Makalah ini membahas tentang pengulangan ayat-ayat (tikrar) dalam Al-Quran. Pengulangan ayat dapat berupa pengulangan lafal maupun makna. Terdapat beberapa kaidah pengulangan ayat seperti untuk menguatkan makna sebelumnya atau mengingatkan pembaca. Pengulangan ayat juga bermanfaat untuk memastikan pesan dapat disampaikan ke seluruh komunitas pembaca tanpa terbatas pada satu kelompok."
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Makalah Qowaid.pdf
1. MAKALAH
KAJIAN TERHADAP PENGULANGAN DALAM AL-QUR’AN
(TIKRAR)
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Tafsir II
Dosen Pengampu:
Dr. Ujang Mimin Muhaemin, M.Ag
Disusun Oleh:
MUMUH MUHTADIN
Nim: 19.
MUHAMMAD NUR RIZALDY
Nim: 21.01.1318
MUHAMMAD TARMIDZI HASIBUAN
Nim:
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS
BANDUNG
2022 M/ 1444 H
2. Kata Pengantar
Segala Puji hanyalah milik Allah SWT yang telah memberikan begitu
banyak nikmat-Nya sehingga kita tidak akan pernah mampu menghitung berapa
banyak nikmat yang telah kita terima.
Alhamdulillah atas rahmat dan hidayah yang telah Allah berikan, akhirnya
penulis mampu menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul
“KAJIAN TERHADAP PENGULANGAN DALAM AL-QUR‟AN ( TIKRAR)”.
Semoga dengan hadirnya tulisan ini menjadi semangat baru untuk terus membaca
serta mengkaji segala bidang ilmu.
Penulis tentunya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna, dan terdapat
kekurangan dari berbagai sisi, baik sisi penulisan, metodologi, ataupun penjabarannya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk
mengevaluasi kesalahan penulis apabila terdapat penyimpangan dan sekaligus menjadi
bahan perbaikan dalam penulisan berikutnya. Akhir kata, penulis memohon ampun kepada
Allah Swt sekaligus memohon petunjuk-Nya agar senantiasa berada dalam keridhaan-Nya
3. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Al-Qur‟an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan isnpirasi kebenaran
yang tak pernah kering dan habis, tapi juga disaat yang sama, al-Qur‟an adalah sumber
segala kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, semua apa yang terdapat dalam al-Qur‟an
selalu menyimpan makna dan hikmah meski kadang pikiran manusia belum sampai pada
hal-hal tersebut.
Sebagian orang, khususnya Orientalis mengklaim bahwa sistematika al-Qur‟an
sangat kacau1
, banyak hal yang tak perlu dan sia-sia didalamnya, mereka memberi
contoh, ziyadah, naqs dan tikrar atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur‟an.
Akan tetapi hal ini telah dibantah oleh banyak ulama islam. tidak sedikit jawaban
yang dilontarkan mengenai masalah ini, disertai dengan bukti-bukti yang valid berangkat
dari dasar bahwa tak ada hal yang sia-sia dalam al-Qur‟an.
Begitu juga dengan persoalan tikrar atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur‟an.
Diperoleh banyak fungsi dan hikmah dari bentuk ini, salah satunya adalah ta‟ki>d dan
tajdid bagi sebelumnya. Sebagai contoh, pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur‟an
mengenai nabi-nabi dan umat terdahulu.
Imam Qutaibah menjelaskan bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam kurun waktu
yang tidak singkat, tentunya keberagaman kabilah yang ada dikomunitas arab waktu itu
cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada pengulangan ayat, maka bisa jadi hikmah dan
ibrah dari berbagai kisah tersebut hanya terbatas pada kaum tertentu saja2
. Dengan kata
lain, tanpa tikrar dalam al-Qur‟an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan
menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa dikenang.
1
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), h. 243
2
Abu Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an ( Kairo: Maktabah Dar el-Turats,
2006), h. 250
4. Oleh karena itu, sangat penting kiranya membahas lebih jauh mengenai tikrar fi
al-Qur‟an berikut dengan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya. Maka dalam
makalah kali ini, akan coba dijelaskan lebih jauh mengenai hal tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa poin permasalahan,
sebagai berikut :
1. Bagaimana defenisi tikrar al-Qur‟an ?
2. Apa saja kaidah-kaidah tikrar dalam al-Qur‟an dan bagaimana
pengaplikasiannya?
