Teks tersebut membahas tentang pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai sosial dan spiritual ke dalam akuntansi untuk mengatasi krisis moral dan etika yang terjadi. Akuntansi saat ini hanya melaporkan aspek keuangan dan belum memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan. Solusi yang diusulkan adalah dengan menerapkan pendekatan sosio-spiritual yang mempertimbangkan nilai-nilai agama dan budaya dalam pelaporan akuntansi."
Sosio Spiritual Akuntansi Solusi Krisis Moral Akuntansi
1. SOSIO-SPIRITUAL AKUNTANSI SOLUSI KRISIS MORAL
AKUNTANSI
(Wawan Dwi Hadisaputro, S.Pd)
PENGERTIAN AKUNTANSI
Corporate report (1975), mengatakan bahwa Akuntansi seharusnya tidak hanya melaporkan
tentang kegiatan ekonomi perusahaan saja, tetapi juga harus melaporkan pengaruh
perusahaan terhadap sosial masyarakat (pengangguran, kondisi kerja yang tidak sehat), dan
lingkungan (biaya polusi lingkungan). Namun, hal Ini yang tidak pernah dilaporkan
perusahaan, kecuali dapat dikompesasikan ke pajak atau adanya regulasi yang
mewajibkannya. Tulisan lainnya adalah oleh Lehman (2004) yang mengatakan bahwa
terdapat krisis moral dan etika dalam profesi akuntansi. Dari beberapa tulisan tersebut,
nyata bagi kita bahwa memang sosio-spiritual akuntansi sudah menjadi sebuah kewajiban
yang harus dijalankan dalam proses penyajian sebuah laporan pertanggungjawaban.
Accounting terminology (1953) sebagai komite dari AICPA (the committee on terminology of
the American Institute of Certified Publik accountants) mendefinisikan akuntansi sebagai
berikut; “Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan peringkasan transaksi dan
kejadian yang bersifat keuangan dengan cara yang berdaya guna dan dalam bentuk satuan
uang dan penginterprestasian Hasil proses tersebut”.
Perkembangan selanjutnya, akuntansi didefinisikan oleh American Accounting association
(1966) yang melihat akuntansi dari sisi proses komunikasi sebagai berikut; “Akuntansi
adalah Proses pengidentifikasian, pengukuran, dan pengkomunikasian informasi untuk
membantu para pemakai dalam pengambilan keputusan secara tepat.”
Terakhir kita menyajikan pengertian akuntansi yang dikaitkan dengan akuntansi sebagai
konsep sistim oleh APB (1970). “Akuntansi adalah aktifitas jasa yang berfungsi menyediakan
2. informasi kuantitatif, terutama besifat keuangan mengenai kegiatan ekonomi yang
bermanfaat untuk pengambilan keputusan dari berbagai alternatif yang ada”
Oleh sebab itu, jikalau kita berpatokan pada pengertian yang dikemukakan oleh lembaga
yang berwenang tersebut, maka pengertian akuntansi memang tidak berhubungan dengan
apa yang menjadi keresahan saat ini yakni akuntansi yang menghasilkan laporan bernilai
sosial, lingkungan, dan sipiritual.
PRODUK AKUNTANSI DAN UNTUK SIAPA PRODUK TERSEBUT
Apabila kita menyaksikan kegagalan akuntansi dalam kaitan tanggungjawabnya kepada
lingkungan, sosial, dan kering akan spiritual, maka kita tidak heran jikalau melihat apa yang
dihasilkan oleh akuntansi. Perdefinisi diatas, terlihat jelas bahwa produk dari akuntansi
adalah bersifat keuangan. Pengertian ini dihasilkan oleh suatu badan yang berwenang
sehinga menjadi rujukan dalam prakek akuntansi. Pengertian ini pula yang menjadi dasar
bagi akuntan dalam proses penyajian laporan pertanggungjawaban keuangan. Produk dari
akuntansi yang bersifat keuangan merupakan sebuah produk pemikiran yang bersifat
objektif dari apa yang seharusnya dihasilkan oleh akuntansi.
