerintahan dengan cara menempatkan para
anggotanya dalam jabatan-jabatan pemerintahan.
Karena itu partai politik merupakan media atau sarana partisapasi warga
negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam
penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga
negara dipusat dan didaerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai
politik terbuka bagi semua warga negara, sehingga para anggotanya terdiri dari
berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi
nasional. Dengan menggunakan ideologi partai sebagai pelita penunjuk arah, para
pengurus dan aktivis partai berupaya menampunng dan mengagregasikan aspirasi
anggota, simpatisan, dan rakyat pada umumnya menjadi alternatif kebijakan
publik untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif.
Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan
kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa
dan negara yang padu. Didalam sistem politik demokrasi, kesetaraan dan
kebebasan tersebut diimplementasikan agar dapat merefleksikan rasa
kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh.
Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan kepada partai
politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan
49. 36
kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan
tanggung jawab berdemokrasi. Dengan partai politik pula, konflik dan konsensus
dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas
dijadikan alasan untuk memecah belah partai yang sehat dan fungsional.
Pentingnya keberadaan partai politik dalam menumbukan demorasi harus
dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya partai
politik yang berhak mengajukan calon dalam pemilihan umum. Makna dari ini
semua adalah, bahwa proses politik dalam pemilihan umum (Pemilu), jangan
sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi partai politik.
Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap partai politik,
bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan.
Semua yang terjadi hanyalah bagian dari proses demokrasi.
2. Sistem Kepartaian
Maurice Duverger membagi pola hubungan antara sistem politik dengan
sistem kepartaian menjadi enam model hubungan, yaitu :
a. Sistem pemilihan umum dalam beberapa hal tertentu akan
menentukan sistem kepartaian.
b. Keduanya memiliki hubungan timbal balik.
c. Sistem pemilihan umum tidak berpengaruh langsung terhadap
sistem kepartaian, melainkan melalui variable antara (intervening
variable) yang disebut faktor X. Keterlibatan militer di dunia
politik terbukti berkorelasi posistif dengan kemerosotan demokrasi.
50. 37
d. Terdapat hubungan pengaruh timbal balik dari sistem kepartaian
terhadap perilaku variable antara atau faktor X yang pada tahap
selanjutnya mempengaruhi perkembangan sistem pemilihan umum.
e. Perilaku variable antara yang mempengaruhi sistem pemilihan
umum dan sistem kepartaian.
f. Sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian dihubungkan
dengan suatu hasil output bagi sistem politik.57
Hubungan-hubungan tesebut memunculkan sistem kepartaian yang dianut
oleh suatu negara dalam rangka melaksanakan pesta demokrasi atau pemilihan
umum pada suatu negara. Secara umum ada tiga tipe sistem kepartaian didunia,
yaitu:
a. Sistem Satu Partai (one party system)
Sistem ini biasanya dijumpai di negara-negara yang menganut faham
komunisme atau negara diktator yang tidak menginginkan adanya peranan dari
golongan oposisi. Sehingga tidak akan ada partai politik yang akan mengawasi
jalannya pemerintahan. Lebih tepat disebutkan dengan sistem satu partai maka
partai politik tersebut merupakan legitimasi dan dukungan terhadap kekuasaan
dan pemerintahan.
b. Sistem Dua Partai (two Party System)
Biasanya sistem ini dipraktekan di negara-negara yang menganut faham
liberal yang menganut sistem pemilihan umum dengan mekanisme pemilihan
57
Ipong Azhar, Benarkah DPR Mandul, Pemilu, Partai Politik dan DPR Masa Orde
Baru, Biografi, Bandung, 1997, hlm. 33-34.
51. 38
distrik. Negara yang mempraktekkan sistem ini adalah Amerika serikat dan
Inggris. Sistem dua partai sesuai dengan sistem pemilihan distrik disebabkan
dalam pemilihan umum sistem distrik wilayah negara dibagi kedalam beberapa
distrik yang disesuaikan dengan jumlah anggota badan perwakilan politik. Jadi
dari setiap distrik hanya satu wakil rakyat, yaitu yang berasal dari partai politik
yang memenangkan suara di distrik masing-masing. Oleh karena hanya dua partai
politik peserta pemilu maka partai yang kalah otomatis menjadi partai oposisi
yang akan kritis mengawasi dan mengamati jalannya pemerintahan.
c. Sistem Banyak Partai (multy parties system)
Sistem ini dipraktekkan oleh negara-negara yang menganut faham liberal
yang mempergunakan sistem pemilihan umum dengan sistem proposional.