3. Bagaimana urgensi bentuk tikrar dalam al-Qur‟an?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana kajian tikrar dalam al-Qur‟an.
2. Untuk mengetahui urgens tikrar dalam al-Qur‟an
5. BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi tikrar fi al-Qur’an
Kata al-tikrar (الخنشاس ) adalah masdar dari kata kerja "مشس" yang merupakan
rangkaian kata dari huruf ك
-
س
-
س . Secara etimologi berarti mengulang atau mengembalikan
sesuatu berulangkali3
.
Adapun menurut istilah al-tikrar berarti "الوعٌى لخقشٌش هشادفه او اللفظ اعبدة"
mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk menetapkan (taqrir) makna. selain itu, ada juga
yang memaknai al-tikrar dengan " فصبعذ هشحٍي الشًء رمش
ا " menyebutkan sesuatu dua kali
berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah makna secara berulang4
.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-tikrar fi
al-Qur‟an adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam al-Qur‟an dua kali atau lebih,
baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
Al-Tikrar (pengulangan) dibagi menjadi dua macam :
1. Tikrar al-lafdzi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur‟an baik berupa
huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan ayatnya.
a. Contoh pengulangan huruf.
Pengulangan huruf ة pada akhir beberapa Q.S. Al-Nazi„at (79): 6-14 5
.
( ُتَف ِاجَّالش ُفُج ْشَح َم ْىٌَ
6
( ُتَفِداَّالش بَهُعَبْخَح )
7
( ٌتَف ِاج َو ٍزِئَه ْىٌَ ٌىةُلُق )
8
ٌتَعِشَبخ َبهُبسَصْبَأ )
(
9
ىُقٌَ )
( ِة َشِفبَحْال ًِف َُوىدُود ْشَوَل بٌَِّئَأ َىىُل
01
( ًة َش َِخً بًهبَظِع بٌَُّم اَزِئَأ )
00
ٌةَّشَم اًرِإ َلْلِح ىاُلبَق )
( ٌة َشِسَبخ
01
( ٌةَذ ِاح َو ٌة َشْج َص ًَِه بَوًَِّإَف )
02
( ِة َشِهبَّسبلِب ْنُه اَرِإَف )
03
)
b. Contoh pengulangan kata, dapat dilihat pada Q.S. al-Fajr (89): 21-22:
3
Abu> al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lughah, Juz. V (Beirut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi, 1423
H./2002 M.), h. 126. Lihat juga Muhammad Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz. V ( Beirut: Dar al-Shadir, t.th), h. 135.
4
Khalid ibn Us|man al-Sabt, Qawa ’id al-Tafsir, Jam’an wa Dirasah, Juz. I (Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-
Sa’udiyah, Dar ibn ‘Affan, 1417 H./1997 M.), h. 701.
5
Pengulangan huruf akhir seperti contoh ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an dari sisi susunan
kata dan kalimatnya. Hal ini disebabkan karena pengulangan huruf huruf tersebut, melahirkan keserasian bunyi
dan irama dalam ayat-ayatnya yang memiliki dampak pada psikologis bagi pendengarnya. Lihat M. Quraish Shihab,
Mukjizat al-Qur’an (Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), h. 123-124
6. ( بًّمَد بًّمَد ُض ْسَ ْ
اْل ِجَّمُد اَرِإ َّ
َّلَم
10
( بًّفَص بًّفَص ُلَلَوْال َو َُّلبَس َءبَج َو )
11
)
c. Contoh pengulangan ayat terdapat pada Q.S. Al-Rahman:
ِبىَبِّزَنُح بَوُنِّب َس ِآالء ِّيَأِبَف.
Ayat tersebut berulang kurang lebih 30 kali dalam surah tersebut.
2. Tikrar al-ma‟nawi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur‟an yang
pengulangannya lebih di titik beratkan kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan
tersebut6
. Sebagai contoh Q.S. al-Baqarah (2): 238:
( ٍَِيخًِبَق ِ َّ ِ
ّلِل ىاُهىُق َو ىَطْس ُىْال ِة َ
َّلَّصال َو ِثا َىَلَّصال ىَلَع ىاُظِفبَح
128
)
Salat al-wusta yang disebut dalam ayat diatas adalah pengulangan makna dari kata
salawat sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai
penekanan atas perintah memeliharanya7
.
