SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
1
KEEFEKTIVITAS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MEMUTUS SENGKETA PEMILU SECARA BERKWALITAS
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah umum pendidikan kwarganegaraan
Dosen pengampu : Natal Kristiono.,S.Pd.,M.H
Oleh :
Siti Nur Janah
6411413047
Rombel : 048
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
2
ABSTRACK
Penanganan sengketa pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, sejak dialihkan dari
Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup besar terhadap sembilan
hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi akibat banyaknya perkara yang masuk dan singkatnya
waktu penyelesaian yang menurut undang-undang hanya 14 hari kerja sehingga
memunculkan pertanyaan tentang efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Peneltian ini, yang merupakan penelitian hukum
doktrinal atau normatif, mengkaji tiga pertanyaan yakni apakah dengan struktur, prosedur dan
kewenangan yang dimiliki MK sekarang ini berpengaruh terhadap efektifitas
penyelesaian sengkete pemilukada, apa saja kendala yang dihadapi dan rekomendasi apa
yang dibutuhkan agar MK bisa berperan lebih baik di masa yang akan datang. Melalui
pendekatan desktriptif kualitatif penelitian ini menemukan bahwa beberapa persoalan
yang mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada di MK adalah sifat
Mahkamah Konstitusi yang sentralistik menimbulkan masalah access to justice mengingat
wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia yang sangat luas, jumlah hakim yang
hanya sembilan orang, waktu penyelesaian yang singkat serta perluasan kewenangan MK
melalui putusannya. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini sampai pada kesimpulan
bahwa penyelesaian sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi tidak berjalan
efektif. Untuk mengatasi permasalah tersebut, penelitian ini menghasilkan dua
rekomendasi yakni rekomendasi jangka pandek
Kata kunci : pengadilan konstitusi, perselisihan pemilihan umum
ABSTRACT
Settlement of local election dispute by the Constitutional Court, since the transfer of
the authority from the Supreme Court, causes workload pressure to the nine Justices
of the Court which rises the question concerning the effectiveness of the dispute
3
ettlement by the Court. This research found that several factors that causes the
ineffectiveness are the sentralistic nature of the Court which causes the problem of access
to justice considering the Indonesian geographic condition, the short time range for
settling the dispute, the limited number of justices and the extension of the Court’s
auhtority. Based on the findings the research concluded that the settlement of ocal election
dispute at the Constitutional Court is not effective. To solve this, two recommendations are
offered. First, limiting the authority of the Court to settle only the dispute on the election
result. Second, adding the number of current justices with ad hoc local election justices.
Keywords: Constitutional Court, Local Election Dispute.
PEMBAHASAN
Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama
dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi
yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu,
lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebaga negara demokrasi mentradisikan
Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di
pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis saling merupakan “qonditio
sine qua non”,the one can not exist without the others.
1. Pemahaman tentang sengketa Pemilu
Kata sengketa pemilu” sebagai salah satu objek yang dianalisa. Untuk itu perlu
dipahami mengenai konsep dan definisi “sengketa pemilu” itu sendiri.Kata sengketa pemilu
apabila dilihat secara etimologis dapat dilihat dari istilah sengketa (dispute). Sengketa
tersebut merupakan implikasi dari timbulnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
pemilu. Hasil penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA)
4
mendefinisikan electoral dispute yaitu “any complaint, challenge, claim or contest relating to
any stage of electoral process.” Dari pengertian ini, cakupan electoral dispute pada dasarnya
memang luas dan meliputi semua tahapan pemilihan umum
Masalah hukum (pelanggaran dan sengketa) dalam pemilu menurut Topo Santoso secara
umum dapat dibagi menjadi 6 (enam) bentuk, yang terdiri dari:
1. Pelangaran Administrasi Pemilu;
2. Pelanggaran Pidana Pemilu;
3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara;
4. Sengketa dalam proses pemilu;
5. Perselisihan hasil Pemilu;
6. Sengketa hukum lainnya.
Dengan demikian sengketa pemilu terdapat tiga macam yaitu sengketa dalam proses
pemilu, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya. Berbeda dengan
Topo Santoso, Moh. Jamin menyebutkan bahwa sengketa pemilu dibagi menjadi dua yaitu
sengketa dalam proses pemilu yang selama ini menjadi wewenang Badan/Panitia Pengawas
Pemilu dan sengketa atau perselisihan hasil pemilu, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008
menyebut secara eksplisit tiga macam masalah hukum pemilu, yaitu: pelanggaran
administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Disebutkan
dalam Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, bahwa pelanggaran administrasi
pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini yang bukan merupakan
ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.
Sebagai contoh pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Pemilu yang bersifat
administratif adalah dalam kampanye tidak boleh melibatkan anak-anak. Sedangkan contoh
pelanggaran administrasi yang merupakan pelanggaran peraturan KPU adalah pemasangan
alat peraga partai politik tertentu tidak boleh menghalangi alat peraga partai politik lainnya.
5
Pelanggaran administrasi ini menjadi wewenang KPU/KPU Daerah untuk mengambil
tindakan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelanggaran administrasi perlu ada pelimpahan dari
Bawaslu/ Panwaslu.
Pelanggaran tindak pidana pemilu hasil temuan Bawaslu/Panwaslu maupun hasil
laporan dari pelapor apabila memenuhi unsur-unsur pidana pemilu disertai bukti-bukti yang