Adapun negara yang mempraktekkan sistem ini adalah Prancis, Belanda dan lain-
lain. Pada sistem ini partai oposisi sangat berperan dalam mejatuhkan
pemerintahan. Hal ini disebabkan dalam sistem multi partai secara umum tidak
ada satu partai politik yang memperoleh suara mayoritas, sehingga pemerintahan
tidak didukung oleh mayoritas partai, tetapi oleh kumpulan atau koalisi partai-
partai politik. Dalam sistem multi partai adakalanya terbentuk pemerintahan
minoritas, disebabkan tidak adanya partai politik yang mau berkoalisi dengan
partai yang memperoleh suara terbanyak untuk membentuk pemerintahan koalisi.
Hal ini yang menyebabkan pemerintah mudah goyah dan kurang berperan.
52. 39
Pemerintah dalam membuat RUU dan kebijakan lain yang diajukan keparlemen
umumnya akan mendapat tantangan dari parlemen.58
3. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya para ilmuan politik menggambarkan adanya empat fungsi
partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Mariam Budiardjo,
meliputi; (1) sarana komunikasi politik; (2) sosialisasi politik (political
sosialization); (3) sarana rekrutmen politik (political recruitment); (4) pengatur
konflik (conflict management).
Fungsi pertama, partai politik sebagain sarana komunikasi politik, partai
berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest
articulation) atau political interest yang terdapat tersembunyi dalam masyarakat.
Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide,
visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Kemudian ide dan kebijakan
atau aspirasi kebijakan itu direalisasikan sehinngga diharapkan dapat
mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Fungsi kedua, partai politik juga berperan penting dalam melakukan
sosialisasi politik (political socialitation), ide, visi, dan kebijakan strategis yang
menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk
mendapatkan umpan balik (feedback) berupa dukungan dari masyarakat luas.
Kemudian partai politik juga sangat berperan penting dalam rangka pendidikan
politik, karena partai politik menjadi struktur antara yang harus memaikan peran
58
Sukarna, Perbandingan Sistem Politik, Citra Aditya, Bandung, 1990, hlm. 89.
53. 40
dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat
warga negara.
Fungsi ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik (political
recruitment). Pembentukan partai politik dimaksudkan untuk menjadi kendaraan
yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jabatan-jabatan
dan posisi-posisi tertntu. Kader-kader itu ada yang dipilih langsung oleh rakyat,
ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti Dewan Perwakilan
Rakyat, atau melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Oleh karena itu tidak
semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana
rekrutmen politik. Jabatan-jabatan professional di bidang Pegawai Negeri, dan
lain-lain yang tidak bersifat politik, tidak boleh melibatkan peran partai politik.
Partai politik hanya boleh terlibat dalam pengisian jenjang-jenjang yang bersifat
politik, sehingga pengangkatan pejabatnya juga membutuhkan prosedur politik
(political appointment).
Fungsi keempat, partai politik sebagai pengatur dan pengelola konflik
yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Nilai-nilai (values) dan
kepentingan-kepentingan (interest) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat
sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bersebrangan
satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka
ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang
menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda satu sama
lain. Partai politik sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management)
partai berperan sebagai agregasi kepentingan yang menyalurkan ragam
54. 41
kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan partai politik.
Oleh karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola
konflik dapat dihubungkan dengan integrasi partai politik. Partai politik
mengintegrasikan dan mengagregasikan beragam kepentingan itu dengan cara
menyalurkan dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan
politik kenegaraan.59
4. Teori Konflik
1. Pengertian Konflik
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap
ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat
merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa
berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang
selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya
konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang
memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan,
kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya
yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan
sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala
59
Yves Meny and Andrew Knaap Op.cit, hlm 720.