Selain seperti contoh diatas, bentuk tikra>r seperti ini biasanya dapat dilihat ketika
al-Qur‟an bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu, menggambarkan azab dan nikmat,
janji dan ancaman dan lain sebagainya.
B. Kaidah-Kaidah Tikrar fi al-Qur’an
Ada beberapa kaidah yang berkaitan dengan al-tikrar fi al-Qur‟a>n, sebagai berikut:
1. Kaidah Pertama:
.ِكِّلَعَتْالم ِدُّدَعَتِل ار َرْكِّتال ُد ِ
رٌَ ْدَل
8
Artinya:
Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya (maksud yang
ingin disampaikan).
Adanya pengulangan beberapa ayat al-Qur‟an disurah dan tempat yang berbeda
menyisakan pertanyaan dibenak para ilmuan sekaligus bahan perdebatan dikalangan mereka. Hal
ini bertolak belakang dari realitas metode al-Qur‟an sendiri yang dalam penjelasannya terkesan
6
http://mrhasanbisri.blogspot.com/2009/11/makalah-balaghah-asrar-al-tikrar-fi-al.html.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jil. I, (Cet. II; Jakarta : Lentera Hati,
2009), h. 626-627.
8
Khalid ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar fi Qawa‘id al-tafsir, (Cet. I; Saudi Arabia: Dar ibn Affan: 1996M/1417H),
h. 22
7. singkat padat dalam mendeskripsikan sesuatu. Olehnya itu, al-Qur‟an oleh sementara orang
dinilai kacau dalam sistematikanya.
Namun pertanyaan ini telah dijawab oleh para ilmuan Islam, bahwa bentuk pengulangan
dalam al-Qur‟an adalah bukan hal yang sia-sia dan tidak memiliki arti. Bahkan menurut mereka
setiap lafal yang berulang tadi memiliki kaitan erat dengan lafal sebelumnya. Sebagai contoh
ayat-ayat dalam Q.S. al-Rahma>n (55): 22-27:
( ُانَج ْرَمْال َو ُإُلْإُّالل اَمُهْنِم ُجُرْخٌَ
22
( ِانَبِّذَكُت اَمُكِّبَر ِء َ
َلَآ ِّيَؤِبَف )
22
ِ
ار َوَجْال ُهَل َو )
ِم َ
َْلعَ ْ
اْلَك ِ
رْحَبْال ًِف ُتَآَشْنُمْال
(
22
( ِانَبِّذَكُت اَمُكِّب َر ِء َ
َلَآ ِّيَؤِبَف )
22
( ٍانَف اَهٌَْلَع ْنَم ُّلُك )
22
( ِام َرْكِ ْ
اْل َو ِل َ
َلَجْال وُذ َنِّبَر ُهْج َو ىَمْبٌَ َو )
22
)
( ِانَبِّذَكُت اَمُكِّبَر ِء َ
َلَآ ِّيَؤِبَف
22
.)
Terjemahnya:
Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan? Dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan
laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Dalam surah di atas terdapat ayat yang berulang lebih dari 30 kali yang kesemuanya
menuntut adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur manusia atas berbagai nikmat Allah. Jika
dilihat, tiap pengulangan ayat ini didahului dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah
berikan kepada hambanya . jenis nikmat inipun berbeda-beda, maka setiap pengulangan ayat
yang dimaksud, berkaitan erat dengan satu jenis nikmat. Dan ketika ayat tersebut berulang
kembali, maka kembalinya kepada nikmat lain yang disebut sebelumnya. Inilah yang dimaksud
oleh kaidah, bahwa terkadang pengulangan lafal karena banyaknya hal yang berkaitan
dengannya.
Contoh lain bisa dilihat dalam Q.S. al-Mursala>t (77): 19, :
( ٌَنِبِّذَكُمْلِل ٍذِئَم ْوٌَ ٌلٌْ َو
91
.)
Dalam Surah di atas lafal للمكذبٌن ٌومئذ وٌل berulang sampai sepuluh kali. Hal itu
dikarenakan Allah swt. menyebutkan kisah yang berbeda pula. Setiap kisah diikuti oleh lafal
8. tersebut yang menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang berkaitan
dengan kisah sebelumnya.
2. Kaidah Kedua:
هخجىسٌي حنشاسبٍي هللا مخبة ًف ٌقع لن
.
Artinya:
Tidak terjadi pengulangan antara dua hal yang berdekatan dalam kitabullah.
