SlideShare a Scribd company logo
1 of 63
Download to read offline
PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Reviono
PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?
UNS PRESS
PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?
Hak CiptaReviono. 2017
Penulis
Dr. dr. Reviono, Sp.P (K)
Editor
Dr. dr. Harsini, Sp. P (K)
Ilustrasi Sampul
Arif Hasanudin
Penerbit dan Percetakan
Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press)
Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628
Website : www.unspress.uns.ac.id
Email : unspress@uns.ac.id
Cetakan 1, Edisi 1, November 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Rights Reserved
ISBN 978-602-397–172-5
- v -
KATA PENGANTAR
Sudah sekian lama diketahui, bahwa pneumonia
merupakan penyebab kematian utama. Penelitian tentang
pneumonia ini sudah berlangsung lama dan mulai intensif
dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Banyak sudut
pandang pemahaman mikrobiologi modern yang berubah.
Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh bakteri,
meskipun penelitian tentang antibiotik terus berkembang
tetapi pneumonia tetap menjadi penyebab utama
komplikasi penyakit dan juga kematian.
Berdasarkan asal dari sumber mikroba penyebab
pneumonia, pneumonia komunitas merupakan kasus
terbanyak. Selain itu terdapat pneumonia nosocomial,
pneumonia aspirasi dan juga health care associated
pneumonia. Beberapa faktor resiko yang berpeluang
berhubungan dengan pneumonia adalah usia yang sangat
tua atau sebaliknya sangat muda, gaya hidup seperti
peminum alcohol dan perokok. Selain itu individu yang
menderita sakit seperti kardiorespirasi kronik, gangguan
sinyal kronik, penyakit hepatic, diabetes mellitus, penyakit
kanker serta HIV-AIDS.
Terapi utama pneumonia bakterial adalah antibiotik,
dimana pemberian antibiotik awal disebut dengan terapi
empirik. Terapi empirik ini berdasarkan panduan tata
laksana yang relevan, usia pasien, penyakit penyerta dan
beratnya penyakit pneumonia. Pertimbangan pemilihan
dengan cara apa antibiotik tersebut akan diberikan, apakah
- vi -
secara oral atau parenteral juga menjadi pertimbangan. Hal
ini akan dihubungkan dengan keputusan pasien tersebut
akan rawat inap atau rawat jalan.
Penemuan antibiotik terus berkembang, akan tetapi
sampai saat ini kasus pneumonia masih menimbulkan
angka kematian yang tinggi, terutama di ICU yang
mendekati 35%. Salah satu penyebab tingginya angka
kematian tersebut adaah akibat respons inflamasi yang
cukup tinggi. Akibat repons inflamasi yang berlebihan,
meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap
berbahaya. Respons inflamasi yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan paru, sehingga perlu dikurangi.
Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu
mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang
terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi
lokal. Selama terjadinya proses inflamasi, berbagai jenis
sel-sel inflamasi diaktifkan. Proses inflamasi tersebut
mengeluarkan sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel
inflamasi. Sebenarnya ada beberapa golongan antiinflamasi
yang digunakan dalam terapi pernyakit yang berhubungan
dengan proses inflamasi.=, tetapi dalam buku ini tidak
disampaikan semuanya.
Terdapat 3 kategori anti inflamasi yang menarik
perhatian yaitu kortikosteroid, statin dan makrolid. Pada
makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang
mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik
klinis.
- vii -
Antiinflamasi yang pertama adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid merupakan inhibitor yang sangat kuat untuk
inflamasi. Kortikosteroid mematikan gen yang
mengkodekan sitokin proinflamasi dan mengaktifkan gen
yang mengkode sitokin antiinflamasi. Obat yang dipilih
pada penelitian ini adalah deksametason. Deksametason
merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh.
Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan
alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang
dimiliki prednisone. Deksametason memiliki efek
antiinflamasi yang ampuh dan efek mineralokortikoid
lemah dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga
mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan
air. Efek deksametason yang tahan lama, memungkinkan
pemberian rejimen hanya sekali sehari Deksametason
bekerja sebagai anti-mitosis pada sel system imun tubuh
melalui perubahan tingkat ekspresi gen. Deksametason
menghambat sel inflamasi di saluran pernapasan,
termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, sel dendritik, serta
dapat menginduksi ekspresi dual specificity phosphatase
(DUSP)1 atau lebih dikenal sebagai mitogen activated
protein kinase (MAPK) phosphatase 1 yang akan
mendefosforilasi dan menginaktivasi MAPKs. Kortikosteroid
dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi
diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau
TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitorI-kB kinase
(IKK)-2, dan mengaktifkan factor transkripsi NF-kB.
- viii -
Pada penelitian ini yaitu dalam pemberian
deksametason akan diukur respons inflamasi dengan
menggunakan penanda inflamasi dan penanda infkesi yaitu
pro-calcitonin (PCT) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Selain
menilai secara imunologi juga akan dinilai perbaikan klinis,
yaitu dinilai dengan batas waktu 5 hari rawat inap.
Antiinflamasi kedua yang akan diteliti yaitu
pravastatin dari golongan statin. Statin memiliki efek yang
disebut dengan efek pleotropik, antara lain antiinflamasi.
Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi oleh faktor
jenis kelamin dan usia Efek terapi pravastatin dipengaruhi
oleh dosis dan interaksi dengan obat lain yang menghambat
metabolisme statin.79Dosis pravastatin adalah 40 mg/ hari
dan sebaiknya diberikan saat perut kosong karena
makanan dapat menurunkan absorbsi pravastatin.
Penurunan kadar penanda biologi seperti C-reactive protein
(CRP) selama pemberian statin menjadi perhatian besar,
karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa
statin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan
terhadap aktivitas NF-kB. Kemampuan statin dalam
menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim paru
ditandai dengan penurunan kadar sitokin proinflamasi IL-6,
TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin utama pada influks netrofil
yang menjadi penyebab utama inflamasi paru.
Pada penelitian pemberian pravastatin sebagai
antiinflamasi pada kasus pneumonia akan dilihat
pengaruhnya dengan mengukur penanda inflamasi dan
infeksi yaitu PCT dan IL-6. Sedang respons klinis juga
- ix -
diteliti yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah
pemberian antiinflamasi selama 5 hari.
Antiinflamasi ketiga adalah azitromisin dari golongan
makrolid. Sebenarnya makrolid awalnya dikenal sebagai
antibiotika yang bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci,
Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat
bakterisid pada dosis tinggi. Saat ini makrolid diketahui
dapat meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan
atau mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah
pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas
fagosit dan menurunkan respons inflamasi. Obat yang
digunakan dari golongan makrolid ini adalah azitromisin.
Azitromisin memiliki efek antimikroba langsung dan dapat
memodulasi respons imun. Penelitian invitro dan hewan
menghasilkan data yang mendukung efek penghambatan
terhadap neutrofil dan aktivitas kemotaktik. Pemberian
azitromisin jangka panjang telah terbukti menurunkan
kadar IL-8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan
bronkus. Pada penelitian akan diberikan pada penderita
pneumonia, dan pemberiannya hanya jangka pendek.
Variabel yang diukur untuk melihat pengaruh
pemberian azitromisin adalah penanda inflamasi dan
infeksi yaitu IL-8 dan netrofil sputum. Selain menilai secara
imunologis juga dilihat respons klinis, yaitu dengan
mengukur perbaikan klinis setelah pemberian azitromisin.
Penelitian ini kami lakukan dengan sampel dari pasien
pneumonia RSUD Dr Moewardi. Kami ucapkan banyak
terimakasih kepada dr Bobby Singh, SpP, dr Jan Yanto
- x -
Lydwines Purba, SpP dan dr Leonardo Helasti Simanjutak,
SpP yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian
payung, mulai menentukan proses registrasi sampel,
pemeriksaan variable penelitian, dan penulisan laporan
hingga terbitnya buku ini.
Semoga buku ini akan membawa manfaat bagi dokter
yang melakukan pelayanan kasus pneumonia, dapat
memberikan pertimbangan dalam upaya layanan kepada
masyarakat yang lebih baik. Kami mohon kritik dan saran
demi perbaikan penulisan selanjutnya.
Dr. dr. Reviono, SpP(K)
- xi -
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................ v
daftar Isi ........................................................................................... xi
Daftar Tabel ..................................................................................... xiv
Daftar Gambar................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1
BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA ................................ 9
A. Pertahanan Paru ..................................................... 10
B. Respons Sistem Imun .............................................. 13
BAB III TERAPI PNEUMONIA............................................... 19
A. Terapi Antibiotik .................................................... 20
B. Terapi Suportif ....................................................... 21
C. Terapi Antiinflamasi .............................................. 22
BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI....................................... 25
A. Kortikosteroid......................................................... 26
1. Mekanisme kerja glukokortikoid................... 30
2. Efek Antiinflamasi Deksametason pada
Pneumonia ........................................................ 33
B. Statin......................................................................... 36
1. Mekanisme Kerja Statin................................ 37
2. Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada
Pneumonia...................................................... 43
C. Makrolid .................................................................. 45
1. Mekanisme Kerja Makrolid........................... 50
2. Efek Antiinflamasi Makrolid......................... 54
3. Azitromisin sebagai Antiinflamasi pada
Pneumonia....................................................... 56
- xii -
BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA......................... 59
A. Respons Klinis ....................................................... 60
B. Penanda Biologi pada Pneumonia ..................... 63
1. Procalcitonin (PCT).......................................... 65
2. Tumor necrosis factor (TNF)-α ........................ 68
3. Interleukin-6 (IL-6)........................................... 69
4. Interleukin-8 (IL-8)........................................... 71
5. Neutrofil sputum.............................................. 73
BAB VI PENELITIAN SENDIRI.............................................. 77
A. Metode Penelitian................................................... 78
1. Definisi operasional variabel penelitian ....... 80
2. Teknik Pemeriksaan ........................................ 84
3. Prosedur pengumpulan data ......................... 88
4. Analisis data ..................................................... 89
B. Kerangka Konsep Penelitian................................. 91
C. Hasil Penelitian....................................................... 95
1. Karakteristik dasar subyek penelitian .......... 95
2. Pengaruh pemberian deksametason
terhadap kadar PCT danTNF-..................... 101
3. Pengaruh pemberian pravastatin terhadap
kadar PCT dan IL-6 ......................................... 109
D. Pengaruh pemberian azitromisin terhadap
kadar IL-8 dan neutrofil sputum.......................... 113
E. Pemberian deksametason, pravastatin dan
azitromisin terhadap pencapaian perbaikan
klinis......................................................................... 118
BAB VII PEMBAHASAN............................................................ 123
A. Pemberian deksametason pada pneumonia....... 125
B. Pemberian Pravastatin pada pneumonia ........... 129
C. Pemberian azitromisin pada pneumonia............ 133
D. Perbaikan Klinis...................................................... 137
- xiii -
BAB VIII PENUTUP...................................................................... 141
A. Kesimpulan ............................................................ 143
B. Saran........................................................................ 144
Daftar Pustaka................................................................................. 146
Daftar Singkatan.............................................................................. 160
Biodata.............................................................................................. 165
- xiv -
Daftar Tabel
Tabel 4.1. Pembagian golongan makrolid ................. 47
Tabel 6.1. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 97
Tabel 6.2. Karateristik subyek penelitian ................. 98
Tabel 6.3. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 100
Tabel 6.4. Perbandingan kadar PCT dan TNF-
sebelum (pre) perawatan antara
kelompok deksametason dan kelompok
kontrol..................................................... 103
Tabel 6.5. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum pada kelompok
Deksametason......................................... 104
Tabel 6.6. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum pada kelompok kontrol....... 106
Tabel 6.7. Perbandingan kadar PCT serum dan
kadar TNF- serum sesudah perawatan
antara kelompok deksametason dan
kelompok kontrol..................................... 108
Tabel 6.8. Perbandingan kadar PCT dan IL-6
sebelum (pre) perawatan antara
kelompok Pravastatin dan kelompok
kontrol..................................................... 110
Tabel 6.9. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
IL-6 serum pada kelompok Pravastatin.... 111
Tabel 6.10. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
IL-6 serum pada kelompok kontrol .......... 112
Tabel 6.11. Perbandingan kadar PCT serum dan
IL-6 sesudah perawatan antara
kelompok pravastatin dan kelompok
kontrol..................................................... 113
Tabel 6.12. Perbandingan kadar IL-8 dan Neutrofil
sputum sebelum (pre) perawatan antara
kelompok azitromisin dan kelompok
kontrol..................................................... 114
- xv -
Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum pada kelompok
azitromisin............................................... 116
Tabel 6.14. Perubahan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum pada kelompok kontrol. 117
Tabel 6.15. Perbandingan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum sesudah perawatan
antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol..................................... 118
Tabel 6.16. Perbandingan pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol..................................... 119
Tabel 6.17. Perbedaan lama pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok pravastatin dan
kontrol..................................................... 120
Tabel 6.18. Perbandingan pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol..................................... 121
- xvi -
Daftar Gambar
Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada
pneumonia ............................................ 11
Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu
kaskade bakteri..................................... 17
Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada
Sitoplasma............................................. 32
Gambar 4.2. Struktur kimia statin............................. 36
Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin.... 42
Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika.... 46
Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid..................... 49
Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika.................. 51
Gambar 4.7. Mekanisme antiinflamasi dan
imunomodulator.................................... 53
Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal
intraseluler oleh azitromisin .................. 58
Gambar 5.1. Respons klinis selama perawatan
pneumonia. ........................................... 62
Gambar 6.1. Kerangka teori terjadinya pneumonia..... 93
Gambar 6.2. Kerangka Konsep pemberian
Antiinflamasi ......................................... 94
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia, yaitu radang parenkim paru yang disebabkan
infeksi mikroba. Untuk kuman penyebab yang didapat dari
masyarakat disebut dengan pneumonia komunitas (PDPI,
2014), merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling
serius. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan jumlah kasus
rawat inap, yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus,
peningkatan komplikasi yang serius dan juga sebagai
penyebab utama kematian diantara kasus infeksi lainnya
(Steel HC, et al, 2013).
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
2
Tatalaksana kasus pneumonia adalah diagnosis dini
dan segera memulai dengan pemberian antibiotik yang
tepat (Meijvis SCA, et al, 2011). Peningkatan kasus
pneumonia terutama pada usia lanjut dengan angka
kematian pneumonia secara umum sekitar 10%. Angka ini
relatif tidak berubah sejak ditemukan antibiotik dan
penggunaannya secara luas pada tahun 1950an. (Chalmers
JD, et al, 2010). Upaya tindakan preventif seperti vaksinasi
dan pengembangan antibiotik yang terus berlanjut,
ternyata angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap
tinggi (Meijvis SCA, et al, 2011).
Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yaitu kasus
pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di
rumah sakit 20-40%, diantara angka tersebut 5-10%
memerlukan perawatan intensif. Angka prevalensi
pneumonia yang membutuhkan rawat inap di Indonesia
berada dalam 10 besar seluruh kasus rawat inap. Angka
kematian kasus atau crude fatality rate (CFR) pneumonia
tertinggi yaitu 7,6% (PDPI, 2014).
Penyebab kematian pneumonia memang multifaktorial
diantaranya adalah inflamasi berlebihan baik inflamasi
sistemik maupun inflamasi lokal terbatas pada organ paru.
Selain itu adalah acute lung injury, disfungsi endotel pada
vaskuler dan koagulopati (Chalmers JD, et al, 2010).
Walaupun sebenarnya rangkaian kejadian dari proses
tersebut saling berkaitan dengan diawali oleh suatu proses
inflamasi yang dapat mengganggu fungsi endotel, berlanjut
acute lung injury dan gangguan koagulopati.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
3
Proses inflamasi terjadi saat bakteri masuk ke dalam
tubuh, respons inflamasi merupakan suatu mekanisme
pertahanan tubuh dalam usaha melawan invasi bakteri
sehingga dapat dieliminasi. Proses inflamasi akan berhenti
apabila bakteri tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, apabila bakteri tidak dapat dieliminasi akan
terus berkembang dan menyebabkan kerusakan jaringan
(Baratawidjaja KG, et al, 2012; Bordon J, et al, 2012).
Meskipun respons inflamasi yang memadai diperlukan
untuk membersihkan bakteri, tetapi inflamasi yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lokal ataupun
sistemik yang terjadi terus menerus (Meijvis SCA, et al,
2012)
Bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebenarnya akan
lewat begitu saja kalau tidak ada reseptor yang
mengenalinya. Akan tetapi bakteri patogen akan
mengeluarkan suatu produk yaitu pathogen associated
molecular pattern (PAMP) yang akan dikenal oleh pattern
recognition receptors (PRRS) misalnya toll like receptor (TLR).
Toll like receptor terletak di permukaan makrofag alveolar,
yang selanjutnya akan mengaktifkan NFκβ sehingga terjadi
pelepasan sitokin pro inflamasi, misalnya tumor necrosis
factor (TNF)-α, interleukin IL-6, IL-8, IL-1β dan IFN-α.
(Martinez, et al, 2011; Moldoveanu, et al, 2009). Sitokin pro
inflamasi ini akan meningkat saat terjadi infeksi mikroba.
Sitokin ini juga akan merangsang pelepasan procalcitonin
(PCT) (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009) dan
menginduksi ekstravasasi neutrofil ke jaringan (Medzhitov
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
4
R, 2010). Untuk menilai derajat pneumonia dapat
dilakukan dengan mengukur sitokin pro inflamasi tersebut
maupun substansi lainnya seperti PCT dan sel inflamasi
seperti neutrofil jaringan misalnya dalam jaringan bronkus.
Sudah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan IL-
6 PCT (Maruna P, et al, 2000), TNF-α (Martinez, et al, 2011,
Moldoveanu, et al, 2009), neutrofil jaringan (Medzhitov R,
2010).
Sampai saat ini terapi pneumonia hanya mengandal-
kan antibiotik, selain itu belum ada lagi. Oleh karena itu
perlu terapi tambahan agar dapat mengurangi beratnya
penyakit (Meijvis SCA, et al, 2011; Chalmers JD, et al,
2010). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
beratnya penyakit pneumonia adalah akibat inflamasi yang
berlebihan, oleh karena itu perlu suatu terobosan dan
pemberian suatu anti inflamasi untuk mencegah terjadinya
kerusakan jaringan yang lebih lanjut.
Pemberian anti inflamasi pada kasus pneumonia
merupakan suatu upaya untuk dapat menurunkan angka
kematian pneumonia. Terdapat beberapa pilihan anti
inflamasi yaitu golongan kortikosteroid, makrolid dan saat
ini yang menarik adalah golongan statin (Steel HC, et al,
2013, Meijvis CSA et al, 2012). Selain masih terdapat
antiinflamasi lain yaitu cyclic adenosin monophosphate (c-
AMP) dan non steroidal antiinflamatory agents (NSAIDS)
(Steel HC, et al, 2013).
Terapi inflamasi pada kasus pneumonia dengan
kortikosteroid sudah beberapa kali dilakukan dengan hasil
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
5
yang berbeda-beda. Pemberian kortikosteroid dosis rendah
dapat menghambat transkripsi sitokin proinflamasi
sehingga akan mencegah perpanjangan respons inflamasi
dan mempercepat resolusi sistemik dari inflamasi paru
pada pneumonia (Meijvis SCA, et al, 2011). Salah satu
steroid yang cukup kuat adalah deksametason.
Deksametason memiliki sifat antiinflamasi yang kuat tetapi
dengan efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan
dengan kortikosteroid yang lain. Efek mineralokortikoid
yang lemah akan menguntungkan karena mencegah
gangguan reabsorbsi natrium dan keseimbangan air. Efek
yang menguntungkan lainnya adalah bersifat long acting
sehingga memungkinkan pemberiannya hanya sekali.
(Goldfian, et al, 2005; Meijvis SCA, et al, 2011). Beberapa
hasil penelitian yang menunjukan keunggulan
deksametason adalah penelitian Meijvis SCA et al yang
terbukti mengurangi waktu rawat inap. (Meijvis SCA, et al,
2011), penelitian Hilde et al, membuktikan deksametason
mampu menekan respons sitokin pro inflamasi pada
pneumonia komunitas. (Hilde, et al, 2012), serta Abraham
et al, mampu membuktikan bahwa deksametason mampu
menekan gen pro inflamasi antara lain gen TNF,
siklooksigenase 2, IL-1α dan hasil IL-1β (Abraham, et al,
2006). Selain itu juga terdapat penelitian dengan hasil
sebaliknya yaitu penelitian Davies dan Groenewegen yang
menyatakan pemberian kortiko steroid jangka pajang dapat
memberikan efek buruk bagi pasien dan meningkatkan
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
9
BAB II
PATOGENESIS PNEUMONIA
Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan
dari mikroorganisme dalam melawan pertahanan paru yang
berakibat peradangan parenkim paru. Inflamasi merupakan
respons pertahanan host akibat rusaknya jaringan paru oleh
karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada
dasarnya merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap
mikroorganisme patogen (Moldoveanu, et al, 2009).
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
10
A. Pertahanan Paru
Infeksi saluran napas bawah tergantung dari
virulensi dan kolonisasi dari mikroorganisme yang dapat
melampaui mekanisme pertahanan paru. Mekanisme
pertahanan paru terdiri dari: (Mason CM, et al, 2005;
Goetz MB, et al, 2005))
1. Saluran napas atas yaitu hidung berfungsi sebagai
penyaring partikel dibuang melalui bersin dan faring
berfungsi mengeluarkan partikel atau mikroorganis-
me melalui batuk atau tertelan.
2. Imun alamiah melalui sekresi sel epitel di saluran
napas bawah seperti lisosom (enzim sel epitel
berfungsi memecah dinding sel bakteri terutama
pada bakteri gram positif), laktoferin (protein yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri), defensin
(protein yang diproduksi oleh bermacam-macam sel
epitel berfungsi merusak struktur bakteri dengan
meningkatkan permeabilitas membran),
leukoprotease inhibitor (protein yang berfungsi
menghambat neutrofil elastase dan menghambat