55. 42
tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model
kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang
berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. 60
Pada
umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena
pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap
nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan
sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir
saingannya.61
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan
konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat
menyeluruh dikehidupan.62
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara
melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.63
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang
saling menantang dengan ancaman kekerasan.64
60
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2011, hlm. 345.
61
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1998,hlm. 156.
62
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta 2005, hlm .587.
63
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.
99.
64
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 68.
56. 43
Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh
hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan
mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk
menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan
sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif
terbatas.65
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik
adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau
masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara
saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu
bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat
yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling
menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses
bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative
sama terhadap hal yang sifatnya terbatas Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik
itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan
eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang
atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.
2. Bentuk-Bentuk Konflik
Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :
65
Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Universitas Terbuka, Jakarta,
1994, hlm. 53.
57. 44
a. Berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif
dan konflik konstruktif.
1. Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya
perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun
kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-
bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda
seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2. Konflik Konstruktif Merupakan konflik yang bersifat fungsional,
konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-
kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan
menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan
menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam
sebuah organisasi.66
b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
1. Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di
dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang
terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.
2. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu
atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.
Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
66
Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
2001, hlm .98.
58. 45
3. Konflik Diagonal Merupakan konflik yang terjadi karena adanya
ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga
menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang
terjadi di Aceh.67
Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara
dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat
perbedaan-perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik
yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas
sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat
adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik
yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian
berpengaruh pada kedaulatan negara.68
Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat
dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut :
1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut
dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana
67
Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, Taroda, Malang, 2002, hlm. 67.
68
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm. 86.
59. 46
individu menghadapi harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-
macam peranan yang dimilikinya.
2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak
terorganisir.
4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara,
atau organisasi internasional.69
3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya
hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-
sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya
sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.70
Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut
dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan
pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi
yang perolehan asset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah
mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan
dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan
menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha
mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana
penyebab konflik dibagi dua, yaitu:
69
Robert H. Lauer, Op.Cit, hlm. 102.
70
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Op.Cit, hlm. 361.
60. 47
1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat
yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan
majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti
petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,
wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan
horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur
kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing
penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik
budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini,
jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama,
konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang
terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan.
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial kerena ada
sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan
yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara
sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan
rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian
masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik
sosial.71
Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik-konflik, diantaranya yaitu:
71
Ibid, hlm. 361.
61. 48
1. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah
menyebabkan konflik antar individu.72
Dalam konflik-konflik seperti
ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak
pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini tidak
selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan
dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran
lawan yang tidak disetujui. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun
individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan
pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya
konflik sosial.
2. Perbedaan kebudayaan. 73
Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan
menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar
kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan
pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula
dikalangan khalayak kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan
kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu
sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya
adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di
dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka
sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
72
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 68.
73
Ibid, hlm. 68.
62. 49
3. Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing
yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik
untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.74
4. Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya tersebut
diatas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan
demikian perubahan-perubahan sosial itu secara tidak langsung dapat
dilihat sebagai penyebab juga terjadinya (peningkatan) konflik-konflik
sosial. Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat akan
mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku di dalam
masyarakat. Dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat ini akan
menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian dalam masyarakat.
74
Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Bandung,
2006, hlm. 70.
