Jual beli dengan uang muka (urbuun) menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Sebagian mengharamkannya karena dianggap mengandung unsur gharar dan memakan harta orang lain secara bathil, sedangkan sebagian lain membolehkannya dengan alasan ada atsar yang menunjukkan praktik tersebut dilakukan sahabat. Pada akhirnya, ulama modern sepakat membenarkan jual beli dengan uang muka.
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Jual Beli Uang Muka: Pandangan Ulama yang Membolehkan dan yang Mengharamkan
1. Uang Muka
Uang Muka dalam istilah fiqh dikenal dengan al-‘Urbuun. Dalam bahasa Arab, kata ini
memiliki sinonim atau padanan kata yaitu di antaranya Urbaan, ‘Urbaan, dan Urbuun.
Secara bahasa, kesemuanya dapat diartikan sebagai “Jadi transaksi dalam jual beli”.
Secara istilah (terminologis), penulis kitab al-Mishbah al-Munier dalam kitabnya hal. 10
memberi definisi sebagai berikut:
“Al-Arabuun dengan difathahkan ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan bahwa al-
Urbuun ini ialah kegiatan jual beli di mana seseorang membeli sesuatu atau menyewa
sesuatu dan memberikan sebagian bayarannya atau uang sewanya, kemudian menyatakan
“apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka
itu untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu”.
Al-Ashma’i menyatakan bahwa al-‘Urbun adalah kata A’jam yakni kata yang bukan bahasa
Arab namun diarabkan (kata serapan dari bahasa lain).
Gambaran dalam jual beli ini ialah sebagai berikut:
- Pembeli membayar sejumlah uang di muka kepada si penjual. Uang itu dibayarkan di
awal pertemuannya dengan penjual, ketika pembeli memilih untuk membeli barang yang
bersangkutan maka uang yang dibayar diawal pertemuannya itu menjadi bayaran separuh
untuk pembelian barang ybs. Namun jika pembeli memilih untuk membatalkan
pembeliannya, maka uang tersebut menjadi hak bagi penjual (menjadi milik penjual).
- Gambarannya bisa juga melalui percakapan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli.
Dalam pembeliannya, pembeli berkata “Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah
bagian dari nilai harga dan bila saya tidak mengambil (barang ini), maka uang muka
tersebut untukmu (penjual).”
Jika dalam kehidupan modern, masyarakat mengenal uang muka ini dengan istilah DP
(uang jadi).
2. Jual beli dengan ‘Urbuun ini sempat menjadi kontroversial di kalangan ulama. Dari masa
Tabi’in hingga kini, banyak ulama yang masih memperdebatkannya. Di Indonesia sendiri
telah dilakukan seminar khusus untuk mengkaji apakah jual beli ini diperbolehkan atau
tidak, seminar ini diselenggarakan oleh Majlis Fikih Islam. Berbeda dengan mayoritas
ulama salafus-shaleh, pada akhir perdebatannya, ulama modern abad ini bersepakat bahwa
jual beli panjar (uang muka) ialah halal hukumnya.
Namun sebelumnya, saya akan mengupas bagaimana pandangan atau bangunan
argumentasi dari kedua belah pihak ulama yang berkontroversi perihal panjar tersebut.
1. Pendapat ulama yang mengharamkannya
Ulama klasik, sebenarnya telah mengeluarkan ijma mengenai hukum uang muka ini.
Mereka bersepakat bahwa uang muka haram hukumnya. Hal ini dilandasi oleh sumber
hukum Islam itu sendiri yakni hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin
Syuaib, dari ayahnya, dari kakenya, bahwa ia berkata:
عن سلم و عليه هللا صلىى هللا رسول نهىالعربان بيع
اع يقول ثم الدبة يتكارى او العبد الرجل ييشتري انن اعلم وهللا نرى فيما ذالك و مالك قالدىنارا طيك
ان عنى علىلك اعطيتك فما الكراء اوو السلعة تركت
Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik
menyatakan: “Dan menurut yang kita lihat –Wallahu A’lam- jual beli ini adalah seseorang
membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan, ‘Saya berikan
kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya
mamka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.’”(kitab Muwatha Imam Malik
dan Sunan Ibnu Majjah).
Ulama yang menggantungkan argumentasinya kepada hadis ini di antaranya adalah Imam
Syafi’i, Imam Maliki, dan ahlu ra’yi yakni Imam Hanafi. Pendapat mereka bahkan
diperkuat lagi oleh ulama ahli tafsir, Imam al-Qurtubhi. Dalam kitab tafsirnya ia
menyatakan bahwa “Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan bathil adalah jual
beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah
ahli fiqih dari ahli Hijaz (madzhab Syafi’i) dan Iraq (madzhab Hanafi), karena termasuk
3. jual beli perjudian, gharar, spekultaif, dan memakan harta orang lain dengan bathil tanpa
pengganti dan hadiah dan itu jelas bathil menurut ijma”.
Pernyataan al-Qurtubhi di atas adalah tafsirnya untuk ayat 29 al-Quran Surat an-Nissa,
yang bunyinya:
ت وال منكم تراض عن تجارة تكون ان اال الباطل با بينكم اموالكم تاكلوا ال امنوا الذين ايها ياانفسكم قتلوا
رحيما بكم كان هللا ان
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kamu. Dan, janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
Al-Qurtubhi ialah seorang ulama ahli tafsir. Buku tafsirnya yang terkenal biasa disebut
dengan nama tafsir al-Qurtubhi. Di samping itu pula, ahli tafsir ini ialah seorang ulama
penganut madzhab Maliki. Sehinggga tidak mengherankan jika pendapatnya dapat menjadi
argumen tambahan sekaligus penguat bagi pendapatnya Imam Maliki yang mengharamkan
jual beli panjar.
