Dokumen tersebut membahas tentang efektivitas Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilu 2014. Ada banyak kasus pelanggaran dan kecurangan pemilu yang dilaporkan ke MK, sementara waktu yang diberikan hanya 30 hari sebelum pelaksanaan pilpres. Oleh karena itu, kinerja MK dalam memutuskan sengketa pemilu secara adil dan berkualitas menjadi penting.
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
1. Efektivitas Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa
Pemilu secara berkualitas
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu Natal Kristiono
Disusun oleh :
IMA AZIZAH (6411413110)
ROMBEL 48
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN AJARAN 2013/2014
2. ABSTRAK
Pencoblosan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD telah selesai dilaksanakan di
Indonesia pada tangga l 9 April 2014 dengan aman. Meskipun banyak kekurangan diberbagai
tahapan. Namun hasil rekapitulasi surat suara Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014
sudah dirampungkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sudah mengumumkan perolehan
suara secara keseluruhan untuk DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Meski sempat waswas, namun KPU mampu menyelesaikan rekapitulasi ini sesuai jadwal.
Namun pasca penetapan tersebut, muncul berbagai permasalahan yang disoroti oleh
berbagai pihak antara lain, kesalahan teknis, kecurangan, penggelembungan suara,
pemindahan suara, pencurian suara hingga politik uang menjadi persoalan yang dicatat oleh
parpol maupun pihak independen lainnya. Dengan kondisi ini, Mahkamah Konstitusi (MK)
akan kebanjiran gugatan dan hanya mempunyai 30 hari untuk menyelesaikan semua gugatan
tersebut, agar Pilpres 9 Juli 2014 dapat dilaksanakan tepat waktu. Tentunya dengan catatan
apabila MK dapat memutuskan perselisihan Pemilu 2014 secara jujur, adil serta berkualitas,
rakyat dan peserta Pemilu akan lapang dada menerima dan menjalankannya. Meskipun
banyak kasus yang harus ditangani Mahkamah Konstitusi serta waktu yang diberikan relatif
sedikit, namun keputusan Mahkamah Konstitusi ini harus diputuskan tepat karena
keputusannya dipergunakan untuk pengesahan hasil perhitungan pemilu yang telah
berlangsung, maka dari itu keputusan Mahkamah Konstitusi harus berkualitas.
Kata kunci : Pemilu 2014, Sengketa pemilu, Mahkamah Konstitusi
3. PENDAHULUAN
Tujuan utama pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat jelas yaitu bertujuan
untuk menguji Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan kewenangan-kewenangan
lainnya seperti memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam pasal 24C ayat (1)
UUD 1945. Kewenangan terkait memutus perselisihan hasil pemilu oleh Mahkamah
konstitusi semula hanya merupakan pemilihan umum presiden, DPR, DPRD, dan DPD.
Namun sekarang ini kewenangan tersebut bertambah dengan memutus perselisihan hasil
pemilukada. Setelah pasca pemilu 2014 banyak terjadi kasus pelanggaran pemilu serta
kecurangan pemilu yang dilaporkan kepada Mahkamah Kostitusi, padahal pemilu presiden
akan segera dilaksanakan setelahnya, maka mahkamah Konsttusi harus segera menyelesaikan
dan memutuskan sengketa pemilu yang meliputi pelanggaran serta kecurangan yang terjadi
saat pemilu berlangsung. Hal tersebut menjadikan pertanyaan apakah Mahkamah Konstitusi
mampu memutuskan semua perkara tersebut secara berkualitas, kasus pemilu atau
pemilukada yang begitu banyak dan waktu yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
sangat sedikit. Jadi hal ini perlu kita dalami lebih lanjut apakah efektivitas Mahkamah
Konstitusi dalam menyelesaikan permasalahan pemilu sudah berkualitas
4. PEMBAHASAN
Sengketa pemilu ataupun pemilukada adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih
karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang
berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu
pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang
berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Dalam pemilu atau pemilukada tercatat banyak sekali sengketa dan juga permasalahan mulai
dari proses sampai hasil pemilu yang dilaporkan oleh pihak-pihak terkait seperti partai
politik. Sebenarnya permasalahan ini dapat diselesaikan di level panwaslu ataupun KPU
namun apabila tidak menui titik terang atau hasil dari sengketa maka berkas kasus dapat
diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- Undang.