cukup perlu segera diteruskan oleh Bawaslu/ Panwaslu kepada Penyidik Polri untuk segera
ditindaklanjuti. Oleh penyidik Polri diteruskan kepada Jaksa Penuntut Umum dan berakhir di
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Putusan pengadilan yang dirasakan oleh
terpidana atau oleh Jaksa sebagai putusan yang tidak memuaskan maka dapat diajukan
banding ke pengadilan tinggi yang berwenang. Perlu diketahui bahwa putusan banding
terhadap tindak pidana pemilu merupakan putusan yang terakhir dan mengikat serta tidak
ada upaya hukum lain (Pasal 255 ayat (5) UU Pemilu). Sebagai contoh pelanggaran tindak
pidana pemilu adalah Ketua Rukun Tetangga di suatu kampung, yang dengan sengaja
melarang seorang warganya untuk didaftar sebagai pemilih oleh petugas pendaftar, dengan
alasan yang tidak jelas. Maka ketua RT tersebut melanggar Pasal 260 UU Pemilu,dan
diancam dengan penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling
banyak Rp 24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah).Undang-Undang Nomor 12 tahun
2003 tentang Pemilu mengatur secara tegas sengketa yang terjadi diantara pihakpihak. Ialah
sengketa yang timbul dalam tahapan-tahapan Pemilu. Sengketa itu bukan dikarenakan
pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana. Sebagai contoh adalah ada seseorang
yang memasang alat peraga partai politik tertentu, tanpa ijin pemilik pekarangan. Pemilik
pekarangan tidak menerima kejadian itu dan melaporkan kepada Panwaslu. Maka Panwaslu
diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk menyelesaikan sengketa yang demikian itu.
Dengan cara memanggil pihak-pihak yang bersengketa untuk dipertemukan,diajak
6
musyawarah untuk penyelesaian sengketa tersebut. Namun apabila tidak didapat
kesepahaman antara dua pihak yang bersengketa, maka Panwaslu menawarkan alternatif
untuk penyelesaian sengketa. Namun apabila penawaran alternatif yang diberikan oleh
Panwaslu tidak diterima oleh kedua belah pihak maka panwslu membuat keputusan fi nal
dan mengikat (Pasal 129 UU Pemilu 12/2003). Ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam
Undang-undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008 yang dijadikan dasar hukum penyelenggaraan
Pemilu 2009.
2. Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
Kewenangan terkait memutus perselisihan hasil pemilu oleh MK semula hanya
merupakan pemilihan umum presiden, DPR, DPRD, dan DPD. Namun dalam
perkembangannya kewenangan tersebut bertambah dengan memutus perselisihan hasil
pemilukada. Pengertian “pilkada” diubah menjadi “pemilukada” berdasarkan
UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.Dalam putusan
Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilukada (PHPU.D) terdapat putusan-
putusan yang kontroversial. MK dengan putusannya seolah-olah telah memperluas
kewenangannya yang semula hanya terkait perselisihan hasil “mathematical count” saja
tetapi juga dapat memeriksa proses-proses selama penyelenggaraan pemilukada.MK
beragumen bahwa “MK harus menegakkan keadilan dan demokrasi dalam proses
pemilukada, sehingga apabila dalam prosesnya terdapat pelanggaran yang telah mencederai
nilai demokrasi yang telah mempengaruhi hasil MK dapat memeriksa perkara”.
Dalam kenyataannya, dengan melihat volume jumlah perkara yang ada,
Mahkamah Konstitusi cenderung akhirnya menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election
Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu yang ditangani lebih banyak volumenya
dibandingkan pengujian undang-undang (Judicial Review) yang merupakan kewenangan
utama sebuah Mahkamah Konstitusi. Kewenangan baru ini ternyata juga mengubah irama
7
kehidupan dan suasana kerja di MK. Para hakim konstitusi maupun pegawai MK pada bulan
tertentu harus bekerja ekstra keras dan dalam durasi waktu yang panjang untuk
menyelesaikan sengketa pemilukada yang masuk ke MK. Dalam waktu tertentu, sidang
sengketa pemilukada bahkan dilaksanakan dari pagi pukul 09.00 sampai malam hari
pukul 23.00 WIB. Apabila, sebelumnya di MK hanya ada dua persidangan dalam sehari,
sekarang ini jumlah persidangan bisa mencapai lima kali. Kemudian dengan banyaknya
perkara sengketa pemilukada yang harus diselesaikan sembilan hakim MK dalam waktu 14
hari tersebut, maka dikhawatirkan bisa mempengaruhi kualitas putusan MK terhadap
sengketa tersebut dan mengurangi kualitas putusan MK dalam menangani perkara
sengketa hasil pemilukada dan mengganggu peran MK dalam memutus permohonan
judicial review yang sejatinya merupakan domain utama kewenangannya.
Dasar yuridis lainnya adalah UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana secara tegas dijelaskan bahwa
sengketa pemilukada telah dialihkan dari MA ke MK. Kemudian, dalam
perkembangannya penambahan kewenangan itu justru mendatangkan ujian maha berat
bagi MK. Apabila diletakkan dalam kewenangan MK secara keseluruhan, terutama
wewenang menguji undang-undang, kewenangan baru MK dalam penyelesaian sengketa
hasil pemilukada itu telah menggeser volume kerja MK dari fungsi utamanya dalam
pengujian undang-undang menjadi badan peradilan yang lebih banyak menangani sengketa
pemilukada. Dengan kata lain, MK bergeser dari Constitutional Court menjadi seolah-olah
Election Court karena lebih banyak menangani perkara sengketa pemilukada daripada
pengujian undang-undang.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya MK
berperan penting dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada. MK mampu
memfasilitasi konflik politik yang merupakan hasil pemilukada dengan membawanya
8
dari konflik yang terjadi, yang bisa memicu konflik horizontal antar pendukung ke gedung
MK. Di tingkat tertentu MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan
pemilukada yang demokratis. Akan tetapi, dalam titik tertentu, MK juga memiliki masalah
yang mengganggu perannya sehingga tidak berjalan secara efektif.
Setidaknya, sampai dengan saat ini, pemilukada masih dianggap sebagai the problems
of local democracy, belum menjadi solusi bagi demokrasi lokal. Tidak heran jika kalangan
pesimistik berpendapat bahwa “pemilukada is a problem, not solution.” Hal ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain:
a. Pertama, sistem yang digunakan dalam pemilukada yang disebut two round