63. 50
BAB III
DESKRIPSI KASUS
A. Kronologi Konflik Dualisme Kepemimpinan Partai Golkar :
Konflik dualisme kepemimpinan dalam partai golkar tidak muncul begitu
saja. Menurut Indra J Piliang (ketua tim ahli Kementerian PAN dan Reformasi
Birokrasi), perseteruan dua kubu Golkar yang terpecah hari ini tidak terlepas dari
perbedaan persepsi terhadap hasil musyawarah nasional Golkar yang diadakan
tahun 2009 di Riau. Kader-kader senior Golkar yang mengikuti Munas Riau
menganggap ada perbedaan hasil rekomendasi Munas Riau dengan AD ART
Golkar. Dalam AD ART Golkar disebutkan bahwa pemilihan pimpinan partai
dilakukan setiap 5 tahun sekali, yang berarti Munas selanjutnya harus
dilaksanakan paling lambat 8 Oktober 2014 satu tahun ari berakhirnya Munas
Riau yakni pada tanggal 8 Oktober 2009. 75
Di sisi lain, AD ART juga
menyebutkan bahwa hasil munas adalah keputusan tertinggi partai. Hasil
rekomendasi Munas Riau adalah masa kepengurusan partai diperpanjang sampai
tahun 2015. Menurut Dave Akbershah Laksono, Ketua DPP Angkatan Muda
Pembaharuan Indonesia, hasil Munas Riau hanyalah bentuk rekomendasi. Jika
menyalahi AD ART semuanya harus dikembalikan kepada AD ART. Akhirnya
hasil Munas Riau menyatakan Abu Rizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar dan
Agung Laksono sebagai Wakil Ketua Umum.
Pada tanggal 24 – 25 November 2014, dilakukan Rapat pleno penentuan
waktu Munas IX di Kantor DPP Partai Golkar. Namun,rapat pleno ini justru
75
https://www.selasar.com/politik/penyebab-konflik-golkar, diakses 3 April 2016, jam
16.22 WIB
64. 51
berujung ricuh dengan masuknya 50 orang massa yang mengaku berasal dari
Angkatan Muda Partai Golkar. Pleno ketika itu sudah memutuskan untuk
mengadakan Munas pada tanggal 30 November 2014. Ketika ricuh, rapat diambil
alih oleh Agung Laksono yang kemudian membentuk Presidium Penyelamat
Partai Golkar. Kubu Agung memutuskan agar Munas diadakan 13 Januari 2015
karena khawatir akan ricuh. Sementara kubu Aburizal Bakrie bersikeras untuk
tetap mengadakan Munas pada tanggal 30 November 2014 sesuai dengan amanat
Rapimnas di Yogyakarta.
Akhirnya, terdapat 2 Munas yang diselenggarakan oleh dua pihak yang
berbeda. Pada tanggal 30 November – 4 Desember 2014 Munas Golkar ke IX
diadakan di Nusa Dua, Bali oleh kubu Aburizal Bakrie. Munas ini memilih
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar. Sedangkan pada tanggal 6 – 8
Desember 2014,Munas Golkar ke IX diadakan di Ancol, Jakarta oleh kubu Agung
Laksono. Munas ini memilih Agung Laksono sebagai Ketua Umum Golkar.
Konflik pun semakin memanas,tidak berhenti di penyelenggaraan Munas, kedua
kubu partai Golkar terus berkonflik dengan saling menggugat hasil Munas kubu
masing-masing. Pada tanggal 5 Januari 2015, Kubu Agung Laksono menggugat
Munas Bali ke PN Jakpus dan hasilnya ditolak. Majelis hakim menolak dalil
penggugat bahwa masalah sudah diselesaikan di internal partai sehingga tidak
perlu lagi dibawa ke Mahkamah Partai Golkar. Lalu pada tanggal 12 Januari
2015,Pengadilan Jakarta Barat menolak gugatan kubu Aburizal Bakrie terkait
konflik internal Partai Golkar. Majelis hakim menolak dalil penggugat karena
dianggap gugatan terlalu prematur dan penyelesaian konflik lebih baik
65. 52
dikembalikan kepada mekanisme partai. Kubu ARB, pada tanggal 6 Februari
mengajukan gugatan kepada Mahkamah Golkar. Lalu 5 hari setelahnya
Mahkamah Golkar bersidang dan menyatakan bahwa Munas Ancol sah. Majelis
hakim menilai Munas yang diselenggarakan di Bali dengan memilih Aburizal
Bakrie secara aklamasi tidak demokratis. Mahkamah Golkar menerima hasil
Munas Agung Laksono dengan kewajiban untuk mengakomodir kader dari kubu
Aburizal Bakrie. Pada tanggal 23 Maret 2015, Menteri Hukum dan HAM
menandatangani surat keputusan yang menyatakan Munas Ancol sah.
B. Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Menurut Undang-undang No. 9 tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) yang
menyatakan bahwa suatu Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final.76
Pengaturan ini memberikan suatu ciri khas tentang pengertian Keputusan
tata usaha itu sendiri sehingga memberikan suatu ciri pembeda antara suatu
Keputusan yang dapat dijadikan obyek gugatan serta yang tidak bisa dijadikan
obyek gugatan di pengadilan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa putusan dalam HAN berbentu KTUN yang
memiliki ciri khas tertentu dibanding keputusan lainnya. Adapun pembatasan
tentang KTUN tercantum dalam Pasal 2 yaitu, tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
76
Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang No.9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
66. 53
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.77
C. Kebijakan Regeling dan Beschikking
Terdapat 2 jenis kebijakan yang bisa ditentukan oleh pemerintah. Yaitu
Regeling (peraturan) yaitu memberlakukan sesuatu yang bersifat abstrak-
umum,belum ada subjek dan objeknya yang spesifik. Serta Beschikking
(penetapan) memberlakukan sesuatu yang bersifat konkret individual, sudah jelas
subjek dan objeknya. Kalau pemerintah dianggap salah dalam membuat peraturan
77
Ananda Rizky A, Benaya Putera Herwidianto, Makalah Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tentang Konflik Dualisme Kepemimpinan Partai Golkar,
Fakultas Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2015, hlm.12.
67. 54
(regeling), upaya hukum untuk melawannya dilakukan melalui pengujian yudisial
atau judicial review. Tetapi, jika pemerintah atau pejabat tata usaha negara dalam
membuat keputusan (beschikking), upaya hukum untuk melawannya adalah ke
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau administratief rechtspraak atau bisa
juga ke peradilan umum, bergantung pada isi keputusannya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa putusan Yasonna Laoly tentu saja
merupakan putusan dalam HAN. Yang pertama, secara logika jika putusan
tersebut bukan putusan HAN maka putusan tersebut tidak memenuhi syarat
sebuah putusan dalam HAN, dan tentu tidak akan diterima oleh PTUN. Yang
kedua, berdasarkan UU. No. 9 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) bahwa putusan dalam
HAN atau bisa disebut juga sebagai KTUN memiliki ciri khusus dibandingkan
putusan lain yaitu bersifat konkret, individual, dan final.
Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata
Usaha Negara itu tidak abstrak tetapi berwujud hal ini dapat kita lihat bahwa
putusan MenkumHAM memiliki objek yang jelas yaitu Kepengurusan Partai
Golkar. Kata Individual memiliki arti Keputusan tata usaha Negara itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk pihak tertentu yang jelas
subyeknya. Kata individual juga tercermin dalam putusan tersebut bahwa subyek
dari putusan tersebut jelas hanya untuk Partai Golkar bukan seluruh partai di
Indonesia. Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum.
68. 55
Menimbulkan akibat hukum artinya perbuatan hukum yang diwujudkan
dalam bentuk Keputusan badan atau pejabat TUN menimbulkan suatu perubahan
suasana dalam hubungan hukum yang ada sehingga dapat menimbulkan suatu hak
dan kewajiban. Sifat yang terakhir tersebut juga sudah terpenuhi karna putusan
tersebut menimbulkan perubahan dalam hubungan hukum kepengurusan Partai
Golkar sehingga menimbulkan hak dan kewajiban salah satu contohnya kewajiban
bagi Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai menurut putusan MenkumHAM
tersebut.
Pembatasan konteks putusan HAN/KTUN pada Pasal 2 Undang-undang
No. 9 tahun 2004 juga semakin memperkuat bahwa putusan MenkumHAM ini
memang sebuah produk putusan dalam HAN. Karna putusan MenkumHAM tidak
mengandung unsur-unsur yang disebutkan pada pasal 2 dan justru mengandung
unsur yang sebaliknya. Salah satu contohnya Yang tidak dianggap sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara adalah “Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umm” hal ini jelas dapat dibuktikan karna isi
dari putusan menkumham tersebut hanya ditujukan kepada kepengurusan partai
golkar.78
78
Ibid, hlm.13-14
69. 56
D. Salinan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Berikut adalah salinan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
manusia Republik Indonesia nomor M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2015 :
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBUK INDONESIA NOMOR: M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2015
TENTANG
PENGESAHAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR, ANGGARAN
RUMAH TANGGA,SERTA KOMPOSISI DAN PERSONALIA DEWAN
PIMPINAN PUSAT PARTAI GOLONGAN KARYA MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Membaca : Surat permohonan dart Dewan Pimpinan Pusat Partai Golangan
Karya Nomor: B-065/GOLKAR/111/2015 tanggal 16 Maret 2015
tentang Permohonan Penetapan Kepengurusan DPP Partai
Golongan Karya.