Pada sisi objektif menitikberatkan pada sifat objektif dari realitas ilmu pengetahuan dan
prilaku manusia. Sedang pada sisi yang lain, menitikberatkan pada sifat subjektif dari realitas
ilmu pengetahuan dan prilaku manusia. Sifat objektif masih mendominasi pemikiran tentang
produk akuntansi saat ini. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa produk
akuntansi saat ini masih didominasi untuk menghasilkan laporan keuangan. Setidaknya hal
ini masih berjalan sekitar tahun-tahun sebelum terjadinya krisis lehman brother yang
terkenal dengan subprime mortgage, Worldcom dan Enron. Di Indonesia, tentu kita ingat
kasus PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan lain-lainnya.
Apabila kita tinjau dari siapa saja pengguna laporan keuangan, maka variasinya akan
menjadi luas. Beberapa pengguna laporan keuangan diantaranya pemilik perusahaan,
kreditur, supplier, manajemen, pemerintah dalam hal ini pajak, karyawan perusahaan,
pelanggan, analis keuangan, pasar modal, masyarakat umum dan lain-lain. Pengguna
laporan keuangan ini tentulah memiliki kepentingan yang berbeda antar satu dengan yang
3. lainnya. Pertanyaannya sekarang, baik dilihat dari siapa yang mempengaruhi penetapan
sebuah standar akuntansi maupun siapa yang menggunakan laporan keuangan, hanya
sedikit yang termasuk dalam kategori sosial (karyawan perusahaan & masyarakat umum)
dan tidak satupun yang menyebutkan lingkungan. Karyawan perusahaan dan masyarakat
umum dalam kenyataannya pun memiliki keterbatasan akses terhadap laporan keuangan,
apalagi kalau kita lihat apakah mereka mengerti atau tidak. Akhirnya dapat kita mengatakan
bahwa laporan keuangan sebagai produk akuntansi hanya diperuntukan bagi masyarakat
keuangan yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung. Laporan
keuangan bukanlah diperuntukkan bagi kepentingan pertanggungjawaban sosial,
lingkungan, sehingga dalam pelaporannya sulit untuk diharapkan menggunakan nilai-nilai
spiritual dalam penyajiannya. Kondisi ini masih berlaku sampai saat ini, setidaknya
sebelumnya terjadinya guncangan-guncangan hebat dari kasus-kasus yang disebutkan
diatas.
AKUNTANSI DITENGAH KEPENTINGAN PRINCIPLE DAN PUBLIC
Akuntan tidak bisa lari dari dua kepentingan yaitu principle dan public, karena sudah
menjadi sebuah ekosistem yang saling mengisi dan berinteraksi. Meskipun kita mengatahui
bahwa akuntan dimanapun bekerja, memiliki beberapa standar dan pedoman dalam
menjalankan tugas dan profesinya. Namun dalam kenyataannya, akuntan sulit untuk
bekerja sesuai dengan pegangan yang ada. Standar dan pedoman tersebut diantaranya
standar akuntansi keuangan, standar profesional akuntan publik, peraturan pemerintah dan
lainnya. Standar-standar ini mendominasi tugas-tugas akuntan(belkaoui, 2004).
Kita dapat mengatakan bahwa akuntan dalam tarik menarik antara kepentingan principle
dengan publik, lebih memilih untuk pro kepada kepentingan principle. Satu hal yang paling
mempengaruhi mengapa akuntan lebih pro kepada kepentingan principle adalah karena
masalah audit fee, intensitas komunikasi, dan hubungan agen dan principle. Audit fee adalah
sesuatu yang sangat besar pengaruhnya dalam hal mempengaruhi keteguhan akuntan untuk
tetap perpegang teguh dengan prinsip dan nilai-nilai yang telah disepakati. Standar-standar
yang ada dapat luntur menjadi sebagai pedoman moral akuntan jika sudah berkaitan
4. dengan audit fee. Faktor intensitas komunikasi juga sangat menentukan longgarnya prinsip
yang harus dimiliki oleh seorang akuntan.