aktivitas bakteri), dan cathelicidin (peptida neutrofil
berfungsi menghambat aktivitas bakteri gram
negatif). Sistem imun alamiah lainnya seperti
makrofag dan neutrofil yang berasal dari pembuluh
darah kapiler masuk ke dalam alveoli melalui reaksi
inflamasi makrofag.
3. Sistem pertahanan imun didapat yang berada di
saluran napas adalah immunoglobulin (Ig) terutama
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
19
BAB III
TERAPI PNEUMONIA
Tujuan utama dari terapi pneumonia komunitas adalah eradikasi
patogen penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu
perawatan dan mencegah infeksi berulang. Faktor komorbid dapat
menjadi penyebab kegagalan pengobatan dan dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme tertentu
(PDPI, 2014). Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan
pengobatan suportif dan terapi antiinflamasi.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
20
A. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia
sebaiknya didasarkan pada data mikroorganisme dan
hasil uji kepekaan (Irfan M, et al, 2013). Terapi empiris
dapat diberikan hingga didapatkan data mikro-
organisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas
dalam perawatan di rumah sakit disebabkan oleh
bakteri (Caballero J, et al, 2011). Pemilihan antibiotik
secara empiris berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis
kuman penyebab berdasarkan pola kuman setempat,
terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan
faktor komorbid. Terapi antimikroba harus dimulai
sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia
ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan
antibiotik dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit
(< 4 jam akan menurunkan angka kematian) (PDPI,
2014). Karakteristik farmakokinetik dan farmako-
dinamik antibiotik menentukan hasil dari terapi
terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik
harus segera di mulai, dilanjutkan dengan total 7-10
hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik
parenteral dapat diganti ke oral segera setelah ada
perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri
patogen dapat diberikan setelah hasil kultur tersedia,
jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman penyebab,
pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari)
(PDPI, 2014).
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
25
BAB IV
TERAPI ANTIINFLAMASI
Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme
pertahanan host terhadap mikroorganisme patogen.
Meskipun demikian inflamasi yang terlalu besar dapat
mengancam jiwa terutama pada organ yang membutuhkan
pertukaran gas. Keseimbangan respons inflamasi (antara pro
dan antiinflamasi yang sulit dicapai) sangat dibutuhkan pada
homeostasis paru. (Meijvis SCA, et al, 2012)
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
26
Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun
terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya.
Pemberian terapi tambahan diharapkan dapat mengubah
respons imun agar menjadi lebih menguntungkan sehingga
dapat memperbaiki prognosis. Antibiotik dapat mempe-
ngaruhi keseimbangan antara sistem pertahanan dan efek
samping dari sistem imun yang berlebihan. Akibat kerja
antibiotik yang efektif akan menyebabkan penurunan
kebutuhan respons inflamasi, selanjutnya terjadi
kedudukan yang seimbang dari proses inflamasi tersebut
yang merupakan keberhasilan kombinasi pemberian
antibiotik dan antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada
makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang
mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik
klinis yaitu kortikosteroid, statin dan golongan makrolid.
A. Kortikosteroid
Korteks adrenal menghasilkan berbagai jenis
kortikosteroid seperti glukokortikoid, mineralkortikoid
dan hormon androgen. Zat yang dihasilkan oleh korteks
adrenal berperan dalam homeostasis, keseimbangan
elektrolit dan perkembangan karakter seks. Pemberian
terapi steroid mempengaruhi produksi endogen
kortikosteroid dan memberikan efek supresif pada aksis
hypothalamicpituitary adrenal. Korteks adrenal terdiri
dari tiga zona yaitu zona glomerulosa yang berfungsi
menghasilkan aldosteron atau mineralkortikoid, zona
fasikulata berfungsi menghasilkan kortisol atau
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
59
BAB V
EVALUASI TERAPI PNEUMONIA
Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis
adalah komponen penting dalam penatalaksanaan
pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi
dalam membuat sejumlah keputusan penting, (Akram AR, et
al, 2013). Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan
pemeriksaan penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi
sistemik ataupun khusus (Viasus D, et al, 2010).
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
60
Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis
adalah komponen penting dalam penatalaksanaan
pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi
dalam membuat sejumlah keputusan penting, antara lain:
untuk pergantian antimikroba intravena menjadi oral dan
untuk memulangkan pasien dari rumah sakit. Perbaikan
klinis penderita pneumonia dapat dinilai dengan berbagai
kriteria antara lain menggunakan kriteria Halm dan kriteria
American Thoracic Society/ Infectious Disease Society
American (2007) (Akram AR, et al, 2013).
Sebenarnya untuk kriteria klinis ada beberapa yang
pernah dilagunakan yaitu Pneumonia severity index (PSI),
CURB-65 (confusion, ureum, respiratory rate, blood pressure,
65 years old), dan CRB-65. Ketiga sistem tersebut
mempunyai persamaan dalam hal keakuratan penilaian
tetapi lebih sesuai digunakan sebagai prediktor beratnya
penyakit dan juga lama rawat (Surjanto E, et al, 2013)
Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan pemeriksaan
penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi ataupun
sitokin (Viasus D, et al, 2010).
A. Respons Klinis
Respons klinis terhadap terapi yang diberikan pada
penderita pneumonia rawat inap dinilai berdasarkan
perbaikan klinis (Ramirez SH, et al, 2008; Viasus D, et
al, 2013). Waktu terjadinya stabilitas klinis pada pasien
CAP yang dirawat inap dapat dianggap sebagai indikator
respons klinis yang sedang berlangsung. Aliberti dkk
berpendapat bahwa keterlambatan dalam mencapai
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
77
BAB VI
PENELITIAN SENDIRI
Pada penelitian ini diteliti peranan deksametason dosis 5 mg
perhari, pravastatin dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis
250 mg perhari pada kasus pneumonia, dengan mengukur
penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6, penanda infeksi yaitu
PCT dan neutrofil sputum dari sisi imunologis, serta diukur
dari sisi klinis yaitu untuk perbaikan klinis
untuk menilai hasil terapi.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
78
A. Metode Penelitian
Penelitian sendiri ini terdiri dari 3 penelitian yaitu
penelitian dengan melakukan pemberian 3 jenis
antiinflamasi pada pasien pneumonia, masing masing
penelitian menggunakan antiinflamasi yang berbeda.
Untuk menilai output atau variabel tergantung
menggunakan variabel yang sama dan ada pula yang
berbeda. Variabel tergantung yang sama adalah
perbaikan Klinis, sedangkan variabel yang lain adalah
penanda biologi. Untuk penanda inflamasi akibat infeksi
digunakan PCT, dan neutrofil sputum sedangkan untuk
penanda inflamasi sistemik digunakan sitokin (IL-6, IL-8
dan TNF–α). Pada penelitian I dilakukan pemberian
antiinflamasi golongan kortikosteroid yaitu deksametason,
penelitian II pemberian antiinflamasi golongan statin
yaitu pravastatin dan penelitian III pemberian makrolid
yaitu azitromisin. Penelitian ini dilakukan dengan
dibantu mahasiswa pendidikan dokter spesialis
Pulmonolog dan Kedokteran Respirasi Fakultas
kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Desain penelitian ini adalah uji klinis dengan
metode quasi experimental dan menggunakan pretest
and posttest design pada kelompok perlakuan dan
kontrol. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang
diberi terapi pneumonia standard sesuai pedoman
penatalaksanaan pneumonia oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) tahun 2014 dengan ditambahkan
antiinflamasi sedangkan kelompok kontrol adalah
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
123
BAB VII
PEMBAHASAN
Masalah klinis dan imunologis pada kasus pneumonia ini
adalah terjadinya respons inflamasi yang cukup tinggi di
lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi ini sebenarnya
dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman patogen penyebab
peumonia (Mizgerd JP, 2008). Akan tetapi apabila respons
inflamasi dengan produksi sitokin yang berlebihan, serta
melibatkan respons inflamasi sistemik yang luas akan
menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena itu dibutuhkan
respons inflamasi yang seimbang dan cukup untuk
mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau tidak berlebihan,
untuk mencegah efek sistemik dari inflamasi tersebut.
(Meijvis SCA, et al, 2012).
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
124
Meskipun perkembangan-perkembangan penemuan
antibiotik terus maju, juga tindakan pencegahan misalnya
vaksinasi terus berlanjut, tetapi angka kesakitan dan
kematian pneumonia tetap tinggi. Apalagi kalau
dihubungkan dengan pembiayaan perawatan kesehatan
yang membutuhkan biaya semakin tinggi (Meijvis SCA, et
al, 2012). Masalah klinis dan imunologis pada kasus
pneumonia ini adalah terjadinya respons inflamasi yang
cukup tinggi di lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi
ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman
patogen penyebab peumonia (Mizgerd JP, 2008). Berbagai
produk reaksi inflamasi yaitu sitokin-sitokin tersebut yang
terdapat di lokasi inflamasi diperlukan untuk
mengeliminasi dan mengontrol infeksi primer pada
pneumonia tersebut (Meijvis SCA, et al, 2012). Akan tetapi
apabila respons inflamasi dengan produksi sitokin yang
berlebihan, serta melibatkan respons inflamasi sistemik
yang luas akan menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena
itu dibutuhkan respons inflamasi yang seimbang dan
cukup untuk mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau
tidak berlebihan, untuk mencegah efek sistemik dari
inflamasi tersebut. Intervensi atau terapi yang ideal adalah
yang mampu menurunkan komplikasi sistemik dari
respons inflamasi tersebut tanpa menganggu perbaikan
inflamasi yang bersifat lokal (Meijvis SCA, et al, 2012). Oleh
karena itu pemberian antiinflamasi diharapkan mampu
mengatasi masalah ini.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
125
Pada saat terjadi respons inflamasi oleh tubuh akibat
terpajan bakteri, berbagai macam sel inflamasi akan aktif,
serta berbagai produk sitokin ataupun mediator inflamasi
akan terlibat pada proses ini. Sitokin terbagi menjadi
protein pro dan antiinflamasi. Sitokin proinflamasi yang
penting adalah IL-6 dan TNF α. Respons inflamasi dimulai
dengan peningkatan TNF-α yang singkat tetapi intens
diikuti dengan peningkatan IL-Iβ dan IL-6, Selanjutnya, IL-
10 yang merupakan sitokin antiinflamasi akan terinduksi
dan menghambat produksi makrofag dan neutrofil.
Pelepasan IL-10 adalah merupakan awal dari respons
antiinflamasi untuk mencegah inflamasi yang tidak
terkontrol. Interleukin 8 dan monocyte chemoattractant-1
merupakan kemokin yang memobilisasi, mengaktifkan dan
merangsang degranulasi leucocyte polymorphonuclear
(PMNs) (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada penelitian ini diteliti
peranan deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin
dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari
dengan mengukur penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6,
serta penanda infeksi yaitu PCT dan neutrofil sputum.
Selain dari sisi imunologis juga diukur dari sisi klinis yaitu
untuk perbaikan klinis.
A. Pemberian deksametason pada pneumonia
Pada penelitian pemberian deksametason ini
menggunakan parameter PCT sebagai penanda inflamasi
akibat infeksi dan TNF sebagai penanda inflamasi
sistemik. Hasil penelitian ini menunjukkan
deksametason mampu menurunkan PCT sebagai
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
126
penanda infeksi, tetapi untuk penurunan inflamasi
sistemik tidak terbukti. Deksametason mampu menekan
respons inflamasi akibat infeksi ditandai dengan
menurunnya PCT secara bermakna dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak terjadi penurunan
PCT. Procalcitonin (PCT) merupakan penanda infeksi
yang stabil, efisien dan mudah dilakukan pemeriksaan
(Kosanke R, et al, 2008). Kadar PCT pada infeksi bakteri
akan meningkat dalam waktu 4 jam pertama dan
mencapai puncaknya selama 8-24 jam. (Chamberlain
RS, et al, 2014), kemudian akan menurun setelah 1,5
hari dan akan mencapai setengahnya dari kadar puncak
(Meisner M, 2013). Kadar PCT meningkat saat infeksi
dengan berbagai jalur, yaitu akibat rangsangan
endotoksin (infeksi bakteri) sehingga sel-sel
neuroendokrin akan memproduksi PCT. (Nakamura M,
et al, 2013; Lee H, 2013). Selain itu juga melalui jalur
lain yaitu lewat rangsangan IL-1β, IL-6 dan TNF-α (Lee
H, 2013; Nakamura, et a., 2013). Rangsangan sitokin
tersebut akan meningkatkan produksi PCT dalam
sirkulasi darah (Nakamura M, et al, 2013).
Secara umum diketahui bahwa kortikosteroid
merupakan penghambat inflamasi yang sangat poten.
Kortikosteroid akan memutus gen yang menyandi
sitokin antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada
penelitian ini pasien pneumonia mendapat
deksametason 5 mg perhari selama 5 hari yang
merupakan dosis rendah. Meijvis SCA, et al
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
127
menyampaikan pemberian kortikosteroid dosis rendah
maupun menurunkan proses transkripsi sitokin
proinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada dosis
rendah kortikosteroid akan mengontrol penurunan
transkripsi sitokin proinflamasi, sehingga akan mampu
mencegah perpanjangan respons inflamasi dari mediator
inflamasi, selain itu diharapkan akan mempercepat
resolusi sistemik dan inflamasi paru pada CAP.
Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki
efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan
pelepasan histamin. Deksametason merupakan salah
satu kortikosteroid sintetis kuat. Kemampuannya dalam
menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih
sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki
prednisone. (Meijvis, et al, 2011). Hal ini terbukti
deksametason yang menghambat aktivitas NF-κβ
sehingga akan menekan produksi TNF-α dan IL-β
(Barnes P, 2005) sehingga akan menurunkan PCT
sebagai penanda infeksi. Efek deksametasonyangtahan
lama, memungkinkan pemberiannya hanyasekali sehari
(Meijvis SCA,et al, 2011).
Berdasarkan data penelitian ini, pengaruh
pemberian deksametason terhadap kadar TNF-α serum
didapatkan penurunan, tetapi tidak bermakna. Data ini
berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Hilde et al.
Penelitian tersebut menggunakan deksametason dengan
yang sama dengan penelitian ini yaitu 5 mg tiap hari
dan menggunakan variabel penanda inflamasi IL-6, IL-8,
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
141
BAB VIII
PENUTUP
Pemberian antiinflamasi deksametason dan
azitromisin direkomendasikan sebagai terapi tambahan,
atau pendamping antibiotik pada kasus pneumonia.
Alasannya, karena mampu menurunkan reaksi inflamasi
akibat infeksi serta mempercepat perbaikan klinis. Untuk
pemberian pravastatin dapat dipertimbangkan sebagai
antiinflamasi dalam tatalaksana pneumonia terutama
pada kasus tanpa penyakit penyerta yang berat.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
142
Tujuan utama terapi pneumonia adalah eradikasi
kuman penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan
waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang (PDPI,
2014). Antibiotik merupakan terapi utama pada
penatalaksanaan pneumonia bakterial. Selain terapi
antibiotik, komponen lain adalah terapi suportif untuk
menghilangkan gejala pneumonia misalnya antipiretik,
mukolitik, ekspektoran, terapi oksigen, terapi cairan dan
juga memberikan istirahat yang cukup kepada pasien
pneumonia.
Akhir-akhir ini antiinflamasi mulai menarik perhatian
untuk digunakan dalam tatalaksana pneumonia. Dasar
pemberian terapi inflamasi adalah terjadinya respons
inflamasi yang tinggi pada pneumonia. Inflamasi adalah
respons imun yang bertujuan mengeliminasi mikroba
patogen, tetapi reaksi imun yang menetap dan berlebihan
seperti pada kasus pneumonia akan menyebabkan
kerusakan struktur dan fungsi paru (Mizgerd, 2008).
Keseimbangan respons inflamasi sangat dibutuhkan pada
homeostasis paru. Pemberian terapi antiinflamasi
diharapkan dapat mengubah respons imun agar lebih
menguntungkan. Data penelitian pemberian antiinflamasi
pada pneumonia masih terbatas dan banyak terjadi
perbedaan hasil yang didapat. Selain itu juga masih banyak
pula perbedaan pendapat mengenai golongan antiinflamasi
apa yang baik untuk kasus pneumonia.
Pada penelitian ini digunakan 3 antiinflamasi yaitu
deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin dosis 40 mg
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
143
perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari. Desain
penelitian ini cukup ketat dengan menggunakan kelompok
kontrol yang relatif sama dengan kelompok perlakuan. Pada
kedua kelompok terapi antibiotik awal secara empiris
menggunakan pola kuman setempat, dan apabila didapatkan
factor modifikasi digunakan pedoman pneumonia
komunitas yang diterbitkan oleh PDPI.
A. Kesimpulan
1. Pada penelitian ini diteliti 3 antiinflamasi yang
mempunyai peluang digunakan dalam terapi
pneumonia
a. Deksametason dapat menurunkan respons
inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan
PCT dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.
b. Pravastatin dapat menurunkan respons inflamasi
yang ditunjukkan dengan penurunan PCT
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.
c. Azitromisin dapat menurunkan respons inflamasi
yang ditunjukkan dengan penurunan IL-8 dan
neutrofil sputun dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
2. Selain mengukur pengaruh antiinflamasi secara
imunologi, juga dilakukan penilaian secara klinis
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
144
yaitu dengan menilai perbaikan klinis. Pemberian
antiinflamasi :
a. Deksametason, dapat mencapai waktu perbaikan
klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
b. Pravastatin, waktu perbaikan klinis yang dicapai
tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
c. Azitromisin, dapat mencapai waktu perbaikan
klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
B. Saran
1. Pemberian antiinflamasi deksametason dan
azitromisin direkomendasikan sebagai terapi
tambahan, sebagai pendamping antibiotik pada
kasus pneumonia. Untuk pemberian pravastatin
dapat dipertimbangkan sebagai antiinflamasi dalam
tatalaksana pneumonia terutama pada kasus tanpa
penyakit penyerta yang berat.
2. Perlu dilakukan penelitian multi center di Indonesia,
karena pada penelitian ini pengaruh strain bakteri di
sirkulasi berbeda antar lokasi, mungkin akan
berpengaruh terhadap hasil terapi.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
145
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu untuk
kasus pneumonia rawat jalan, karena setting dari
penelitian ini adalah rawat inap di rumah sakit.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
146
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. 2012. Innate immunity. In: Abbas AK, Lichtman
AH, Pillai S, editors. Cellular and molecular
immunology. 7th edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier. hlm. 55-88.
Abraham SM, Lawrence T, Kleiman A, Warden P,
Medghalchi M, Tuckermann J, et al. 2006.
Antiinflammatory effects of dexamethasone are
partly dependent on induction of dual specificity
phosphatase 1. JEM. vol. 203(8). hlm. 1883-9.
Akram AR, Chalmers JD, Taylor JK, Rutherford J. 2013. An
evaluation of clinical stability criteria to predict
hospital course in community-acquired
pneumonia. Clin Microbiol Infect. vol.19. hlm.
1174–80.
Alcon A, Fabregas N, Torres A. 2005. Pathophysiology of
pneumonia. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 39-46.
Aliberti S, Peyrani P, Filardo G, Mirsaedi M, Amir A, Blasi F,
et al. 2011. Association between time to clinical
stability and outcomes after discharge in
hospitalized patients with community acquired
pneumonia. Chest. vol. 140(2). hlm. 482-8.
Al-Shirawi N, Al-Jahdali H, Al Shimemeri A. 2006.
Pathogenesis, etiology and treatment of
bronchiectasis. Annals of Thorasic Medicine. vol 1.
hlm. 41-51.
Amsden GW. 2005. Anti-inflammatory effects of macrolides-
an underappreciated benefit in the treatment of
community-acquired respiratory tract infections
and chronic inflammatory pulmonary conditions.
Journal of antimicrobial chemotherapy. vol. 55.
hlm. 10-21.
Andrijevic I, Matijasevic J, Andrijevic L, Kovacevic T, Zaric
B. 2014. Interleukin-6 and procalcitonin as
biomarkers in mortality prediction of hospitalized
patients with community acquired pneumonia.
Annals of Thoracic Medicine. vol. 9. hlm. 162-167.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
147
Arnold FW, Summersgill JT, Lajoie AS, Peyrani P, Marrie TJ,
Rossi P. 2007. A worldwide perspective of atypical
pathogens in community acquired pneumonia. Am
J Respir Crit Care Med. vol.175. hlm. 1086-93.
Azeem AAE, Hamdy G, Saraya M, Fawzy E, Anwar E,
Abdulattif S. 2013. The role of procalcitonin as a
guide for the diagnosis, prognosis, and decision of
antibiotic therapy for lower respiratory tract
infections. Egyptian Journal of Chest Diseases and
Tuberculosis. vol. 62. hlm. 687-95.
Azhdarzadeh M, Lotfipour F, Zakeri-milani P, Mohammadi
G, Valizadeh H. 2012. Antibacterial performance of
azithromycin nanoparticles as colloidal drug
delivery system against different gram-negative
and gram positive bacteria. Advanced
pharmaceutical bulletin. vol. 2(1). hlm. 17-24.
Bacci MR, Leme RCP, Zing NCP, Murad N, Adami F, Hinnig
PF, et al. 2015. Chagas ACP, Fonseca FLA. IL-6
and TNF-a serum levels are associated with early
death in community-acquired pneumonia patients.
Brazilian Journal of Medical and Biological
Research. vol. 48(5). hlm. 427-32.
Balamayooran G, Batra S, Fessler MB, Happel KI,
Jeyaseelan S. 2010. Mechanism of neutrophil
accumulation in the lungs against bacteria. Am J
Respir Cell Mol Biol. vol. 43. hlm. 5-16.
Baratawidjaja GK, Rengganis I. 2009. Imunologidasar. Edisi
ke-8. Jakarta: FKUI. hlm. 226-8.
Barnes P. 1998. Antiinflammatory actions of
glucocorticoids: molecularmechanisms. Clinical
Science. vol. 94. hlm. 557-72.
Bbosa GS, Mwebaza N, Odda J, Kyegombe DB, Ntale M.
2014. Antibiotics/antibacterial drug use, their
marketing and promotion during the post-
antibiotic golden age and their role in emergence of
bacterial resistance. I Health. vol. 6. hlm. 410-25.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
148
Bordon J, Aliberti S, Botran RF, Uriarte SM, Rane MJ,
Duvvuri P, et al. 2012. Understanding the roles of
cytokines and neutrophil activity and neutrophil
apoptosis in the protective versus deleterious
inflammatory response in pneumonia. International
Journal of Infectious Diseases. vol. 17. hlm. 76-83.
Borovac DN, Pejcic T, Petkovic TR, Dordevic D, Dordevic I,
Stankovic I, et al. 2011. Scientific Journal of the
Faculty of Medicine. vol. 28. hlm. 147-54.
Boureux A, Vignal E, Faure S, Fort P. 2007. Evolution of the
rho family of ras-like GTP-ases in eukaryotes. Mol.
Biol. Evol. vol. 24(1). hlm. 203-16.
Bradley JR. 2008. TNF mediated inflammatory disease.
Journal of Pathology. vol. 214. hlm. 149-60.
British Thoracic Society (BTS). 2009. Guidelines for the
management of community in adults:update 2009.
Thorax. vol. 64. hlm. 1-15.
Bulska M and Orszulak-michalak D. 2014.
Immunomodulatory and antiinflamatory properties
of macrolides. Curr issues pharm med sci. vol. 27.
hlm. 61-4.
Caballero J and Rello J. 2011. Combination antibiotic
therapy for community acquired pneumonia.
Annals of intensive care. vol. 1. hlm. 48.
Chalmers JD, Short PM, Mandal P, Akram AR, Hill AT.
2010. Statins in community acquired pneumonia:
evidence from experimental and clinical studies.
Respiratory Medicine. vol. 104(8). hlm. 1081-91.
Chamberlain RS, Shayota BJ, Nyberg C, Sridharan P. 2014.
The utilityof procalcitonin as a biomarker to limit
the duration of antibiotic therapy in adult sepsis
patients. Surgical Science. vol. 5. hlm. 342-53.
Chambers HF. 2001. Antimicrobial agents: Protein
synthesis inhibitors and miscellaneous
antibacterial agents. In: Hardman JG, Limbird LE,
editors. Goodman & Gilman’s the pharmacological
basis of therapeutics. 10th edition. McGraw-Hill.
hlm. 1239-65.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
149
Chopra V, Flanders SA. 2009. Does statin use improve
pneumonia outcomes?. Chest. vol. 136. hlm. 1381-
88.