system, belum menjamin kompetisi yang fair dan nihil intervensi. Di sisi lain, sistem
ini menimbulkan fenomena “high cost democracy” atau demokrasi berbiaya tinggi;
b. Kedua, partai-partai politik yang menjadi aktor dalam pemilukada lebih
menonjolkan pragmatisme kepentingan dan belum memiliki preferensi politik
yang jelas, sehingga partai politik tersandera oleh kepentingan pemilik modal
dan bahkan partai hanya dijadikan “kuda tunggangan” oleh para kandidat. Prof.
Mahfud ketua MK RI juga berpendapat bahwa pemilukada juga mendorong
berjangkitnya moral pragmatisme, baik calon kepala daerah, penyelenggara
pemilukada, maupun masyarakat
c. Ketiga, KPUD sebagai penyelenggara pemilukada memiliki banyak sekali
keterbatasan. Keterbatasan ini berhubungan dengan tiga hal yang sangat esensial
yaitu: (1) pemahaman terhadap regulasi;
(2) kelembagaan penyelenggaraPemilukada;
(3) tata kelola pemilukada.;
d. Keempat, panwaslu pemilukada menjadi salah satu pilar yang ikut berkontribusi
membuat pemilukada menjadi tidak demokratis. Kasus kecurangan yang sering terjadi
9
dalam pemilukada tidak hanya menampar wajah demokrasi lokal, tetapi juga
mempertanyakan eksistensi panwaslu sebagai penjamin pemilukada bergerak
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi;
e. Kelima, pemilukada juga tengah menghadirkan fenomena penurunan partisipasi
pemilih dan kenaikan angka golongan putih (golput)
f. Keenam, beberapa kelemahan di tingkat penyelenggara pemilukada tersebut juga
mendorong terjadinya penumpukkan masalah yang akhirnya semuanya
ditumpukkan ke MK. Oleh karena itu, MK akhirnya tidak hanya memeriksa
sengketa hasil penghitungan suara, tapi lebih jauh masuk pada ranah proses
pelaksanaan pemilukada itu sendiri. Akibatnya, MK juga memeriksa sengketa
administrasi dan pelanggaran pidana yang terjadi sehingga sidang MK menjadi
panjang dan menguras tenaga.
Dasar hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
1. UUD 1945, Pasal 24 C ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum”;
2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (1) huruf d “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat fi nal
3. untuk a, …, b, …., c, …, d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
4. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008. Pasal 258 ayat (1) “Perselisihan hasil Pemilu
adalah perselisihan antara KPU dan Peserta pemilu mengenai penetapan perolehan
suara hasil pemilu secara nasional. Ayat (2) Perselisihan penetapan perolehan suara
10
hasil pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan Pemilu
mengenai penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi
Peserta Pemilu. Pasal 259 ayat (1) hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara
hasil pemilu secara nasional,Peserta pemilu dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada
Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 x 24 (tiga
5. kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional oleh KPU. Ayat (3) KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota wajib
14 menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi;
6. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu Presiden. Pasal 201 ayat (1)
“Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan
keberatan hanya oleh pasangan calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu
paling lama 3 ( tiga ) hari setelah penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden
oleh KPU. Ayat (2) Keberatan sebagaimana dimaksud oleh ayat (1) hanya terhadap
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan Pasangan Calon atau
penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
7. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236 C “Penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-undang ini diundangkan”.
3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu
Mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum atau Electoral Dispute Resolution
(EDR) dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui jalur formal dan informal. Artinya,
11
EDR dapat berupa jalur prosedural yaitu melalui pengadilan atau semacam komisi bentukan
khusus menangani masalah pemilihan umum atau melalui negosiasi. Mekanisme formal atau
yang bersifat prosedural sebenarnya sangat penting dilakukan guna menjamin penyelesaian
atas kendalakendala yang potensial terjadi selama proses pemilu agar tetap tertangani sampai
upaya terakhir. Setidaknya, terdapat lima mekanisme penegakan hukum untuk penyelesaian
sengketa pemilu, yaitu
1) Pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu dengan kemungkinan mengajukan
banding ke institusi yang lebih tinggi;
2) Pengadilan atau hakim khusus pemilu untuk menangani keberatan pemilu;
3) Pengadilan umum yang menangani keberatan dengan kemungkinan dapat diajukan
banding ke institusi yang lebih tinggi;
4) Penyelesaian masalah pemilu diserahkan ke pengadilan konstitusional dan/atau
peradilan konstitusional; dan
5) Penyelesaian masalah pemilihan oleh pengadilan
Adapun mekanisme tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1.1.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu
NO Sistem Penyelesaian Perselisihan Negara
1. Pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu dengan
kemungkinan untuk mengajukan banding ke institusi
yang lebih tinggi
Filipina (Comelec yang
bisa mengajukan banding
ke Pengadilan Tinggi)
2. Pengadilan atau hakim Khusus untuk menangani
keberatan dalam pemilu
Malaysia, Singapura dan
Filipina
3. Proses pengadilan umum terhadap pemilihan dapat
mengajukan permohonan ke institusi yang lebih tinggi
4. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu diserahkan ke
pengadilan konstitusional
Indonesia
5. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh pengadilan
tinggi
Filipina
12
DAFTAR PUSTAKA
-http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/1
upload.pdf-Penelitian%20Efektifitas
onstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/pdf/ejurnal_Jhttp://www.mahkamahk
%20April.pdf-k%20edis%201
/ejurnal/pdf/ejurnal_Septhttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum
ember.pdf
Jurnhttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/pdf/ejurnal_
al%20Konstitusi%20UNS%20Vol%202%20no%201.