Hubungan atasan dan bawahan, pemilik dan pekerja menghasilkan sebuah komunikasi yang
berkonvergensi pada satu hati, tujuan dan cita-cita. Hubungan ini akan berakhir pada satu
tindakan untuk bersama, sehingga pedoman dan ketentuan dari luar dianggap menjadi
sesuatu yang tidak perlu diikuti. Hubungan agen dan principle tidak banyak berpengaruh jika
menghadapi kepentingan publik. Satu hal yang menyebabkan hal in terjadi adalah tidak
berjalannya konsep entitas dalam hubungan antara agen dan principle. Agen dan principle
dibanyak perusahaan korporat memiliki hubungan istimewa, sehingga mereka akan bersatu
dalam menghadapi kepentingan publik yang notabene tidak menjadi bagian dari
perusahaan.
SOSIO-SPRIRITUAL AKUNTANSI SEBAGAI SOLUSI
Sosio spiritulitas sebagai solusi karena kandungan akuntansi diisi oleh sumber utamanya
yakni agama. Flesher & flesher (1979) seperti dikutip oleh Jacobs and walker telah
mengungkapkan peran agama dalam akuntansi. Mereka menyajikan sebuah studi tentang
masyarakat yang harmonis disebuah komunitas agama “Indiana frontier”. Mereka
menyimpulkan bahwa praktek-praktek akuntansi yang harmonis sangat memberikan hasil
yang memuaskan sebagai hasil substansi retailing dan operasi manufacturing dari
masyarakat. Peran agama dalam akuntansi juga dipublikasi oleh Askary & Jackling (2004)
dalam tulisannya yang berjudul “a theritical frame work of analysisi of accounting propensity
in different religions.”
Ada tiga hal yang menarik dari tulisan tersebut yakni (1) analisis model Hofstede and gray
tentang akuntansi berasal dari kerangka budaya yang meliputi authority, measurement,
enforcement and disclosure. (2) Lebih lanjut disebutkan bahwa nilai-nilai kultur hofstede
dikendalikan oleh nilai-nilai sosial islam yang merujuk pada kitab suci alqur’an. (3) studi
kemanfaatan nilai-nilai masyarakat islam menerapkan model gray untuk mengembangkan
teori dalam menetapkan tentang praktek-praktek akuntansi. Dalam tulisan ini
menyimpulkan bagaimana model yang dikembangkan dapat menyajikan alasan yang
5. menjelaskan bagaimana agama sebagai salah satu faktor yang bisa mempengaruhi praktek
akuntansi dalam masyarakat yang berbeda.
Inti dari kedua penulis diatas adalah bagaimana agama dapat mempengaruhi akuntansi
dalam memainkan peranannya sebagai pihak yang netral dan bertanggungjawab dalam
membuat dan menyampaikan sebuah laporan pertanggungjawaban. Reformasi akuntansi
yang merujuk pada nilai-nilai moral akuntan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab
atas laporan pertanggungjawaban juga mendapat dukungan glenn lehman (2004) dalam
tulisannya “Accounting, accountability and religion: Charles taylor’s catholic modernity and
the malaise of a disenchanted world”. Lehman mengatakan bahwa telah terjadi krisis moral
dan etika dalam profesi akuntansi sehingga perlu direformasi. Jika kita setuju perlu ada
reformasi akuntansi, maka sosio spiritual akuntasilah yang paling pas untuk dijadikan dasar
pengembangannya.
NILAI SOSIAL DALAM MODEL HOFSTEDE
Menurut Hofstede, Budaya dapat dipahami sebagai suatu pemrograman kolektif dari pikiran
yang membedakan anggota suatu kelompok atau kategori orang, dari yang lain. Budaya
dapat dikelompokkan ke dalam beberapa dimensi dapat dipahami bahwa perbandingan
budaya mengandaikan bahwa ada sesuatu yang harus dibandingkan, bahwa setiap budaya
sebenarnya tidaklah begitu unik, bahwa setiap budaya yang paralel dengan kebudayaan lain
tidak memiliki makna yang begitu berarti.
Dimensi budaya yang dibangun oleh Hofstede antara lain:
1. Power Distance
Power Distance atau jarak kekuasaan adalah sejauh mana anggota dari suatu
organisasi atau lembaga yang berada dalam posisi yang kurang kuat menerima dan
berharap kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Dalam dimensi budaya yang
mendukung jarak kekuasaan rendah (Small Power Distance), orang berhubungan
satu sama lain terlepas dari posisi formalitas mereka. Bawahan mersaa lebih nyaman
serta menuntut hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Begitu
sebaliknya, di negara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi (large power distance)
6. bawahan mengakui kekuatan orang lain hanya berdasarkan dimana mereka berada
dalam struktur formal atau posisi hirarki tertentu.