Maksud dari kata “mutajawirain” dalam kaidah ini adalah pengulangan ayat dengan lafal
dan makna yang sama tanpa fashil diantara keduanya9
. Sebagai contoh lafal “basmallah” dengan
QS. Al-Fatihah/1
3. Kaidah Ketiga :
ْلَ ْ
اْل َْنٌَب ُفِلَاخٌََُل
ا
َلِإ ِاظَف
الم ِف َ
َلِتْخِ ِ
ْل
ًِناَع
Artinya: “Tidak ada perbedaan lafal kecuali adanya perbedaan makna”.
Contoh aplikasinya Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Kafirun/109: 2-4,
)3( ْمُّتْدَبَع اام ٌدِباَع َ۠انَا ٓ َ
َل َو )2( ُدُبْعَا ٓاَم َن ُْودِبٰع ْمُتْنَا ٓ َ
َل َو )1( َن ُْودُبْعَت اَم ُدُبْعَا ٓ َ
َل
Terjemahnya:
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.[17]
Lafal َُوندُبْعَت اَم ُدُبْعَأ آل sepintas tidak berdeda dengan ْمُتْدَبَع اَم ُدِباَع َانَأ آل َو, tapi
pada hakikatnya memiliki perbedaan makna yang mendalam. Lafal َُوندُبْعَت اَم ُدُبْعَأ آل yang
menggunakan betuk mudari„ mengandung arti bahwa Nabi Muhammad saw. tidak menyembah
berhala pada waktu tersebut dan akan datang.
Adapun lafal ْمُتْدَبَع اَم ُدِباَع َانَأ آل َو dengan sigah madi mengandung
penegasian fi‟il pada waktu lampau. Seperti telah diketahui, bahwa sebelum kedatangan islam
kaum musyrikin menganut paham politheisme atau menyembah banyak tuhan. Oleh karena itu
lafal ini menegasikan Nabi Muhammad menyembah berhala-berhala yang telah lebih dulu
mereka sembah.
9
Al-Sabt, Qawa>id, op. cit., h. 703.
9. Itulah yang dimaksud oleh kaidah ini, tidak ada perbedaan lafal kecuali terdapat
perbedaan makna didalamnya. Kedua lafal ini mempertegas unsur kemustahilan – dulu, selalu
dan selamanya – Muhammad tidak akan menyembah tuhan kaum Quraiys (berhala).] Penyebutan
salah satu lafal saja tidak bisa mencakup semua makna tersebut.
Disisi lain, ungkapan dengan bentuk هذا هوبفاعل ما lebih tinggi maknanya jika
dibandingkan dengan ungkapan ماٌفعله, Karena ungkapan yang pertama betul-betul menegasikan
adanya kemungkinan terjadinya fi‟il atau perbuatan, berbeda dengan ungkapan yang kedua.
4. Kaidah Keempat:
ِامَهْفِتْس ِ
اْل ًف ُءًاشال َر ارَكَت ُب َرَعال
ُهَل ًاادَعْبِتْسِإ
Artinya:
Kaum Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil
terjadinya hal tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan dikalangan bangsa arab dalam menyampaikan suatu hal yang
mustahil atau kemungkinan kecil akan terjadi pada diri seseorang. Maka bangsa arab
mempergunakan bentuk (إستفهام) pertanyaan tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung.
Maka dipergunakanlah pengulangan guna menolak dan menjauhkan terjadinya hal itu.
Contohnya jika si-A kecil kemungkinan atau mustahil untuk pergi berperang, maka dikatakan
kepadanya (تجاهد؟ أأنت تجاهد؟ أنت). Pengulangan kalimat dalam bentuk istifham pada contoh
tersebut untuk menunjukkan mustahil terjadinya fi‟il dari fa‟il10
.
Hal ini seperti apa yang telah dicontohkan dalam Q.S. al-Mu‟minun (23): 35:
( َونُج َرْخُم ْمُكانَأ اًماَظِع َو ًابا َرُت ْمُتْنُك َو ْمُّتِم اَذِإ ْمُكانَأ ْمُكُدِعٌََأ
22
)
Terjemahnya:
Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi
tanah dan tulang belulang, kamu Sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?.
10
Hafni Muhammad Syarf, Syarh badi>` al-Qur`a>n li`Ibn Abi> al-Isba` al-Anshari, (Cet. II; Kairo: Da>r Nahdah al-
Misr: t.th) h. 151.