More Related Content

What's hot

judicial appointment
judicial appointmentjudicial appointment
judicial appointmenthaikal kasyfi
 
Hak uji materil ke mahkamah agung ri
Hak uji materil ke mahkamah agung riHak uji materil ke mahkamah agung ri
Hak uji materil ke mahkamah agung riEri Triwanda
 
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan BersihCatatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan BersihPeople Power
 
Mencermati Sistem Lembaga Peradilan di Indonesia
Mencermati Sistem Lembaga Peradilan di IndonesiaMencermati Sistem Lembaga Peradilan di Indonesia
Mencermati Sistem Lembaga Peradilan di IndonesiaMuhamad Yogi
 
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluRefleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluAhsanul Minan
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015ekho109
 
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...Yanels Garsione
 
LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIALEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIAShauqina Saraya
 
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasional
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasionalWewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasional
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasionalAritonang Toba Muara
 
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah KonstitusiLatar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah KonstitusiLestari Moerdijat
 
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannyaUndang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannyaDollyFriendky
 
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIASUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIAAldy Arfan Nugraha
 
Pn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.doc
Pn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.docPn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.doc
Pn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.docFajar Pratama
 

What's hot (18)

judicial appointment
judicial appointmentjudicial appointment
judicial appointment
 
Hak uji materil ke mahkamah agung ri
Hak uji materil ke mahkamah agung riHak uji materil ke mahkamah agung ri
Hak uji materil ke mahkamah agung ri
 
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan BersihCatatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
 
Mencermati Sistem Lembaga Peradilan di Indonesia
Mencermati Sistem Lembaga Peradilan di IndonesiaMencermati Sistem Lembaga Peradilan di Indonesia
Mencermati Sistem Lembaga Peradilan di Indonesia
 
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluRefleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
 
Skripsi
SkripsiSkripsi
Skripsi
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
 
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
 
Sistem Pemilu 2014
Sistem Pemilu 2014Sistem Pemilu 2014
Sistem Pemilu 2014
 
Uu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 PjlsUu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 Pjls
 
LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIALEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
 
Ringkasan Eksekutif KIP MaPPI
Ringkasan Eksekutif KIP MaPPIRingkasan Eksekutif KIP MaPPI
Ringkasan Eksekutif KIP MaPPI
 
anything
anythinganything
anything
 
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasional
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasionalWewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasional
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasional
 
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah KonstitusiLatar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
 
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannyaUndang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
 
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIASUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
 
Pn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.doc
Pn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.docPn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.doc
Pn jkt.sel 2018_pid.pra_24_putusan_anonimisasi.doc
 

Viewers also liked

Tugas paper adm perpajakan orang
Tugas paper adm perpajakan orangTugas paper adm perpajakan orang
Tugas paper adm perpajakan orangdwiparamadanu
 
Paper pendidikan kewarganegaraan
Paper pendidikan kewarganegaraanPaper pendidikan kewarganegaraan
Paper pendidikan kewarganegaraannatal kristiono
 
Paper Psikologi Umum, *Ilmu Kepribadian
Paper Psikologi Umum, *Ilmu KepribadianPaper Psikologi Umum, *Ilmu Kepribadian
Paper Psikologi Umum, *Ilmu KepribadianMitha Ye Es
 
Paper mkti kelompok 3 final
Paper mkti  kelompok 3 finalPaper mkti  kelompok 3 final
Paper mkti kelompok 3 finalIndah Sari
 
Tugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,Inc
Tugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,IncTugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,Inc
Tugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,IncRoesdaniel Ibrahim, ST. CHt.
 