2. Uncertainty Avoidance
Uncertainty Avoidance adalah bentuk toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan
ambiguitas. Hal ini menggambarkan sejauh mana anggota organisasi atau lembaga
berusaha untuk mengatasi perasaan cemas dan mengurangi ketidakpastian yang
mereka hadapi. Orang-orang yang memiliki dimensi budaya penghindaran
ketidakpastian tinggi (high uncertainty avoidance) cenderung lebih emosional.
Mereka mencoba untuk meminimalkan terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau
tidak biasa. Saat terjadi perubahan mereka menjalaninya dengan hati-hati, langkah
demi langkah dengan perencanaan dan menerapkan hukum serta peraturan yang
berlaku. Sebaliknya, dimensi budaya penghindaran ketidakpastian rendah (low
uncertainty avoidance) menerima dan merasa nyaman dalam situasi yang tidak
terstruktur atau lingkungan yang kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba
untuk memiliki beberapa aturan dalam aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi
budaya ini cenderung lebih pragmatis, mereka jauh lebih toleran terhadap
perubahan.
3. Indvidualism vs Collectivism
Ciri organisasi atau lembaga Individualism dengan Collectivism, adalah sejauh mana
individu diintegrasikan ke dalam organisasi atau lembaga tersebut. Dalam
masyarakat yang individualistik (individualism), tekanan atau stres diletakkan dalam
permasalahan pribadi, serta menuntut hak-hak individu. Orang-orang diharapkan
untuk membela diri sendiri dan keluarga mereka. Selain itu juga mereka diharapkan
untuk memilih afiliasi sendiri. Sebaliknya dalam masyarakat kolektifis (collectivism),
individu bertindak terutama sebagai anggota kelompok seumur hidup. Daya
kohesifitas yang tinggi tercipta di dalam kelompok mereka (kelompok di sini tidak
mengacu kepada politik atau negara). Orang-orang memiliki keluarga besar, yang
dijadikan sebagai perlindungan bagi dirinya sehingga loyalitasnya tidak diragukan.
7. 4. Masculinity vs Feministy
Masculinity berkaitan dengan nilai perbedaan gender dalam masyarakat, atau
distribusi peran emosional antara gender yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin
(masculinity) terkandung nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan
kekuasaan. Dimensi feminin (feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap
hubungan dan kualitas hidup. Dalam dimensi maskulin, perbedaan antara peran
gender nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel dibandingkan dengan dimensi
feminin yang melihat pria dan wanita memiliki nilai yang sama, menekankan
kesederhanaan serta kepedulian.
5. Long Term vs Short Term Orientation
Masyarakat yang berorientasi jangka panjang (long term orientation) lebih
mementingkan masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi
pada penghargaan, termasuk ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi.
Masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka pendek (short term
orientation), nilai dipromosikan terkait dengan masa lalu dan sekarang, termasuk
kestabilan, menghormati tradisi, menjaga selalu penampilan di muka umum, dan
memenuhi kewajiban-kewajiban sosial.
6. Indulgence vs Restraint
Kesenangan (indulgence) mengarah kepada lingkungan sosial yang mengijinkan
gratifikasi sebagai nafsu manusiawi yang alamiah terkait dengan menikmati hidup.
Pengekangan (restraint) mengarah kepada lingkungan sosial yang mengontrol
gratifikasi dari kebutuhan dan peraturan-peraturan dengan cara norma sosial yang
tegas.
MODEL NILAI AKUNTANSI GRAY (1988) YANG TERKAIT DENGAN NILAI-NILAI SOSIAL
1. PROFESSIONALISM V STATUTORY CONTROL
Dalam Gray (1988), profesionalisme didefinisikan sebagai preferensi oleh akuntan
untuk melatih penilaian profesional individu dalam melakukan tugas-tugas
akuntansi. Ini memerlukan pemeliharaan pengaturan-diri profesional. Hal ini
berbeda dengan kontrol perundang-undangan, pengenaan kekuatan pada akuntan
8. untuk mematuhi persyaratan hukum preskriptif dengan dukungan sanksi hukum
untuk ketidakpatuhan.
