Dokumen tersebut membahas tentang tafsir Al-Kashshāf karya Al-Zamakhshari. Ia menjelaskan biografi pengarang Al-Zamakhshari, metode penafsirannya yang menitikberatkan pada analisis bahasa Arab, serta contoh penafsirannya yang menunjukkan pendekatan bahasa."
1. 1
I. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan oleh Allah kepada nabi Muhammad yang
mana ia adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantahkan dan berlaku sepanjang masa. Al-
Qur’an tidak hanya dibaca pada setiap kesempatan, tetapi juga ditafsirkan dalam rangka
mengungkapkan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya.
Dalam hal penafsiran, al- Qur’an telah melahirkan banyak teks penafsiran yang disusun
oleh para Mufassir dengan kecenderungan karakteristik, corak dan model metode masing-masing
yang terus berkembang hingga saat ini.
Adapaun keragaman karya tafsir tentu tidak terlepas dari masalah metode dan corak
pendekatan yang digunakan, seperti halnya tafsir yang sangat mengagumi kebalaghahanya,
diantara mufassir ada yang menulis tafsirannya dengan ungkapan yang indah dalam menafsiri al-
Qur’an dan menyisipkan pendapat mazhabnya kedalam untaian kalimat al-Qur’an yang dapat
memperdaya banyak orang. Sebagaimana yang dilakukan penulis kitab tafsir al-Kashshāf an
Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl yang dikarang oleh al-Zamakhsharī.
Sehingga dalam tulisan ini akan mengemukakan hal sebagai berikut: 1) Biografi kitab tafsir al-
Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl. 2) Metode kitab tafsir al-
Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl. 3) Penafsiran kitab tafsir
al-Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl.
II. Tafsīr al-Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl
Oleh al-Zamakhsharī.
A. Biografi Pengarang
Tafsir al-Kashshāf adalah karya Abūl Qāsim Mahmūd bin Umar bin Muhammad bin
Umar al-Khawārizmī. Seorang Imam yang bermazhab Hanafi dan penganut paham Mu’tazilah
lahir pada tanggal 27 Rājab 467 H di Zamakhshar dari desa Qarā dikawasan Khawārizm
(Turkistan)1. Ia mulai belajar di negeri seāāndiri kemudian melanjutkan ke Bukhara dan belajar
1 Muhammad Husain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah , 2000), 1:304.
2. 2
sastra kepada Shaikh Mansūr Abī Mudar2. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Makkah
sehingga ia mendapat julukan Jarullah (tetangga Allah) dan mengarang tafsirnya al-Kashshāf an
Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl di sana, kemudian ia kembali ke
Jurjaniah Khawarizm dan wafat di sana pula pada tahun 538 H.3
Kefanatikan al-Zamakhsharī terhadap paham Mu’tazilah, ia senantiasa mendatangkan
argumentasi-argumensi yang membela Mu’tazilah, sehingga penyusanan kitab ini termasuk
untuk mendukung akidah dan madẓhabya. Paham kemu’tazilahan al-Zamakhsharī dalam
tafsirnya menjadi bukti kecerdasan, kecermelangan dan kemahiranya, ia mampu mengungkapkan
isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah.
Al-Zamakhsharī adalah seorang ulama genius yang sangat ahli dalam bidang nahwu,
bahasa dan tafsir, dalam ilmu bahasa ia merupakan imam ahli bahasa yang melebihi dari imam-
imam bahasa yang lainnya pada masanya. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa Arab
diakui dan dipedomi oleh para ahli bahasa karena keorsinilan dan kecermatanya.
Dari aspek kebahasaan ia sangat berjasa telah menyingkap keindahan al-Qur’an dan daya
tarik balaghahnya, hal ini karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu balaghah, bayan,
nahwu, sharaf dan didorong oleh cita-cita luhur untuk memahami kelembutan-kelembutan ḥujjah
Allah SWT dan hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah. Di samping itu penelitian dan
pemeliharaan, banyak menelaah serta sering berlatih, lama merujuk dan akhirnya menjadi
rujukan, sehingga ia menjadi rujukkan kebahasaan yang kaya.4
Karya-karya al-Zamakhsharī
a) al-Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl tentang
tafsir Qur’an
b) Mufaṣṣal, tentang nahwu
c) Asāsul Balāghah, tentang bahasa5
d) Al-Faiq, tentang Tafsīr Gharīb al-Hadis
2 Mannā’ al-Qaṭān, Manbahith fī Ulūm al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, ( Bogor: Pustaka Litera AntarNusa), 530.
3 Fahruddin AbdurRohman bin Sulaiman al-Rūmī,Uṣūl Tafsīr wa Manāhijuhu,(Riyadz: Maktabah al-Taubah,
tth),153.