Menimbang : 1. Putusan Mahkamah Partai Golkar berturut-turut Nomor: 01 /PI-
GOLKAR/II/2015,Nomor: 02/PI-GOLKAR/11/2015 dan
Nomor: 03/PI-GOLKAR/11/2015 tanggal 03 Maret 2015;
2. Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan serta penelitiah terhadap
berkas permohonan dart Dewan Pimpinan Pusat Partai
Golongan Karya yang disampaikan kepada Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tersebut
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud datam Pasal
2, Pasat 3, Pasat 4, Pasat 5, Pasal 25, Pasal 32, Pasal 47 ayat (1)
dan Pasal 51 ayat (1) Undang¬undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008,
70. 57
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801)
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 518900;79
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH-05.0T.01.01 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia.
MEMUTUS KAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA RI TENTANG PENGESAHAN
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR, ANGGARAN
RUMAH TANGGA, SERTA KOMPOSISI DAN
PERSONALIA DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI
GOLONGAN KARYA.
PERTAMA : Mengesahkan Permohonan Perubahan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga Serta Komposisi Dan
Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya
dengan kedudukan kantor tetap di JL.Anggrek Nelly
Murni, Jakarta 11480. Telp/Fax (021) 5302222 Fax. (021)
5303380 yang dinyatakan dengan Akta Tentang
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Partai Golongan Karya Nomor 45 tanggal 16
Desember 2014 serta Akta Tentang Komposisi dan
Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan
Karya Nomor 12 tanggal 16 Maret 2015 yang dibuat
dihadapan Notaris Surjadi, S.H.,M.Kn berkedudukan di
Kota Jakarta.
79
Salinan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia
nomor M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2015 hlm.1.
71. 58
KEDUA : Susunan kepengurusan tingkat pusat partai potitik
tersebut terlampir dalam Keputusan ini.
KETIGA : Keputusan ini mulai bertaku pada tanggal ditetapkan.
KEEMPAT : Setelah berlakunya keputusan ini, maka Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga sebagaimana yang tercantum
pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Nomor: M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2010 tanggal 27 April
2010 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, serta Komposisi dan Personalia
Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Masa Bakti
2009-2015 serta susunan kepengurusan sebagaimana
tercantum pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI Nomor: M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 tanggal
4 September 2012 tentang Pengesahan Perubahan Susunan
Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai
Golongan Karya Masa Bakti 2009-2015 tidak bertaku lagi.
KELIMA : Apabila di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam Keputusan ini, akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya.80
Merasa tidak terima, Abu Rizal Bakrie menggugat Menteri Hukum dan
HAM atas SK yang diputuskan terkait disahkannya hasil Munas Ancol yang
secara otomatis mengesahkan kepemimpinan Agung Laksono. Proses hukum
berlangsung hingga terbitnya putusan PTUN Jakarta Utara NO.
62/G/2015/PTUN-JKT pada tanggal 18 Mei 2015.Ternyata putusan tersebut
menyatakan bahwa PTUN membatalkan SK MenkumHAM. Dengan alasan
bahwa keputusan yang mengangkat kubu Agung sah bukanlah keputusan
Mahkamah Golkar, melainkan pernyataan dua hakim Andi Mattalata dan Djasri
Marin. Keputusan ini dinyatakan sah dan menunggu keputusan tetap. Kubu
Agung Laksono yang tidak merasa puas kemudian mengajukan banding. Di sela-
80
Salinan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia
nomor M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2015 hlm.2