Menurut Gray, individualisme yang tinggi dan rendahnya ketidakpastian-
penghindaran dan jarak kekuasaan dalam suatu masyarakat terkait erat dengan
profesionalisme akuntansi. Dia menjelaskan: “. . . preferensi untuk penilaian
profesional independen konsisten dengan preferensi untuk kerangka budaya yang
longgar di mana ada lebih banyak penekanan pada independensi, keyakinan dalam
keputusan individu dan menghormati usaha individu ”. Atas dasar itu, dia beralasan
bahwa profesionalisme dalam akuntansi lebih mungkin diterima dalam masyarakat
dengan jarak kekuasaan kecil dengan perhatian untuk pelaksanaan hak yang sama.
Namun demikian, dapat dipertentangkan, bahwa profesionalisme lebih cocok
dengan "masyarakat yang merajut secara longgar", dan bahwa tindakan independen
berlaku dalam masyarakat yang sangat terorganisir. Perlu dicatat bahwa bukan
kemerdekaan masyarakat yang dipermasalahkan di sini, tetapi kemandirian individu-
individu tertentu (dan untuk tujuan penelitian ini, para akuntan) di dalamnya, dan
independensi mereka (posisi pada skala profesionalisme) dalam konteks yang
terbatas pada latihan keterampilan khusus mereka. Di kebanyakan praktisi akuntansi
negara-negara Barat adalah "sangat terorganisasi" - membutuhkan "pendaftaran"
untuk berlatih, sering diperlukan untuk memenuhi kondisi tertentu untuk
menyediakan layanan khusus untuk klien - selalu kredensial dalam hal baik prestasi
akademik dan paparan praktek yang sebenarnya adalah norma. Selain itu, mereka
mungkin memiliki kebijaksanaan profesional (sangat independen) yang lengkap
tentang "bagaimana" mereka melayani kebutuhan klien mereka.
Norma, bukan pengecualian, adalah bahwa mereka mengalami kontrol yang sangat
terpusat atas masuknya mereka ke praktik dan hak mereka yang berkelanjutan untuk
menawarkan layanan mereka kepada publik secara luas. Tetapi mereka secara
seragam menikmati kapasitas yang sangat terbatas (hampir) yang mutlak tanpa
batas untuk memanfaatkan pengalaman individual mereka dan mengumpulkan
kebijaksanaan untuk mempraktekkan keterampilan mereka - sangat populer dalam
9. profesionalisme. Individualisme Hofstede tidak mengangkut domain praktisi
akuntansi individual semulus yang disarankan Gray. Masalah Gray terletak pada
penerjemahan ekstrim Hofstede sehubungan dengan dimensi budaya menjadi
ekstrim seperti dalam hal nilai-nilai akuntansi.
2. UNIFORMITY V FLEXIBILITY
Keseragaman dalam hal akuntansi dalam konteks perdebatan budaya adalah
preferensi untuk penegakan praktik akuntansi seragam, yang bertentangan dengan
fleksibilitas sesuai dengan keadaan yang dirasakan masing-masing perusahaan (Gray,
1988). Pengungkapan data keuangan dalam tujuan umum laporan keuangan adalah
pengaturan tertentu di mana keseragaman, atau sebaliknya, adalah masalah. Untuk
Gray, dimensi nilai akuntansi ini sangat penting karena sikap lain seperti konsistensi
dan komparabilitas dimasukkan sebagai fitur dasar prinsip akuntansi di seluruh
dunia. Gray beralasan bahwa individualisme dan penghindaran ketidakpastian terkait
erat dengan keseragaman. Gray dengan demikian mengaitkan keseragaman secara
dekat dengan penghindaran ketidakpastian, karena penghindaran ketidakpastian
yang kuat dirasakan olehnya untuk dihubungkan dengan kode perilaku yang kaku,
hukum, aturan dan aturan dan peraturan tertulis, untuk menghindari kesalahan dan
hasil yang tidak dapat diprediksi. Sebagai akibatnya, masyarakat jarak jauh yang
besar dianggap memfasilitasi keseragaman dengan memberlakukan hukum dan kode
karakter yang seragam pada masyarakat itu. Diharapkan kemudian, bahwa negara-
negara yang dilambangkan untuk berlatih jarak kekuasaan besar akan memiliki
katalog besar standar akuntansi.