Viewers also liked (8)

Tugas paper terbaru
Tugas paper  terbaruTugas paper  terbaru
Tugas paper terbaru
 
Tugas paper adm perpajakan orang
Tugas paper adm perpajakan orangTugas paper adm perpajakan orang
Tugas paper adm perpajakan orang
 
Paper pancasila
Paper pancasilaPaper pancasila
Paper pancasila
 
Paper pendidikan kewarganegaraan
Paper pendidikan kewarganegaraanPaper pendidikan kewarganegaraan
Paper pendidikan kewarganegaraan
 
Paper Psikologi Umum, *Ilmu Kepribadian
Paper Psikologi Umum, *Ilmu KepribadianPaper Psikologi Umum, *Ilmu Kepribadian
Paper Psikologi Umum, *Ilmu Kepribadian
 
Paper mkti kelompok 3 final
Paper mkti  kelompok 3 finalPaper mkti  kelompok 3 final
Paper mkti kelompok 3 final
 
Paper
PaperPaper
Paper
 
Tugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,Inc
Tugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,IncTugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,Inc
Tugas Paper Manajemen Pemasaran : Studi Kasus Nike,Inc
 

Similar to Jannah 6411413047 tugas paper

MEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdf
MEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdfMEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdf
MEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdfNelsonSimanjuntak1
 
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxADITHYA ERLANGGA
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyKendy Puspita
 
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeTransparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeAhsanul Minan
 
tugas 10 iis mardiana firjayanti
tugas 10 iis mardiana firjayantitugas 10 iis mardiana firjayanti
tugas 10 iis mardiana firjayantiIisMardiana
 
Menghambat laju judicial terorism pada putusan
Menghambat laju judicial terorism pada putusanMenghambat laju judicial terorism pada putusan
Menghambat laju judicial terorism pada putusanEsdeempat Kandangmas
 
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDPenguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDTri Widodo W. UTOMO
 
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptxMK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptxdnsstore
 
melisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JND
melisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JNDmelisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JND
melisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JND04JusufObajaArchened
 
Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)
Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)
Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)Nunik Nurhayati
 
Kekuasaan yudikatif
Kekuasaan yudikatifKekuasaan yudikatif
Kekuasaan yudikatifnandasyifaf
 
PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .ppt
PRINSIP-PRINSIP  HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .pptPRINSIP-PRINSIP  HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .ppt
PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .pptWahyuNurRohman4
 

Similar to Jannah 6411413047 tugas paper (20)

UNSIKA SEMINAR 26NOV22.pptx
UNSIKA SEMINAR 26NOV22.pptxUNSIKA SEMINAR 26NOV22.pptx
UNSIKA SEMINAR 26NOV22.pptx
 
MEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdf
MEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdfMEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdf
MEMAHAMI TUGAS PENGAWAS PEMILU.pdf
 
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
 
6 suparman marzuki
6 suparman marzuki6 suparman marzuki
6 suparman marzuki
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
 
Perbandingan HTN
Perbandingan HTNPerbandingan HTN
Perbandingan HTN
 
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeTransparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
 
30 syahla aqila
30 syahla aqila30 syahla aqila
30 syahla aqila
 
3.-abdul-waid-revisi-reviewed.pdf
3.-abdul-waid-revisi-reviewed.pdf3.-abdul-waid-revisi-reviewed.pdf
3.-abdul-waid-revisi-reviewed.pdf
 
tugas 10 iis mardiana firjayanti
tugas 10 iis mardiana firjayantitugas 10 iis mardiana firjayanti
tugas 10 iis mardiana firjayanti
 
Menghambat laju judicial terorism pada putusan
Menghambat laju judicial terorism pada putusanMenghambat laju judicial terorism pada putusan
Menghambat laju judicial terorism pada putusan
 
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDPenguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
 
Ki impeachment
Ki impeachmentKi impeachment
Ki impeachment
 
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptxMK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
 
melisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JND
melisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JNDmelisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JND
melisafd,+309-329+Donal.pdfkjncADJCl;JND
 
PELANGGARAN-PEMILU.pptx
PELANGGARAN-PEMILU.pptxPELANGGARAN-PEMILU.pptx
PELANGGARAN-PEMILU.pptx
 
Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)
Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)
Peninjauan kembali pasal 97 ayat (8)
 
Kekuasaan yudikatif
Kekuasaan yudikatifKekuasaan yudikatif
Kekuasaan yudikatif
 
PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .ppt
PRINSIP-PRINSIP  HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .pptPRINSIP-PRINSIP  HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .ppt
PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI .ppt
 
Nur Sania Dasopang
Nur Sania DasopangNur Sania Dasopang
Nur Sania Dasopang
 

More from natal kristiono (20)

Natal kristiono hukum pajak materi pph_21_dan_26_new
Natal kristiono hukum pajak  materi pph_21_dan_26_newNatal kristiono hukum pajak  materi pph_21_dan_26_new
Natal kristiono hukum pajak materi pph_21_dan_26_new
 
Materi hukum pajak pajak daerah
Materi hukum pajak  pajak daerahMateri hukum pajak  pajak daerah
Materi hukum pajak pajak daerah
 
Materi hukum pajak " pajak daerah"
Materi hukum pajak " pajak daerah"Materi hukum pajak " pajak daerah"
Materi hukum pajak " pajak daerah"
 
Tugas pkn iqbale
Tugas pkn iqbaleTugas pkn iqbale
Tugas pkn iqbale
 
Pkn zaskia
Pkn zaskiaPkn zaskia
Pkn zaskia
 
Bab xiv
Bab xivBab xiv
Bab xiv
 
Bab xiii
Bab xiiiBab xiii
Bab xiii
 
Bab xii
Bab xiiBab xii
Bab xii
 
Bab xi
Bab xiBab xi
Bab xi
 
Bab x
Bab xBab x
Bab x
 
Bab viii
Bab viiiBab viii
Bab viii
 
Bab vii
Bab viiBab vii
Bab vii
 
Bab vi
Bab viBab vi
Bab vi
 
Bab v
Bab vBab v
Bab v
 
Bab ix
Bab ixBab ix
Bab ix
 
Bab iv
Bab ivBab iv
Bab iv
 
Bab iii
Bab iiiBab iii
Bab iii
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Babi 5~1
Babi 5~1Babi 5~1
Babi 5~1
 

