Teks tersebut membahas tentang efektifitas Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilu khususnya pemilukada. Beberapa persoalan yang dihadapi MK antara lain jumlah hakim yang terbatas, waktu penyelesaian yang singkat, serta kewenangan MK yang terus berkembang melalui putusan-putusannya. Untuk meningkatkan efektifitas, perlu ada pembatasan kewenangan MK dan penambahan jumlah hakim.
1. EFEKTIVITAS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS
SENGKETA PEMILU SECARA BERKUALITAS
Disusun guna memenuhi tugas Matakuliah Pendidikan
Kewarganegaraan
Dosen pengampu: Natal Kristoniono
Disusun oleh:
Vinda Rahmawati
6411411227
48
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2. Abstrak
Penanganan sengketa pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, sejak dialihkan dari
Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup besar terhadap sembilan
hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi akibat banyaknya perkara yang masuk dan singkatnya
waktu penyelesaian yang menurut undang-undang hanya 14 hari kerja sehingga
memunculkan pertanyaan tentang efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Peneltian ini, yang merupakan penelitian hukum
doktrinal atau normatif, mengkaji tiga pertanyaan yakni apakah dengan struktur, prosedur dan
kewenangan yang dimiliki MK sekarang ini berpengaruh terhadap efektifitas penyelesaian
sengkete pemilukada, apa saja kendala yang dihadapi dan rekomendasi apa yang dibutuhkan
agar MK bisa berperan lebih baik di masa yang akan datang. Melalui pendekatan desktriptif
kualitatif penelitian ini menemukan bahwa beberapa persoalan yang mempengaruhi
efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada di MK adalah sifat Mahkamah Konstitusi yang
sentralistik menimbulkan masalah access to justice mengingat wilayah Negara Keastuan
Republik Indonesia yang sangat luas, jumlah hakim yang hanya sembilan orang, waktu
penyelesaian yang singkat serta perluasan kewenangan MK melalui putusannya. Berdasarkan
temuan tersebut, penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa
pemilukada di Mahkamah Konstitusi tidak berjalan efektif. Untuk mengatasi permasalah
tersebut, penelitian ini menghasilkan dua rekomendasi yakni rekomendasi jangka pandek
berupa pembatasan kewenangan dengan hanya mengadili sengketa hasil serta rekomendasi
jangka panjang yakni penambahan hakim MK dengan hakim ad hoc pemilukada.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Sengketa Pemilukada.
3. Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Agung. Sengketa pemilu ataupun pemilukada adalah perselisihan antara
dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu
ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum
atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat
penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam
penyelenggaraan Pemilu. Terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2014, sebagai
lembaga pengawal demokrasi, MK memiliki peran dan tanggung jawab terhadap suksesnya
keseluruhan proses pemilihan umum legislatif. Upaya menjaga dan mengawal proses
demokrasi ini tidak terlepas dari kewenangan MK untuk menyelesaikan perkara perselisihan
hasil pemilihan umum (PHPU) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD
1945.
Tujuan utama pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat jelas yaitu bertujuan
untuk menguji Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan kewenangan-kewenangan
lainnya seperti memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam pasal 24C ayat (1)
UUD 1945. Kewenangan terkait memutus perselisihan hasil pemilu oleh Mahkamah
konstitusi semula hanya merupakan pemilihan umum presiden, DPR, DPRD, dan DPD.
Namun sekarang ini kewenangan tersebut bertambah dengan memutus perselisihan hasil
pemilukada. Adapun para pemangku kepentingan yang akan dilibatkan dalam
kegiatan ini adalah Partai Politik Peserta Pemilu, Calon anggota dewan
perwakilan daerah dan Penyelenggara Pemilu.