Chow CW, Moraes TJ, Downey GP. 2008. Host defenses. In:
Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Clinical
respiratory medicine. 3rd edition. Philadelphia:
Elsevier. hlm. 166-76.
Christ-Crain M, Mu¨ller B. 2007. Biomarkers in respiratory
tract infections: diagnostic guides to antibiotic
prescription, prognostic markers and mediators.
Eur Respir J. vol. 30. hlm. 556–73.
Chun SK, Jessica KY, Richard MT, Rodrigo C, Sonal S, Yoon
KL. 2012. Statins and associated risk of
pneumonia: a systematicreview and meta-analysis
of observational studies. Eur J Clin Pharmacol. vol.
68. hlm. 747–55.
Chung SD, Tsai MC, Lin HC, Kang JH. 2014. Statin use and
clinical outcomes among pneumonia patients. Clin
Microbiol Infect. vol. 20. hlm. 879-85.
Compos DB, Ibiapina CC. 2011. The role of macrolides in
noncystic fibrosis bronchiectasis. Hindawi
Publishing Corporation Pulmonary Medicin. vol. 4.
hlm. 1-5.
Craig A, Mai J, Cai S, Jeyaseelan S. 2009. Neutrophil
recruitment to the lungs during bacterial
pneumonia. Infection and Immunity. vol. 77. hlm.
568-75.
Davies L, Angus RM, Calverley PM. 1999. Oral
corticosteroids in patients admitted to hospital
with exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease: a prospective randomised
controlled trial. Lancet. vol. 354. Hlm. 456-60.
Gazzerro P, Proto MC, Gangemi G, Malfitano AM, Ciaglia E,
Pisanti S, et al. 2012. Pharmacological actions of
statins: a critical appraisal in the management of
cancer. vol. 64. hlm. 102-146.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
150
Ghanei M, Mehdi GZ, Majid S. 2005. Improvement of
respiratory symptoms by long-term low-dose
erythariomycin in sulfur mustard exposed cases: a
pilot study. Journal of Medical Chemical, Biological,
Radiological Defense. vol. 3. hlm. 1-9.
Goetz MB, Rhew DC, Torres A. 2005. Pyogenic bacterial
pneumonia, lung abscess and empyema. In:
Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA,
editors. Murray and Nadels Textbook of
Respiratory Medicine. 4th ed. Philladelphia:
Elsevier Inc. hlm. 979-1032.
Groenewegen KH, Schols AM, Wouters EF. 2008. Mortality
and mortality-related factors after hospitalization
for acute exacerbation of COPD. Chest. vol. 124.
hlm. 459-67
Gupta P, Bhatia V. 2008. Corticosteroid physiology and
principles of therapy. Indian Journal of Pediatrics.
vol. 75(10). Hlm. 1039-44.
Guzman C, Calleros CH, Griego LL, Montor JM. 2010.
Interleukin-6: a cytokine with a pleiotropic role in
the neuroimmunoendocrine network. The Open
Neuroendocrinology Journal. vol. 3. hlm. 152-160.
Haworth CS, Bilton D Elborn JS. 2014. Long – term
macrolide maintenance therapy in non – cf
bronchiectasis : evidence and questions.
Respiratory Medicine. vol. 108. hlm. 1397-1408.
Haworth CS. 2011. Antibiotics treatment strategies in
adults with bronchiectasis. Eur Respir Mon. vol.
52. hlm. 211-22.
Hedlun J, Hansson LO. 2000. Procalcitonin and c-reactive
protein levels in community acquired pneumonia:
correlation with etiology and prognosis. Infection.
vol. 28. hlm. 68-73
Hilde HF, Bos WJ, Sabine CA, Rijkers GT, Biesma DH,
Velzen-Blad H, et al. 2012. Dexamethasone
Downregulates the Systemic Cytokine Response in
Patients with Community-Acquired Pneumonia.
Clinical and Vaccine Immunology. vol. 19(9). hlm.
1532-8.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
151
Idriss HT, Naismith JH. 2013. TNF alpha and the TNF
receptor superfamily: structure-function
relationship(s). Microsc Res Tech. vol. 50(3). hlm.
184-95.
Irfan M, Farooqi J, Hasan R. 2013. Community acquired
pneumonia. Curr Opin PulmMed. vol. 19. hlm. 1-
11.
Iwata A, Shirai R, Ishii H, Kushima H, Otani S, Hashinaga
K. 2012. Inhibitory effect of statins on
inflammatory cytokine production from human
bronchial epithelial cells. Clinical and Experimental
Immunology. vol. 168. hlm. 234-40.
Jain MK, Ridker PM. 2005. Antiinflammatory effects of
statins: clinical evidence and basic mechanisms.
Nature Reviews. vol. 4. hlm. 977-87.
Jenks K. 2008. Corticosteroid. editor, In: Clinical drug
therapy. 6th edition.Philadelphia: Lipponcott. hlm.
352-72.
Kanoh S and Rubin BK. 2010. Mechanism of action and
clinical application of macrolides as
immunomodulatory medications. Clinical
microbiology reviews. vol. 23(3). hlm. 590-615.
Katzung B. 2006. Adenocortocosteroid and adrenocortical
antaogonis, editor. In:Basic and clinical
pharmacology. 10th edition. Newyork: Mcgraw Hill.
hlm. 1163-94.
Kiriyama Y, Nomura Y, Tokumitsu Y. 2002. Calcitonin gene
expression induced by lipopolysaccharide in the
rat pituitary. Am J Physiology Endocrinol Metab.
vol. 282. hlm. 1380-4.
Kishimoto T. 2010. IL-6: from its discovery to clinical
applications. International Immunology. vol. 22(5).
hlm. 347-52.
Kolditz M, Ewig S, Hoffken G. 2013. Managementbased risk
prediction in community-acquired pneumonia by
scores and biomarkers. Eur Respir J. vol. 41. hlm.
974-84.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
152
Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. 2008. Clinical
benefits of procalcitonin. Tanaffos. vol. 7. hlm. 14-
18.
Kristiansen OP, Mandrup-Poulsen T. 2005. Interleukin-6
and diabetes: the good, the bad, or the indifferent?
Diabetes. Suppl. vol. 2. hlm. 114-24.
Lee H. 2013. Procalcitonin as a biomarker of infectious
Diseases. Korean J Intern Med. vol. 28. hlm. 285-
91.
Lentino JR and Krasnicka B. 2002. Association between
initial empirical therapy and decreased length of
stay among veteran patients hospitalized with
community acquired pneumonia. International
journal of antimicrobial agents. vol. 19(1). hlm. 61-
6.
Liao JK, Laufs U. 2005. Pleiotropic effects of statins. Annu
Rev Pharmacol Toxicol. vol. 45. hlm. 89-118.
Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D,
Leinonen M, et al. 2001. Study of community
acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults
admitted to hospital: implications for management
guidelines. Thorax. vol. 56. hlm. 296-301.
Lionakis M, Kontoyiannis D. 2003. Glucocorticoids and
invasive fungal infections. Lancet. vol. 362. hlm.
1828-38.
Loecker ID, Preiser JC. 2012. Statins in the critically ill.
Annals of Intensive Care. vol. 2. hlm. 1-12.
Lorenzo MJ, Moret I, Sarria B, Cases E, Cortijo J, Mendez R,
et al. 2015. Lung inflammatory pattern and
antibiotic treatment in pneumonia. Respiratory
research. vol. 16. hlm. 15
Maitra A, Kumar V. The lung. 2007. In: Kumar, Abbas,
Fausto, Mitchell, editors.Robbin Basic Pathology.
8th ed.Philladelphia: Saunders Elsevier. hlm. 508-
28.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
153
Makris D, Manoulakas E, Komnos A, Papakrivou E,
Tzovaras N, Hovas A, et al. 2011. Effect of
pravastatin on the frequency of ventilator-
associated pneumonia and on intensive care unit
mortality: Open-label, randomized study. Crit Care
Med. vol. 39(11). hlm. 2440-46.
Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG,
Campbell GD, Dean NC, et al. 2007. Infectious
diseases society of america/american thoracic
societycon sensus guidelines on the management
of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases. vol. 44. hlm. 27-72.
Martinez R, Menedez R, Reyes S, Polverino E, Cilloniz C,
Martinez A, et al. 2011. Factors associated with
inflammatory cytokine patterns in community-
acquired pneumonia. Eur Respir J. vol. 37. hlm.
393-9.
Maruna P, Nedelkova K, Gurlich R. 2000. Physiology and
genetics of procalsitonin. Physiol Res. vol. 49. hlm.
57-61.
Masakela R, Green RJ. 2012. The role of macrolides in
childhood-non cystic fibrosis-related
bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation
Mediators of Inflammation. hlm. 1-7.
Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla S, Navarro JC,
Flores E, et al. 2005. Usefulness of procalcitonin
levels in community-acquired pneumonia
according to the patients outcome research team
pneumonia severity index. Chest. vol. 128. hlm.
2223–9.
Mason CM, Nelson S. 2005. Pulmonary host defenses and
factors predisposing to lung infection. Clin Chest
Med. vol. 26. hlm. 11-7.
Medchrome. Mechanism of action of steroid hormones:
animation. [cited April 14th2015]. Available from:
http://tube.medchrome.com/2011/10/mechanis
m-of-action-of-steroid-hormones.html
Medzhitov R. 2010. Inflammation 2010: new adventures of
an old flame. Cell. vol. 140. hlm. 771-6.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
154
Meijvis SCA, Hardeman H, Remmelts FH, Heijligenberg R,
Rijkers GT, Velzen-Blad H, et al. 2011.
Dexamethasone and length of hospital stay in
patients with community-acquired pneumonia: a
randomised, double-blind, placebo-controlled trial.
Lancet. vol. 377(9782). hlm. 2023-30.
Meijvis SCA, Van de Garde EMW, Rijkers GT, Bos WJW.
2012. Treatment with anti-inflammatory drugs in
community acquired Pneumonia. J Intern Med. vol.
272. hlm. 25–35.
Meisner M. 2013. Current status of procalcitonin in the
ICU. Neth J Crit Care. vol. 17(2). hlm. 4-12.
Menendez R, Torres A, Rodriguez de castro F, Zalacain R,
Aspa J, Borderias L, et al. 2004. Reaching stability
in community-acquired pneumonia: the effects of
the severity of the disease, treatment, and the
characteristics of patients. Clinical infectious
diseases. vol. 39. hlm. 1783-90.
Meynaar IA, Droog W, Batstra M, Vreede R, Herbrink P.
2011. In critically ill patients, serum procalcitonin
is more useful in differentiating between sepsis
and SIRS than CRP, Il-6, or LBP. Critical Care
Research and Practice. hlm. 1-6.
Mizgerd JP. 2008. Acute lower respiratory tract infection. N
Engl J Med. vol. 358. hlm. 716-27.
Moldoveanu B, Otmishi P, Jani P, Walker J, Sarmiento X,
Guardiola J, et al. 2009. Inflammatory
mechanisms in the lung. Journal of inflammation
research. vol.2. hlm. 1-11.
Mor A, Thomsen RW, Ulrichsen SP, Sorensen HT. 2013.
Chronic heart failure and risk of hospitalization
with pneumonia: a population-based study.
European Journal of Internal Medicine. vol. 24. hlm.
349-53.
Mueller C, Muller B, Perruchoud AP. 2008. Biomarkers:
past, present, and future. Swiss Med Wkly.
vol. 138. hlm. 225-9.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
155
Mukaida N. 2003. Pathophysiologycal roles of interleukin-
8/CXCL8 in pulmonary diseases. AJP Lung Cell
Mol Physiol. vol. 284. hlm. 566-77.
Nakamura M, Kono R, Nomura S, Utsunomiya H. 2013.
Procalcitonin: Mysterious Protein in Sepsis.
Journal of Basic & Clinical Medicine. vol.2(1). hlm.
7-11.
Naugler EW, Karin M. 2007. The wolf in sheep’s clothing:
the role of interleukin-6 in immunity, inflammation
and cancer. Trends In Molecular Medicine. vol. 12.
hlm. 1-11.
Nicod LP. 2005. Lung defences: an overview. Eur Respir Rev.
vol. 14. hlm. 45-50.
Novack V, Eisinger V, Frenkel A, Terblanche M, Adhikari
NKJ, Douvdevani A, et al. 2009. The effects of
statin therapy on inflammatory cytokines in
patients with bacterial infections: a randomized
double-blind placebo controlled clinical trial.
Intensive Care Med. vol. 35. hlm. 1255-60.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2014.
Pneumonia komunitas. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Prasetyo SE, Reviono, Suradi. 2016. Pengaruh omega 3
fatty acid terhadap kadar prokalsitonin dan
perbaikan klinis pada pasien pneumonia
komunitas. J Respir Indo. vol. 36, hlm. 138-46.
Purba JYL, Reviono, Suradi, Harsini, Aphridasari J. 2017.
Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT,
dan lama perbaikan klinis pada penderita
pneumonia. J Respir Indo. vol. 37. hlm. 75-83.
Purba JYL. 2016. Pengaruh pravastatin terhadap kadar
IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada
penderita pneumonia. Tesis. Program Pendidikan
Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
156
Ramirez SH, Heilman D, Morsey B, Potula R, Haorah J,
Persidsky Y. 2008. Activation of peroxisome
proliferator-activated receptor γ (PPARγ)
suppresses rho GTPases in human brain
microvascular endothelial cells and inhibits
adhesion and transendothelial migration of HIV-1
infected monocytes. J Immunol. vol. 180. hlm.
1854-65.
Reinhart K, Karzai W, Meisner M. 2000. Procalcitonin: a
new marker of the systemic inflammatory response
to infections. Intensive Care Med. vol. 26. hlm.
1193-1200.
Rhen T, Cidlowski JA. 2005. Antiinflammatory Action of
Glucocorticoids - New Mechanisms for Old Drugs.
N Engl J Med. vol. 353. hlm. 1711-23.
Rhren T, Cidlowski J. 2005. Antiinflamatory action of
glucocorticoids newmechanisms for old drugs. New
England Journal of Medicine. vol. 353. hlm. 1711-
23.
Rubin R. 2011. Adrenocortical hormones and drugs
affecting the cortex adrenal, editor. In: Modern
pharmacology with clinical application, 5th edition.
Scheller J, Chalaris A, Arras DS, John SR. 2011. The pro
and antiinflammatory properties of the cytokine
interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta. vol.
1813. hlm. 878-88.
Schleicher GK, Herbert V, Brink A, Martin S, Maraj
R, Galpin JS, et al. 2005. Procalcitonin and C-
reactive protein levels in HIV-positive subjects with
tuberculosis and pneumonia. European
Respiratory Journal. vol. 25. hlm. 688-92.
Sevilla-sanchez D, Soy-muner D, Soler-porcar N. 2010.
Usefulness of macrolides as anti-inflammatories in
respiratory diseases. Arch bronchoneumol. vol.
46(5). hlm. 244-54.
Sharma S, Jaffe A, Dixon G. 2007. Immunomodulatory
effects of macrolide antibiotics in respiratory
disease: therapeutic implications for asthma and
cystic fibrosis. Pediatric Drugs. vol. 9. hlm. 107-18.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
157
Simanjutak LH. 2016. Pengaruh azitromisin dosis rendah
terhadap lama waktu perbaikan klinis, kadar IL-8
dan neutrophil sputum penderita pneumonia.
Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
2016.
Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J.
2004. Serum procalcitonin and c-reactive protein
levels as marker of bacterial infection : a
systematic review and meta-analysis. CID. vol. 39.
hlm. 206-16.
Sing B. Pengaruh kadar prokalsitonin dan TNF-α terhadap
perbaikan klinis setelah pemberian deksametason
selama lima hari pada pasien pneumonia. Tesis.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi. FakultasKedokteran.
UniversitasSebelasMaret. Surakarta. 2015.
Stancu C, Sima A. 2001. Statins: mechanism of action and
effects. J Cell Mol Med. vol. 5(4). hlm. 378-87.
Steel HC, Cockeran R, Anderson R, Feldman C. 2013.
Overview of community-acquired pneumonia and
the role of inflammatory mechanisms in the
immunopathogenesis of severe pneumococcal
disease. Mediators of Inflammation. vol. 2013. hlm.
1-18.
Stellari FF, Sala A, Donofrio G, Ruscitti F, Caruso P, Topini
TM, et al. 2014. Azithromycin inhibits nuclear
factor-κB activation during lung inflammation: an
in vivo imaging study. Pharma Res Per. vol. 2(5).
hlm. 1-9.
Summah H, Qu JM. 2009. Biomarkers: a definite plus in
pneumonia. Hindawi Publishing Corporation. vol. 9.
hlm. 1-9.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
158
Surjanto E, Sutanto YS, Reviono, Harsini, Indrayati D.
2013. Perbandingan Tiga Metode Prediksi secara
Retrospektif dalam Menilai Derajat Pneumonia
Komunitas pada Pasien Lanjut Usia di Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta. J Respir Indo. vol.
33. hlm. 34-9.
Tamaoki J. 2004. The effects of macrolides on inflammatory
cells. Chest. vol. 125. hlm. 41-51.
Tamariz L, Hare HM. 2010. Inflammatory cytokines in heart
failure: roles in aetiology and utility as biomarkers.
European Heart Journal. vol. 31. hlm. 768-770.
Tong L, Tergaonkar V. 2014. Rho protein GTPases and their
interactions with NFκβ: crossroads of
inflammation and matrix biology. Biosci Rep. vol.
34(3). hlm. 283-95.
Tsang KWT, Ho PI, Chan KN, Lam WK, Yuen KY, Ooi GC.
1999. A Pilot study of low-dose erythariomycin in
bronchiectasis. Eur Respir J. vol. 13. hlm. 361-4.
Unger NR and Gauthier TP. 2015. Protein synthesis
inhibitors. In: Whalen K, Finkel R, Panavelil TA,
editors. Lippincott illustrated reviews:
pharmacology. 6th edition. Walters Kluwer. hlm.
499-512.
Vanaudenaerde BM, Robin V, Meyts I, Stephanie I,
Vleeschauwer D, Verleden SE, et al. 2008.
Makrolide therapy target a specific phenotype in
respiratory medicine: from clinical experience to
basic science and back. Inflammation and allergy.
Drugs Target. vol. 7. hlm. 279-87.
Verleden GM, Vanaudenaerde BM, Dupont LJ, Van
Raemdonck DE. 2006. Azithromycin reduces
airway neutrophilia and interleukin-8 in patients
with bronchiolitis obliterans syndrome. Am J
Respir Crit Care Med. vol. 174. hlm. 566-70.
Viasus D, Vidal G, Gudiol F, Carratala J. 2010. Statins for
community-acquired pneumonia: current state of
the science. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. vol. 29.
hlm. 143-152.
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
159
Vrancic M, Banjanac M, Nujic K, Bosnar M, Murati T,
Munic V, et al. 2011. Azithromycin distinctively
modulates classical activation of human
monocytes in vitro. British Journal of
Pharmacology. vol. 165. hlm. 1348-60.
Watson J. 2012. Raised inflammatory markers. BMJ. vol.
344. hlm. 1-5.
Wright HL, Moots RJ, Bucknall RC, Edwards SW. 2010.
Neutrophil function in inflammation and
inflammatory diseases. Rheumatology. vol. 49.
hlm. 1618-31.
Wu Q, Shen W, Cheng H, Zhou X. 2014. Long – term
macrolides for non – cystic fibrosis bronchiectasis :
a systematic review and meta – analysis.
Respirology. vol. 19. hlm. 321-29.
Xiao H, Qin X, Ping D. 2013. Inhibition of rho and rac
geranylation by atorvastatin is critical for
preservation of endothelial junction integrity. Plos
One. vol. 8(3). hlm. 1-10.
Yanagihara K, Izumikawa K, Higa F, Tateyama M,
Tokimatsu I, Hiramatsu K, et al. 2009. Efficacy of
azithromycin in the treatment of community
acquired pneumonia, including patients with
macrolide resistant streptococcus pneumoniae
infection. Inter Med. vol. 48. hlm. 527-35.
Yang XY, Wang LH, Farrar WL. 2008. A Role for PPARγ in
the regulation of cytokines in immune cells and
cancer. PPAR Research. halm. 1-12.
Yano M, MatsumuraT, Senokuchi T, Ishii N, Murata Y,
Taketa K, et al. 2007. Statins activate peroxisome
proliferator-activated receptor through
extracellular signal-regulated kinase 1/2 and p38
mitogen-activated protein kinase–dependent
cyclooxygenase-2 expression in macrophages. Circ
Res. vol. 100. hlm. 1442-51.
Zeilhofer HU and Schorr W. 2000. Role of interleukin-8 in
neutrophil signaling. Current Opinion in
Hematology. vol. 7. hlm. 178-82.
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
160
Daftar Singkatan
KDO : 2-Keto-3-deoksi asam octanoat
HMG-CoA : 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
AP-1 : Activator protein -1
ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome
ACTH : adrenocorticotrophic hormone
IKK : aktivasi inhibitor I-κβ kinase
ATS : American thoracic society
APC : Antigen presenting cell
APC : Antigen presenting cell
BPI : Bacterial permeability-increasing protein
CRP : C reactive protein
CALC : Calsitonin
CREB : cAMP response element binding
CAMPs : Cationic antimicrobial peptides
CD : Cluster of differentiation
CD : Cluster of differentiation
CAP : Community-acquired pneumonia
CURB-65 : Confusion, urea, respiratory rate, blood pressure, age
65 ≥ years
CHF : Congestive Heart Failure
CBH : corticosteroid binding globulin
CRH : corticotrophin releasing hormone
CBP : CREB binding protein
CFR : crude fatality rate
c-AMP : cyclic adenosin monophosphate
Camp : Cyclic adenosine monophospate
CFTR : cystic fibrosis transmembrane conductance regulator
protein
CINC/gro : cytokine induced neutrophil chemoattractant/ growth
related oncogene
DNA : Deoxyribonuvleid acid
DAG : Diacylglycerol
DPB : diffuse panbronchiolitis
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
161
DUSP : Dual specificity phospatase
eNOS : endothelial nitric oxide synthetase
ELFA : enzyme-linked fluorescent assay
EGFR : epidermal growth factor receptor
ERK ½ : Extracellular signal – regulated kinase
ERK : extracellular signal-regulated kinase
FPP : farnesyl pyrophosphate
PLCβ : Fosfolipase β
GPCR : G Protein – coupled chemokine receptors
GERD : Gastro-esofageal refluxdisorder
GR : Glucocorticoid receptors
GRS : Glucocorticoid receptors
GRE : Glucocoticoid response element
GM-CSF : Granulocyte-monocyte colony stimulating factor
GDP : Guanosine diphospate
GTP : Guanosine diphospate
HCAP : Healt care associated pneumonia
HSP : heat shock protein
Hsp : heat shock protein
HHD : Hipertensi Heart Disease
HDAC : Histone deacetylase
HDAC : Histone deacetylase
HAT : Histone ecetyltransferase
HAP : Hospital acquired pneumonia
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HLA : Human Leukocyte Antigen
k-B : I-kappa-betha
IRAK : IL-1 receptor – associated kinase
IDSA : Infectious Disease Society of America
NF-kB (Iκβ) : inhibitor
IP3 : Inositol 3,4,5 triphosphate
ICU : Intensive Care Unit
ICAM : Intercellular adhesion molecule
IL : interleukin
IKK : Iκβ kinase
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
162
JAM : Juctional adhesion molecule
kD : kilo-dalton
LPS : Lipopolisakarida
LBP : Lipopolysaccharide binding protein
LTA : Lipoteichoic acid
MIP : Macrophage inflallatory protein
Mac – 1 : Macrophage-1 antigen
MCH : Major histocompabilyti complex
MHC : Major histocompatibility complex
MMP : Matrix metalloproteinase
mRNA : messenger ribonucleic acid
MAPK : Mitogen activated protein kinase
MAPK : Mitogen-actived protein kinase
MCP : Monocyte chemotactic protein
MDR P-
glycoprotein
: multi-drug-resistant protein
MyD88 : Myleoid differintiation primary response gene 88
MPO : Myloperoxidase
NK : Natural killer
NET : Neutrophil extracellular trap
fMLP : N-formylmethionyl-leucyl- fenilalanin
NADPH : nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase
NLRs : NOD – like receptor
NSAIDS : non steroidal antiinflamatory agents
NF –k β : Nuclear factor – kappa beta
NF-β : Nuclear factor-β
NOD : Nucleotide oligomerization domain
PSGL-1 : P selectin glycoprotein ligand-1
pCAF : P300/ CBP activating factor
PAMP : pathogen associated molecular pattern
PAMP : Pathogen associated molecullar pattern
PAMPs : Pathogen azzociated molecular patterns
PRRs : Pattern – recognition receptors
PRRs : Pattern recognition receptor
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
163
PPAR : peroxisome proliferator activated receptor
PI3K : phosphatidylinositol-3-hydroxykinase
PLC : phospholipase C
PECAM-1 : Platelet endothelial cell adhesion molecule
PSI : Pneumonia severity index
PMN : polimorfonuklear
PCR : Polymerase chain reaction RIG – I like receptors
: PORT
PCT : procalcitonin
PCT : procalcitonin
PKC : Protein kinase C
QsM : quorum sensing molecul
ROI : Reactive oxygen species
ROS : reactive oxygen species
RIP : Receptor interacting protein
RTK : Receptor tyrosine kinase
CR : reseptor komplemen
RNA : Ribonucleic acid
RLRs : RIG-I like receptors
SLPI : Secretory leukoprotease inhibitor
SST : serum separator tube
SOOD : Silencer of death domain
SGRQ : St. George Respiratory Questionnaire
TCR : T cell receptor
Th : T helper
TCR : T-cell receptor
PaO2 : tekanan parsial oksigen arteri
CDC : The centers for disease control
TNFR-1 : TNF receptor -1
TRAF6 : TNF receptor-associated factor 6
TRADD : TNFR-associated death-domain
TLR : Toll like receptors
TLRs : Toll-like receptors
TAK I : Transforming growth factor-β-activated kinase 1
TIR : Translocated intimin receptor
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
164
TNF-α : Tumor necrosis factor 6
Vβ : Variable β
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
165
Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)
Dilahirkan di Bojonegoro 30
Oktober 1965. Lulus sebagai
dokter dari Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada tahun
1990. Pada tahun 2003 lulus
sebagai dokter spesialis paru dari
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Selanjutnya pada tahun
2010 secara bersama-sama,
menyelesaikan studi S3 di Pascasarjana Universitas
Airlangga dan memperoleh sertifikat konsultan infeksi paru
dari Kolegium Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Saat ini
mengajar S1 untuk blok Respirasi dan Infeksi, mengajar
Program Pendidikan Dokter Spesialis Paru untuk Infeksi
Paru dan mengajar S3 di Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret untuk mata kuliah Radikal Bebas.
Selain kegiatan mengajar juga aktif sebagai ketua Tim
Medis Penanggulangan Wabah (Avian Influenza) dan Ketua
Tim Penanggulangan Tuberkulosis strategi DOTS di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Kegiatan lainnya aktif di Jejaring
Riset TB Kementerian Kesehatan. Aktivitas lain adalah
sebagai kontributor penyusunan buku Pneumonia
Komunitas : Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia (2014), diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia dan Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
(2014) yang disusun bersama tim penerbitan buku
Kementerian Kesehatan. Serta baru saja diselesaikan
Pedoman Tatalaksana Infeksi TB Laten (2016) bersama
Kelompok Kerja Infeksi Paru dari Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.
ANTIINFLAMASI PNEUMONIA