10. Kalimat "انكم "اٌعدكم kemudian diikuti oleh kalimat ` "
مخرجون انكم
" mengandung arti
mustahilnya kebangkitan setelah kematian. Ayat ini merupakan jawaban dari pengingkaran
orang-orang kafir terhadap adanya hari akhir.
5. Kaidah Kelima.
َاءنِتْع ِ
اْل ًَلَع ُّلُدٌَ ُار َرْكِتال
Artinya: “ Pengulangan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.
Sudah menjadi hal yang maklum, bahwa sesuatu yang penting sering disebut-sebut
bahkan ditegaskan berulangkali. Ini berarti setiap hal yang mengalami pengulangan berarti
memiliki nilai tambah hingga membuatnya diperhatikan dan terus disebut-sebut.
Sebagai illustrasi, buku yang bermutu dari segi penyampaian isi akan digemari dan
diperhatikan para pembaca hingga berpengaruh pada jumlah pengulangan dalam pencetakannya
guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembaca.
Sifat-sifat Allah swt. yang kerap berulang kali dalam al-Qur‟an pada setiap surah
menegaskan pentingnya untuk mengetahui dan kewajiban mengimaninya. Begitu juga dengan
berbagai kisah umat terdahulu sebagai contoh yang sarat pesan dan hikmah.
Sebagai contoh dari aplikasi kaedah ini Q.S. Al-Naba‟ (78):1-5:
( َونُلَءاَسَتٌَ امَع
9
( ٌِمِظَعْال ِإَبانال ِنَع )
2
( َونُفِلَتْخُم ِهٌِف ْمُه ِيذاال )
2
( َونُمَلْعٌََس ا
َلَك )
2
ا
َلَك امُث )
( َونُمَلْعٌََس
2
)
Terjemahnya:
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar. yang mereka
perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak kelak mereka akan mengetahui,. Kemudian sekali-kali
tidak; kelak mereka mengetahui.”
Surah diatas bercerita tentang hari kiamat yang waktu terjadinya diperdebatkan banyak
orang. Dalam surah tersebut lafal سٌعلمون كَل diulang dua kali menunjukkan bahwa hal yang
diperdebatkan tersebut benar-benar tidak akan pernah bisa diketahui tepatnya.
6. Kaedah Keenam:
ِةَف ِ
رْعَمْال ِف َ
َل ِخِب ,ُدُّدَعاتال ًَلَع ْتالَد ْت َرارَكَت اَذِإ ُة َرِكانال
11. Artinya:
Jika hal yang berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan maka ia
menunjukkan berbilang, berbeda dengan hal yang bentuknya ma„rifah (khusus/diketahui).
Dalam kaedah bahasa arab apabila isim (kata benda) disebut dua kali atau berulang ,
maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu: (1) keduanya adalah isim al-nakirah, (2)
keduanya ism al-ma‟rifah, (3) pertama ism al-nakirah dan kedua ism al-ma„rifah, serta (4)
pertama ism al-ma„rifah dan kedua ism al-nakirah11
.
Untuk jenis yang disebut pertama (kedua-duanya isim nakirah) maka ism kedua
bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya menunjukkan pada hal yang berbeda.
Aplikasi jenis ini bisa dilihat dalam Q.S. al-Rum/30: 54,
ٌَْش َو اًفْعَض ٍة اوُل ِدْعَب ْنِم َلَعَج امُث ًة اوُل ٍفْعَض ِدْعَب ْنِم َلَعَج امُث ٍفْعَض ْنِم ْمُكَمَلَخ ِيذاال ُ ا
َّللا
ُكُلْخٌَ ًةَب
( ٌُِردَمْال ُمٌِلَعْال َوُه َو ُءَاشٌَ اَم
22
.)
Terjemahnya:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang
Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.[28]
Lafal ضعفا pada ayat diatas terulang tiga kali dalam bentuk nakirah yang menurut
kaedah bila terdapat dua ism al-nakirah yang terulang dua kali maka yang kedua pada
hakekatnya bukanlah yang pertama. Dengan demikian, ketiga lafal d}a„i>f memiliki makna
yang berbeda-beda.
Menurut al-Qurt}ubi> dalam tafsirnya al-Jami„ li al-Ahkam al-Qur‟an,
arti ضعفا pertama adalah terbentuknya manusia dari ضعٌفة نطفة sperma yang lemah dan hina,
kemudian beranjak ke fase kedua yaitu والصغر الطفولة ًف الضعٌفة حالة. (keadaan manusia
yang lemah pada masa awal kelahiran), kemudian ditutup dengan fase ketiga yaitu
( حا
والشٌخوخة الهرم ًف الضعٌفة لة ) “keadaan lemah saat usia senja dan jompo”.