4. Tujuan
Untuk mengetahui sengketa pemilu atau pemilukada sehingga perlu adanya perbaikan agar
tidak terulang kembali pada saat pemilu yang akan datang sehingga tercipta pemilu yang
benar-benar demokrasi. Tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun. MK sekarang ini
berpengaruh terhadap efektifitas penyelesaian sengkete pemilukada, apa saja kendala yang
dihadapi dan rekomendasi apa yang dibutuhkan agar MK bisa berperan lebih baik di masa
yang akan datang. Melalui pendekatan desktriptif kualitatif penelitian ini menemukan bahwa
beberapa persoalan yang mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada di MK
adalah sifat Mahkamah Konstitusi yang sentralistik menimbulkan masalah access to justice
mengingat wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia yang sangat luas, jumlah hakim
yang hanya sembilan orang, waktu penyelesaian yang singkat serta perluasan kewenangan
MK melalui putusannya.
Pelanggaran dalam pemilu akan di sangsikan dan disidik oleh pihak yang berwajib
yang akan menindak lanjuti bawaslu/panwaslu dengan dasar buktu-bukti yang cukup kuat
kemudian dilimpahkan ke jkasa penuntut umum dan berakhir di lingkungan peradilan umum
dan diajukan banding ke pengadilan tinggi yang berwenang. Pelanggaran tidak hanya
pelanggaran yang bersifat politik tetapi juga ada pelanggaran yang admistrasi.
5. Pembahasan
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilukada (PHPU.D)
terdapat putusan-putusan yang kontroversial. MK dengan putusannya seolah-olah telah
memperluas kewenangannya yang semula hanya terkait perselisihan hasil “mathematical
count” saja tetapi juga dapat memeriksa proses-proses selama penyelenggaraan pemilukada.
MK beragumen bahwa “MK harus menegakkan keadilan dan demokrasi dalam proses
pemilukada, sehingga apabila dalam prosesnya terdapat pelanggaran yang telah mencederai
nilai demokrasi yang telah mempengaruhi hasil MK dapat memeriksa perkara.
Namun demikian tidak dipungkiri bahwa dalam kenyataan MK sangat berperan penting
dalam melaksanakan sengketa hasil pemilukada. MK telah meiliki prestasi dalam mendorong
pelaksanaan pemilukada yang demokratis. Disisi lain MK juga memiliki masalah yang dapat
mengganggu perannya sehingga tidak dapat berjalan secara efektif.
Dengan demikian sengketa pemilu terdapat tiga macam yaitu sengketa dalam proses
pemilu, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya. Berbeda dengan
Topo Santoso, Moh. Jamin menyebutkan bahwa sengketa pemilu dibagi menjadi dua yaitu
sengketa dalam proses pemilu yang selama ini menjadi wewenang Badan/Panitia Pengawas
Pemilu dan sengketaatau perselisihan hasil pemilu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008
menyebut secara eksplisit tiga macam masalah hukum pemilu, yaitu: pelanggaran
administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Disebutkan
dalam Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, bahwa pelanggaran administrasi
pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini yang bukan merupakan
ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalamperaturan KPU.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu mengatur secara tegas
sengketa yang terjadi diantara pihak-pihak. Ialah sengketa yang timbul dalam tahapan-
tahapan Pemilu. Sengketa itu bukan dikarenakan pelanggaran administratif maupun
pelanggaran pidana.
Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sengkata pemilu:
1. PenyelenggaraPemilu.
2. PartaipolitikpesertaPemilu, yaituDewanPimpinan Tingkat Nasional, DewanPimpinan
Tingkat Propinsi, DewanPimpinan Tingkat Kab/Kota, dst.
3. PesertaPemiluperseoranganuntukpemilihananggota DPD.
6. 4. Anggotadan/ataupenguruspartaipolitikpesertaPemilu.
5. Warga Negara yang memilikihakpilih.
6. PemantauPemilu.
Dengan demikian sengketa pemilu terdapat tiga macam yaitu sengketa dalam proses
pemilu, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya. Berbeda dengan
Topo Santoso, Moh. Jamin menyebutkan bahwa sengketa pemilu dibagi menjadi dua
yaitu sengketa dalam proses pemilu yang selama ini menjadi wewenang Badan/Panitia
Pengawas Pemilu dan sengketaatau perselisihan hasil pemilu Undang-Undang Nomor 10
tahun 2008 menyebut secara eksplisit tiga macam masalah hukum pemilu, yaitu:
pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu dan perselisihan hasil
pemilu.