More Related Content

What's hot

Anti biotika1
Anti biotika1Anti biotika1
Anti biotika1emma afif
 
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...Tata Naipospos
 
Penggunaan antibiotik pada masa nifas
Penggunaan antibiotik pada masa nifasPenggunaan antibiotik pada masa nifas
Penggunaan antibiotik pada masa nifassangarudin
 
Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019
Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019
Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019Tata Naipospos
 
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...Tata Naipospos
 
Pemberantasan hama dan penyakit(1)
Pemberantasan hama dan penyakit(1)Pemberantasan hama dan penyakit(1)
Pemberantasan hama dan penyakit(1)MuhammadAbduArRahman
 
farmakologi antibiotik dan anti jamur
farmakologi antibiotik dan anti jamurfarmakologi antibiotik dan anti jamur
farmakologi antibiotik dan anti jamurDuik Agustini
 
Antibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannyaAntibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannyaArwinAr
 
Interaksi infeksi dan penyakit autoimun
Interaksi infeksi dan penyakit autoimunInteraksi infeksi dan penyakit autoimun
Interaksi infeksi dan penyakit autoimunSoroy Lardo
 
LKPD Biotkenologi.docx
LKPD Biotkenologi.docxLKPD Biotkenologi.docx
LKPD Biotkenologi.docxSaraSugesti
 
Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...
Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...
Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...Tata Naipospos
 
Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)
Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)
Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)gusti dani
 

What's hot (20)

Farmakologi I. Antibiotika
Farmakologi I. AntibiotikaFarmakologi I. Antibiotika
Farmakologi I. Antibiotika
 
Anti biotika1
Anti biotika1Anti biotika1
Anti biotika1
 
Antibiotik
AntibiotikAntibiotik
Antibiotik
 
Makalah imunologi2
Makalah imunologi2Makalah imunologi2
Makalah imunologi2
 
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
 
Obat antibiotik
Obat antibiotikObat antibiotik
Obat antibiotik
 
Penggunaan antibiotik pada masa nifas
Penggunaan antibiotik pada masa nifasPenggunaan antibiotik pada masa nifas
Penggunaan antibiotik pada masa nifas
 
Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019
Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019
Seminar AMR ASOHI-PDHI-Ditjen PKH-FAO - 8 Mei 2019
 
Hiperseneitivitas tpe iii
Hiperseneitivitas tpe iiiHiperseneitivitas tpe iii
Hiperseneitivitas tpe iii
 
Antibiotik done
Antibiotik doneAntibiotik done
Antibiotik done
 
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...
 