Jannah 6411413047 tugas paper

  • 1. 1 KEEFEKTIVITAS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA PEMILU SECARA BERKWALITAS Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah umum pendidikan kwarganegaraan Dosen pengampu : Natal Kristiono.,S.Pd.,M.H Oleh : Siti Nur Janah 6411413047 Rombel : 048 UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014
  • 2. 2 ABSTRACK Penanganan sengketa pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, sejak dialihkan dari Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup besar terhadap sembilan hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi akibat banyaknya perkara yang masuk dan singkatnya waktu penyelesaian yang menurut undang-undang hanya 14 hari kerja sehingga memunculkan pertanyaan tentang efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Peneltian ini, yang merupakan penelitian hukum doktrinal atau normatif, mengkaji tiga pertanyaan yakni apakah dengan struktur, prosedur dan kewenangan yang dimiliki MK sekarang ini berpengaruh terhadap efektifitas penyelesaian sengkete pemilukada, apa saja kendala yang dihadapi dan rekomendasi apa yang dibutuhkan agar MK bisa berperan lebih baik di masa yang akan datang. Melalui pendekatan desktriptif kualitatif penelitian ini menemukan bahwa beberapa persoalan yang mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada di MK adalah sifat Mahkamah Konstitusi yang sentralistik menimbulkan masalah access to justice mengingat wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia yang sangat luas, jumlah hakim yang hanya sembilan orang, waktu penyelesaian yang singkat serta perluasan kewenangan MK melalui putusannya. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi tidak berjalan efektif. Untuk mengatasi permasalah tersebut, penelitian ini menghasilkan dua rekomendasi yakni rekomendasi jangka pandek Kata kunci : pengadilan konstitusi, perselisihan pemilihan umum ABSTRACT Settlement of local election dispute by the Constitutional Court, since the transfer of the authority from the Supreme Court, causes workload pressure to the nine Justices of the Court which rises the question concerning the effectiveness of the dispute
  • 3. 3 ettlement by the Court. This research found that several factors that causes the ineffectiveness are the sentralistic nature of the Court which causes the problem of access to justice considering the Indonesian geographic condition, the short time range for settling the dispute, the limited number of justices and the extension of the Court’s auhtority. Based on the findings the research concluded that the settlement of ocal election dispute at the Constitutional Court is not effective. To solve this, two recommendations are offered. First, limiting the authority of the Court to settle only the dispute on the election result. Second, adding the number of current justices with ad hoc local election justices. Keywords: Constitutional Court, Local Election Dispute. PEMBAHASAN Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebaga negara demokrasi mentradisikan Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis saling merupakan “qonditio sine qua non”,the one can not exist without the others. 1. Pemahaman tentang sengketa Pemilu Kata sengketa pemilu” sebagai salah satu objek yang dianalisa. Untuk itu perlu dipahami mengenai konsep dan definisi “sengketa pemilu” itu sendiri.Kata sengketa pemilu apabila dilihat secara etimologis dapat dilihat dari istilah sengketa (dispute). Sengketa tersebut merupakan implikasi dari timbulnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilu. Hasil penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA)
  • 4. 4 mendefinisikan electoral dispute yaitu “any complaint, challenge, claim or contest relating to any stage of electoral process.” Dari pengertian ini, cakupan electoral dispute pada dasarnya memang luas dan meliputi semua tahapan pemilihan umum Masalah hukum (pelanggaran dan sengketa) dalam pemilu menurut Topo Santoso secara umum dapat dibagi menjadi 6 (enam) bentuk, yang terdiri dari: 1. Pelangaran Administrasi Pemilu; 2. Pelanggaran Pidana Pemilu; 3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara; 4. Sengketa dalam proses pemilu; 5. Perselisihan hasil Pemilu; 6. Sengketa hukum lainnya. Dengan demikian sengketa pemilu terdapat tiga macam yaitu sengketa dalam proses pemilu, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya. Berbeda dengan Topo Santoso, Moh. Jamin menyebutkan bahwa sengketa pemilu dibagi menjadi dua yaitu sengketa dalam proses pemilu yang selama ini menjadi wewenang Badan/Panitia Pengawas Pemilu dan sengketa atau perselisihan hasil pemilu, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 menyebut secara eksplisit tiga macam masalah hukum pemilu, yaitu: pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Disebutkan dalam Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, bahwa pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU. Sebagai contoh pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Pemilu yang bersifat administratif adalah dalam kampanye tidak boleh melibatkan anak-anak. Sedangkan contoh pelanggaran administrasi yang merupakan pelanggaran peraturan KPU adalah pemasangan alat peraga partai politik tertentu tidak boleh menghalangi alat peraga partai politik lainnya.
