1. Dokumen membahas penentuan awal bulan qomariah berdasarkan rukyatul hilal secara global, bukan lokal atau hisab. Rukyatul hilal yang berlaku untuk seluruh umat Islam adalah yang paling kuat.
2. Untuk bulan Dzulhijjah, rukyatul hilal Makkah menjadi patokan kecuali jika gagal. Persoalan teknis rukyat diselesaikan dengan musyawarah para pakar.
3. Tidak ben
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
Penentuan Awal Bulan Qomariyah
1. 1
Penentuan Awal Bulan Qomariah
Ringkasan
1. Penentuan awal bulan qomariyah tidaklah dilakukan kecuali dengan rukyatul hilal, baik dengan mata
telanjang maupun dengan bantuan alat, bukan dengan hisab; 2. Rukyatul hilal yang dimaksud adalah
rukyatul hilal yang berlaku global (berlaku untuk seluruh kaum muslimin), bukan rukyatul hilal yang
berlaku secara lokal atau regional atas dasar konsep mathla’; 3. Khusus untuk penentuan awal bulan
Dzulhijjah, rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul
hilal secara mutlak. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari
negeri yang lain dapat dijadikan patokan; 4. Persoalan-persoalan teknis yang terkait dengan rukyatul
hilal, misalnya masalah irtifa’, hendaknya dapat diselesaikan dengan musyawarah para pakar dengan
mengambil pendapat yang paling benar (shawab); 5. Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa jika
rukyat bertentangan dengan hisab maka yang diambil adalah hisab. Yang benar, yang diterima tetap
adalah rukyat, selama kesaksiannya memenuhi syarat-syarat kesaksian (muslim, dan adil/tidak fasiq); 6.
Diperlukan sebuah institusi politik yang dapat mempersatukan umat Islam, yaitu Khilafah, yang
keputusan Khalifahnya akan dapat menghilangkan perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah fikih
“amrul Imam yarfa’ul khilaf.” (perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat).
Pengantar
Di tengah umat Islam sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan qomariah. Pada gilirannya
ini mengakibatkan perbedaan umat dalam mengawali puasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha.
Perbedaan tersebut dapat terjadi dalam lingkup lokal, nasional, maupun internasional, dan selisihnya
kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan dapat sampai tiga-empat hari.
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sebab puasa Ramadhan dan Idul Fitri/ Idul Adha sesungguhnya
bukan sekedar fenomena ibadah ritual, melainkan juga fenomena syiar persatuan umat. Umat Islam yang
sesungguhnya umat yang satu (ummatan wahidah) –termasuk dalam hal mengawali puasa dan berhari
raya– akhirnya nampak tercerai berai, terpecah belah, dan tidak kompak.
Rukyatul Hilal Global
Penentuan awal bulan qomariyah (kalender hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal dari suatu
tempat di muka bumi, baik itu dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain al-bashariyah) maupun dengan
alat pembesar dan pendekat, semisal teropong atau teleskop. Dengan perkataan lain, penentuan awal
bulan qomariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki).
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda:
لرؤيته اوأفطرو لرؤيته اوصوم
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR
Bukhari no.1776; Muslim no.1809; At-Tirmidzi no.624; An-Nasa`i no.2087).
2. 2
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah ﷺ bersabda:
له اوفاقدر عليكم َّمُغ فإن ،اوفأفطر أيتموهر وإذا ،اوفصوم أيتموهر إذا
“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka
berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah.” (HR Bukhari no 1767;
Muslim no 1799; An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).
Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-dalalah), bahwa sebab syar’i untuk
puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal. (Muhammad Husain Abdullah, “Ru’yath
Muslim Al-Hilal Sabab li Ash-Shaum wa Sabab li Al-Ifthar”, Mafahim Islamiyah, (Beirut: Darul
Bayariq), 1996, Juz II, hal. 157)
Dan rukyatul hilal yang dimaksud, bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (ulama
mazhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu
negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia (ulama mazhab
jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 605)
Pandangan ini sejalan dengan pen-tarjih-an Imam Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’
(perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata:
من لكل خطاب هو بل ،ادراالنف جهة على ناحية بأهل خيتص ال ،عمر ابن حديث يف اردوال األمرو
،املسلمني من له يصلحمن أظهر ،البالد أهل من لغريهم بلد أهل رؤية لزوم على به فاالستدالل
،بلد أهل رآه إذا ألنه اللزوم؛ عدم على به االستداللرآه فقد.لزمهم ما غريهم فيلزم ،املسلمون
“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk
penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja
yang layak menerima khithab itu dari kaum muslimin. Maka ber-istidlal dengan hadits ini untuk
mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada
ber-istidlal dengan hadits ini untuk tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu
negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslimin telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum
muslimin apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 4/195,
dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), 1996, Juz
II hal. 609)
Setelah mengutip tarjih Imam Syaukani di atas, Wahbah Az-Zuhaili pun menguatkan pemberlakuan
rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut:
3. 3
بني للعبادة ًاتوحيد لدي اجحرال هو )اجلمهور أير( أيرال وهذاغري االختالف من ًاومنع ،املسلمني
،نارعص يف املقبول.األقطار بني تفرقة دون ،بالرؤية معلق الصوم إجياب وألن
“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya, karena akan dapat
menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak
dapat diterima lagi pada zaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan
rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami
wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 609)
Pendapat ulama mazhab Syafi’i tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang menjelaskan bahwa Ibnu
Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di Syam. Haditsnya sebagai berikut:
بعثته الفضل أم أنُرمضان علي َّهلُاستو ،حاجتها فقضيت ،الشام ُفقدمت :فقال ،بالشام معاوية إىل
اهلالل أيترف ،بالشام أناو،عباس بن اهلل عبد فسألين ،الشهر آخر يف املدينة ُقدمت مث ،اجلمعة ليلة
أيناهر :فقلت اهلالل؟ أيتمر مىت :فقال ،اهلالل ذكر مثفقل ه؟َأيتر أنت :فقال ،اجلمعة ليلة،نعم :ت
نصوم الزن فال ،السبت ليلة أيناهر لكنا :فقال ،معاوية وصام ،اووصام الناس ورآهثالثني لِمْكُن حىت
عليه اهلل ىّلص اهلل رسول ناَرَأم هكذا ،ال :فقال وصيامه؟ معاوية برؤية نكتفي أال :فقلت ،اهرن أو
وسلم
“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia berkata, ’Maka aku
tiba di Syam dan menyelesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya
melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu
Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat
hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya, ’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya
jawab, ’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu
Abbas berkata, ’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami
sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata, ’Tidakkah kita mencukupkan diri
dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab, ’Tidak, demikianlah Rasulullah ﷺ
memerintahkan kita.” (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Menurut mazhab Syafi’i, Ibnu Abbas RA yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat
Syam, yaitu dengan perkataannya, “‘Tidak, demikianlah Rasulullah ﷺ memerintahkan kita” menjadi
dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk
negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).
Sesungguhnya perkataan Ibnu Abbas tersebut (‘Tidak, demikianlah Rasulullah ﷺ memerintahkan kita”),
bukanlah hadits marfu’ (dari Nabi ,)ﷺ melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu.
4. 4
(Lihat pentarjihan Imam Syaukani dalam Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
(Damaskus: Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 608-609)
Sedangkan ijtihad sahabat Nabi bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima),
karena dalil syar’i yang mu’tabar dalam hanyalah Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas
(Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, (Beirut: Darul Ummah), 2005, III, hal.67).
Jadi, kesimpulannya, dalam penentuan awal bulan qomariah, berpegang dengan rukyatul hilal global,
bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.
Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah haji dan Idul Adha,
rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal dari
negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah
rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata:
اهلل ُولُسَر ناْيَلإ َدِهَع :قال َُّمث َبَطَخ َةَّكَم َريِأم َّأن–وسلم عليه اهلل صلى–ُسْنَن ْنأْنفإ ،ِةَيْؤُّلرِل َك
لْدَع اَدِاهَش َدِهَشَو ُهَرَن ملاَمِِِتَادَهَشِب اَنْكَسَن
“Bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata, ”Rasulullah telah menetapkan
kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan
ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik berdasarkan
kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadits no.2339. Imam Daruquthni berkata, ”Hadits ini isnadnya
muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,
”Hadits ini shahih.” Lihat Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54). (Fahad bin Ali Al-Hasun, Dukhul
Asy-Syahr Al-Qamari, hal. 16)
Lafazh hadits “an-nansuka” lebih tepat diartikan “kita menjalankan manasik haji”, bukan diartikan “an-
nashuma” (kita berpuasa) sebagaimana pendapat sebagian pen-syarah hadits. Memang lafazh “nusuk”
berarti ibadah, sehingga mencakup di dalamnya puasa. Ibnul Atsir berkata dalam kitabnya Jami’ Al-
Ushul, “Nusuk adalah ibadah, yang dimaksud di sini artinya adalah puasa.” Namun terdapat hadits yang
menjelaskan bahwa lafazh “nusuk” yang terkait rukyat, lebih tepat diartikan sebagai “menjalankan
manasik”, bukan “berpuasa”. Dalilnya, adalah sabda Nabi :ﷺ
َدِهَش ْنِإَف َنيِث َالَث اوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َّمُغ ْنِإَف اََهل اوُكُسْناَو ِهِتَيْؤُرِل اوُرِطْفَأَو ِهِتَيْؤُرِل اوُومُصاوُومُصَف ِانَدِاهَش
اوُرِطْفَأَو
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, dan laksanakan
manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika pandanganmu tertutup mendung, maka sempurnakanlah
tiga puluh hari. Jika ada dua saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu.” (HR An-
Nasa`i, no 2087).
5. 5
Dalam hadits di atas terdapat lafazh “wa–nsukuu laa” (hendaklah kamu melakukan nusuk). Nusuk di
sini, jika diartikan shaum, tentu tidak tepat, karena akan terjadi pengulangan yang tidak bermakna,
mengingat di awal hadits sudah ada perintah berpuasa berdasar rukyat. Jadi, lafazh nusuk (an nansuka
li ar-ru`yah) dalam hadits Husain bin Al-Harits Al-Jadali di atas maknanya (wallahu a’lam) adalah
“menjalankan manasik haji”, bukan “berpuasa.” (Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu
Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta: Insan Citra Media Utama),
2007, hal. 111)
Hadits ini menjelaskan siapa yang mempunyai otoritas untuk menetapkan hari-hari pelaksanaan manasik
haji, seperti hari Arafah, hari Nahar (Idul Adha), dan hari-hari tasyriq, yaitu Wali/Amir Makkah. Jadi
Rasulullah ﷺ tidak menyerahkan otoritas itu kepada penduduk di luar Makkah, semisal penduduk
Madinah, Najed, Bahrain, atau lainnya. Tapi Rasulullah ﷺ hanya memberikan kewenangan itu kepada
penguasa Makkah. Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, maka
kewenangan itu tetap dimiliki oleh penguasa Makkah sekarang (Saudi Arabia), meski kekuasaannya
tidak sesuai syariah Islam karena berbentuk kerajaan, bukan Khilafah. (Abdurrahman Al-Baghdadi,
Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta: Insan
Citra Media Utama), 2007, hal. 113)
Jelaslah, bahwa khusus untuk penetapan Idul Adha, rukyatul hilal yang dipakai patokan umat Islam
seluruh dunia adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan yang lain. Kemudian, sesuai hadits, jika
penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah rukyat dari negeri-negeri yang lain dapat dijadikan
patokan, selama terdapat dua saksi yang adil yang mempersaksikan terbitnya hilal bulan Dzulhijjah.