11
Nor Ichsan, Memahami Bahasa al-Qur`an, (Cet. I; Semarang; Pustaka Pelajar, 2002), h.19.
12. Untuk jenis yang disebutkan kedua, (kedua-duanya isim ma‟rifah) sebaliknya, bahwa
yang kedua pada hakekatnya adalah yang pertama kecuali terdapat qari>nah yang menghendaki
makna selainnya,
Seperti firman Allah dalam Q.S. al-Fatihah (1): 6-7:
( ٌَمِمَتْسُمْال َطا َر ِ
ّصال َانِدْها
2
ٌَِنّاالضال َ
َل َو ْمِهٌَْلَع ِبوُضْغَمْال ِ
ْرٌَغ ْمِهٌَْلَع َتْمَعْنَأ ٌَِنذاال َطا َر ِ
ص )
(
2
)
.
Terjemahnya:
Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Lafal sirat yang terdapat pada ayat di atas terulang dua kali, pertama dalam bentuk ism
al-ma‟rifah yang ditandai dengan memberi kata sandang alif lam الصراط dan kedua dalam
bentuk ma‟rifah juga, yang ditandai dengan susunan idafah الذٌن صراط. maka ism yang
disebut kedua sama dengan yang pertama.
Jenis pertama dan kedua inilah yang dimaksud oleh kaidah diatas. Adapun
jenis ketiga (ism al-nakirah pertama dan al-ma‟rifah kedua) dalam hal ini keduanya memiliki
arti yang sama, sebagai contoh firman Allah dalam Q.S. al-Muzammil (73): 15-16 :
ىَلِإ َانْلَس ْرَأ اَمَك ْمُكٌَْلَع ًادِهَاش ً
وَلُس َر ْمُكٌَْلِإ َانْلَس ْرَأ اانِإ
( ً
وَلُس َر َن ْوَع ْرِف
92
ُن ْوَع ْرِف ىَصَعَف )
( ً
ٌَلِب َو اًذْخَأ ُهَانْذَخَؤَف َلوُساالر
92
.)
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang
menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada
Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.
Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini Allah memberitahukan kepada kaum Quraish
bahwa ia telah mengutus Muhammad untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Allah
mengutus kepada Fir‟aun seorang rasul yaitu nabi Musa as. Kemudian mereka ingkar dan
mendurhakai nabi Musa as. dan menjadikan patung sapi menjadi sembahannya. Berdasarkan
kaedah yang ketiga ini, maka yang dimaksud dengan rasul pada penyebutan kedua adalah sama
13. dengan yang pertama, yaitu nabi musa. Jadi makna nabi pada ayat 15 yang diutus kepada Fir‟aun
adalah juga nabi yang diingkarinya pada ayat setelahnya12
Sementara itu untuk jenis yang disebutkan terakhir (pertama isim ma‟rifah dan
kedua isim nakirah) maka kaidah yang berlaku tergantung kepada indikatornya (qari>nah).
Olehnya itu ia terbagi ke dalam dua:
a. Adakalanya indikator menunjukkan bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda.
Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q.S. al-Rum (30): 55:
( َونُكَفْإٌُ واُناَك َنِلَذَك ٍةَعاَس َْرٌَغ واُثِبَل اَم َونُم ِ
رْجُمْال ُمِسْمٌُ ُةَعااسال ُموُمَت َم ْوٌَ َو
22
.)
Terjemahnya:
Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; Mereka tidak berdiam
(dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". seperti Demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari
kebenaran).
Lafal (الساعة) pada ayat diatas terulang sebanyak dua kali, yang pertama
menunjukkan isim ma„rifah sedang kedua menunjukkan isim al-nakirah.
Dalam kasus ini lafal yang disebutkan kedua pada hakikatnya bukanlah yang pertama.
Pengertian ini dapat diketahui dari siya>q al-kala>m dimana yang pertama berarti ٌوم
الحساب (hari kiamat) sedangkan yang kedua lebih terkait dengan waktu.
b. Di sisi lain ada indikator yang menyatakan bahwa keduanya adalah sama, contohnya
firman Allah dalam Q.S. al-Zumar (39): 27-28:
اكَذَتٌَ ْمُهالَعَل ٍلَثَم ِّلُك ْنِم ِنَآ ْرُمْال اَذَه ًِف ِ
اسانلِل َانْب َرَض ْدَمَل َو
( َونُر
22
ٍج َوِع ِيذ َْرٌَغ ًّاٌِب َرَع اًنَآ ْرُل )
( َونُماتٌَ ْمُهالَعَل
22
.)
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur‟an ini setiap macam
perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (ialah) al-Qur‟an dalam bahasa Arab yang tidak
ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.
Lafalh (المرآن) pada ayat di atas juga terulang sebanyak dua kali, yaitu pertama dalam
bentuk ism al-ma`rifah dan yang kedua dalam bentuk isim al-nakirah.
12
M. Quraish Shihab, Tafsi>r al-Misba>h (pesan, kesan dan keserasian al-Qur`an), Juz XIV, (Cet. VII; Tangerang:
Lentera Hati, 2007), h. 529.
14. Dalam kasus ini yang dimaksud dengan al-Qur‟an yang disebut kedua, hakikatnya sama
dengan “al-Qur‟an” yang disebutkan pertama
7. Kaedah Ketujuh:
الفخامة على دل لفظا والجزاء الشرط اتحد اذا
Artinya:
Jika ketetapan dan jawaban (keterangan) bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan
keagungan (besarnya) hal tersebut.
Menurut penulis, maksud dari kaidah diatas kembali kepada lafal yang dimaksud, jika
terjadi pengulangan dengan lafal yang sama - penyebutan yang pertama sebagai satu ketetapan
sedang penyebutan yang kedua sebagai jawaban (keterangan) dari ketetapan tersebut, maka itu
menunjukkan besarnya hal yang dimaksud.
Sebagai contoh QS. al-Haqqah (69) :1-2:
( ُةالاَحْال
9
( ُةالاَحْال اَم )
2
)
Terjemahnya :
“Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu ?.”
atau Q.S. al-Wa>qi‟ah (56) : 27:
( ٌِنِمٌَْال ُابَحْصَأ اَم ٌِنِمٌَْال ُابَحْصَأ َو
22
)
Terjemahnya :
Dan golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu.]
Dalam dua contoh diatas, lafal yang menjadi ketetapan (mubtada‟) dan
keterangan (khabar) adalah lafal yang sama. Kata “ الحالة ” diulang dan bukan menggunakan
lafal “ ًماه
؟ ”, pengulangan lafal mubtada‟ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini,
menurut Ibn al-Dausy bermaksud sebagai pengagungan dan menggambarkan besarnya hal
tersebut.
C. Fungsi Tikra>r
Dalam bukunya al-Itqan Fi „Ulum al-Qur‟a>n, imam al-Suyuthi menjelaskan fungsi dari
penggunaan tikrar dalam al-Qur‟an. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
15. 1. Sebagai taqrir (penetapan)
Dikatakan, ucapan jika terulang berfungsi menetapkan
( َرارَكَت اَذِإ ُم َ
َلَكال
َر ارَمَت ). Diketahui bahwa Allah swt. telah memperingatkan manusia
dengan mengulang-ulang kisah nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji dan
ancaman. Maka pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.
Ini sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikra>r bahwa setiap perkataan yang terulang
merupakan tiqra>r (ketetapan) atas hal tersebut. sebagai contoh Allah berfirman Q.S. al-
An„am (7) : 19:
ٌهَلِإ َوُه اَمانِإ ْلُل ُدَهْشَأ َ
َل ْلُل ى َرْخُأ ًةَهِلَآ ِ ا
َّللا َعَم انَأ َُوندَهْشَتَل ْمُكانِئَأ
اامِم ٌءي ِ
رَب ًِنانِإ َو ٌد ِاح َو
( َونُك ِ
رْشُت
91
)
Terjemahnya:
Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?"
Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha
Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).
Pengulangan jawaban dalam ayat tersebut merupakan penetapan kebenaran tidak adanya
Tuhan(sekutu) selain Allah.
2. Sebagai Ta‟ki>d (penegasan) dan menuntut perhatian lebih (ِهٌِْبْنّتال ُةَداٌَ ِ
ز َو ٌدٌِْكْتؤ )
Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan atau penekanan, bahkan
menurut imam al-Suyu>thi penekanan dengan menggunakan pola tikra>r setingkat lebih kuat
dibanding dengan bentuk ta‟kid. Hal ini karena tikra>r terkadang mengulang lafal yang sama,
sehingga makna yang dimaksud lebih mengena.