4 Mannā’, Manbahith fī Ulūm al-Qur’an, 508-509.
5 Shaikh Muhammad al-Faḍol bin ‘Ashūr, Tafsīr wa Rijāluhu,(Kairo: Majma’ Buhuth al-Islamyiah, 1970), 53-54.
3. 3
e) Al-Maqāmat
f) Rabī’ al-Abrār wa Nusūs al-Akhbār
g) Ahājī al-Nahwiah
h) Al-Minhaj tentang Uṣūl
i) Rū’usul Masa’ilil Fiqhiyah tentang Fiqih6
B. Metode dan Corak Penafsiran al-Kashshāf
Tafsir al-Kashshāf penafsiran didalamnya lebih spesifik membahas ilmu balaghah, sastra
dan ilmu kalam, sumber yang digunakan merupakan bil Ra’yi dimana dalam menafsirkan al-
Qur’an ia cenderung menggunakan pemikiran filsafat. Dalam penafsiranya, ia mengambil
metode tahlīlī yaitu menafsirkan semua ayat al-Qur’an sesuai dengan runtutan muṣhaf.
Adapun metode penafsiranya, menyebutkan nama surat dan ayat lalu menjelaskan apakah
surat tersebut Makki atau Madani. Kemudian memulai menafsirkan al-Qur’an dengan
menyebutkan beberapa kalimat kemudian menjelaskan makna bahasa dengan cara mengkaitkan
bahasa Arab ataupun ucapan orang Arab. Apabila dalam ayat tersebut terdapat hukum shar’i
terkadang ia menjelaskanya namun hanya secara ringkas.
Seperti dalam penafsiran surat al-Anfāl, bahwasanaya surat al-Anfāl merupakan surat
Madani yang terdiri dari 76 ayat kemudian menjelaskan al-Anfāl diartikan ghanimah (harta
rampasan perang) karena ghanimah merupakan pemberian Allah SWT. Sesungguhnya taqwa
merupakan sebaik-baiknya pemberian dan ghanimah adalah sesuatu yang diberikan kepada
orang-orang yang mengikuti perang.
Al-Zamakhsharī dalam menyebutkan riwayat tidak menyebutkan sanadnya secara
lengkap, ia hanya menyebutkan nama sahabat saja, seperti penafsiran dalam surat al-Mujādalah.7
6 Mannā’, Manbahith fī Ulūm al-Qur’an, 530.
7Muslim Abdullah Alī Ja’far, Atsar al-Tathawwur al-Fakriyy al-tafsir fī ‘Aṣri al-Abbāsi, (Bairut: Muassiah al-
Risālah, 1984), 104-105.
4. 4
( هللا رسول اجملادلة كلمتلقد : اتواألص مسعه وسع الذي هلل احلمد : عنها هللا رضي عائشة قالت
عليه هللا صلى. هلا مسع وقد ، أمسع ال عنده أناو البيت جانب يف ) وسلم
اجعكرت : أي ) حتاورك ( : وقرىء . هلا هللا مسع قد : وقال أكرمها عليه دخلت إذا كانأنه عمر وعن
ثعلبة بنت لةوخ وهو ، تسائلك : أي ، لكووحتا . الكالمعبادة أخي الصامت بن أوس أةرام
C. Contoh penafsiran al-Zamakhsharī 8
a. Penafsiran yang Menunjukkan Corak Bahasa
Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.” (Q.S. Al-Qiyāmah:22-23)
Lafadz ()الوجه menunjukkan tentang jumlah.
(الناضرة ) dia berseri-seri karena terpancar kenikmataan Allah yang diberikan kepadanya.
(ناظرة هبار اىل) hanya kepada tuhanmu tidak pada yang lain.
Ini merupakan faedah makna mendahulukan maf’ūl. Seperti yang kita lihat pada firman allah :
8 Abūl Qāsim Mahmūd bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawārizmī, al-Kashshāf an Haqāiq al-Tanzīl wa
Uyūni al-Aqwīl īi Wujūh al-Ta’wīl, (Bairut: Dar Ihyā’ al-Turath, tth),4:663.
5. 5
:(القيامة12,)
(الشورى:30, )
:انرعم (آل28)
:(الشورى53,)
:(البقرة245,)
:(هود88)
Dimana ada taqdīm (pendahuluan), maka disana menunjukan makna ikhtiṣāṣ (khusus),
mereka orang-orang melihat sesuatu di luar batasan, dimana semua makhluk tidak bisa
melihatnya. Orang-orang mu’min melihat dari itu mereka ber’iman dan tidak ada kekhawatiran
dan kesedihan yang menyerang mereka, khusuhya ketika melihat Allah kelihatannya muḥāl
maka dia wajib melihat secara makna. Ikhtiṣāṣ seperti itu sudah sah, hal ini disamakan sesuai
dengan ucapan seseorang : “saya melihat fulan membuatkan sesuatu untukku, dalam arti saya
menantikan pemberianya”.9
Ibnu Ashūr dalam kitab Tahrir wa Tanwīr bahwasanya ayat:
‘Amil yang didahulukan bukan berarti menunjukkan makna ikhtiṣāṣ tapi menunjukkan
sebuah keajaiban untuk seseorang yang beriman. Dari tafsiran ini menunjukkan al-Zamakhsharī
dalam menafsirkan al-Qur’an lebih cenderung kebalaghahanya karena dalam ilmu balaghah
ketika ‘amil didahulukan menunjukkan makna ikhtiṣāṣ.