Argumen ketiga untuk ulama-ulama yang mengharamkan jual beli panjar adalah argumen
yang menyatakan bahwa dalam jual beli panjar terdapat dua syarat bathil: syarat
memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan
salah satu pihak tidak ridha (Shahih Fiqhus Sunnah 4/411). Hadis menyatakan:
)الخمسه (روهبيع في شرطان ال و بيع و سلف يحل ال
Artinya: “Tidak boleh ada hutang dalam jual beli, dan dua syarat dalam satu jual beli”.
Ibnu Qudamah mengqiyaskannya dengan Khiyar Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak
diketahui/tidak lazim). Ia berkata “inilah qiyas/analogi” (Nailul Authar 6/289). Illat (sebab
hukum) dari larangan ini ialah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid. Salah
satunya adalah mensyaratkan kepada si pembeli untuk menyerahkan uang muka secara
gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan
barang ybs apabila pembeli tidak ridha untuk membelinya (Lil al-Mughni 6/331).
Pendapat Ibnu Qudamah dan pendapat-pendapat para ulama yang melarang jual beli uang
muka yang sudah dijelaskan sebelumnya itu dirajihkan pula oleh Al-Syaukanni, al-
4. Syaukanni berpendapat “Yang rajih atau kuat adalah pendapat mayoritas ulama, karena
hadist Amru bin Syua’ib telah ada dari beberapa jalur periwayatan yang saling menguatkan.
Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadist yang terkandung larangan lebih rajih
dari yang menunjukan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam Ushul Fiqh.”
2. Pendapat ulama yang membolehkannya.
Imam Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali) membolehkan jual beli panjar dengan dalil
utamanya ialah sebuah atsar dari Umar. Umar bin Khattab melakukan jual beli panjar ini
dan putera Umar sendiri yakni Abdullah Ibnu Umar juga membenarkan bahwa ayahnya
telah melakukan jual beli panjar. Beberapa tabi’in juga membolehkannya termasuk Said
Ibnu Musayyib, Ibnu Sirrin, Nafi’ Ibnu al-Harits, dan Zaid Ibnu Aslam (Abu Sulaiman, al-
Ikhtiyarat, 33). Atsar yang berbunyi:
واال عمر رضي فان االميه بن الصفوان من السجن دار لعمر اششترى انه الحارث ابن نافع عنكذا فله
وكذا
Artinya: “Diriwayatkan dari Nafi’ bin al-Harist, ia pernah membelikan sebuah bangun
penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka.
Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.”
Bahkan kisah atau atsar mengenai Umar ini telah masyhur di kalangan para ulama dan
penulis sejarah Mekkah seperti al-Azraaqi, al-Fakihi, dan Umar bin Syubah. Penjaranya
pun diriwayatkan masih ada hingga zaman al-Fakihi (Fiqh wa Fatwa al-Buyu, disusun
asyraf Abdul Maqshud hal. 219).
Selain itu ulama yang membolehkan panjar juga berpendapat bahwa hadist yang dijadikan
sandaran bagi jumhur ulama (“Rasulullah melarang jual beli dengan ‘Urbuun”) adalah
hadis yang dhaif. Disebut dhaif karena jalur periwayatannya kembali kepada orang tsiqah
yang mubham (tidak disebut namanya). Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Imam
Maliki “telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah” (al-Muwatha), namun ia tidak
menyebutkan namanya. Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majjah diriwayatkan Imam
5. Malik menyatakan “telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syuaib...” dan Ibnu Majjah
meriwayatkan hadis ini dari jalur lain yakni dari perawi yang bernama Abu Muhammad
Habieb bin Abi Habieb Khatib Malik, seorang perawi hadis yang matruk (lemah sekali),
dan dari perawi hadis Abdullah bin Amir al-Aslami yang juga lemah.
Hadis tersebut juga dinilai lemah (dhaif) oleh Imam Ahmad, al-Baihaqi, al-Nawawi, al-
Mundziri, Ibnu Hajar, dan al-Bani.
Ulama-ulama yang membolehkan panjar juga berpendapat bahwa panjar ialah uang
kompensasi bagi si penjual karena telah menyimpankan barang yang akan dibeli. Pembeli
yang memberikan uang muka akan menangguhkan pembeliannya, mulanya ia memberikan
uang muka namun barang tidak diambilnya dahulu. Ketika ia memutuskan untuk membeli
dan mengambil barang maka uang muka itu dianggap sebagai bayaran separuh harga
barang, namun jika tidak maka uang muka itu menjadi milik si penjual.
Terlebih dahulu, penjual tentunya harus menunggu keputusan si pembeli untuk mengambil
atau membatalkan pembelian barangnya. Selama si penjual menunggu keputusan tersebut,
pastinya ia harus menyimpan, menjaga, dan tidak menjualnya kepada pembeli yang tidak
bersangkutan. Sehingga, karena inilah penjual akan kehilangan sebagian kesempatan
berjualannya dan ia berhak mendapat uang kompensasi dari si pembeli yang membuat ia
kehilangan sebagian kesempatan berjualannya itu.