Dengan harapan hasil keputusan tersebut dapat sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku,
secara jujur, adil serta berkualitas, rakyat dan peserta Pemilu akan lapang dada menerima dan
menjalankannya.
Pemahaman Mengenai Sengketa Pemilu
Masalah hukum (pelanggaran dan sengketa) dalam pemilu menurut Topo Santoso
secara umum dapat dibagi menjadi 6 (enam) bentuk, yang terdiri dari:
1. Pelangaran Administrasi Pemilu;
2. Pelanggaran Pidana Pemilu;
3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara;
4. Sengketa dalam proses pemilu;
5. Perselisihan hasil Pemilu;
6. Sengketa hukum lainnya.
Dengan demikian sengketa pemilu terdapat tiga macam yaitu sengketa dalam proses
pemilu, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya. Berbeda dengan
Topo Santoso, Moh. Jamin menyebutkan bahwa sengketa pemilu dibagi menjadi dua yaitu
sengketa dalam proses pemilu yang selama ini menjadi wewenang Badan/Panitia Pengawas
Pemilu dan sengketaatau perselisihan hasil pemilu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008
menyebut secara eksplisit tiga macam masalah hukum pemilu, yaitu: pelanggaran
administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu dan perselisihan hasil pemilu.
Disebutkan dalam Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, bahwa
pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini
5. yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur
dalam peraturan KPU. Sebagai contoh pelanggaran administrasi yang merupakan
pelanggaran peraturan KPU adalah pemasangan alat peraga partai politik tertentu tidak boleh
menghalangi alat peraga partai politik lainnya. Pelanggaran administrasi ini menjadi
wewenang KPU/ KPU Daerah untuk mengambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku.
Pelanggaran administrasi perlu ada pelimpahan dari Bawaslu/ Panwaslu.
Pelanggaran tindak pidana pemilu hasil temuan Bawaslu/ Panwaslu maupun hasil
laporan dari pelapor apabila memenuhi unsur-unsur pidana pemilu disertai bukti-bukti yang
cukup perlu segera diteruskan oleh Bawaslu/ Panwaslu kepada Penyidik Polri untuk segera
ditindak lanjuti. Oleh penyidik Polri diteruskan kepada Jaksa Penuntut Umum dan berakhir di
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Putusan pengadilan yang dirasakan oleh
terpidana atau oleh Jaksa sebagai putusan yang tidak memuaskan maka dapat diajukan
banding ke pengadilan tinggi yang berwenang.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu mengatur secara tegas
sengketa yang terjadi diantara pihak-pihak. Ialah sengketa yang timbul dalam tahapan-
tahapan Pemilu. Sengketa itu bukan dikarenakan pelanggaran administratif maupun
pelanggaran pidana.
Sengketa pemilu adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya
perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan
dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau
pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran
dari pihak yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya
adalah:
1. PenyelenggaraPemilu.
2. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan
Pimpinan Tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan Tingkat Kab/Kota, dst.
3. Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
4. Anggota dan atau pengurus partai politik peserta Pemilu.
5. Warga Negara yang memilikihakpilih.
6. PemantauPemilu.
6. Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan sengketa Pemilu
Dasar hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
1. UUD 1945, Pasal 24 C ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat fi nal untuk menguji
undangundang terhadap Undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan
umum”
2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (1) huruf d “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat finaluntuk a, …, b, …., c, …, d. Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum
3. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008. Pasal 258 ayat (1)“Perselisihan hasil Pemilu
adalah perselisihan antara KPU dan Peserta pemilu mengenai penetapan perolehan
suarahasil pemilu secara nasional. Ayat (2) Perselisihan penetapan perolehan suara
hasil pemilu sebagaimana dimaksud padaayat (1) adalah perselisihan Pemilu
mengenai penetapanperolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi
Peserta Pemilu. Pasal 259 ayat (1) hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara
hasil pemilu secara nasional,Peserta pemilu dapat mengajukan permohonan
pembatalanpenetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPUkepada
Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) Peserta Pemilumengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusisebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 x 24
(tigakali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapanperolehan suara hasil
Pemilu secara nasional oleh KPU.Ayat (3) KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota wajibmenindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi;
4. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu Presiden. Pasal 201 ayat (1)
“Terhadap penetapan hasilPemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat
diajukankeberatan hanya oleh pasangan calon kepada MahkamahKonstitusi dalam
waktu paling lama 3 ( tiga ) hari setelahpenetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil
Presiden olehKPU. Ayat (2) Keberatan sebagaimana dimaksud olehayat (1) hanya
terhadap hasil penghitungan suara yangmempengaruhi penentuan Pasangan Calon
atau penentuanuntuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
5. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahankedua Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah. Pasal 236 C “Penanganan
7. sengketahasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakilkepala daerah
oleh Mahkamah Agung dialihkan kepadaMahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulansejak Undang-undang ini diundangkan”.
Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan Hasil Pemilu 2014
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dimana secara tegas dijelaskan bahwa sengketa pemilukada telah
dialihkan dari MA ke MK. Kemudian, dalam perkembangannya penambahan kewenangan itu
justru mendatangkan ujian maha berat bagi MK. Apabila diletakkan dalam kewenangan MK
secara keseluruhan, terutama wewenang menguji undang-undang, kewenangan baru MK
dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada itu telah menggeser volume kerja MK dari
fungsi utamanya dalam pengujian undang-undang menjadibadan peradilan yang lebih banyak
menangani sengketa pemilukada. Dengan kata lain, MKbergeser dari Constitutional Court
menjadi seolah-olah Election Court karena lebih banyakmenangani perkara sengketa pemilu
dan pemilukada daripada pengujian undang-undang.Apa lagi setelah diadakannya pemilu
legislatif pada tanggal 9 April 2014 ini, hasil perolehan suara memang sudah diumumkan
oleh KPU, namun ada beberapa berpendapat meskipun hasilnya sah, tapi hal tersebut belum
membuktikan pemilu legislatif kemarin clean dari penyimpangan, pelanggaran, dan
kesalahan. Karena di lapangan ditemukan adanya penyimpangan tersebut
Biasanya langkah yang diambil beberapa parpol dan calon legislatif untuk yaitu
melakukan gugatan, sesuai dengan perundang-undangan yaitu mengajukan berkas masalah
kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, parpol dan calon legislatif bisa memastikan
adanya penyimpangan, pelanggaran, dan kesalahan yang terjadi selama Pimilu legislatif 2014
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu ini. Jika bukti-bukti mengindikasikan terjadinya
penyimpangan, pelanggaran, dan kesalahan yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan
masif, maka MK akan memutuskan untuk menggelar pemungutan suara ulang.
Penyimpangan ataupun sengketa hasil pemilu seperti erjadinya politik uang (money
politics) pelanggaran pasca pemilu ataupun pra pemilu juga harus segera di selesaikan agar
pemilihan presiden dapat berjalan dengan baik karena sengketa pada pemilu legislatif
menentukan pemilu presiden. Selanjutnya agar tidak terjadi penumpukan berkas kasus di
Mahkamah konstitusi tentang Pemilu karena pada dasarnya tugas mahkamah Konstitusi
adalah menguji undang-undang.
Intensitas persidangan mengenai penanganan kasus pemilu pasca pemilu
mengakibatkan Mahkamah Konstitusi memiliki beban berat untuk segera menyelesaikan
8. masalah tersebut sebelum pemilihan presiden dilaksanakan yaitu sekitar 30 hari. Persidangan
yang dilakukan dengan intensisitas yang sering untuk mempercepat pemutusan karena waktu
yang di berikan sangat pendek seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan dari sisi efektifitas
dan kualitas proses persidangan, yang pada ujung berpengaruh terhadap kualitas pelayanan
terhadap pencari keadilan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
kenyataannya MK berperan penting dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu. MK mampu
memfasilitasi konflik politik yang merupakan hasil pemilukada dengan membawanya dari
konflik yang terjadi, yang bisa memicu konflik horizontal antar pendukung ke gedung MK.
Di tingkat tertentu MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan pemilukada
yang demokratis. Akan tetapi, dalam titik tertentu, MK juga memiliki masalah yang
mengganggu perannya sehingga tidak berjalan secara efektif.
Masyarakat serta partai politik maupun calon legislatif pasti menginginkan keadilan
atas permasalahan yang terjadi selama penyelenggaran pemilu, jadi diharapkan Mahkamah
Konstitusi dapat memberikan keputusan yang sesuai, bukan hanya untuk menentukan
kuantitas penyelesaian masalah namun juga kualitas pemutusan masalah secara adil dan dapat
dipertanggung jawabkan tanpa adanya penyelewengan seperti pada kasus sebelumnya
tentangi hasil pemutusan di tentukan berdasarkan uang yang masuk ke dalam tubuh
Mahkamah Konstitusi. Hal ini yang ditakutkan oleh masyarakat juga pihak lain.