Pemberantasan hama dan penyakit(1)
Pemberantasan hama dan penyakit(1)Pemberantasan hama dan penyakit(1)
Pemberantasan hama dan penyakit(1)
 
Memahami Autoimun
Memahami AutoimunMemahami Autoimun
Memahami Autoimun
 
farmakologi antibiotik dan anti jamur
farmakologi antibiotik dan anti jamurfarmakologi antibiotik dan anti jamur
farmakologi antibiotik dan anti jamur
 
Antibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannyaAntibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannya
 
Interaksi infeksi dan penyakit autoimun
Interaksi infeksi dan penyakit autoimunInteraksi infeksi dan penyakit autoimun
Interaksi infeksi dan penyakit autoimun
 
LKPD Biotkenologi.docx
LKPD Biotkenologi.docxLKPD Biotkenologi.docx
LKPD Biotkenologi.docx
 
Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...
Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...
Resistensi Antimikroba - Komisi Ahli Keswan dan Kesmavet - Ditjen PKH - Denpa...
 
Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)
Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)
Cara penggunaan antibiotik (antimikroba)
 
ANTI INFEKSI
ANTI INFEKSIANTI INFEKSI
ANTI INFEKSI
 

Similar to ANTIINFLAMASI PNEUMONIA

Similar to ANTIINFLAMASI PNEUMONIA (20)

Kuliah Inflamasi.pptx
Kuliah Inflamasi.pptxKuliah Inflamasi.pptx
Kuliah Inflamasi.pptx
 
Antiinflamasi
AntiinflamasiAntiinflamasi
Antiinflamasi
 
Imunologi kel 16.pptx
Imunologi kel 16.pptxImunologi kel 16.pptx
Imunologi kel 16.pptx
 
Askep pernapasan tbc
Askep pernapasan tbcAskep pernapasan tbc
Askep pernapasan tbc
 
Presentasidahsyat xamthone2
Presentasidahsyat xamthone2Presentasidahsyat xamthone2
Presentasidahsyat xamthone2
 
Imunologi terhadap infeksi
Imunologi terhadap infeksiImunologi terhadap infeksi
Imunologi terhadap infeksi
 
RESISTENSI.pptx
RESISTENSI.pptxRESISTENSI.pptx
RESISTENSI.pptx
 
Hiperseneitivitas tpe iii
Hiperseneitivitas tpe iiiHiperseneitivitas tpe iii
Hiperseneitivitas tpe iii
 
Antibiotika & kemoterapetika
Antibiotika & kemoterapetikaAntibiotika & kemoterapetika
Antibiotika & kemoterapetika
 
Slide Antiinflamasi.pptx
Slide Antiinflamasi.pptxSlide Antiinflamasi.pptx
Slide Antiinflamasi.pptx
 
20220309, Bahan Aktif Immune Booster.pptx
20220309, Bahan Aktif Immune Booster.pptx20220309, Bahan Aktif Immune Booster.pptx
20220309, Bahan Aktif Immune Booster.pptx
 
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptxNEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
 
Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak
Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada AnakDiagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak
Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak
 
Ppt ppok
Ppt ppokPpt ppok
Ppt ppok
 
ppt mikro kel 4.pptx
ppt mikro kel 4.pptxppt mikro kel 4.pptx
ppt mikro kel 4.pptx
 
Imunologi (1).pptx
Imunologi (1).pptxImunologi (1).pptx
Imunologi (1).pptx
 
17291060 modul-batuk-pbl
17291060 modul-batuk-pbl17291060 modul-batuk-pbl
17291060 modul-batuk-pbl
 
Ag dan ab
Ag dan abAg dan ab
Ag dan ab
 
Systemic lupus erythematosus
Systemic lupus erythematosusSystemic lupus erythematosus
Systemic lupus erythematosus
 
antibiotik penghambat sintesa protein
antibiotik penghambat sintesa proteinantibiotik penghambat sintesa protein
antibiotik penghambat sintesa protein
 

Recently uploaded

Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfkustiyantidew94
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 

Recently uploaded (20)

Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 

ANTIINFLAMASI PNEUMONIA

  • 1.
  • 2. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?
  • 3. Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
  • 4. Reviono PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? UNS PRESS
  • 5. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Hak CiptaReviono. 2017 Penulis Dr. dr. Reviono, Sp.P (K) Editor Dr. dr. Harsini, Sp. P (K) Ilustrasi Sampul Arif Hasanudin Penerbit dan Percetakan Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628 Website : www.unspress.uns.ac.id Email : unspress@uns.ac.id Cetakan 1, Edisi 1, November 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Rights Reserved ISBN 978-602-397–172-5
  • 6. - v - KATA PENGANTAR Sudah sekian lama diketahui, bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian utama. Penelitian tentang pneumonia ini sudah berlangsung lama dan mulai intensif dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Banyak sudut pandang pemahaman mikrobiologi modern yang berubah. Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh bakteri, meskipun penelitian tentang antibiotik terus berkembang tetapi pneumonia tetap menjadi penyebab utama komplikasi penyakit dan juga kematian. Berdasarkan asal dari sumber mikroba penyebab pneumonia, pneumonia komunitas merupakan kasus terbanyak. Selain itu terdapat pneumonia nosocomial, pneumonia aspirasi dan juga health care associated pneumonia. Beberapa faktor resiko yang berpeluang berhubungan dengan pneumonia adalah usia yang sangat tua atau sebaliknya sangat muda, gaya hidup seperti peminum alcohol dan perokok. Selain itu individu yang menderita sakit seperti kardiorespirasi kronik, gangguan sinyal kronik, penyakit hepatic, diabetes mellitus, penyakit kanker serta HIV-AIDS. Terapi utama pneumonia bakterial adalah antibiotik, dimana pemberian antibiotik awal disebut dengan terapi empirik. Terapi empirik ini berdasarkan panduan tata laksana yang relevan, usia pasien, penyakit penyerta dan beratnya penyakit pneumonia. Pertimbangan pemilihan dengan cara apa antibiotik tersebut akan diberikan, apakah
  • 7. - vi - secara oral atau parenteral juga menjadi pertimbangan. Hal ini akan dihubungkan dengan keputusan pasien tersebut akan rawat inap atau rawat jalan. Penemuan antibiotik terus berkembang, akan tetapi sampai saat ini kasus pneumonia masih menimbulkan angka kematian yang tinggi, terutama di ICU yang mendekati 35%. Salah satu penyebab tingginya angka kematian tersebut adaah akibat respons inflamasi yang cukup tinggi. Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya. Respons inflamasi yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan paru, sehingga perlu dikurangi. Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi lokal. Selama terjadinya proses inflamasi, berbagai jenis sel-sel inflamasi diaktifkan. Proses inflamasi tersebut mengeluarkan sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel inflamasi. Sebenarnya ada beberapa golongan antiinflamasi yang digunakan dalam terapi pernyakit yang berhubungan dengan proses inflamasi.=, tetapi dalam buku ini tidak disampaikan semuanya. Terdapat 3 kategori anti inflamasi yang menarik perhatian yaitu kortikosteroid, statin dan makrolid. Pada makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik klinis.
  • 8. - vii - Antiinflamasi yang pertama adalah kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan inhibitor yang sangat kuat untuk inflamasi. Kortikosteroid mematikan gen yang mengkodekan sitokin proinflamasi dan mengaktifkan gen yang mengkode sitokin antiinflamasi. Obat yang dipilih pada penelitian ini adalah deksametason. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Deksametason memiliki efek antiinflamasi yang ampuh dan efek mineralokortikoid lemah dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan air. Efek deksametason yang tahan lama, memungkinkan pemberian rejimen hanya sekali sehari Deksametason bekerja sebagai anti-mitosis pada sel system imun tubuh melalui perubahan tingkat ekspresi gen. Deksametason menghambat sel inflamasi di saluran pernapasan, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, sel dendritik, serta dapat menginduksi ekspresi dual specificity phosphatase (DUSP)1 atau lebih dikenal sebagai mitogen activated protein kinase (MAPK) phosphatase 1 yang akan mendefosforilasi dan menginaktivasi MAPKs. Kortikosteroid dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitorI-kB kinase (IKK)-2, dan mengaktifkan factor transkripsi NF-kB.
  • 9. - viii - Pada penelitian ini yaitu dalam pemberian deksametason akan diukur respons inflamasi dengan menggunakan penanda inflamasi dan penanda infkesi yaitu pro-calcitonin (PCT) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Selain menilai secara imunologi juga akan dinilai perbaikan klinis, yaitu dinilai dengan batas waktu 5 hari rawat inap. Antiinflamasi kedua yang akan diteliti yaitu pravastatin dari golongan statin. Statin memiliki efek yang disebut dengan efek pleotropik, antara lain antiinflamasi. Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin dan usia Efek terapi pravastatin dipengaruhi oleh dosis dan interaksi dengan obat lain yang menghambat metabolisme statin.79Dosis pravastatin adalah 40 mg/ hari dan sebaiknya diberikan saat perut kosong karena makanan dapat menurunkan absorbsi pravastatin. Penurunan kadar penanda biologi seperti C-reactive protein (CRP) selama pemberian statin menjadi perhatian besar, karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa statin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan terhadap aktivitas NF-kB. Kemampuan statin dalam menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim paru ditandai dengan penurunan kadar sitokin proinflamasi IL-6, TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin utama pada influks netrofil yang menjadi penyebab utama inflamasi paru. Pada penelitian pemberian pravastatin sebagai antiinflamasi pada kasus pneumonia akan dilihat pengaruhnya dengan mengukur penanda inflamasi dan infeksi yaitu PCT dan IL-6. Sedang respons klinis juga
  • 10. - ix - diteliti yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah pemberian antiinflamasi selama 5 hari. Antiinflamasi ketiga adalah azitromisin dari golongan makrolid. Sebenarnya makrolid awalnya dikenal sebagai antibiotika yang bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci, Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat bakterisid pada dosis tinggi. Saat ini makrolid diketahui dapat meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan atau mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas fagosit dan menurunkan respons inflamasi. Obat yang digunakan dari golongan makrolid ini adalah azitromisin. Azitromisin memiliki efek antimikroba langsung dan dapat memodulasi respons imun. Penelitian invitro dan hewan menghasilkan data yang mendukung efek penghambatan terhadap neutrofil dan aktivitas kemotaktik. Pemberian azitromisin jangka panjang telah terbukti menurunkan kadar IL-8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan bronkus. Pada penelitian akan diberikan pada penderita pneumonia, dan pemberiannya hanya jangka pendek. Variabel yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian azitromisin adalah penanda inflamasi dan infeksi yaitu IL-8 dan netrofil sputum. Selain menilai secara imunologis juga dilihat respons klinis, yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah pemberian azitromisin. Penelitian ini kami lakukan dengan sampel dari pasien pneumonia RSUD Dr Moewardi. Kami ucapkan banyak terimakasih kepada dr Bobby Singh, SpP, dr Jan Yanto
  • 11. - x - Lydwines Purba, SpP dan dr Leonardo Helasti Simanjutak, SpP yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian payung, mulai menentukan proses registrasi sampel, pemeriksaan variable penelitian, dan penulisan laporan hingga terbitnya buku ini. Semoga buku ini akan membawa manfaat bagi dokter yang melakukan pelayanan kasus pneumonia, dapat memberikan pertimbangan dalam upaya layanan kepada masyarakat yang lebih baik. Kami mohon kritik dan saran demi perbaikan penulisan selanjutnya. Dr. dr. Reviono, SpP(K)
  • 12. - xi - Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................ v daftar Isi ........................................................................................... xi Daftar Tabel ..................................................................................... xiv Daftar Gambar................................................................................. xvi BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1 BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA ................................ 9 A. Pertahanan Paru ..................................................... 10 B. Respons Sistem Imun .............................................. 13 BAB III TERAPI PNEUMONIA............................................... 19 A. Terapi Antibiotik .................................................... 20 B. Terapi Suportif ....................................................... 21 C. Terapi Antiinflamasi .............................................. 22 BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI....................................... 25 A. Kortikosteroid......................................................... 26 1. Mekanisme kerja glukokortikoid................... 30 2. Efek Antiinflamasi Deksametason pada Pneumonia ........................................................ 33 B. Statin......................................................................... 36 1. Mekanisme Kerja Statin................................ 37 2. Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada Pneumonia...................................................... 43 C. Makrolid .................................................................. 45 1. Mekanisme Kerja Makrolid........................... 50 2. Efek Antiinflamasi Makrolid......................... 54 3. Azitromisin sebagai Antiinflamasi pada Pneumonia....................................................... 56
  • 13. - xii - BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA......................... 59 A. Respons Klinis ....................................................... 60 B. Penanda Biologi pada Pneumonia ..................... 63 1. Procalcitonin (PCT).......................................... 65 2. Tumor necrosis factor (TNF)-α ........................ 68 3. Interleukin-6 (IL-6)........................................... 69 4. Interleukin-8 (IL-8)........................................... 71 5. Neutrofil sputum.............................................. 73 BAB VI PENELITIAN SENDIRI.............................................. 77 A. Metode Penelitian................................................... 78 1. Definisi operasional variabel penelitian ....... 80 2. Teknik Pemeriksaan ........................................ 84 3. Prosedur pengumpulan data ......................... 88 4. Analisis data ..................................................... 89 B. Kerangka Konsep Penelitian................................. 91 C. Hasil Penelitian....................................................... 95 1. Karakteristik dasar subyek penelitian .......... 95 2. Pengaruh pemberian deksametason terhadap kadar PCT danTNF-..................... 101 3. Pengaruh pemberian pravastatin terhadap kadar PCT dan IL-6 ......................................... 109 D. Pengaruh pemberian azitromisin terhadap kadar IL-8 dan neutrofil sputum.......................... 113 E. Pemberian deksametason, pravastatin dan azitromisin terhadap pencapaian perbaikan klinis......................................................................... 118 BAB VII PEMBAHASAN............................................................ 123 A. Pemberian deksametason pada pneumonia....... 125 B. Pemberian Pravastatin pada pneumonia ........... 129 C. Pemberian azitromisin pada pneumonia............ 133 D. Perbaikan Klinis...................................................... 137
  • 14. - xiii - BAB VIII PENUTUP...................................................................... 141 A. Kesimpulan ............................................................ 143 B. Saran........................................................................ 144 Daftar Pustaka................................................................................. 146 Daftar Singkatan.............................................................................. 160 Biodata.............................................................................................. 165
  • 15. - xiv - Daftar Tabel Tabel 4.1. Pembagian golongan makrolid ................. 47 Tabel 6.1. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 97 Tabel 6.2. Karateristik subyek penelitian ................. 98 Tabel 6.3. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 100 Tabel 6.4. Perbandingan kadar PCT dan TNF- sebelum (pre) perawatan antara kelompok deksametason dan kelompok kontrol..................................................... 103 Tabel 6.5. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum pada kelompok Deksametason......................................... 104 Tabel 6.6. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum pada kelompok kontrol....... 106 Tabel 6.7. Perbandingan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum sesudah perawatan antara kelompok deksametason dan kelompok kontrol..................................... 108 Tabel 6.8. Perbandingan kadar PCT dan IL-6 sebelum (pre) perawatan antara kelompok Pravastatin dan kelompok kontrol..................................................... 110 Tabel 6.9. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum pada kelompok Pravastatin.... 111 Tabel 6.10. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum pada kelompok kontrol .......... 112 Tabel 6.11. Perbandingan kadar PCT serum dan IL-6 sesudah perawatan antara kelompok pravastatin dan kelompok kontrol..................................................... 113 Tabel 6.12. Perbandingan kadar IL-8 dan Neutrofil sputum sebelum (pre) perawatan antara kelompok azitromisin dan kelompok kontrol..................................................... 114
  • 16. - xv - Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum pada kelompok azitromisin............................................... 116 Tabel 6.14. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum pada kelompok kontrol. 117 Tabel 6.15. Perbandingan kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum sesudah perawatan antara kelompok azitromisin dan kelompok kontrol..................................... 118 Tabel 6.16. Perbandingan pencapaian perbaikan klinis antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol..................................... 119 Tabel 6.17. Perbedaan lama pencapaian perbaikan klinis antara kelompok pravastatin dan kontrol..................................................... 120 Tabel 6.18. Perbandingan pencapaian perbaikan klinis antara kelompok azitromisin dan kelompok kontrol..................................... 121
  • 17. - xvi - Daftar Gambar Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada pneumonia ............................................ 11 Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu kaskade bakteri..................................... 17 Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada Sitoplasma............................................. 32 Gambar 4.2. Struktur kimia statin............................. 36 Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin.... 42 Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika.... 46 Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid..................... 49 Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika.................. 51 Gambar 4.7. Mekanisme antiinflamasi dan imunomodulator.................................... 53 Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal intraseluler oleh azitromisin .................. 58 Gambar 5.1. Respons klinis selama perawatan pneumonia. ........................................... 62 Gambar 6.1. Kerangka teori terjadinya pneumonia..... 93 Gambar 6.2. Kerangka Konsep pemberian Antiinflamasi ......................................... 94
  • 18. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 1 BAB I PENDAHULUAN Pneumonia, yaitu radang parenkim paru yang disebabkan infeksi mikroba. Untuk kuman penyebab yang didapat dari masyarakat disebut dengan pneumonia komunitas (PDPI, 2014), merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling serius. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan jumlah kasus rawat inap, yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus, peningkatan komplikasi yang serius dan juga sebagai penyebab utama kematian diantara kasus infeksi lainnya (Steel HC, et al, 2013).
  • 19. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 2 Tatalaksana kasus pneumonia adalah diagnosis dini dan segera memulai dengan pemberian antibiotik yang tepat (Meijvis SCA, et al, 2011). Peningkatan kasus pneumonia terutama pada usia lanjut dengan angka kematian pneumonia secara umum sekitar 10%. Angka ini relatif tidak berubah sejak ditemukan antibiotik dan penggunaannya secara luas pada tahun 1950an. (Chalmers JD, et al, 2010). Upaya tindakan preventif seperti vaksinasi dan pengembangan antibiotik yang terus berlanjut, ternyata angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap tinggi (Meijvis SCA, et al, 2011). Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yaitu kasus pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di rumah sakit 20-40%, diantara angka tersebut 5-10% memerlukan perawatan intensif. Angka prevalensi pneumonia yang membutuhkan rawat inap di Indonesia berada dalam 10 besar seluruh kasus rawat inap. Angka kematian kasus atau crude fatality rate (CFR) pneumonia tertinggi yaitu 7,6% (PDPI, 2014). Penyebab kematian pneumonia memang multifaktorial diantaranya adalah inflamasi berlebihan baik inflamasi sistemik maupun inflamasi lokal terbatas pada organ paru. Selain itu adalah acute lung injury, disfungsi endotel pada vaskuler dan koagulopati (Chalmers JD, et al, 2010). Walaupun sebenarnya rangkaian kejadian dari proses tersebut saling berkaitan dengan diawali oleh suatu proses inflamasi yang dapat mengganggu fungsi endotel, berlanjut acute lung injury dan gangguan koagulopati.
  • 20. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 3 Proses inflamasi terjadi saat bakteri masuk ke dalam tubuh, respons inflamasi merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dalam usaha melawan invasi bakteri sehingga dapat dieliminasi. Proses inflamasi akan berhenti apabila bakteri tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, apabila bakteri tidak dapat dieliminasi akan terus berkembang dan menyebabkan kerusakan jaringan (Baratawidjaja KG, et al, 2012; Bordon J, et al, 2012). Meskipun respons inflamasi yang memadai diperlukan untuk membersihkan bakteri, tetapi inflamasi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lokal ataupun sistemik yang terjadi terus menerus (Meijvis SCA, et al, 2012) Bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebenarnya akan lewat begitu saja kalau tidak ada reseptor yang mengenalinya. Akan tetapi bakteri patogen akan mengeluarkan suatu produk yaitu pathogen associated molecular pattern (PAMP) yang akan dikenal oleh pattern recognition receptors (PRRS) misalnya toll like receptor (TLR). Toll like receptor terletak di permukaan makrofag alveolar, yang selanjutnya akan mengaktifkan NFκβ sehingga terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi, misalnya tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin IL-6, IL-8, IL-1β dan IFN-α. (Martinez, et al, 2011; Moldoveanu, et al, 2009). Sitokin pro inflamasi ini akan meningkat saat terjadi infeksi mikroba. Sitokin ini juga akan merangsang pelepasan procalcitonin (PCT) (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009) dan menginduksi ekstravasasi neutrofil ke jaringan (Medzhitov
  • 21. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 4 R, 2010). Untuk menilai derajat pneumonia dapat dilakukan dengan mengukur sitokin pro inflamasi tersebut maupun substansi lainnya seperti PCT dan sel inflamasi seperti neutrofil jaringan misalnya dalam jaringan bronkus. Sudah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan IL- 6 PCT (Maruna P, et al, 2000), TNF-α (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009), neutrofil jaringan (Medzhitov R, 2010). Sampai saat ini terapi pneumonia hanya mengandal- kan antibiotik, selain itu belum ada lagi. Oleh karena itu perlu terapi tambahan agar dapat mengurangi beratnya penyakit (Meijvis SCA, et al, 2011; Chalmers JD, et al, 2010). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa beratnya penyakit pneumonia adalah akibat inflamasi yang berlebihan, oleh karena itu perlu suatu terobosan dan pemberian suatu anti inflamasi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan yang lebih lanjut. Pemberian anti inflamasi pada kasus pneumonia merupakan suatu upaya untuk dapat menurunkan angka kematian pneumonia. Terdapat beberapa pilihan anti inflamasi yaitu golongan kortikosteroid, makrolid dan saat ini yang menarik adalah golongan statin (Steel HC, et al, 2013, Meijvis CSA et al, 2012). Selain masih terdapat antiinflamasi lain yaitu cyclic adenosin monophosphate (c- AMP) dan non steroidal antiinflamatory agents (NSAIDS) (Steel HC, et al, 2013). Terapi inflamasi pada kasus pneumonia dengan kortikosteroid sudah beberapa kali dilakukan dengan hasil
  • 22. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 5 yang berbeda-beda. Pemberian kortikosteroid dosis rendah dapat menghambat transkripsi sitokin proinflamasi sehingga akan mencegah perpanjangan respons inflamasi dan mempercepat resolusi sistemik dari inflamasi paru pada pneumonia (Meijvis SCA, et al, 2011). Salah satu steroid yang cukup kuat adalah deksametason. Deksametason memiliki sifat antiinflamasi yang kuat tetapi dengan efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan dengan kortikosteroid yang lain. Efek mineralokortikoid yang lemah akan menguntungkan karena mencegah gangguan reabsorbsi natrium dan keseimbangan air. Efek yang menguntungkan lainnya adalah bersifat long acting sehingga memungkinkan pemberiannya hanya sekali. (Goldfian, et al, 2005; Meijvis SCA, et al, 2011). Beberapa hasil penelitian yang menunjukan keunggulan deksametason adalah penelitian Meijvis SCA et al yang terbukti mengurangi waktu rawat inap. (Meijvis SCA, et al, 2011), penelitian Hilde et al, membuktikan deksametason mampu menekan respons sitokin pro inflamasi pada pneumonia komunitas. (Hilde, et al, 2012), serta Abraham et al, mampu membuktikan bahwa deksametason mampu menekan gen pro inflamasi antara lain gen TNF, siklooksigenase 2, IL-1α dan hasil IL-1β (Abraham, et al, 2006). Selain itu juga terdapat penelitian dengan hasil sebaliknya yaitu penelitian Davies dan Groenewegen yang menyatakan pemberian kortiko steroid jangka pajang dapat memberikan efek buruk bagi pasien dan meningkatkan
  • 23. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 9 BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan dari mikroorganisme dalam melawan pertahanan paru yang berakibat peradangan parenkim paru. Inflamasi merupakan respons pertahanan host akibat rusaknya jaringan paru oleh karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap mikroorganisme patogen (Moldoveanu, et al, 2009).
  • 24. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 10 A. Pertahanan Paru Infeksi saluran napas bawah tergantung dari virulensi dan kolonisasi dari mikroorganisme yang dapat melampaui mekanisme pertahanan paru. Mekanisme pertahanan paru terdiri dari: (Mason CM, et al, 2005; Goetz MB, et al, 2005)) 1. Saluran napas atas yaitu hidung berfungsi sebagai penyaring partikel dibuang melalui bersin dan faring berfungsi mengeluarkan partikel atau mikroorganis- me melalui batuk atau tertelan. 2. Imun alamiah melalui sekresi sel epitel di saluran napas bawah seperti lisosom (enzim sel epitel berfungsi memecah dinding sel bakteri terutama pada bakteri gram positif), laktoferin (protein yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri), defensin (protein yang diproduksi oleh bermacam-macam sel epitel berfungsi merusak struktur bakteri dengan meningkatkan permeabilitas membran), leukoprotease inhibitor (protein yang berfungsi menghambat neutrofil elastase dan menghambat aktivitas bakteri), dan cathelicidin (peptida neutrofil berfungsi menghambat aktivitas bakteri gram negatif). Sistem imun alamiah lainnya seperti makrofag dan neutrofil yang berasal dari pembuluh darah kapiler masuk ke dalam alveoli melalui reaksi inflamasi makrofag. 3. Sistem pertahanan imun didapat yang berada di saluran napas adalah immunoglobulin (Ig) terutama