  • 5. 5 Pelanggaran administrasi ini menjadi wewenang KPU/KPU Daerah untuk mengambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelanggaran administrasi perlu ada pelimpahan dari Bawaslu/ Panwaslu. Pelanggaran tindak pidana pemilu hasil temuan Bawaslu/Panwaslu maupun hasil laporan dari pelapor apabila memenuhi unsur-unsur pidana pemilu disertai bukti-bukti yang cukup perlu segera diteruskan oleh Bawaslu/ Panwaslu kepada Penyidik Polri untuk segera ditindaklanjuti. Oleh penyidik Polri diteruskan kepada Jaksa Penuntut Umum dan berakhir di Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Putusan pengadilan yang dirasakan oleh terpidana atau oleh Jaksa sebagai putusan yang tidak memuaskan maka dapat diajukan banding ke pengadilan tinggi yang berwenang. Perlu diketahui bahwa putusan banding terhadap tindak pidana pemilu merupakan putusan yang terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain (Pasal 255 ayat (5) UU Pemilu). Sebagai contoh pelanggaran tindak pidana pemilu adalah Ketua Rukun Tetangga di suatu kampung, yang dengan sengaja melarang seorang warganya untuk didaftar sebagai pemilih oleh petugas pendaftar, dengan alasan yang tidak jelas. Maka ketua RT tersebut melanggar Pasal 260 UU Pemilu,dan diancam dengan penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah).Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu mengatur secara tegas sengketa yang terjadi diantara pihakpihak. Ialah sengketa yang timbul dalam tahapan-tahapan Pemilu. Sengketa itu bukan dikarenakan pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana. Sebagai contoh adalah ada seseorang yang memasang alat peraga partai politik tertentu, tanpa ijin pemilik pekarangan. Pemilik pekarangan tidak menerima kejadian itu dan melaporkan kepada Panwaslu. Maka Panwaslu diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk menyelesaikan sengketa yang demikian itu. Dengan cara memanggil pihak-pihak yang bersengketa untuk dipertemukan,diajak
  • 6. 6 musyawarah untuk penyelesaian sengketa tersebut. Namun apabila tidak didapat kesepahaman antara dua pihak yang bersengketa, maka Panwaslu menawarkan alternatif untuk penyelesaian sengketa. Namun apabila penawaran alternatif yang diberikan oleh Panwaslu tidak diterima oleh kedua belah pihak maka panwslu membuat keputusan fi nal dan mengikat (Pasal 129 UU Pemilu 12/2003). Ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam Undang-undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008 yang dijadikan dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2009. 2. Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Kewenangan terkait memutus perselisihan hasil pemilu oleh MK semula hanya merupakan pemilihan umum presiden, DPR, DPRD, dan DPD. Namun dalam perkembangannya kewenangan tersebut bertambah dengan memutus perselisihan hasil pemilukada. Pengertian “pilkada” diubah menjadi “pemilukada” berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilukada (PHPU.D) terdapat putusan- putusan yang kontroversial. MK dengan putusannya seolah-olah telah memperluas kewenangannya yang semula hanya terkait perselisihan hasil “mathematical count” saja tetapi juga dapat memeriksa proses-proses selama penyelenggaraan pemilukada.MK beragumen bahwa “MK harus menegakkan keadilan dan demokrasi dalam proses pemilukada, sehingga apabila dalam prosesnya terdapat pelanggaran yang telah mencederai nilai demokrasi yang telah mempengaruhi hasil MK dapat memeriksa perkara”. Dalam kenyataannya, dengan melihat volume jumlah perkara yang ada, Mahkamah Konstitusi cenderung akhirnya menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu yang ditangani lebih banyak volumenya dibandingkan pengujian undang-undang (Judicial Review) yang merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah Konstitusi. Kewenangan baru ini ternyata juga mengubah irama
  • 7. 7 kehidupan dan suasana kerja di MK. Para hakim konstitusi maupun pegawai MK pada bulan tertentu harus bekerja ekstra keras dan dalam durasi waktu yang panjang untuk menyelesaikan sengketa pemilukada yang masuk ke MK. Dalam waktu tertentu, sidang sengketa pemilukada bahkan dilaksanakan dari pagi pukul 09.00 sampai malam hari pukul 23.00 WIB. Apabila, sebelumnya di MK hanya ada dua persidangan dalam sehari, sekarang ini jumlah persidangan bisa mencapai lima kali. Kemudian dengan banyaknya perkara sengketa pemilukada yang harus diselesaikan sembilan hakim MK dalam waktu 14 hari tersebut, maka dikhawatirkan bisa mempengaruhi kualitas putusan MK terhadap sengketa tersebut dan mengurangi kualitas putusan MK dalam menangani perkara sengketa hasil pemilukada dan mengganggu peran MK dalam memutus permohonan judicial review yang sejatinya merupakan domain utama kewenangannya. Dasar yuridis lainnya adalah UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana secara tegas dijelaskan bahwa sengketa pemilukada telah dialihkan dari MA ke MK. Kemudian, dalam perkembangannya penambahan kewenangan itu justru mendatangkan ujian maha berat bagi MK. Apabila diletakkan dalam kewenangan MK secara keseluruhan, terutama wewenang menguji undang-undang, kewenangan baru MK dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada itu telah menggeser volume kerja MK dari fungsi utamanya dalam pengujian undang-undang menjadi badan peradilan yang lebih banyak menangani sengketa pemilukada. Dengan kata lain, MK bergeser dari Constitutional Court menjadi seolah-olah Election Court karena lebih banyak menangani perkara sengketa pemilukada daripada pengujian undang-undang. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya MK berperan penting dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada. MK mampu memfasilitasi konflik politik yang merupakan hasil pemilukada dengan membawanya