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam penentuan hasilpemilu legislatif 2014
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang perkara perselisihan hasil
pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014,
tidak mempengarui pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari partai
politik atau gabungan partai politik. Pengajuan pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden itu tetap mendasarkan pada keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang
perolehan suara dan perolehan kursi partai politik. Mahkamah Konstitusi akan
menyampaikan keputusan sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau
sengketa hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 pada 30 Juni 2014.
Sementara, KPU membuka pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik 18-20 Mei mendatang.
Meski partai politik ataupun gabungan partai politik tetap dapat mendaftarkan
pasangan calon presiden dan calon wakil presidennya mulai 18 Mei, mengatakan keputusan
9. sidang MK tentang sengketa hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 pada 30 Juni
2014 akan tetap mengubah perolehan suara peserta pemilu.Jika memang permohonan peserta
pemilu dikabulkan tentu akan mempengaruhi perolehan kursi dan terpilihnya orang anggota
DPD. Tapi, jika ditolak ya tidak," katanya.Janedjri menambahkan keputusan sidang MK
tentang sengketa hasil pemilu bersifat final dan mengikat langsung sehingga KPU akan
menyesuaikan perolehan suara atau kursi partai politik sesuai keputusan MK. Hingga Senin
sebanyak 12 partai politik nasional dan dua partai lokal Aceh mendaftarkan permohonan
perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD 2014. Sedangkan partai Aceh merupakan satu-satunya partai politik
yang tidak mengajukan permohonan PHPU 2014.Selain partai politik, sebanyak 30 calon
anggota DPD dari 19 provinsi juga mengajukan permohonan perkara hasil pemilihan umum
Pemilu 2014.
10. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi pada saat ini mampu menyelesaikan sengketa hasil pemilu
tahun 2014 yaitu dengan menyesuaikan perolehan suara atau partai politik sesuai keputusan
Mahkamah Konstitusi sehingga banyak partai politik ataupun calon anggota legislatif yang
mengajukan permohonan perkara hasil pemilu 2014. Namun penyelesaian pemilu tersebut
tidak akan mempengaruhi jadwal pendaftaran pemilu presiden dan wakil presiden dan
diharapkan pemilu ini dapat berjalan dengan baik tanpa ada kasus setelahnya. Disini
diperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat menangani masalah pemilu tanpa
mengundur jadwal pendaftaran dan pelaksanaan pemilu siden yang telah ditetapkan
sebelumnya leh KPU,pada sisi kekurangannya Mahkamah konstitusi belum mampu
menyelesaikan kasus yang diajukan oleh partai politik dan calon legislatif tentang hasil
perhitngan suara dan kursi dalam parlemen dengan cepat, terjadi kemunduran pengesahan
hasil suara pemilu legislatif. Hal ini tentu saja membuat para calon legislatif dan partai politik
menunngu sehingga tidak dapat menentukan dengan siapa mereka akan berkoalisi dan
tindakan apa yang akan dilakukan oleh masingg- masing partai karena masih menunggu
keputusan Mahkamah Konstitusi yang belum keluar. Maka rekomendasi untuk Mahkamah
Konstitusi dengan mengingat banyaknya kasus yang ditangani pasca pemilu dan juga
ketersediaan waktu yang sangat sedikit, Mahkamah Konstitusi harus bekerja keras untuk
dapat menyelesaikannya tepat waktu, tanpa mengundur-ngundur. Serta diharapakan
keputusan mahmah konstitusi dapat dilakukan secara berkualitas tanpa ada unsur kecurangan
sehingga akan diterima oleh semua golongan dan tidak ada kasus lagi setelahnya.
11. DAFTAR PUSTAKA
Journal Konstitusi P3KHAM LPPM UNIVERSITAS SEBELAS MARET Membangun
konstitusionalitas Indonesia. Membangun budaya sadar berkonstitusi Volume II Nomor 1 Juni
2009, Jakarta Pusat : MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri Rachmatika,Alia Harumdani Widjaja.
Journal Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah
Konstitusi
Journal yudisial Vol 6. 2 Agustus 2013. Hak dalam kemelut hukum. Jakarta : Komisi
Yudisial Republik Indonesia
http://m.edisinews.com/berita-penyuapan-di-mk-sebagai-kasus-terburuk-di-
dunia.html#ixzz2jOI9RL9b )
http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/173883/Perpu0012013%20