Selain itu, Agar pembicaraan seseorang dapat diperhatikan secara maksimal maka
dipakailah pengulangan tikrar agar si obyek yang ditemani berbicara memberikan perhatian
lebih atas pembicaraan tadi
Contohnya, Allah berfirman dalam Q.S. al-Mu‟min (40 ): 38-39:
( ِدَاشاالر َلٌِبَس ْمُكِدْهَأ ِونُعِباتا ِم ْوَل اٌَ َنَمَآ ِيذاال َلاَل َو
22
ٌَ )
انِإ َو ٌعاَتَم اٌَْنُّدال ُةاٌََحْال ِهِذَه اَمانِإ ِم ْوَل ا
( ِ
ار َرَمْال ُارَد ًَِه َة َر ِخَ ْ
اآل
21
)
16. Terjemahnya:
Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah Aku, aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang benar. Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal.
Pengulangan kata “ya> qaumi>” pada kedua ayat diatas yang maknanya saling berkaitan,
berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.
3. Pembaruan terhadap penyampaian yang telah lalu (ِهِدْهَعِل ُدٌِدْتجَلا)
Jika ditakutkan poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau dilupakan akibat terlalu
panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu maka, diulangilah untuk kedua kalinya guna
menyegarkan kembali ingatan para pendengar.
Sebagai contoh, dalam al-Qur‟an Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah (2): 89:
ُلْبَل ْنِم واُناَك َو ْمُهَعَم اَمِل ٌِقّدَصُم ِ ا
َّللا ِدْنِع ْنِم ٌابَتِك ْمُهَءاَج اامَل َو
اامَلَف واُرَفَك ٌَِنذاال ىَلَع َونُحِتْفَتْسٌَ
( ٌَن ِ
رِفاَكْال ىَلَع ِ ا
َّللا ُةَنْعَلَف ِهِب واُرَفَك واُف َرَع اَم ْمُهَءاَج
21
)
Terjemahnya:
Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar
itu.[45]
Pengulangan kata جاءهم فلما pada ayat diatas untuk mengingatkan atau mengembalikan
bahasan pada inti pembicaraan yang sebelumnya terpisah oleh penjelasan lain.
4. Sebagai ta„z}i>m (menggambarkan agung dan besarnya satu perkara).
Mengenai hal ini, telah dipaparkan dalam kaidah bahwa salah satu fungsi dari tikra>r atau
pengulangan adalah untuk menggambarkan besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana
pemberitaan tentang hari kiamat dalam QS. al-Qa>ri‟ah (101) : 1-3:
( ُةَع ِ
ارَمْال
9
( ُةَع ِ
ارَمْال اَم )
2
( ُةَع ِارَمْال اَم َان َْردَأ اَم َو )
2
)
17. KESIMPULAN
1. Yang dimaksud dengan al-tikra>r fi> al-Qur‟an adalah pengulangan redaksi kalimat atau
ayat dalam al-Qur‟an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya
dengan tujuan dan alasan tertentu.
2. Al-Tikra>r Fi al-Qur‟a>n terbagi menjadi dua macam yaitu tikra>r al-lafdz dan tikra>r al-
ma‟nawi>. Adapun kaidah yang menyangkut al-tikra>r dalam sebanyak 7 kaidah, masing-
masing dengan aplikasi yang dapat ditemukan dalam al-Qur‟an.
3. Fungsi tkrar dalam al-Qur‟an diantaranya sebagai taqrir (penetapan), ta‟zhim (pengagungan)
dan tajdid terhadap sebelumnya.
18. DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Chirzin, Muhammad. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998.
Dahlan, Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Cet. II ; Bandung : Mizan, 1998.
Shihab, M. Quraisy, Tafsi>r al-Misba>h ; Pesan, Kesan , dan Keserasian Al-Qur’an , Jil.
I, ed.Baru, Cet.I ; Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Al-Dausy>, Muhammad. I‟ra>b al-Qur‟a>n wa Baya>nihi. Juz. IX, Suriah: Da>r al-Irsya>d, t.
th.
http://mrhasanbisri.blogspot.com/2009/11/makalah-balaghah-asrar-al-tikrar-fi-al.html
http://staipi-tafsirhadist.blogspot.com/2010/04/tikrar-dalam-al-quran.html