b. Penafsiran yang Menunjukkan Corak Akidah
Dari penjelasan surat al-Qiyāmah:23 diatas menunjukkan penafsiran corak akidah ketika
ditafsirkan dengan surat al-An’ām:103
9 Ibid., 4:663.
6. 6
Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang
kelihatan dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’ām:103)
Artinya: Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (QS. Al-Qiyāmah: 23)
Sebagai bagian contoh ayat muḥkāmat dan mutashābihat, dimana al-Zamakhsharī
menyimpulkan penafsiran ayat pertama menegaskan mustahilnya Allah SWT untuk dapat
diindera oleh penglihatan manusia, merupakan ayat muḥkāmat. Sedangkan ayat ke dua sebagai
ayat mutashābihat yang harus dita’wilkan agar sejalan dengan ayat pertama, dengan
menta’wīlkan lafaẓ naẓar dengan arti menanti dan mengharap (al-tawaqqu’ wan al-raja’) bukan
ru’yat (melihat), hal ini berbeda dengan pendapat kaum Sunni yang menyatakan bahwa ayat
kedua sebagai penegasan dari ayat pertama bahwa Allah SWT kelak dapat dilihat oleh orang
beriman.10
III. Kesimpulan
Tafsir al-Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl dikarang
oleh Abūl Qāsim Mahmūd bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawārizmī, ia seorang
penganut mu’tazilah dan bermadzab Hanafi. Adapun salah satu faktor al-Zamaksyari mengarang
kitab tafsir tersebut adalah untuk mendukung akidah dan madzhabnya.
Tafsir al-Kashshāf karya az-Zamakhsharī termasuk tafsir yang menggunakan nalar
ijtihad (al-ra’yi) dan metode yang digunakan menggunakan metode tahlīlī. sedangkan corak
yang digunakan oleh al-Zamaksharī dalam tafsir al-Kashshāf beliau lebih menonjolkan
kebalagahanya dari pada fiqih.
10 Tafsir al-Kashshāf Terompet Mu’tazilah, dalam http://sirojuth-tholibin.net/2012/02/27, (diakses pada 20 Oktober
2014).
7. 7
Dapat dilihat dalam penafsirannya pada al-Qur’an pada surat al-Qiyāmah ayat 22-23
yang menjelasakan ayat tersebut terjadi taqdim yang menunjukkan makna ikhtiṣāṣ, tapi dalam
penafsiran Ibnu Ashūr pada ayat tersebut merupakan keajaiban untuk seseorang yang beriman.
Dari tafsiran ini menunjukkan al-Zamakhsharī dalam menafsirkan al-Qur’an lebih cenderung
kebalaghahanya karena dalam ilmu balaghah ketika ‘amil didahulukan menunjukkan makna
ikhtiṣāṣ. Penjelasan pada surat al-Qiyāmah:23 ketika ditafsir dengan surat al-An’ām:103
menunjukkan corak penasiran akidah kemu’tazilahanya
8. 8
Daftar Pustaka
‘Ashūr, Shaikh Muhammad al-Faḍol bin. “Tafsīr wa Rijāluhu”. Kairo: Majma’ Buhuth al-
Islamiyah, 1970.
Dhahabī (al), Muhammad Husain. “Al-Tafsīr wa Mufassirūn”. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Ja’far, Muslim Abdullah Alī. “Atsar al-Tathawwur al-Fakriyy fī al-Tafsīr fī ‘Aṣri al-Abbāsi”.
Bairut: Muassiah al-Risalāh, 1984.
Khawārizmi (al), Abūl Qāsim Mahmūd bin Umar bin Muhammad bin Umar. “Al-Kashshāf al-
Kashshāf an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa Uyūni al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl”. Bairut: Dar
Iḥyā’ al-Turath al-Arabī, tth.
Qaṭān (al), Mannā’. Manbāhith fī Ulūm al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, tth.
Rūmī (al) , Faḥruddin Abdur Rohman bin Sulaiman. “Uṣūl Tafsīr wa Manāhijuhu”. Riyadz:
Maktabah al-Taubah, tth.
Tafsir al-Kashshāf Terompet Mu’tazilah, dalam http://sirojuth-tholibin.net/2012/02/27, (diakses
pada 20 Oktober 2014).