3. CONSERVATISM V OPTIMISM
Konservatisme tidak mengambil makna khusus dalam konteks debat akuntansi /
budaya. Seperti dalam fokus konvensional pada akuntansi, konservatisme adalah
preferensi untuk pendekatan hati-hati untuk pengukuran elemen akuntansi seperti
nilai uang aset, dan jumlah moneter kewajiban, pendapatan, pengeluaran dan
perhitungan laba atau rugi, dengan ketidakpastian peristiwa masa depan dalam
pikiran. Sebaliknya, optimisme dapat dianggap sebagai laissez-faire, pendekatan
pengambilan risiko dalam pengukuran akuntansi. Itu sesuai dengan konteks
10. perdebatan budaya / akuntansi (Gray, 1988). Penjelasan Gray menyiratkan bahwa
hanya penghindaran ketidakpastian yang dapat dikaitkan erat dengan
konservatisme. Penghindaran ketidakpastian yang tinggi dalam hal pengukuran laba
dan nilai aset konsisten dengan nilai akuntansi yang sangat konservatif yang
dinyatakan untuk aset dalam neraca perusahaan. Selain itu, ada hubungan yang
dirasakan, meskipun kurang kuat, antara individualisme, maskulinitas dan
konservatisme, karena penekanan pada prestasi dan kinerja individu yang mungkin
kondusif untuk pendekatan yang kurang konservatif terhadap pengukuran, dengan
maksud untuk memperkuat hasil kinerja yang dilaporkan. dan mendorong persepsi
tentang apa yang Gray (konsisten dengan Hofstede) anggap sebagai indikasi sifat
maskulin yang sangat selaras.
4. SECRECY V TRANSPARENCY
Kerahasiaan diambil dalam debat budaya / akuntansi untuk mewujudkan preferensi
untuk kerahasiaan. Manifestasinya akuntansi demikian terletak pada pembatasan
pengungkapan informasi keuangan yang berkaitan dengan penilaian dan evaluasi
kinerja dan keadaan urusan bisnis. Ini kontras dengan pendekatan yang lebih
transparan, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik. (Gray, 1988).
Hipotesis Gray menunjukkan bahwa dari empat nilai Hofstede, penghindaran
ketidakpastian dan individualisme adalah yang paling berpengaruh dalam kaitannya
dengan nilai-nilai akuntansi. Selain itu, Perera dan Matthews (1990) telah mengklaim
bahwa dimensi budaya penghindaran ketidakpastian dan individualisme
mengerahkan pengaruh terkuat pada nilai-nilai akuntansi (hal. 265), hanya sebagai
akibat dari efek positif individualisme dan efek negatif dari ketidakpastian yang
lemah pada Profesionalisme, fleksibilitas, optimisme, dan transparansi Gray. Itu
adalah alasan yang menghasilkan efek positif dari penghindaran ketidakpastian dan
jarak kekuasaan yang bergabung untuk membangkitkan kerahasiaan. Sebagai
akibatnya, diharapkan bahwa jarak listrik yang kecil dan penghindaran
ketidakpastian yang lemah dapat menimbulkan efek positif pada transparansi.
11. DAFTAR PUSTAKA
Askary, Saeed dan Beverley Jackling. 2004. A Theoritical Framework of Analysis of
Accounting Propensity in Different Religions. Singapura: Accounting Conference
Fourth Asia Pacific Interdisciplinary Research
Bratasena. 2016. https://budayaindonesia2016blog.wordpress.com/2016/03/19/dimensi-
budaya-geert-hofstede/ diakses pada tanggal 26 Oktober 2018
Mulya, Hadri dan Wiwik Utami. 2013. Modul Perkuliahan Teori Akuntansi: Sosio-Spiritual
Akuntansi Solusi Krisis Moral Akuntansi (Sebuah Tinjauan kritis peran sosio spiritual
akuntansi). Jakarta: Universitas Mercu Buana