Sikap Terhadap Hisab
Hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan qomariyah, khususnya dalam masalah
ibadah shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada,
kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah
dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah
berbuat baik.
Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul
hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan
hari raya. Rasulullah ﷺ bersabda:
لرؤيته اوأفطرو لرؤيته اوصوم
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR
Bukhari no.1776; Muslim no.1809; At-Tirmidzi no.624; An-Nasa`i no.2087).
Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan
puasa sampai 30 hari, meskipun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual.
Pendapat bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan qomariah ini adalah pendapat
jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Lihat pandangan
6. 6
ulama mazhab Hanafi dalam Al-Mabsuth, 3/85; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/316-7; pandangan ulama
mazhab Maliki dalam Al-Isyraf, 1/425; Al-Istidzkar, 3/287, Mawahib Al-Jalil, 3/289; pandangan ulama
mazhab Syafii dalam Al-Majmu’, 6/289-290; Raudhatut Thalibin, 2/210-211; pandangan ulama mazhab
Hanbali dalam Al-Mughni, 4/338. (dikutip dari Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim Al-Yahya, Atsar
Al-Qamarain fi Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah, hal. 154)
Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan qomariyah,
seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab
Syafi’i), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain. Dalil pendapat ini antara lain
sabda Nabi ﷺ faqduruu lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah “perkirakanlah
dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut
adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah”
(sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam.
Pendapat tersebut tidak tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqduruulah), artinya yang tepat
bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari.”
Memang hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat
hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan
maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits
yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah
bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisab-lah). (Lihat pembahasan mujmal dan mubayyan dalam kitab-
kitab ushul fiqih, misalnya Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut: Darul Fikr), 1990,
hal. 340-341)
Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan qomariah, namun hisab dapat
dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya,
maka shalat dikaitkan dengan “masuknya waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu
dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.
Juga tidak tepat pendapat bahwa jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan
hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah
qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan). (Inilah pendapat Al-Qaradhawi, yang berasal
dari As-Subki dalam Fatawa As-Subki, 1/219/220)
Pendapat ini tidak diterima dengan beberapa argumen. Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat
ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak
memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat
‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-
bukti syar’i (al-bayyinat asy-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab. Kedua, syara’ telah
menetapkan bahwa penentuan awal bulan qomariah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh
manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni
penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu
kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru
(asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secara waqi’i/faktual) hanya ditetapkan
7. 7
berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal. (Lihat: Abu Hakim, Khatha` I’timad
Al-Hisab Al-Falaki fi Nafyi Ru`yah Al-Hilal)
Karena itu, perlu kami tegaskan di sini; pertama, bahwa hisab falaki (perhitungan astronomi), menurut
kami, tidak dinyatakan oleh nas syara’, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa
ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi
lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam
bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian Barat, bisa jadi sudah
berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa pada hari Rabu. Ini benar-benar
bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab,
maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di
bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan
Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir,
sehingga puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan
menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika
mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali’ (kesatuan mathla’). (Abu Iyas Mahmud bin
‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam as-Shiyam, Muassasah ar-Risalah, cet. I, t.t. hal 44-45)
Perlu Institusi Pemersatu
Perbedaan dalam penentuan awal bulan qomariyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya,
tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam
akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah,
umat Islam terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing
merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.
Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi amanat untuk
menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan dan perpecahan umat dalam
menentukan awal bulan qomariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar’i
yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan
demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan:
يف اخلالف يرفع اإلمام أمراإلجتهادية املسائل
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
(khilafiyah).” (Lihat: Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar`iyyah,
(Beirut: Darul Bayariq), 1996, 1/105 dan 2/904)
Wallahu a’lam.
Bacaan: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hizbut Tahrir
Indonesia