  • 25. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 19 BAB III TERAPI PNEUMONIA Tujuan utama dari terapi pneumonia komunitas adalah eradikasi patogen penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang. Faktor komorbid dapat menjadi penyebab kegagalan pengobatan dan dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme tertentu (PDPI, 2014). Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif dan terapi antiinflamasi.
  • 26. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 20 A. Terapi Antibiotik Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya didasarkan pada data mikroorganisme dan hasil uji kepekaan (Irfan M, et al, 2013). Terapi empiris dapat diberikan hingga didapatkan data mikro- organisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas dalam perawatan di rumah sakit disebabkan oleh bakteri (Caballero J, et al, 2011). Pemilihan antibiotik secara empiris berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis kuman penyebab berdasarkan pola kuman setempat, terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan faktor komorbid. Terapi antimikroba harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan antibiotik dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit (< 4 jam akan menurunkan angka kematian) (PDPI, 2014). Karakteristik farmakokinetik dan farmako- dinamik antibiotik menentukan hasil dari terapi terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik harus segera di mulai, dilanjutkan dengan total 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72 jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik parenteral dapat diganti ke oral segera setelah ada perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri patogen dapat diberikan setelah hasil kultur tersedia, jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman penyebab, pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari) (PDPI, 2014).
  • 27. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 25 BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme pertahanan host terhadap mikroorganisme patogen. Meskipun demikian inflamasi yang terlalu besar dapat mengancam jiwa terutama pada organ yang membutuhkan pertukaran gas. Keseimbangan respons inflamasi (antara pro dan antiinflamasi yang sulit dicapai) sangat dibutuhkan pada homeostasis paru. (Meijvis SCA, et al, 2012)
  • 28. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 26 Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya. Pemberian terapi tambahan diharapkan dapat mengubah respons imun agar menjadi lebih menguntungkan sehingga dapat memperbaiki prognosis. Antibiotik dapat mempe- ngaruhi keseimbangan antara sistem pertahanan dan efek samping dari sistem imun yang berlebihan. Akibat kerja antibiotik yang efektif akan menyebabkan penurunan kebutuhan respons inflamasi, selanjutnya terjadi kedudukan yang seimbang dari proses inflamasi tersebut yang merupakan keberhasilan kombinasi pemberian antibiotik dan antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik klinis yaitu kortikosteroid, statin dan golongan makrolid. A. Kortikosteroid Korteks adrenal menghasilkan berbagai jenis kortikosteroid seperti glukokortikoid, mineralkortikoid dan hormon androgen. Zat yang dihasilkan oleh korteks adrenal berperan dalam homeostasis, keseimbangan elektrolit dan perkembangan karakter seks. Pemberian terapi steroid mempengaruhi produksi endogen kortikosteroid dan memberikan efek supresif pada aksis hypothalamicpituitary adrenal. Korteks adrenal terdiri dari tiga zona yaitu zona glomerulosa yang berfungsi menghasilkan aldosteron atau mineralkortikoid, zona fasikulata berfungsi menghasilkan kortisol atau
  • 29. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 59 BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis adalah komponen penting dalam penatalaksanaan pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi dalam membuat sejumlah keputusan penting, (Akram AR, et al, 2013). Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan pemeriksaan penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi sistemik ataupun khusus (Viasus D, et al, 2010).
  • 30. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 60 Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis adalah komponen penting dalam penatalaksanaan pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi dalam membuat sejumlah keputusan penting, antara lain: untuk pergantian antimikroba intravena menjadi oral dan untuk memulangkan pasien dari rumah sakit. Perbaikan klinis penderita pneumonia dapat dinilai dengan berbagai kriteria antara lain menggunakan kriteria Halm dan kriteria American Thoracic Society/ Infectious Disease Society American (2007) (Akram AR, et al, 2013). Sebenarnya untuk kriteria klinis ada beberapa yang pernah dilagunakan yaitu Pneumonia severity index (PSI), CURB-65 (confusion, ureum, respiratory rate, blood pressure, 65 years old), dan CRB-65. Ketiga sistem tersebut mempunyai persamaan dalam hal keakuratan penilaian tetapi lebih sesuai digunakan sebagai prediktor beratnya penyakit dan juga lama rawat (Surjanto E, et al, 2013) Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan pemeriksaan penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi ataupun sitokin (Viasus D, et al, 2010). A. Respons Klinis Respons klinis terhadap terapi yang diberikan pada penderita pneumonia rawat inap dinilai berdasarkan perbaikan klinis (Ramirez SH, et al, 2008; Viasus D, et al, 2013). Waktu terjadinya stabilitas klinis pada pasien CAP yang dirawat inap dapat dianggap sebagai indikator respons klinis yang sedang berlangsung. Aliberti dkk berpendapat bahwa keterlambatan dalam mencapai
  • 31. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 77 BAB VI PENELITIAN SENDIRI Pada penelitian ini diteliti peranan deksametason dosis 5 mg perhari, pravastatin dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari pada kasus pneumonia, dengan mengukur penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6, penanda infeksi yaitu PCT dan neutrofil sputum dari sisi imunologis, serta diukur dari sisi klinis yaitu untuk perbaikan klinis untuk menilai hasil terapi.
  • 32. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 78 A. Metode Penelitian Penelitian sendiri ini terdiri dari 3 penelitian yaitu penelitian dengan melakukan pemberian 3 jenis antiinflamasi pada pasien pneumonia, masing masing penelitian menggunakan antiinflamasi yang berbeda. Untuk menilai output atau variabel tergantung menggunakan variabel yang sama dan ada pula yang berbeda. Variabel tergantung yang sama adalah perbaikan Klinis, sedangkan variabel yang lain adalah penanda biologi. Untuk penanda inflamasi akibat infeksi digunakan PCT, dan neutrofil sputum sedangkan untuk penanda inflamasi sistemik digunakan sitokin (IL-6, IL-8 dan TNF–α). Pada penelitian I dilakukan pemberian antiinflamasi golongan kortikosteroid yaitu deksametason, penelitian II pemberian antiinflamasi golongan statin yaitu pravastatin dan penelitian III pemberian makrolid yaitu azitromisin. Penelitian ini dilakukan dengan dibantu mahasiswa pendidikan dokter spesialis Pulmonolog dan Kedokteran Respirasi Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret. Desain penelitian ini adalah uji klinis dengan metode quasi experimental dan menggunakan pretest and posttest design pada kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberi terapi pneumonia standard sesuai pedoman penatalaksanaan pneumonia oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2014 dengan ditambahkan antiinflamasi sedangkan kelompok kontrol adalah
  • 33. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 123 BAB VII PEMBAHASAN Masalah klinis dan imunologis pada kasus pneumonia ini adalah terjadinya respons inflamasi yang cukup tinggi di lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman patogen penyebab peumonia (Mizgerd JP, 2008). Akan tetapi apabila respons inflamasi dengan produksi sitokin yang berlebihan, serta melibatkan respons inflamasi sistemik yang luas akan menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena itu dibutuhkan respons inflamasi yang seimbang dan cukup untuk mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau tidak berlebihan, untuk mencegah efek sistemik dari inflamasi tersebut. (Meijvis SCA, et al, 2012).
  • 34. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 124 Meskipun perkembangan-perkembangan penemuan antibiotik terus maju, juga tindakan pencegahan misalnya vaksinasi terus berlanjut, tetapi angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap tinggi. Apalagi kalau dihubungkan dengan pembiayaan perawatan kesehatan yang membutuhkan biaya semakin tinggi (Meijvis SCA, et al, 2012). Masalah klinis dan imunologis pada kasus pneumonia ini adalah terjadinya respons inflamasi yang cukup tinggi di lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman patogen penyebab peumonia (Mizgerd JP, 2008). Berbagai produk reaksi inflamasi yaitu sitokin-sitokin tersebut yang terdapat di lokasi inflamasi diperlukan untuk mengeliminasi dan mengontrol infeksi primer pada pneumonia tersebut (Meijvis SCA, et al, 2012). Akan tetapi apabila respons inflamasi dengan produksi sitokin yang berlebihan, serta melibatkan respons inflamasi sistemik yang luas akan menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena itu dibutuhkan respons inflamasi yang seimbang dan cukup untuk mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau tidak berlebihan, untuk mencegah efek sistemik dari inflamasi tersebut. Intervensi atau terapi yang ideal adalah yang mampu menurunkan komplikasi sistemik dari respons inflamasi tersebut tanpa menganggu perbaikan inflamasi yang bersifat lokal (Meijvis SCA, et al, 2012). Oleh karena itu pemberian antiinflamasi diharapkan mampu mengatasi masalah ini.
  • 35. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 125 Pada saat terjadi respons inflamasi oleh tubuh akibat terpajan bakteri, berbagai macam sel inflamasi akan aktif, serta berbagai produk sitokin ataupun mediator inflamasi akan terlibat pada proses ini. Sitokin terbagi menjadi protein pro dan antiinflamasi. Sitokin proinflamasi yang penting adalah IL-6 dan TNF α. Respons inflamasi dimulai dengan peningkatan TNF-α yang singkat tetapi intens diikuti dengan peningkatan IL-Iβ dan IL-6, Selanjutnya, IL- 10 yang merupakan sitokin antiinflamasi akan terinduksi dan menghambat produksi makrofag dan neutrofil. Pelepasan IL-10 adalah merupakan awal dari respons antiinflamasi untuk mencegah inflamasi yang tidak terkontrol. Interleukin 8 dan monocyte chemoattractant-1 merupakan kemokin yang memobilisasi, mengaktifkan dan merangsang degranulasi leucocyte polymorphonuclear (PMNs) (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada penelitian ini diteliti peranan deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari dengan mengukur penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6, serta penanda infeksi yaitu PCT dan neutrofil sputum. Selain dari sisi imunologis juga diukur dari sisi klinis yaitu untuk perbaikan klinis. A. Pemberian deksametason pada pneumonia Pada penelitian pemberian deksametason ini menggunakan parameter PCT sebagai penanda inflamasi akibat infeksi dan TNF sebagai penanda inflamasi sistemik. Hasil penelitian ini menunjukkan deksametason mampu menurunkan PCT sebagai
  • 36. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 126 penanda infeksi, tetapi untuk penurunan inflamasi sistemik tidak terbukti. Deksametason mampu menekan respons inflamasi akibat infeksi ditandai dengan menurunnya PCT secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak terjadi penurunan PCT. Procalcitonin (PCT) merupakan penanda infeksi yang stabil, efisien dan mudah dilakukan pemeriksaan (Kosanke R, et al, 2008). Kadar PCT pada infeksi bakteri akan meningkat dalam waktu 4 jam pertama dan mencapai puncaknya selama 8-24 jam. (Chamberlain RS, et al, 2014), kemudian akan menurun setelah 1,5 hari dan akan mencapai setengahnya dari kadar puncak (Meisner M, 2013). Kadar PCT meningkat saat infeksi dengan berbagai jalur, yaitu akibat rangsangan endotoksin (infeksi bakteri) sehingga sel-sel neuroendokrin akan memproduksi PCT. (Nakamura M, et al, 2013; Lee H, 2013). Selain itu juga melalui jalur lain yaitu lewat rangsangan IL-1β, IL-6 dan TNF-α (Lee H, 2013; Nakamura, et a., 2013). Rangsangan sitokin tersebut akan meningkatkan produksi PCT dalam sirkulasi darah (Nakamura M, et al, 2013). Secara umum diketahui bahwa kortikosteroid merupakan penghambat inflamasi yang sangat poten. Kortikosteroid akan memutus gen yang menyandi sitokin antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada penelitian ini pasien pneumonia mendapat deksametason 5 mg perhari selama 5 hari yang merupakan dosis rendah. Meijvis SCA, et al
  • 37. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 127 menyampaikan pemberian kortikosteroid dosis rendah maupun menurunkan proses transkripsi sitokin proinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada dosis rendah kortikosteroid akan mengontrol penurunan transkripsi sitokin proinflamasi, sehingga akan mampu mencegah perpanjangan respons inflamasi dari mediator inflamasi, selain itu diharapkan akan mempercepat resolusi sistemik dan inflamasi paru pada CAP. Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis kuat. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. (Meijvis, et al, 2011). Hal ini terbukti deksametason yang menghambat aktivitas NF-κβ sehingga akan menekan produksi TNF-α dan IL-β (Barnes P, 2005) sehingga akan menurunkan PCT sebagai penanda infeksi. Efek deksametasonyangtahan lama, memungkinkan pemberiannya hanyasekali sehari (Meijvis SCA,et al, 2011). Berdasarkan data penelitian ini, pengaruh pemberian deksametason terhadap kadar TNF-α serum didapatkan penurunan, tetapi tidak bermakna. Data ini berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Hilde et al. Penelitian tersebut menggunakan deksametason dengan yang sama dengan penelitian ini yaitu 5 mg tiap hari dan menggunakan variabel penanda inflamasi IL-6, IL-8,
  • 38. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 141 BAB VIII PENUTUP Pemberian antiinflamasi deksametason dan azitromisin direkomendasikan sebagai terapi tambahan, atau pendamping antibiotik pada kasus pneumonia. Alasannya, karena mampu menurunkan reaksi inflamasi akibat infeksi serta mempercepat perbaikan klinis. Untuk pemberian pravastatin dapat dipertimbangkan sebagai antiinflamasi dalam tatalaksana pneumonia terutama pada kasus tanpa penyakit penyerta yang berat.
  • 39. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 142 Tujuan utama terapi pneumonia adalah eradikasi kuman penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang (PDPI, 2014). Antibiotik merupakan terapi utama pada penatalaksanaan pneumonia bakterial. Selain terapi antibiotik, komponen lain adalah terapi suportif untuk menghilangkan gejala pneumonia misalnya antipiretik, mukolitik, ekspektoran, terapi oksigen, terapi cairan dan juga memberikan istirahat yang cukup kepada pasien pneumonia. Akhir-akhir ini antiinflamasi mulai menarik perhatian untuk digunakan dalam tatalaksana pneumonia. Dasar pemberian terapi inflamasi adalah terjadinya respons inflamasi yang tinggi pada pneumonia. Inflamasi adalah respons imun yang bertujuan mengeliminasi mikroba patogen, tetapi reaksi imun yang menetap dan berlebihan seperti pada kasus pneumonia akan menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi paru (Mizgerd, 2008). Keseimbangan respons inflamasi sangat dibutuhkan pada homeostasis paru. Pemberian terapi antiinflamasi diharapkan dapat mengubah respons imun agar lebih menguntungkan. Data penelitian pemberian antiinflamasi pada pneumonia masih terbatas dan banyak terjadi perbedaan hasil yang didapat. Selain itu juga masih banyak pula perbedaan pendapat mengenai golongan antiinflamasi apa yang baik untuk kasus pneumonia. Pada penelitian ini digunakan 3 antiinflamasi yaitu deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin dosis 40 mg
  • 40. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 143 perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari. Desain penelitian ini cukup ketat dengan menggunakan kelompok kontrol yang relatif sama dengan kelompok perlakuan. Pada kedua kelompok terapi antibiotik awal secara empiris menggunakan pola kuman setempat, dan apabila didapatkan factor modifikasi digunakan pedoman pneumonia komunitas yang diterbitkan oleh PDPI. A. Kesimpulan 1. Pada penelitian ini diteliti 3 antiinflamasi yang mempunyai peluang digunakan dalam terapi pneumonia a. Deksametason dapat menurunkan respons inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan PCT dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi. b. Pravastatin dapat menurunkan respons inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan PCT dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi. c. Azitromisin dapat menurunkan respons inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan IL-8 dan neutrofil sputun dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi. 2. Selain mengukur pengaruh antiinflamasi secara imunologi, juga dilakukan penilaian secara klinis
  • 41. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 144 yaitu dengan menilai perbaikan klinis. Pemberian antiinflamasi : a. Deksametason, dapat mencapai waktu perbaikan klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi. b. Pravastatin, waktu perbaikan klinis yang dicapai tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi. c. Azitromisin, dapat mencapai waktu perbaikan klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi. B. Saran 1. Pemberian antiinflamasi deksametason dan azitromisin direkomendasikan sebagai terapi tambahan, sebagai pendamping antibiotik pada kasus pneumonia. Untuk pemberian pravastatin dapat dipertimbangkan sebagai antiinflamasi dalam tatalaksana pneumonia terutama pada kasus tanpa penyakit penyerta yang berat. 2. Perlu dilakukan penelitian multi center di Indonesia, karena pada penelitian ini pengaruh strain bakteri di sirkulasi berbeda antar lokasi, mungkin akan berpengaruh terhadap hasil terapi.
  • 42. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 145 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu untuk kasus pneumonia rawat jalan, karena setting dari penelitian ini adalah rawat inap di rumah sakit.
  • 43. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 146 DAFTAR PUSTAKA Abbas AK. 2012. Innate immunity. In: Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, editors. Cellular and molecular immunology. 7th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. hlm. 55-88. Abraham SM, Lawrence T, Kleiman A, Warden P, Medghalchi M, Tuckermann J, et al. 2006. Antiinflammatory effects of dexamethasone are partly dependent on induction of dual specificity phosphatase 1. JEM. vol. 203(8). hlm. 1883-9. Akram AR, Chalmers JD, Taylor JK, Rutherford J. 2013. An evaluation of clinical stability criteria to predict hospital course in community-acquired pneumonia. Clin Microbiol Infect. vol.19. hlm. 1174–80. Alcon A, Fabregas N, Torres A. 2005. Pathophysiology of pneumonia. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 39-46. Aliberti S, Peyrani P, Filardo G, Mirsaedi M, Amir A, Blasi F, et al. 2011. Association between time to clinical stability and outcomes after discharge in hospitalized patients with community acquired pneumonia. Chest. vol. 140(2). hlm. 482-8. Al-Shirawi N, Al-Jahdali H, Al Shimemeri A. 2006. Pathogenesis, etiology and treatment of bronchiectasis. Annals of Thorasic Medicine. vol 1. hlm. 41-51. Amsden GW. 2005. Anti-inflammatory effects of macrolides- an underappreciated benefit in the treatment of community-acquired respiratory tract infections and chronic inflammatory pulmonary conditions. Journal of antimicrobial chemotherapy. vol. 55. hlm. 10-21. Andrijevic I, Matijasevic J, Andrijevic L, Kovacevic T, Zaric B. 2014. Interleukin-6 and procalcitonin as biomarkers in mortality prediction of hospitalized patients with community acquired pneumonia. Annals of Thoracic Medicine. vol. 9. hlm. 162-167.
  • 44. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 147 Arnold FW, Summersgill JT, Lajoie AS, Peyrani P, Marrie TJ, Rossi P. 2007. A worldwide perspective of atypical pathogens in community acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. vol.175. hlm. 1086-93. Azeem AAE, Hamdy G, Saraya M, Fawzy E, Anwar E, Abdulattif S. 2013. The role of procalcitonin as a guide for the diagnosis, prognosis, and decision of antibiotic therapy for lower respiratory tract infections. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis. vol. 62. hlm. 687-95. Azhdarzadeh M, Lotfipour F, Zakeri-milani P, Mohammadi G, Valizadeh H. 2012. Antibacterial performance of azithromycin nanoparticles as colloidal drug delivery system against different gram-negative and gram positive bacteria. Advanced pharmaceutical bulletin. vol. 2(1). hlm. 17-24. Bacci MR, Leme RCP, Zing NCP, Murad N, Adami F, Hinnig PF, et al. 2015. Chagas ACP, Fonseca FLA. IL-6 and TNF-a serum levels are associated with early death in community-acquired pneumonia patients. Brazilian Journal of Medical and Biological Research. vol. 48(5). hlm. 427-32. Balamayooran G, Batra S, Fessler MB, Happel KI, Jeyaseelan S. 2010. Mechanism of neutrophil accumulation in the lungs against bacteria. Am J Respir Cell Mol Biol. vol. 43. hlm. 5-16. Baratawidjaja GK, Rengganis I. 2009. Imunologidasar. Edisi ke-8. Jakarta: FKUI. hlm. 226-8. Barnes P. 1998. Antiinflammatory actions of glucocorticoids: molecularmechanisms. Clinical Science. vol. 94. hlm. 557-72. Bbosa GS, Mwebaza N, Odda J, Kyegombe DB, Ntale M. 2014. Antibiotics/antibacterial drug use, their marketing and promotion during the post- antibiotic golden age and their role in emergence of bacterial resistance. I Health. vol. 6. hlm. 410-25.
  • 45. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 148 Bordon J, Aliberti S, Botran RF, Uriarte SM, Rane MJ, Duvvuri P, et al. 2012. Understanding the roles of cytokines and neutrophil activity and neutrophil apoptosis in the protective versus deleterious inflammatory response in pneumonia. International Journal of Infectious Diseases. vol. 17. hlm. 76-83. Borovac DN, Pejcic T, Petkovic TR, Dordevic D, Dordevic I, Stankovic I, et al. 2011. Scientific Journal of the Faculty of Medicine. vol. 28. hlm. 147-54. Boureux A, Vignal E, Faure S, Fort P. 2007. Evolution of the rho family of ras-like GTP-ases in eukaryotes. Mol. Biol. Evol. vol. 24(1). hlm. 203-16. Bradley JR. 2008. TNF mediated inflammatory disease. Journal of Pathology. vol. 214. hlm. 149-60. British Thoracic Society (BTS). 2009. Guidelines for the management of community in adults:update 2009. Thorax. vol. 64. hlm. 1-15. Bulska M and Orszulak-michalak D. 2014. Immunomodulatory and antiinflamatory properties of macrolides. Curr issues pharm med sci. vol. 27. hlm. 61-4. Caballero J and Rello J. 2011. Combination antibiotic therapy for community acquired pneumonia. Annals of intensive care. vol. 1. hlm. 48. Chalmers JD, Short PM, Mandal P, Akram AR, Hill AT. 2010. Statins in community acquired pneumonia: evidence from experimental and clinical studies. Respiratory Medicine. vol. 104(8). hlm. 1081-91. Chamberlain RS, Shayota BJ, Nyberg C, Sridharan P. 2014. The utilityof procalcitonin as a biomarker to limit the duration of antibiotic therapy in adult sepsis patients. Surgical Science. vol. 5. hlm. 342-53. Chambers HF. 2001. Antimicrobial agents: Protein synthesis inhibitors and miscellaneous antibacterial agents. In: Hardman JG, Limbird LE, editors. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics. 10th edition. McGraw-Hill. hlm. 1239-65.