  • 8. 8 dari konflik yang terjadi, yang bisa memicu konflik horizontal antar pendukung ke gedung MK. Di tingkat tertentu MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan pemilukada yang demokratis. Akan tetapi, dalam titik tertentu, MK juga memiliki masalah yang mengganggu perannya sehingga tidak berjalan secara efektif. Setidaknya, sampai dengan saat ini, pemilukada masih dianggap sebagai the problems of local democracy, belum menjadi solusi bagi demokrasi lokal. Tidak heran jika kalangan pesimistik berpendapat bahwa “pemilukada is a problem, not solution.” Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: a. Pertama, sistem yang digunakan dalam pemilukada yang disebut two round system, belum menjamin kompetisi yang fair dan nihil intervensi. Di sisi lain, sistem ini menimbulkan fenomena “high cost democracy” atau demokrasi berbiaya tinggi; b. Kedua, partai-partai politik yang menjadi aktor dalam pemilukada lebih menonjolkan pragmatisme kepentingan dan belum memiliki preferensi politik yang jelas, sehingga partai politik tersandera oleh kepentingan pemilik modal dan bahkan partai hanya dijadikan “kuda tunggangan” oleh para kandidat. Prof. Mahfud ketua MK RI juga berpendapat bahwa pemilukada juga mendorong berjangkitnya moral pragmatisme, baik calon kepala daerah, penyelenggara pemilukada, maupun masyarakat c. Ketiga, KPUD sebagai penyelenggara pemilukada memiliki banyak sekali keterbatasan. Keterbatasan ini berhubungan dengan tiga hal yang sangat esensial yaitu: (1) pemahaman terhadap regulasi; (2) kelembagaan penyelenggaraPemilukada; (3) tata kelola pemilukada.; d. Keempat, panwaslu pemilukada menjadi salah satu pilar yang ikut berkontribusi membuat pemilukada menjadi tidak demokratis. Kasus kecurangan yang sering terjadi
  • 9. 9 dalam pemilukada tidak hanya menampar wajah demokrasi lokal, tetapi juga mempertanyakan eksistensi panwaslu sebagai penjamin pemilukada bergerak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi; e. Kelima, pemilukada juga tengah menghadirkan fenomena penurunan partisipasi pemilih dan kenaikan angka golongan putih (golput) f. Keenam, beberapa kelemahan di tingkat penyelenggara pemilukada tersebut juga mendorong terjadinya penumpukkan masalah yang akhirnya semuanya ditumpukkan ke MK. Oleh karena itu, MK akhirnya tidak hanya memeriksa sengketa hasil penghitungan suara, tapi lebih jauh masuk pada ranah proses pelaksanaan pemilukada itu sendiri. Akibatnya, MK juga memeriksa sengketa administrasi dan pelanggaran pidana yang terjadi sehingga sidang MK menjadi panjang dan menguras tenaga. Dasar hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: 1. UUD 1945, Pasal 24 C ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum”; 2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (1) huruf d “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat fi nal 3. untuk a, …, b, …., c, …, d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”; 4. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008. Pasal 258 ayat (1) “Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Ayat (2) Perselisihan penetapan perolehan suara
  • 10. 10 hasil pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan Pemilu mengenai penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu. Pasal 259 ayat (1) hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional,Peserta pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 x 24 (tiga 5. kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU. Ayat (3) KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota wajib 14 menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi; 6. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu Presiden. Pasal 201 ayat (1) “Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh pasangan calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 ( tiga ) hari setelah penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. Ayat (2) Keberatan sebagaimana dimaksud oleh ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; 7. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236 C “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-undang ini diundangkan”. 3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum atau Electoral Dispute Resolution (EDR) dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui jalur formal dan informal. Artinya,
  • 11. 11 EDR dapat berupa jalur prosedural yaitu melalui pengadilan atau semacam komisi bentukan khusus menangani masalah pemilihan umum atau melalui negosiasi. Mekanisme formal atau yang bersifat prosedural sebenarnya sangat penting dilakukan guna menjamin penyelesaian atas kendalakendala yang potensial terjadi selama proses pemilu agar tetap tertangani sampai upaya terakhir. Setidaknya, terdapat lima mekanisme penegakan hukum untuk penyelesaian sengketa pemilu, yaitu 1) Pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu dengan kemungkinan mengajukan banding ke institusi yang lebih tinggi; 2) Pengadilan atau hakim khusus pemilu untuk menangani keberatan pemilu; 3) Pengadilan umum yang menangani keberatan dengan kemungkinan dapat diajukan banding ke institusi yang lebih tinggi; 4) Penyelesaian masalah pemilu diserahkan ke pengadilan konstitusional dan/atau peradilan konstitusional; dan 5) Penyelesaian masalah pemilihan oleh pengadilan Adapun mekanisme tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu NO Sistem Penyelesaian Perselisihan Negara 1. Pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu dengan kemungkinan untuk mengajukan banding ke institusi yang lebih tinggi Filipina (Comelec yang bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi) 2. Pengadilan atau hakim Khusus untuk menangani keberatan dalam pemilu Malaysia, Singapura dan Filipina 3. Proses pengadilan umum terhadap pemilihan dapat mengajukan permohonan ke institusi yang lebih tinggi 4. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu diserahkan ke pengadilan konstitusional Indonesia 5. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh pengadilan tinggi Filipina