1. Pengertian Sistem Hukum
Sistem Hukum berasal dari dua kata yaitu ‘sistem’ dan ‘hukum’. Yang keduanya dapat berdiri sendiri dan memiliki arti
tersendiri. Sistem berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa Yunani systema pula, sistem dapat berarti sebagai
keseluruhan atau kombinasi keseluruhan.
Sedangkan hukum tidak dapat diartikan secara pasti seperti halnya ilmu eksak, karena dalam ilmu hukum, hukum itu
sangat komleks dan terdapat berbagai sudut pandang serta berbeda-beda pula masalah yang akan dikaji. Sehingga, setiap
ahli memberikan pengertian-pengertian yang berbeda mengenai pengertian hukum sendiri. Berikut diantaranya :
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.( Prof. Mr. E.M. Meyers)
TEORI SISTEM HUKUM FRIEDMAN
Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University, ada
empat elemen/unsur utama dari sistem hukum (legal system), yaitu:
1. Struktur Hukum (Legal Structure)
2. Isi Hukum (Legal Substance)
3. Budaya Hukum (Legal Culture)
4. Dampak Hukum (Legal Impact)
Pengertian Pengadilan Agama
Sebelum melakukan pemabahasan mengenai Hukum Acara Peradilan Agama, terlebih dahulu akan dikemukakan
mengenai pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan (titelatur) resmi bagi salah
satu salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga
lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga Peradilan Khusus yang berlaku di Indonesia selain daripada Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Disebut sebagaiPeradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara
tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Peradilan Agama bisa disebut juga sebagai Peradilan Islam di Indoensia,
sebab dari jenis-jenis perkara-perkara yang boleh mengadilinya, keseluruhan adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu, bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal2
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-Undang ini”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia
yang beragama Islam.
Setelah UU No. 7 Tahun 1989 diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal
ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama bertambah. Dengan adanya
perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam Pasal2 UU No. 3 Tahun 2006 adalah “Pengadilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dalam definisi pengadilan Agama tersebut “kata Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk :
1. Memberi Dasar Hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas Undang-Undang
Perkawinan dan Peraturan Pelaksaannya.
2. Untuk memperkut landasan hukum mahkahmah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya dibidang Jinayah
berdasarkan Qanun.
Dalam Pasal49 UU No. 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
2. b. Kewarisan,Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, dan
c. Wakaf dan Shadaqah.[ ]
Mahkamah Syar'iyah (disingkat MS) adalah salah satu Pengadilan Khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi
Aceh sebagaipengembangan dari Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan
Mahkamah Syar'iyah (tingkat Kabupaten dan Kota). Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah
Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah
dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat
Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Saat ini terdapat satu Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan 20 Mahkamah Syar'iyah.
Pengertian Hukum Acara Hukumacara (hukumformil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukumperdata materil,
oleh karena itu hukumacara memuat tentang cara bagaimanammelaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan
kaidah-kaidah yang termuat dalamhukumperdata materil.Adapaun hukumacara yang berlaku di Peradilan Agama
adalah hukumacara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umumkecuali yang telah diatur secara khusus
(Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).
1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah:
1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum).
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004.
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004.
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor Tahun 2006.
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
7. PP Nomor 9 Tahun 1975.
8. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering).
9. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
10. Surat Edaran Mahkamah Agung.
11. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
12. Dan lain-lain.
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:
1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
7. Peraturan MenteriAgama Nomor 2 TAhun 1987.
8. Yuriprudensi.
9. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih.
10. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama.
11. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
Teori Hirarki Hukum
Hans Kelsen mengatakan dalam teorinya yang dikenal sebagai Teori Jenjang Hukum (Stufentheorie)bahwa Norma yang
lebih rendah berlaku dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusmya hingga sampai pada norma yang
tidak bisa ditelusuri lebih lanjut yang dinamakan sebagainorma dasar (Grundnorm). Norma dasar merupakan norma
tertinggi dari suatu sistem norma yang ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat dan menjadi gantungan dari semua norma
yang ada dibawahnya, sehingga norma dasar itu dikatakan pre-supposed[1].
Teori Jenjang Hukum (Stufentheorie) kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky, murid Hans Kelsen,
dalam kaitannya dengan negara.
Menurut Hans Nawiasky dalam teori jenjang hukum yang ia kembangkan (die theorie vom stufenordung der
rechtsnormen) norma hukum dari suatu negara berjenjang-jenjang dan bertingkat-tingkat, dimana norma yang dibawah
3. berlaku dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berdasar pada norma tertinggi yang
disebut norma dasar (Grundnorm pada teori Hans Kelsen). Selain berjenjang dan bertingkat norma hukum menurut Hans
Nawiasky juga berkelompok, dimana pengelompokannya sebagai berikut[2];
Kelompok I :Norma Dasar/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor)
Kelompok II : Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Kelompok III : Undang-Undang Formal (Formell Gesetz)
Kelompok IV : Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
Teori norma hukum berjenjang dan berkelompok (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) Hans Nawiasky ini
jika diproyeksikan ke Norma hukum yang berlaku di Indonesia maka akan diperoleh pengelompokan hirarki sebagai
berikut[3];
Norma Dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor) Indonesia adalah Pancasila dan
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Sehingga seluruh
perundangan dibawahnya harus merujuk ke norma dasar ini (Hans Kelsen),
Aturan Pokok Negara (Statgrundgesetz) Indonesia adalah batang tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR RI dan
Konvensi Ketatanegaraan,
Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) Indonesia adalah Undang-Undang,
Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) Indonesia adalah secara hirarkis mulai
Peraturan Pemerintah, hingga keputusan Bupati/Walikota.
Sementara merujuk pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka hirarki perundangan di Indonesia adalah sebagai
berikut[4];
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum dari perundangan di Indonesia sesuai dengan hirarki tersebut[5]. (berlaku asas Lex Superior derogat
legi inferiori)
Selain perundangan dalam hirarki tersebut, di Indonesia juga berlaku perundangan lainnya yang dibuat oleh lembaga
tinggi negara maupun lembaga negara lainnya, yang keberadaannya diakui sesuai peraturan perundangan yang lebih
tinggi atau dibentuk sesuai kewenangan[6].
Berdasarkan teori hirarki dan pengelompokan ini ditegaskan bahwa norma dan aturan perundangan yang dibuat tidak
boleh bertentangan dengan norma atau aturan yang lebih tinggi. Dalam hal UU 23/2014 maka tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945 sebagai aturan pokok Negara, dan tidak bertentangan juga dengan norma dasar (Grundnorm) atau
Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor) yaitu Pancasila dan pembukaan UUD NRI
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
(lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).[1]
Contohnya, dalam pasal18 UUD 1945,
gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasalyang
sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis),sehingga keistimewaan daerah yang
gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.[2]
lex specialis derogat legi generalis adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang
khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari
artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip
yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
4. 1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam
aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan
undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan
hukum keperdataan.
Contoh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asas lex specialis derogat legi generalis:
· Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus,
maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
· Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang:
“Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan
khusus, maka Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab
Undang-undang ini.”
. HUKUM FORMIL DAN HUKUM MATERIL
a. Pengertian
1. Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud
perintah dan larangan.
2. Hukum Formil, yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. dengan
kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai caracara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan tata
carahakim memberi putusan.
b. Contoh
Contoh hukum materiil adalah Hukum Pidana, Hukum Perdata. Yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Materiil dan
Hukum Perdata Materiil. Dan contohny hukum formil adalah Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.