  • 46. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 149 Chopra V, Flanders SA. 2009. Does statin use improve pneumonia outcomes?. Chest. vol. 136. hlm. 1381- 88. Chow CW, Moraes TJ, Downey GP. 2008. Host defenses. In: Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Clinical respiratory medicine. 3rd edition. Philadelphia: Elsevier. hlm. 166-76. Christ-Crain M, Mu¨ller B. 2007. Biomarkers in respiratory tract infections: diagnostic guides to antibiotic prescription, prognostic markers and mediators. Eur Respir J. vol. 30. hlm. 556–73. Chun SK, Jessica KY, Richard MT, Rodrigo C, Sonal S, Yoon KL. 2012. Statins and associated risk of pneumonia: a systematicreview and meta-analysis of observational studies. Eur J Clin Pharmacol. vol. 68. hlm. 747–55. Chung SD, Tsai MC, Lin HC, Kang JH. 2014. Statin use and clinical outcomes among pneumonia patients. Clin Microbiol Infect. vol. 20. hlm. 879-85. Compos DB, Ibiapina CC. 2011. The role of macrolides in noncystic fibrosis bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation Pulmonary Medicin. vol. 4. hlm. 1-5. Craig A, Mai J, Cai S, Jeyaseelan S. 2009. Neutrophil recruitment to the lungs during bacterial pneumonia. Infection and Immunity. vol. 77. hlm. 568-75. Davies L, Angus RM, Calverley PM. 1999. Oral corticosteroids in patients admitted to hospital with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: a prospective randomised controlled trial. Lancet. vol. 354. Hlm. 456-60. Gazzerro P, Proto MC, Gangemi G, Malfitano AM, Ciaglia E, Pisanti S, et al. 2012. Pharmacological actions of statins: a critical appraisal in the management of cancer. vol. 64. hlm. 102-146.
  • 47. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 150 Ghanei M, Mehdi GZ, Majid S. 2005. Improvement of respiratory symptoms by long-term low-dose erythariomycin in sulfur mustard exposed cases: a pilot study. Journal of Medical Chemical, Biological, Radiological Defense. vol. 3. hlm. 1-9. Goetz MB, Rhew DC, Torres A. 2005. Pyogenic bacterial pneumonia, lung abscess and empyema. In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Murray and Nadels Textbook of Respiratory Medicine. 4th ed. Philladelphia: Elsevier Inc. hlm. 979-1032. Groenewegen KH, Schols AM, Wouters EF. 2008. Mortality and mortality-related factors after hospitalization for acute exacerbation of COPD. Chest. vol. 124. hlm. 459-67 Gupta P, Bhatia V. 2008. Corticosteroid physiology and principles of therapy. Indian Journal of Pediatrics. vol. 75(10). Hlm. 1039-44. Guzman C, Calleros CH, Griego LL, Montor JM. 2010. Interleukin-6: a cytokine with a pleiotropic role in the neuroimmunoendocrine network. The Open Neuroendocrinology Journal. vol. 3. hlm. 152-160. Haworth CS, Bilton D Elborn JS. 2014. Long – term macrolide maintenance therapy in non – cf bronchiectasis : evidence and questions. Respiratory Medicine. vol. 108. hlm. 1397-1408. Haworth CS. 2011. Antibiotics treatment strategies in adults with bronchiectasis. Eur Respir Mon. vol. 52. hlm. 211-22. Hedlun J, Hansson LO. 2000. Procalcitonin and c-reactive protein levels in community acquired pneumonia: correlation with etiology and prognosis. Infection. vol. 28. hlm. 68-73 Hilde HF, Bos WJ, Sabine CA, Rijkers GT, Biesma DH, Velzen-Blad H, et al. 2012. Dexamethasone Downregulates the Systemic Cytokine Response in Patients with Community-Acquired Pneumonia. Clinical and Vaccine Immunology. vol. 19(9). hlm. 1532-8.
  • 48. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 151 Idriss HT, Naismith JH. 2013. TNF alpha and the TNF receptor superfamily: structure-function relationship(s). Microsc Res Tech. vol. 50(3). hlm. 184-95. Irfan M, Farooqi J, Hasan R. 2013. Community acquired pneumonia. Curr Opin PulmMed. vol. 19. hlm. 1- 11. Iwata A, Shirai R, Ishii H, Kushima H, Otani S, Hashinaga K. 2012. Inhibitory effect of statins on inflammatory cytokine production from human bronchial epithelial cells. Clinical and Experimental Immunology. vol. 168. hlm. 234-40. Jain MK, Ridker PM. 2005. Antiinflammatory effects of statins: clinical evidence and basic mechanisms. Nature Reviews. vol. 4. hlm. 977-87. Jenks K. 2008. Corticosteroid. editor, In: Clinical drug therapy. 6th edition.Philadelphia: Lipponcott. hlm. 352-72. Kanoh S and Rubin BK. 2010. Mechanism of action and clinical application of macrolides as immunomodulatory medications. Clinical microbiology reviews. vol. 23(3). hlm. 590-615. Katzung B. 2006. Adenocortocosteroid and adrenocortical antaogonis, editor. In:Basic and clinical pharmacology. 10th edition. Newyork: Mcgraw Hill. hlm. 1163-94. Kiriyama Y, Nomura Y, Tokumitsu Y. 2002. Calcitonin gene expression induced by lipopolysaccharide in the rat pituitary. Am J Physiology Endocrinol Metab. vol. 282. hlm. 1380-4. Kishimoto T. 2010. IL-6: from its discovery to clinical applications. International Immunology. vol. 22(5). hlm. 347-52. Kolditz M, Ewig S, Hoffken G. 2013. Managementbased risk prediction in community-acquired pneumonia by scores and biomarkers. Eur Respir J. vol. 41. hlm. 974-84.
  • 49. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 152 Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. 2008. Clinical benefits of procalcitonin. Tanaffos. vol. 7. hlm. 14- 18. Kristiansen OP, Mandrup-Poulsen T. 2005. Interleukin-6 and diabetes: the good, the bad, or the indifferent? Diabetes. Suppl. vol. 2. hlm. 114-24. Lee H. 2013. Procalcitonin as a biomarker of infectious Diseases. Korean J Intern Med. vol. 28. hlm. 285- 91. Lentino JR and Krasnicka B. 2002. Association between initial empirical therapy and decreased length of stay among veteran patients hospitalized with community acquired pneumonia. International journal of antimicrobial agents. vol. 19(1). hlm. 61- 6. Liao JK, Laufs U. 2005. Pleiotropic effects of statins. Annu Rev Pharmacol Toxicol. vol. 45. hlm. 89-118. Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D, Leinonen M, et al. 2001. Study of community acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults admitted to hospital: implications for management guidelines. Thorax. vol. 56. hlm. 296-301. Lionakis M, Kontoyiannis D. 2003. Glucocorticoids and invasive fungal infections. Lancet. vol. 362. hlm. 1828-38. Loecker ID, Preiser JC. 2012. Statins in the critically ill. Annals of Intensive Care. vol. 2. hlm. 1-12. Lorenzo MJ, Moret I, Sarria B, Cases E, Cortijo J, Mendez R, et al. 2015. Lung inflammatory pattern and antibiotic treatment in pneumonia. Respiratory research. vol. 16. hlm. 15 Maitra A, Kumar V. The lung. 2007. In: Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell, editors.Robbin Basic Pathology. 8th ed.Philladelphia: Saunders Elsevier. hlm. 508- 28.
  • 50. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 153 Makris D, Manoulakas E, Komnos A, Papakrivou E, Tzovaras N, Hovas A, et al. 2011. Effect of pravastatin on the frequency of ventilator- associated pneumonia and on intensive care unit mortality: Open-label, randomized study. Crit Care Med. vol. 39(11). hlm. 2440-46. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et al. 2007. Infectious diseases society of america/american thoracic societycon sensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Diseases. vol. 44. hlm. 27-72. Martinez R, Menedez R, Reyes S, Polverino E, Cilloniz C, Martinez A, et al. 2011. Factors associated with inflammatory cytokine patterns in community- acquired pneumonia. Eur Respir J. vol. 37. hlm. 393-9. Maruna P, Nedelkova K, Gurlich R. 2000. Physiology and genetics of procalsitonin. Physiol Res. vol. 49. hlm. 57-61. Masakela R, Green RJ. 2012. The role of macrolides in childhood-non cystic fibrosis-related bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation. hlm. 1-7. Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla S, Navarro JC, Flores E, et al. 2005. Usefulness of procalcitonin levels in community-acquired pneumonia according to the patients outcome research team pneumonia severity index. Chest. vol. 128. hlm. 2223–9. Mason CM, Nelson S. 2005. Pulmonary host defenses and factors predisposing to lung infection. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 11-7. Medchrome. Mechanism of action of steroid hormones: animation. [cited April 14th2015]. Available from: http://tube.medchrome.com/2011/10/mechanis m-of-action-of-steroid-hormones.html Medzhitov R. 2010. Inflammation 2010: new adventures of an old flame. Cell. vol. 140. hlm. 771-6.
  • 51. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 154 Meijvis SCA, Hardeman H, Remmelts FH, Heijligenberg R, Rijkers GT, Velzen-Blad H, et al. 2011. Dexamethasone and length of hospital stay in patients with community-acquired pneumonia: a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet. vol. 377(9782). hlm. 2023-30. Meijvis SCA, Van de Garde EMW, Rijkers GT, Bos WJW. 2012. Treatment with anti-inflammatory drugs in community acquired Pneumonia. J Intern Med. vol. 272. hlm. 25–35. Meisner M. 2013. Current status of procalcitonin in the ICU. Neth J Crit Care. vol. 17(2). hlm. 4-12. Menendez R, Torres A, Rodriguez de castro F, Zalacain R, Aspa J, Borderias L, et al. 2004. Reaching stability in community-acquired pneumonia: the effects of the severity of the disease, treatment, and the characteristics of patients. Clinical infectious diseases. vol. 39. hlm. 1783-90. Meynaar IA, Droog W, Batstra M, Vreede R, Herbrink P. 2011. In critically ill patients, serum procalcitonin is more useful in differentiating between sepsis and SIRS than CRP, Il-6, or LBP. Critical Care Research and Practice. hlm. 1-6. Mizgerd JP. 2008. Acute lower respiratory tract infection. N Engl J Med. vol. 358. hlm. 716-27. Moldoveanu B, Otmishi P, Jani P, Walker J, Sarmiento X, Guardiola J, et al. 2009. Inflammatory mechanisms in the lung. Journal of inflammation research. vol.2. hlm. 1-11. Mor A, Thomsen RW, Ulrichsen SP, Sorensen HT. 2013. Chronic heart failure and risk of hospitalization with pneumonia: a population-based study. European Journal of Internal Medicine. vol. 24. hlm. 349-53. Mueller C, Muller B, Perruchoud AP. 2008. Biomarkers: past, present, and future. Swiss Med Wkly. vol. 138. hlm. 225-9.
  • 52. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 155 Mukaida N. 2003. Pathophysiologycal roles of interleukin- 8/CXCL8 in pulmonary diseases. AJP Lung Cell Mol Physiol. vol. 284. hlm. 566-77. Nakamura M, Kono R, Nomura S, Utsunomiya H. 2013. Procalcitonin: Mysterious Protein in Sepsis. Journal of Basic & Clinical Medicine. vol.2(1). hlm. 7-11. Naugler EW, Karin M. 2007. The wolf in sheep’s clothing: the role of interleukin-6 in immunity, inflammation and cancer. Trends In Molecular Medicine. vol. 12. hlm. 1-11. Nicod LP. 2005. Lung defences: an overview. Eur Respir Rev. vol. 14. hlm. 45-50. Novack V, Eisinger V, Frenkel A, Terblanche M, Adhikari NKJ, Douvdevani A, et al. 2009. The effects of statin therapy on inflammatory cytokines in patients with bacterial infections: a randomized double-blind placebo controlled clinical trial. Intensive Care Med. vol. 35. hlm. 1255-60. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2014. Pneumonia komunitas. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. Prasetyo SE, Reviono, Suradi. 2016. Pengaruh omega 3 fatty acid terhadap kadar prokalsitonin dan perbaikan klinis pada pasien pneumonia komunitas. J Respir Indo. vol. 36, hlm. 138-46. Purba JYL, Reviono, Suradi, Harsini, Aphridasari J. 2017. Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada penderita pneumonia. J Respir Indo. vol. 37. hlm. 75-83. Purba JYL. 2016. Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada penderita pneumonia. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
  • 53. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 156 Ramirez SH, Heilman D, Morsey B, Potula R, Haorah J, Persidsky Y. 2008. Activation of peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) suppresses rho GTPases in human brain microvascular endothelial cells and inhibits adhesion and transendothelial migration of HIV-1 infected monocytes. J Immunol. vol. 180. hlm. 1854-65. Reinhart K, Karzai W, Meisner M. 2000. Procalcitonin: a new marker of the systemic inflammatory response to infections. Intensive Care Med. vol. 26. hlm. 1193-1200. Rhen T, Cidlowski JA. 2005. Antiinflammatory Action of Glucocorticoids - New Mechanisms for Old Drugs. N Engl J Med. vol. 353. hlm. 1711-23. Rhren T, Cidlowski J. 2005. Antiinflamatory action of glucocorticoids newmechanisms for old drugs. New England Journal of Medicine. vol. 353. hlm. 1711- 23. Rubin R. 2011. Adrenocortical hormones and drugs affecting the cortex adrenal, editor. In: Modern pharmacology with clinical application, 5th edition. Scheller J, Chalaris A, Arras DS, John SR. 2011. The pro and antiinflammatory properties of the cytokine interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta. vol. 1813. hlm. 878-88. Schleicher GK, Herbert V, Brink A, Martin S, Maraj R, Galpin JS, et al. 2005. Procalcitonin and C- reactive protein levels in HIV-positive subjects with tuberculosis and pneumonia. European Respiratory Journal. vol. 25. hlm. 688-92. Sevilla-sanchez D, Soy-muner D, Soler-porcar N. 2010. Usefulness of macrolides as anti-inflammatories in respiratory diseases. Arch bronchoneumol. vol. 46(5). hlm. 244-54. Sharma S, Jaffe A, Dixon G. 2007. Immunomodulatory effects of macrolide antibiotics in respiratory disease: therapeutic implications for asthma and cystic fibrosis. Pediatric Drugs. vol. 9. hlm. 107-18.
  • 54. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 157 Simanjutak LH. 2016. Pengaruh azitromisin dosis rendah terhadap lama waktu perbaikan klinis, kadar IL-8 dan neutrophil sputum penderita pneumonia. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2016. Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J. 2004. Serum procalcitonin and c-reactive protein levels as marker of bacterial infection : a systematic review and meta-analysis. CID. vol. 39. hlm. 206-16. Sing B. Pengaruh kadar prokalsitonin dan TNF-α terhadap perbaikan klinis setelah pemberian deksametason selama lima hari pada pasien pneumonia. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. FakultasKedokteran. UniversitasSebelasMaret. Surakarta. 2015. Stancu C, Sima A. 2001. Statins: mechanism of action and effects. J Cell Mol Med. vol. 5(4). hlm. 378-87. Steel HC, Cockeran R, Anderson R, Feldman C. 2013. Overview of community-acquired pneumonia and the role of inflammatory mechanisms in the immunopathogenesis of severe pneumococcal disease. Mediators of Inflammation. vol. 2013. hlm. 1-18. Stellari FF, Sala A, Donofrio G, Ruscitti F, Caruso P, Topini TM, et al. 2014. Azithromycin inhibits nuclear factor-κB activation during lung inflammation: an in vivo imaging study. Pharma Res Per. vol. 2(5). hlm. 1-9. Summah H, Qu JM. 2009. Biomarkers: a definite plus in pneumonia. Hindawi Publishing Corporation. vol. 9. hlm. 1-9.
  • 55. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 158 Surjanto E, Sutanto YS, Reviono, Harsini, Indrayati D. 2013. Perbandingan Tiga Metode Prediksi secara Retrospektif dalam Menilai Derajat Pneumonia Komunitas pada Pasien Lanjut Usia di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. J Respir Indo. vol. 33. hlm. 34-9. Tamaoki J. 2004. The effects of macrolides on inflammatory cells. Chest. vol. 125. hlm. 41-51. Tamariz L, Hare HM. 2010. Inflammatory cytokines in heart failure: roles in aetiology and utility as biomarkers. European Heart Journal. vol. 31. hlm. 768-770. Tong L, Tergaonkar V. 2014. Rho protein GTPases and their interactions with NFκβ: crossroads of inflammation and matrix biology. Biosci Rep. vol. 34(3). hlm. 283-95. Tsang KWT, Ho PI, Chan KN, Lam WK, Yuen KY, Ooi GC. 1999. A Pilot study of low-dose erythariomycin in bronchiectasis. Eur Respir J. vol. 13. hlm. 361-4. Unger NR and Gauthier TP. 2015. Protein synthesis inhibitors. In: Whalen K, Finkel R, Panavelil TA, editors. Lippincott illustrated reviews: pharmacology. 6th edition. Walters Kluwer. hlm. 499-512. Vanaudenaerde BM, Robin V, Meyts I, Stephanie I, Vleeschauwer D, Verleden SE, et al. 2008. Makrolide therapy target a specific phenotype in respiratory medicine: from clinical experience to basic science and back. Inflammation and allergy. Drugs Target. vol. 7. hlm. 279-87. Verleden GM, Vanaudenaerde BM, Dupont LJ, Van Raemdonck DE. 2006. Azithromycin reduces airway neutrophilia and interleukin-8 in patients with bronchiolitis obliterans syndrome. Am J Respir Crit Care Med. vol. 174. hlm. 566-70. Viasus D, Vidal G, Gudiol F, Carratala J. 2010. Statins for community-acquired pneumonia: current state of the science. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. vol. 29. hlm. 143-152.
  • 56. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 159 Vrancic M, Banjanac M, Nujic K, Bosnar M, Murati T, Munic V, et al. 2011. Azithromycin distinctively modulates classical activation of human monocytes in vitro. British Journal of Pharmacology. vol. 165. hlm. 1348-60. Watson J. 2012. Raised inflammatory markers. BMJ. vol. 344. hlm. 1-5. Wright HL, Moots RJ, Bucknall RC, Edwards SW. 2010. Neutrophil function in inflammation and inflammatory diseases. Rheumatology. vol. 49. hlm. 1618-31. Wu Q, Shen W, Cheng H, Zhou X. 2014. Long – term macrolides for non – cystic fibrosis bronchiectasis : a systematic review and meta – analysis. Respirology. vol. 19. hlm. 321-29. Xiao H, Qin X, Ping D. 2013. Inhibition of rho and rac geranylation by atorvastatin is critical for preservation of endothelial junction integrity. Plos One. vol. 8(3). hlm. 1-10. Yanagihara K, Izumikawa K, Higa F, Tateyama M, Tokimatsu I, Hiramatsu K, et al. 2009. Efficacy of azithromycin in the treatment of community acquired pneumonia, including patients with macrolide resistant streptococcus pneumoniae infection. Inter Med. vol. 48. hlm. 527-35. Yang XY, Wang LH, Farrar WL. 2008. A Role for PPARγ in the regulation of cytokines in immune cells and cancer. PPAR Research. halm. 1-12. Yano M, MatsumuraT, Senokuchi T, Ishii N, Murata Y, Taketa K, et al. 2007. Statins activate peroxisome proliferator-activated receptor through extracellular signal-regulated kinase 1/2 and p38 mitogen-activated protein kinase–dependent cyclooxygenase-2 expression in macrophages. Circ Res. vol. 100. hlm. 1442-51. Zeilhofer HU and Schorr W. 2000. Role of interleukin-8 in neutrophil signaling. Current Opinion in Hematology. vol. 7. hlm. 178-82.
  • 57. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 160 Daftar Singkatan KDO : 2-Keto-3-deoksi asam octanoat HMG-CoA : 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA AP-1 : Activator protein -1 ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome ACTH : adrenocorticotrophic hormone IKK : aktivasi inhibitor I-κβ kinase ATS : American thoracic society APC : Antigen presenting cell APC : Antigen presenting cell BPI : Bacterial permeability-increasing protein CRP : C reactive protein CALC : Calsitonin CREB : cAMP response element binding CAMPs : Cationic antimicrobial peptides CD : Cluster of differentiation CD : Cluster of differentiation CAP : Community-acquired pneumonia CURB-65 : Confusion, urea, respiratory rate, blood pressure, age 65 ≥ years CHF : Congestive Heart Failure CBH : corticosteroid binding globulin CRH : corticotrophin releasing hormone CBP : CREB binding protein CFR : crude fatality rate c-AMP : cyclic adenosin monophosphate Camp : Cyclic adenosine monophospate CFTR : cystic fibrosis transmembrane conductance regulator protein CINC/gro : cytokine induced neutrophil chemoattractant/ growth related oncogene DNA : Deoxyribonuvleid acid DAG : Diacylglycerol DPB : diffuse panbronchiolitis
  • 58. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 161 DUSP : Dual specificity phospatase eNOS : endothelial nitric oxide synthetase ELFA : enzyme-linked fluorescent assay EGFR : epidermal growth factor receptor ERK ½ : Extracellular signal – regulated kinase ERK : extracellular signal-regulated kinase FPP : farnesyl pyrophosphate PLCβ : Fosfolipase β GPCR : G Protein – coupled chemokine receptors GERD : Gastro-esofageal refluxdisorder GR : Glucocorticoid receptors GRS : Glucocorticoid receptors GRE : Glucocoticoid response element GM-CSF : Granulocyte-monocyte colony stimulating factor GDP : Guanosine diphospate GTP : Guanosine diphospate HCAP : Healt care associated pneumonia HSP : heat shock protein Hsp : heat shock protein HHD : Hipertensi Heart Disease HDAC : Histone deacetylase HDAC : Histone deacetylase HAT : Histone ecetyltransferase HAP : Hospital acquired pneumonia HIV : Human Immunodeficiency Virus HLA : Human Leukocyte Antigen k-B : I-kappa-betha IRAK : IL-1 receptor – associated kinase IDSA : Infectious Disease Society of America NF-kB (Iκβ) : inhibitor IP3 : Inositol 3,4,5 triphosphate ICU : Intensive Care Unit ICAM : Intercellular adhesion molecule IL : interleukin IKK : Iκβ kinase
  • 59. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 162 JAM : Juctional adhesion molecule kD : kilo-dalton LPS : Lipopolisakarida LBP : Lipopolysaccharide binding protein LTA : Lipoteichoic acid MIP : Macrophage inflallatory protein Mac – 1 : Macrophage-1 antigen MCH : Major histocompabilyti complex MHC : Major histocompatibility complex MMP : Matrix metalloproteinase mRNA : messenger ribonucleic acid MAPK : Mitogen activated protein kinase MAPK : Mitogen-actived protein kinase MCP : Monocyte chemotactic protein MDR P- glycoprotein : multi-drug-resistant protein MyD88 : Myleoid differintiation primary response gene 88 MPO : Myloperoxidase NK : Natural killer NET : Neutrophil extracellular trap fMLP : N-formylmethionyl-leucyl- fenilalanin NADPH : nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase NLRs : NOD – like receptor NSAIDS : non steroidal antiinflamatory agents NF –k β : Nuclear factor – kappa beta NF-β : Nuclear factor-β NOD : Nucleotide oligomerization domain PSGL-1 : P selectin glycoprotein ligand-1 pCAF : P300/ CBP activating factor PAMP : pathogen associated molecular pattern PAMP : Pathogen associated molecullar pattern PAMPs : Pathogen azzociated molecular patterns PRRs : Pattern – recognition receptors PRRs : Pattern recognition receptor PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
  • 60. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 163 PPAR : peroxisome proliferator activated receptor PI3K : phosphatidylinositol-3-hydroxykinase PLC : phospholipase C PECAM-1 : Platelet endothelial cell adhesion molecule PSI : Pneumonia severity index PMN : polimorfonuklear PCR : Polymerase chain reaction RIG – I like receptors : PORT PCT : procalcitonin PCT : procalcitonin PKC : Protein kinase C QsM : quorum sensing molecul ROI : Reactive oxygen species ROS : reactive oxygen species RIP : Receptor interacting protein RTK : Receptor tyrosine kinase CR : reseptor komplemen RNA : Ribonucleic acid RLRs : RIG-I like receptors SLPI : Secretory leukoprotease inhibitor SST : serum separator tube SOOD : Silencer of death domain SGRQ : St. George Respiratory Questionnaire TCR : T cell receptor Th : T helper TCR : T-cell receptor PaO2 : tekanan parsial oksigen arteri CDC : The centers for disease control TNFR-1 : TNF receptor -1 TRAF6 : TNF receptor-associated factor 6 TRADD : TNFR-associated death-domain TLR : Toll like receptors TLRs : Toll-like receptors TAK I : Transforming growth factor-β-activated kinase 1 TIR : Translocated intimin receptor
  • 61. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 164 TNF-α : Tumor necrosis factor 6 Vβ : Variable β
  • 62. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 165 Dr. Reviono, dr., Sp.P(K) Dilahirkan di Bojonegoro 30 Oktober 1965. Lulus sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 1990. Pada tahun 2003 lulus sebagai dokter spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2010 secara bersama-sama, menyelesaikan studi S3 di Pascasarjana Universitas Airlangga dan memperoleh sertifikat konsultan infeksi paru dari Kolegium Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Saat ini mengajar S1 untuk blok Respirasi dan Infeksi, mengajar Program Pendidikan Dokter Spesialis Paru untuk Infeksi Paru dan mengajar S3 di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret untuk mata kuliah Radikal Bebas. Selain kegiatan mengajar juga aktif sebagai ketua Tim Medis Penanggulangan Wabah (Avian Influenza) dan Ketua Tim Penanggulangan Tuberkulosis strategi DOTS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Kegiatan lainnya aktif di Jejaring Riset TB Kementerian Kesehatan. Aktivitas lain adalah sebagai kontributor penyusunan buku Pneumonia Komunitas : Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia (2014), diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (2014) yang disusun bersama tim penerbitan buku Kementerian Kesehatan. Serta baru saja diselesaikan Pedoman Tatalaksana Infeksi TB Laten (2016) bersama Kelompok Kerja Infeksi Paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.