Masalah hukum (pelanggaran dan sengketa) dalam pemilu secara umum terbagi
menjadi 6 yaitu:
1. Pelanggaran administrasi pemilu
2. Pelanggaran pidana pemilu
3. Pelanggaran kode etik penyelenggaraan
4. Sengketa dalam proses pemilu
5. Perselisihan hasil pemilu
6. Sengketa hukum lainnya
Dengan adanya permasalahan yang muncul dan disoroti oleh berbagai pihak antara
lain, masyarakat, partai politik, kesalahan teknis kecurangan, dll. Dengan kondisi ini MK
akan menyelesaikan gugatan yang hanya mempunyai waktu 30 hari. Agar tidak terjadi
penumpukan berkas kasus tentang pemilu di mahkamah konstitusi makatugas dari
mahkamah konstitusi adalah menguji undang-undang.
Sebenarnya permasalahan ini dapat diselesaikan di level panwaslu ataupun KPU
namun apabila tidak menui titik terang atau hasil dari sengketa maka berkas kasus dapat
diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- Undang.
Dengan harapan hasil keputusan tersebut dapat sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku, secara jujur, adil serta berkualitas, rakyat dan peserta Pemilu akan lapang dada
menerima dan menjalankannya.
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dimana secara tegas dijelaskan bahwa sengketa pemilukada telah
dialihkan dari MA ke MK. Kemudian, dalam perkembangannya penambahan kewenangan
7. itu justru mendatangkan ujian maha berat bagi MK. Apabila diletakkan dalam
kewenangan MK secara keseluruhan, terutama wewenang menguji undang-undang,
kewenangan baru MK dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada itu telah menggeser
volume kerja MK dari fungsi utamanya dalam pengujian undang-undang menjadibadan
peradilan yang lebih banyak menangani sengketa pemilukada.
Langkah yang diambil beberapa parpol dan calon legislatif untuk melakukan gugatan
sesuai dengan perundang-undangan yang mengajukan berkas masalah kepada mahkamah
konstitusi.dengan demikian adanya penyimpangan, pelanggaran, dan kesalahan yang
terjadi selama pemilu legislatif 2014. Jika bukti-bukti tersebut mengindikasikan
pelanggaran secara otomatis MK akan memutuskan umtuk melakukan pemungutan suara
ulang.
Instansi persidangan mengenai penanganan kasus pasca pemilu mengakibatkan
mahkamah konstitusi memiliki untuk segera menyelesaikan dalam waktu yang singkat.
Persidangan yang dilakukan dengan intensitas yang sering untuk mempercepat waktu yang
diberikan sangat pendek hal seperti ini akan menimbulkan ertanyaan dari sisi evektifitas
dan kualitas proses persidangan yang berujung terhadap kualitas pelayanan terhadap
pencari keadilan. Tidak dipungkiri bahwa tugas mahkamah konstitusi memiliki tugas yang
sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan tentang pemilu.
Masyarakat dan partai politik maupon calon legislatif pasti menginginkan keadilan
atas permasalahan yang terjadi salama pemilu berlangsung. Komisi pemilihan Indonesia
mencatat 85% lebih pemilukada berujung sengketa di MK berdasrkan pada fakta tersebut
MK muai terkikis lantaran seorang hakim MK mengelar siding empat sampai lima kali
dan bahkan bulan agustus 2010 melakukan sidang sebanyak 211 kali, yang berarti 1 hari
MK bersidang 11 kali.
Mahkamah konstitusi mampu memfasilitasi konflik politik yang merupakan hasil
pemilukada dengan membawanya dari konflik yang terjadi, yang bisa memicu konflik
horizontal antar pendukung ke gedung MK. Sampai saat ini pemilukada masih di amggap
the problems of local democracy, belum menjadi solusi bagi demokrasi local. Tidak heran
jika kalangan permistik berpendapat bahwa “pemilukada is a problem, not solution".
Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Pertama, sistem yang digunakan dalam pemilukada yang disebut two round
system, belum menjamin kompetisi yang fair dan nihil intervensi. Di sisi lain,
sistem ini menimbulkan fenomena “high cost democracy” atau demokrasi
berbiaya tinggi;
8. 2. Kedua, partai-partai politik yang menjadi aktor dalam pemilukada lebih
menonjolkan pragmatisme kepentingan dan belum memiliki preferensi politik
yang jelas, sehingga partai politik tersandera oleh kepentingan pemilik modal
dan bahkan partai hanya dijadikan “kuda tunggangan” oleh para kandidat. Prof.
Mahfud ketua MK RI juga berpendapat bahwa pemilukada juga mendorong
berjangkitnya moral pragmatisme, baik calon kepala daerah, penyelenggara
pemilukada, maupun masyarakat.
3. Ketiga, KPUD sebagai penyelenggara pemilukada memiliki banyak sekali
keterbatasan. Keterbatasan ini berhubungan dengan tiga hal yang sangat esensial
yaitu: (1) pemahaman terhadap regulasi; (2) kelembagaan penyelenggara
Pemilukada; (3) tata kelola pemilukada.;
4. Keempat, panwaslu pemilukada menjadi salah satu pilar yang ikut berkontribusi
membuat pemilukada menjadi tidak demokratis. Kasus kecurangan yang sering
terjadi dalam pemilukada tidak hanya menampar wajah demokrasi lokal, tetapi
juga mempertanyakan eksistensi panwaslu sebagai penjamin pemilukada
bergerak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi;
5. Kelima, pemilukada juga tengah menghadirkan fenomena penurunan partisipasi
pemilih dan kenaikan angka golongan putih (golput).
6. Keenam, beberapa kelemahan di tingkat penyelenggara pemilukada tersebut
juga mendorong terjadinya penumpukkan masalah yang akhirnya semuanya
ditumpukkan ke MK. Oleh karena itu, MK akhirnya tidak hanya memeriksa
sengketa hasil penghitungan suara, tapi lebih jauh masuk pada ranah proses
pelaksanaan pemilukada itu sendiri. Akibatnya, MK juga memeriksa sengketa
administrasi dan pelanggaran pidana yang terjadi sehingga sidang MK menjadi
panjang dan menguras tenaga.
penumpukkan perkara sengketa hasil
pemilukada di MK, disamping karena banyaknya jumlah pemilukada di Indonesia
yang dilaksanakan dalam lima tahun, yaitu 527 pemilukada propinsi dan
kabupaten/kota, juga karena tidak terjadwalnya pemilukada secara baik. Oleh karena
itu, faktor penjadwalan pemilukada sangat berpengaruh terhadap manajemen
penyelesaian sengketa hasil pemilukada secara keseluruhan.
9. Kesimpulan
Struktur , kewarganegaraan dan prosedur yang dimiliki MK saat ini mampu
menyelesaikan sengketa hasil pemilukada namun penyelesaian pemilukada tersebut berjalan
tidak efektif baik dari sisi manajemen kelembagaan MK maupun dari sisi para pihak
yang berperkara di MK. Tidak efektifnya penyelesaian sengketa hasil pemilukada oleh MK
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu pertama, aspek struktur kelembagaan MK yang
sentralistik (di Jakarta), jumlah hakim yang terbatas ( hanya sembilan orang), waktu
penyelesaian sengketa hasil pemilukada yang pendek (hanya 14 hari). Kedua, aspek jumlah
perkara sengketa hasil pemilukada yang sangat banyak dan luasnya geografis wilayah
Indonesia dengan karakteristik wilayah yang luas, memanjang dan berpulau-pulau.
Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi MK dalam penyelesaian sengketa hasil
pemilukada sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka ada beberapa rekomendasi
model penyelesaian sengketa pemilukada yang dapat dipertimbangkan oleh MK dan
pemangku kebijakan lainnya seperti DPR, pemerintah, bawaslu, KPUD, kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan