Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
M4 kb2
1. No Kode: DAR2./PROFESIONAL/810/4/2019
PENDALAMAN MATERI BIMBINGAN DAN KONSELING
MODUL4 STRATEGI LAYANAN DASAR, PERENCANAAN
INDIVIDUAL DAN DUKUNGAN SISTEM
KEGIATAN BELAJAR 2
STRATEGI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK
Penulis:
Sigit Hariyadi, S.Pd., M.Pd
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2019
2. A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana, terprogram dan berkesinambungan
membantu peserta didik mengembangkan kemampuannya secara optimal, baik aspek kognitif,
aspek afektif maupun aspek psikomotorik dalam segala aspek kehidupan (Drost, 2001:14). Salah
satu upaya pendidikan adalah pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah yang memandirikan.
Bimbingan kelompok meruapakan salah satu dari strategi layanan dasar yang perananya cukup
penting dalam upaya pengembangan diri siswa. Bimbingan kelompok merupakan bentuk
intervensi layanan kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan
keputusan yang tepat. Dengan kata lain bimbingan kelompok membantu dalam memperkaya
persepsi, wawasan, perasaan dan pikiran anggota tentang siapa mereka dan bagaimana
mengembangkan pribadi untuk kehidupan yang lebih baik. Bimbingan kelompok berupaya
memanfaatkan dinamika dan proses kelompok untuk membantu anggota dalam memenuhi
kebutuhan atau mengatasi problematika yang dihadapi melalui upaya penyesuian diri dan
perkembangan kepribadian. Dengan kata lain, bimbingan kelompok sebagai upaya preventif-
developmental bagi setiap peserta didik.
Permasalah di lapangan dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat
beberapa kekurangan baik dalam hal pemahaman praktik layanan maupun upaya dalam
pengoptimalkan pengembangan layanan bimbingan kelompok. Hal ini terlihat dari hasil informasi
lisan dan data dokumentasi bahwa pada beberapa laporan layanan diketahui miskonsepsi antara
bimbingan kelompok yang masih sering terjadi. Selain itu pelaksanaan layanan bimbingan
kelompok jarang sekali dikembangkan atau dioptimalkan dengan penggunaan teknik atau media
pendukung yang memadai
Persoalan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok tersebut tentunya sangat disayangkan
apalagi melihat potensi dan pentingnya layanan bimbingan kelompok dalam membantu
mengoptimalkan potensi Siswa. Ditagaskan lagi bagaimana layanan bimbingan kelompok menjadi
salah satu layanan yang penting untuk menopang perkembangan mereka, terutama perkembangan
karier, perkembangan sosial dan peningkatan kesadaran diri (Gibson & Mitchell, 2011; Winkel &
Hastuti, 2005),.
Modul ini dikemas dalam 7 pokok bahasan yang membahas konsep dasar bimbingan
kelompok mulai dari (1) pengertian, (2) tujuan, (3) asas, (4) kepemimpinan dalam kelompok, (5)
3. keuntungan dan kelemahan yang menyertai, (6) teknik serta (7) etik dalam bimbingan dan
konseling kelompok.
Setelah mempelajari modul ini diharapkan Saudara dapat memahami konsep dari
bimbingan kelompok secara lebih komprehensif dan utuh. Selain itu diharapkan saudara mampu
menyiapkan diri sebagai pemimpin kelompok yang efektif dan menganlisis kelemana dan
kelebihan yang ada.
Pembelajaran ini dapat berjalan dengan efektif apabila Saudara telah melakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Pelajari modul perencanaan layanan bimbingan dan konseling terlebih dahulu karena
modul tersebut menjadi karangka dasar pada modul ini
2. Pelajari dengan seksama isi modul ini karena pemahaman Anda akan berpengaruh
kepada pemahaman Anda akan modul bidang kajian bimbingan dan kelompok lainnya.
3. Keberhasilan pembelajar sangat tergantung pada bagaimana saudara secara aktif
memepelajari dan menambah wawasan yang ada.
4. Apabila ada kesulitan dalam mempelajari model ini silahkan Anda dapat menghubungi
instruktur atau fasilitator yang mengajarkan modul ini.
Selamat belajar dalam mempelajari modul ini semoga apa yang anda pelajari dapat
membantu anda dalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling kelompok di lapangan
nantinya
4. B. Inti
1. Capaian Pembelajaran
Mampu mengelola (merancang, menyusun, mengorganisasi, melaksanakan, memonitor,
dan mengevaluasi) layanan dasar, layanan responsif, perencanaan individual dan peminatan, dan
dukungan sistem secara individual, kelompok, klasikal, dan kelas besar/lintas kelas dengan
menggunakan metode, teknik, dan multimedia yang relevan serta memperhatikan kebutuhan
sasaran layanan yang berasal dari keberagaman sosial budaya pada jenis, jalur dan jenjang satuan
pendidikan
Setelah mempelajari modul ini, peserta/mahasiswa dapat menjelaskan konsep dasar
bimbingan dan konseling kelompok.
Tujuan pembelajaran :
a. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep dasar bimbingan kelompok.
b. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengidentifikasi beberapa kemampuan yang harus
dimiliki oleh pemimpin kelompok.
c. Mahasiswa dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan bimbingan kelompok.
d. Mahasiswa mampu melaksanakan bimbingan kelompok sesuai dengan tahapan-tahapan
dalam layanan bimbingan kelompok
e. Mahasiswa dapat mengaplikasikan teknik dalam bimbingan kelompok
2. Pokok Materi
Dalam modul 4 kegiatan belajar 2 ini akan dibahas materi terkait dengan strategi layanan
bimbingan kelompok dengan beberapa pokok materi sebagai berikut:
a. Konsep dasar layanan bimbingan kelompok
b. Keterampilan pemimpin kelompok
c. Kelebihan dan kekurangan bimbingan kelompok
d. Tahapan bimbingan kelompok
e. Teknik bimbingan kelompok
f. Etika dalam layanan bimbingan kelompok
5. 3. Uraian Materi
a. Konsep Dasar Layanan Bimbingan Kelompok
1) Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok kita pahami bersama sebagai suatu bentuk layanan, dimana siswa
diajak bersama-sama untuk saling bertukar informasi tentang topik-topik yang dibicarakan dan
mengembangkan bersama pemikiran dan perencanaan dalam upaya pengembangan diri didalam
kelompok. Senada dengan pemahaman tersebut. Pendapat tersebut diperkuat dengan apa yang
disampaikan oleh Gazda (Prayitno & Amti, 2004) bahwa “bimbingan kelompok merupakan
kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan
keputusan yang tepat”. Selanjutnya ditegaskan bahwa layanan bimbingan kelompok merupakan
salah satu strategi bimbingan yang berusaha membantu individu agar dapat mencapai
perkembangannya secara optimal sesuai dengan kemampuan, bakat, minat, serta nilai-nilai yang
dianutnya dan dilaksanakan dalam situasi kelompok (Romlah, 2006).
Dijelaskan pula bahwa bimbingan kelompok lebih berfokus kepada bagaimana
meningkatkan pemahaman diri, serta upaya mendukung individu dalam perkembangan baik yang
bersifat intrapersonal maupun interpersonal. Kegiatan bimbingan kelompok dapat dilakukan
dengan pembahasan topik-topik seperti pendidikan sex, keterampilan komunikasi, isu mutakhir,
isu keragaman dan stress management (Neukrug, 2011). Dari apa yang dipahami maka bimbingan
kelompok didesain dengan tujuan psikoedukasi serta pemberian dorongan secara psikologis kepada
setiap anggota kelompok guna mengembangkan diri. Melalui bimbingan kelompok dimungkinkan
bagi setiap anggota atau peserta mampu membuka diri lebih baik dan melakukan kegiatan berbagi
informasi, berbagi pengamalan Psikologis yang terbentuk dalam suasana kelompok.
Layanan bimbingan kelompok berjalan dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk
mencapai tujuan layanan. Melalui media dinamika kelompok anggota akan dapat mencapai tujuan
ganda, yaitu mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri untuk memperoleh kemampuan-
kemampuan sosial seperti kemampuan beradaptasi, dan diperoleh berbagai wawasan, nilai dan
sikap, serta berbagai alternatif yang akan memperkaya pengalaman yang dapat mereka pratikkan
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rusman (2010)
yang secara singkat dapat dijelaskan bahwa bimbingan kelompok diartikan suatu proses pemberian
bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota untuk
belajar berpartisipasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap
6. dan atau ketrampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau dalam
upaya pengembangan pribadi.
Dari pendapat para ahli tersebut, dapat ditarik beberapa pokok pengertian dari bimbingan
kelompok yaitu : (a) bimbingan diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan
(efektif ≤ 8 anggota), (b) bimbingan dilaksanakan untuk membantu individu dalam uapaya
pengembangan diri, (c) merupakan penyediaan informasi melalui aktivitas kelompok yang
terencana dan terorganisasi, (d) memungkinkan setiap anggota kelompok untuk belajar
berpartisipasi aktif dan berbagi pengalaman dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan
wawasan, sikap dan atau ketrampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah
atau dalam upaya pengembangan pribadi.
2) Tujuan Bimbingan Kelompok
Gibson & Mitchell (2011), menjelaskan bahwa bimbingan kelompok dengan isi yang
meliputi informasi pendidikan, pekerjaan, pribadi atau sosial bertujuan menyediakan informasi
akurat bagi anggota kelompok yang dapat membantu mereka membuat perencanaan dan keputusan
hidup yang lebih tepat. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa tujuan layanan bimbingan secara
kelompok, yaitu supaya konseli yang dilayani menjadi mampu mengatur kehidupan sendiri,
memiliki pandangan sendiri, tidak sekedar meniru pendapat orang lain, mengambil sikap sendiri,
dan berani menanggung sendiri efek serta konsekuensi dari tindakan-tindakannya.
Selain itu tujuan yang ingin dicapai dalam bimbingan kelompok yakni pengembangan
pribadi, pembahasan topik-topik atau masalah-masalah umum secara luas dan mendalam yang
bermanfaat bagi para anggota kelompok sehingga terhindar dari permasalahan yang berkaitan
dengan topik atau masalah yang dibahas (Wibowo, 2005). Bimbingan kelompok di jenjang
pendidikan menengah mempunyai manfaat, baik bagi tenaga bimbingan profesional maupun bagi
para siswa. Siswa memerlukan bimbingan kelompok yang menopang perkembangan mereka,
terutama perkembangan karier, perkembangan sosial dan peningkatan kesadaran diri (Winkel &
Hastuti, 2005).
Jadi secara umum tujuan bimbingan kelompok ada 2 yaitu pengembangan pribadi anggota
dan pembahasan topik bahasan secara mendalam. Pengembangan pribadi meliputi pengembangan
segala potensi dan keterampilan sosial yang dimiliki. Sedangkan pembahasan topik dalah sebagai
upaya preventif agar terhindar dari permasalahan yang dibahas.
7. 3) Asas dalam Layanan Bimbingan Kelompok
Dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling kelompok seorang pemimpin
kelompok perlu memperhatikan beberapa asas yang ada dalam pelaksanaan layanan. Secara umum
12 asas yang ada dalam pelayanan bimbingan dan konseling haruslah terwujud dalam setiap
layanan yang diberikan akan tetapi beberapa asas yang cukup memiliki nilai besar dalam
bimbingan dan konseling kelompok, antara lain:
a) Asas kerahasiaan
Para anggota harus menyimpan dan merahasiakan informasi apa yang dibahas dalam
kelompok, terutama hal-hal yang tidak layak diketahui orang lain. Asas ini merupakan kunci
dalam pemberian layanan bimbingan kelompok. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka
penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak
terutama penerima bimbingan (konseli) sehingga mereka akan mau memanfaatkan jasa
bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya apabila Guru Bimbingan dan
Konseling tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik maka hilanglah kepercayaan
konseli yang berakibat pelayanan bimbingan dan konseling tidak dapat tempat di hati konseli
dan para calon konseli.
b) Asas keterbukaan
Para anggota bebas dan terbuka mengemukakan pendapat, ide, saran, tentang apa saja
yang yang dirasakan dan dipikirkannya tanpa adanya rasa malu dan ragu-ragu. Dengan kata
lain dalam pelaksanaan layanan bimbingan kelompok sangat diperlukan suasana keterbukaan
baik keterbukaan dari Guru Bimbingan dan Konseling maupun keterbukaan dari konseli.
Dalam asas ini, arti dari keterbukaan bukan hanya sekedar bersedia menerima saran-saran dari
luar, tetapi lebih dari itu diharapkan masing-masing pihak yang bersangkuatan bersedia
membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah individu yang membutuhkan
bimbingan dan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya.
c) Asas kesukarelaan
Proses layanan bimbingan kelompok harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik
dari pihak konseli, maupun dari pihak Guru Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, pada
asas ini diharapkan konseli secara suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa,
menyampaikan masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan
seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada Guru Bimbingan dan Konseling, dan
8. Guru Bimbingan dan Konseling dapat memberikan bantuan dengant idak terpaksa atau ikhlas.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalah hal ini semua anggota dapat menampilkan diri
secara spontan tanpa malu atau dipaksa oleh teman lain atau pemimpin kelompok.
d) Asas kenormatifan
Asas kenormatifan diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan layanan
bimbingan kelompok. Semua layanan yang diberikan oleh Guru Bimbingan dan Konseling
harus sesuai dengan norma-norma yang ada termasuk prosedur, teknik, dan peralatan yang
dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang ada.
b. Keterampilan Pemimpin Kelompok
Dalam konsep pendekatan bimbingan kelompok dipahami sebagai suatu sistem pelayanan
yang memiliki struktur didalamnya. Struktur dalam kelompok meliputi bentuk, tujuan, aturan serta
peran akan anggota dan pemimpin kelompok. Kepemimpinan sendiri merupakan hal esensial
dalam pendekatan kelompok. Banyak sekali persoalan yang menyertai konsep pemimpin dan
kepemimpinan dalam kelompok konseling baik itu meliputi peran maupun tanggungjawab yang
ada. Meskipun karakteristik dari kepemimpinan yang berbeda menunjukkan keberhasilan dalam
lingkup situasi dan lingkungan spesifik secara umum terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih
jauh. Beberapa poin secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pemimpin menjaga diri tetap jujur, terbuka dan bersikap etis setiap saat
2. Pemimpin terbuka dan menerima masukan dari semua anggota kelompok, bahkan
opini anggota yang tidak disetujuinya
3. Perhatian pemimpin di sepanjang waktu adalah pertumbuhan pribadi dan
kesejahteraan semua anggota kelompoknya
4. Pemimpin memodelkan nilai dan perilaku yang bisa menungkatkan kualitas hidup
anggota kelompoknya
(Gibson & Mitchell, 2011)
Dari beberapa penjelalasan tersebut dipahami bahwa Guru Bimbingan dan Konseling
sebagai pemimpin kelompok bukan hanya berperan sebagai sorang terapis melainkan juga live
model bagi anggota kelompok tentang bagaimana menghadapi sebuah masalah. Guru Bimbingan
dan Konseling sebagai pemimpin kelompok memlili dua peran dalam prosesnya. Guru Bimbingan
dan Konseling dituntut menjadi pemicu atau ambil bagian dalam meningkatkan rangsangan
emosional pada diri setiap anggota kelompok. Di sisi lain Guru Bimbingan dan Konseling
memiliki peran eksekutor atau eksekutif sebagaimana dalam pengambilan sikap dan putusan,
9. norma, atau prosedur yang diperlukan dalam melakukan proses layanan (Gladding, 2012). Walau
demikian sacara umum terdapat 4 kualitas kepemimpinan yang efektif tanpa mengecualikan
masing-masing karakteristik dari tipe-tipe kepemimpinan yang ada yaitu moderat, penuh
perhatian, mempu bersosialisai dan peran eksekusi (Morran, Stockton, & Whittingham, 2004;
Stockton & Morran, 1982; Yalom, 1995).
1) Moderat dalam memberikan rangsangan emosi dalam hal ini meliputi pengungkapan
diri, pengambilan resiko, konfrontasi, penyingkapan perasaan, refleksi perasaan.
2) Pemimpin yang efektif dapat memberikan perhatian yang cukup. Konsep perhatian
dalam hal ini layaknya memberikan dukungan, penguatan, proteksi dll. Akan tetapi
perlu dipahami bahwa kontek cukup artinya perhatian yang diberikan sesuai dengan
kubutuhan yang ada tidak kurang ataupun berlebih-lebihan.
3) Hubungan yang bermakna atau dapat memanfatkan atribusi pemaknaan. Seorang
pemimpin kelompok harus dapat memahamkan anggota kelompoknya tentang apa yang
dirasakan, dialami serta apa yang harus dipahami. Oleh karenya kemampuan dalam
penjelasan, klarifikasi, memberikan kerangka kerja kognitif guna perubahan serta
melakukan intepretasi sangatlah dibutuhkan.
4) Mengekspresikan fungsi eksekusi yaitu aturan, norma, batasan, manajemen waktu,
prosedur dan lain-lain.
Ditegaskan pula bahwa seorang pemimpin kelompok perlu memliki kemampuan dalam
menganalisis dan mengidentifikasi arah kelompok yang artinya Guru Bimbingan dan Konseling
mampu memberikan penilian apakah kelmpok telah berjalan sesuai dengan nilai-nilai teraputik
atau tidak. Apabila tidak maka Guru Bimbingan dan Konseling hendaknya dapat mengembil
strategi intervensi dari awal agar kelompok berjalan sebagaimana tujuan bimbingan kelompok
yang benar (Yalom & Leszcz, 2005).
Pemimpin kelompok yang berkualitas tidak saja dilihat dari seberapa efektif keterampilan
yang dimiliki melainkan pada kualitas pribadi atau karakteristik pribadi yang baik. Corey (2012)
menjelaskan terdapat 9 karakteristik yang harus dimiliki seorang Guru Bimbingan dan Konseling
sebagai pemimpin antara lain
1) Kehadiran (Presence)
Kehadiran tidak hanya berbicara tentang keberadaan fisik. Kehadiran juga dimaknasi
secara emosional seorang pemimpin terlibat secara suka cita terhadap kelompok, mampu
merasakan “rasa sakit” yang dialami oleh orang lain. Kemampuan pemimpin untuk
mengekspresikan emosi dan perasaannya akan mempermudah keterlibatan secara
emosional dengan orang lain. Kehadiran juga memiliki arti “being there” untuk anggota
kelompok. Artinya mereka tulus bersama dengan anggota kelompok tidak terpecah dengan
kegiatan atau fikiran lain dan menyatu bersama kelompok.
10. 2) Kekuatan pribadi (Personal power)
Kekuatan pribadi melibatkan kepercayaan diri dan kesadaran akan pengaruh seseorang
terhadap orang lain. Jika pemimpin kelompok tidak merasakan kekuatan dalam kehidupan
mereka sendiri (atau jika mereka tidak merasa mengendalikan nasib mereka), sulit bagi
mereka untuk memfasilitasi kebutuhan dari anggota ke arah pengembangan yang
diharapkan. Singkatnya, tidak mungkin memberikan sesuatu jika kita tidak memilikinya.
Perlu ditegaskan bahwa kekuatan dalam hal ini bukan sesuatu yang bersifat mendominasi
atau mengatur anggota, tetapi bagaimana kekuatan dalam hal ini mempengaruhi anggota
secara bersama-sama untuk menuju pada pengembangan diri.
3) keberanian (Courage)
Pemimpin kelompok yang efektif menunjukkan keberanian dalam berinteraksi dengan
anggota kelompok dan tidak bersembunyi di balik peran khusus mereka sebagai guru
bimbingan dan konseling Mereka menunjukkan keberanian dengan mengambil resiko
dalam kelompok dengan mengakui kesalahan, dengan menjadi lemah, dengan bersedia
menantang anggota dengan cara yang terhormat, dengan bertindak berdasarkan intuisi dan
keyakinan, dengan mendiskusikan segala sesuatu bersama kelompok akan pikiran dan
perasaan mereka tentang proses kelompok, dan bersedia membagikan kekuatan mereka
dengan anggota kelompok. Pemimpin dapat memodelkan pelajaran penting kepada
anggota dengan mengambil sikap terhadap kehidupan dan mengambil sikap terlepas dari
fakta bahwa mereka tidak sempurna. Ketika anggota mendorong diri mereka untuk
meninggalkan pola yang normatif dan aman, mereka sering merasa cemas dan takut.
Pemimpin kelompok dapat menunjukkan, melalui perilaku mereka sendiri, kesediaan
mereka untuk bergerak maju meskipun kadang-kadang merasa takut.
4) Kesediaan untuk mengkonforntasi diri sendiri (Willingness to confront oneself )
Salah satu tugas utama pemimpin adalah menunjukkan identifikasi diri kepada anggota.
Kesadaran diri memerlukan kesediaan untuk melihat dengan jujur siapa diri kita dan
pemimpin kelompok harus menunjukkan bahwa mereka bersedia mempertanyakan diri
mereka sendiri. Karakteristik ini mencakup kesadaran tidak hanya tentang kebutuhan dan
motivasi seseorang tetapi juga konflik dan masalah pribadi, serta potensi pengaruh semua
ini pada proses kelompok. Pemimpin yang sadar diri mampu bekerja secara terapeutik
dengan tranferensi yang tercipta dalam seting kelompok, baik terhadap diri mereka sendiri
maupun terhadap anggota lain. Lebih jauh lagi, para pemimpin kelompok sadar akan
11. kelemahan mereka sendiri, terutama akan potensi dan bagaimana mereka bertanggung
jawab atas reaksi mereka sendiri.
5) Ketulusan dan keautentikan (Sincerity and Authenticity)
Salah satu kualitas terpenting seorang pemimpin adalah minat yang tulus terhadap
terpenuhinya kebutuhan dan pertumbuhan anggota. Bagi seorang pemimpin kelompok,
kepedulian berarti mengajak para anggota untuk melihat bagian dari kehidupan mereka
sehingga mereka menolak dan mengecilkan segala bentuk perilaku tidak jujur dalam
kelompok. Memberikan anggota umpan balik yang bermanfaat membutuhkan nilai
ketulusan dan rasa hormat dalam arti bahwa memenuhi kebutuhan terbaik klien adalah
yang terpenting bagi pemimpin
Keautentikan adalah bentuk ketulusan. Pemimpin kelompok yang autentik tidak hidup
dengan kepura-puraan dan tidak bersembunyi di balik pertahanan. Otentisitas
mensyaratkan kesediaan untuk mengungkapkan diri secara tepat dan berbagi perasaan serta
reaksi terhadap apa yang sedang terjadi di dalam kelompok. Keaslian tidak berarti secara
sembarangan berbagi setiap pemikiran, persepsi, perasaan, fantasi, dan reaksi,
bagaimanapun. Sebagai contoh, meskipun seorang pemimpin mungkin awalnya tertarik
pada seorang anggota, tidak akan bijaksana untuk mengungkapkan kenyataan ini pada sesi
awal. "tidak diuangkapkan" semacam itu tidak menyiratkan ketidak-autentisitas;
sebaliknya, ini menunjukkan rasa hormat dan pertimbangan bagi anggota pada tahap awal
grup ini.
6) Rasa identitas (Sense of Identity)
Jika pemimpin kelompok membantu orang lain menemukan siapa mereka, para pemimpin
harus memiliki jati diri yang jelas. Ini berarti mengetahui apa yang pemimpon hargai dan
hidup dengan standar-standar yang ada, bukan berdasarkan apa yang diharapkan orang lain.
Itu berarti menyadari kekuatan, keterbatasan, kebutuhan, ketakutan, motivasi, dan tujuan
sendiri. Itu berarti mengetahui apa yang Anda mampu menjadi, apa yang Anda inginkan
dari kehidupan, dan bagaimana Anda akan mendapatkan apa yang Anda inginkan.
Menyadari warisan budaya Anda, etnis Anda, dan identitas seksual dan gender Anda adalah
komponen penting dari rasa identitas ini.
7) Yakin akan pentingnya proses kelompok dan antusias (Belief in the Group Process and
Enthusiasm)
12. Keyakinan mendalam pemimpin dalam nilai proses kelompok sangat penting bagi
keberhasilan kelompok. Praktisi yang memimpin kelompok hanya karena mereka
diharapkan, tanpa diyakinkan bahwa intervensi kelompok membuat perbedaan, tidak
mungkin menginspirasi anggota kelompok. Mengapa para anggota percaya bahwa
pengalaman kelompok akan bernilai bagi mereka jika pemimpin tidak antusias
terhadapnya? Para pemimpin kelompok antusias membawa kelompok dapat memiliki
kualitas infeksi. Para pemimpin perlu menunjukkan bahwa mereka menikmati pekerjaan
mereka dan seperti berada bersama kelompok mereka. Minimnya antusias seorang
pemimpin umumnya tercermin pada kurangnya kegembiraan anggota tentang datang ke
sesi grup dan ketidakmampuan anggota untuk melakukan peran dan tugas yang signifikan.
8) Daya cipta dan kreativitas (Inventiveness and Creativity)
Pemimpin harus menghindari terjebak dalam teknik ritual (monoton dan berulang) dan
presentasi yang diprogram. Mungkin tidak mudah untuk mendekati setiap kelompok
dengan ide-ide baru. Pemimpin yang kreatif dan inovatif terbuka untuk pengalaman baru
dan pandangan dunia yang berbeda. Salah satu keuntungan utama kerja kelompok adalah
bahwa Ia menawarkan banyak peluang untuk menjadi inventif.
9) Tampil sebagai Guru BK yang sangat efektif (Portrait of Highly Effective Therapists)
Karakteristik yang menggambarkan sifat-sifat Guru Bimbingan dan Konseling yang efektif
yakni yang hidup, tulus, berkomitmen, bertekad, intensif, terbuka, ingin tahu, toleran, vital,
reflektif, sadar diri, murah hati, dewasa, optimis, analitik, menyenangkan, cerdas, energik,
kuat, inspiratif, dan bersemangat. ini menegaskan karakteristik pribadi terapis yang penting
untuk dimiliki guna menunjukkan bagaimana karakteristik tersebut dimanifestasikan
dalam kerja profesional terapis.
c. Kelebihan dan Kekurangan bimbingan kelompok
Pendekatan kelompok memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Banyak penelitian
yang telah dilakukan yang menggambarkan pendekatan kelompok dan secara statistik
memaparkan kelebihan dan kelemahan yang ditemukan.
1) Pendekatan kelompok dalam konseling juga menemukan hasil yang positif terhadap
upaya mengurangi perilaku agresi pada konseli (Gibbs, Potter, Barriga, & Liau, 1996;
Horne, Stoddard, & Bell, 2007)
2) Kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan perkembangan karir dari anggota
(Clark, Severy, & Sawyer, 2004; Sullivan & Mahalik, 2000), selain itu kelompok juga
13. dapat digunakan secara efektif untuk merencanakan karir pada kelompok minoritas
dengan permasalahan yang spesifik (Peterson & González, 2000)
Masing banyak lagi hasil penelitian lainya yang menjelaskan bagaimana pendekatan
kelompok memberikan acuan dan temuan baru dalam perkembangan pelayanan bimbingan dan
konseling berbasis kelompok.
Kelebihan atau keuntungan bimbingan kelompok
Beberapa keuntungan atau kelebihan dari pelayanan konseling kelompok dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1) Bimbingan kelompok menjadi bagian dari seting sosial bagi murid/anggota untuk
mempelajari perilaku atau tingkah laku baru, dan mendukung satu sama lain. Dalam
kelompok anggota dapat berbagi dan bertukar ide, asumsi, dan membandingkan sudut
pandang satu dengan yang lain sebagai sebuah kesempatan untuk memperoleh pegalaman
dan mengubahnya.
2) Dengan fokus berbagi pada kelompok anggota dapat belajar tentang identitas diri satu sama
lain termasuk isu yang menyertai. Proses identifikasi ini menjadikan anggota lebih
meningkatkan kohesivitas dan meningkatkan pemahaman yang utuh akan dirinya.
3) Melalui kegiatan bimbingan kelompok mencoba mendorong dan memfasilitasi setiap
anggota satu sama lain dalam memperoleh penerimaan diri, empati, tolong menolong,
solidaritas, dan keterampilan sosial lainnya.
4) Control kelompok atau anggota kelompok yang lain dapat meningatkan dorongan sekaligus
tolak ukur bagi konseli dalam menentukan arah perubahan perilaku dan atau tujuan serta
strategi yang akan diambil untuk melakukan perubahan tersebut.
5) Melalui bimbingan kelompok individu-individu mencapai tujuannya dan berhubungan
dengan individu-individu lain dengan cara yang produktif dan inovatif. Keadaan nyata yang
dihadirkan dalam kegiatan kelompok, merupakan keunggulan yang tidak dijumpai dalam
konseling individual.
Jacobs, Harvill, & Masson (1994) juga mengemukakan tujuh keuntungan yang dapat
diperoleh berkaitan dengan layanan format kelompok, yaitu :
1) Berbagi perasaan akan dalam kondisi kebersamaan
2) pengalaman merasa memiliki,
3) kesempatan untuk berpraktik dengan orang lain,
4) kesempatan untuk menerima berbagai umpan balik,
5) belajar seolah-olah mengalami berdasarkan kepedulian orang lain,
6) memberikan gambaran untuk menghadapi kenyataan hidup, dan
7) ada dukungan teman guna memelihara komitmen
Dari apa yang dipahami diatas maka dapat dijelaskan bagaimana, seorang siswa mungkin
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dan opini, tetapi dalam suasana kelompok
sangat memungkinkan siswa tersebut dapat mengungkapkan secara leluasa. Melalui suasana
14. kelompok dapat pula dikembangkan berbagai keterampilan sosial dan sikap-sikap tertentu, yaitu
keterampilan berkomunikasi, keterampilan menghargai pendapat orang lain, kerja kelompok,
membantu orang lain, belajar dari anggota lain dan sebagainya, yang dalam konseling individual
sulit dikembangkan. Mereka akan dapat saling berbagi pengalaman, dan saling memberikan
masukan yang semuanya itu sangat berharga bagi upaya pengembangan pribadi, pencegahan
masalah dan pemecahan masalah. Melalui suasana bimbingan kelompok dapat dikembangkan
suasana untuk menumbuhkan rasa toleransi, rasa percaya diri, dan peningkatan tanggung jawab.
Kelemahan atau keterbatasan bimbingan kelompok
1) Bimbingan kelompok lebih berfokus pada pendidikan dan informational sehingga cukup
lemah dalam kaitanya pada proses terapeutik dan pengembangan pribadi, dibandingkan
dengan konseling kelompok.
2) Dikarekan jumlah anggota yang lebih banyak maka kegiatan bimbingan kelompok tidak
terlalu banyak memberikan waktu bagi setiap anggota untuk berkomunikasi dan berbagi satu
sama lain dengan lebih intens.
3) Saat bimbingan kelompok membahas beberap topik yang ada maka Guru Bimbingan dan
Konseling perlu lebih fokus pada tujuan dari masing-masing anggota dan kadangkala
membuat hal tersebut tumpang tindih dengan kepentingan kelompok. Padahal dalam kontrak
pelayanan dipahami bahwa tujuan dalam layanan bimbingan kelompok adalah untuk
memfasilitasi pengembangan diri anggota kelompok.
4) Dikarekan bimbingan kelompok menggunakan teknik instraksional dan jumlah anggota yang
lebih besar terkadang membuat Guru Bimbingan dan Konseling lebih bersifat direktif dan
terstruktur dalam melakukan pelayanan.
d. Tahapan Bimbingan Kelompok
Terdapat empat tahapan bimbingan kelompok yaitu pembukaan, transisi, inti, dan
penutupan (Depdikbud, 2016). Uraian langkah setiap tahap disajikan dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 1.1 Tahapan Bimbingan Kelompok
No. Tahap Kegiatan
1. Pembukaan 1. Menciptakan suasana saling mengenal, hangat,
dan rileks,
2. Menjelaskan tujuan dan manfaat bimbingan
kelompok secara singkat,
3. Menjelaskan peran masing-masing anggota dan
pembimbing pada proses bimbingan kelompok
yang akan dilaksanakan,
15. 4. Menjelaskan aturan kelompok dan mendorong
anggota untuk berperan penuh dalam kegiatan
kelompok,
5. Memotivasi anggota untuk saling
mengungkapkan diri secara terbuka,
6. Memotivasi anggota untuk mengungkapkan
harapannya dan membantu merumuskan tujuan
bersama.
2. Transisi 1. Melakukan kegiatan selingan berupa permainan
kelompok,
2. Mereview tujuan dan kesepakatan bersama,
3. Memotivasi anggota untuk terlibat aktif dan
mengambil manfaat dalam tahap inti,
4. Mengingatkan anggota bahwa kegiatan akan
segera memasuki tahap inti.
3. Inti 1. Mendorong tiap anggota untuk mengungkapkan
topik yang perlu dibahas,
2. Menetapkan topik yang akan dibahas sesuai
dengan kesepakatan bersama,
3. Mendorong tiap anggota untuk terlibat aktif
saling membantu,
4. Melakukan kegiatan selingan yang bersifat
menyenangkan mungkin perlu diadakan
5. Mereview hasil yang dicapai dan menetapkan
pertemuan selanjutnya, apabila dibutuhkan.
4. Penutupan 1. Mengungkap kesan dan keberhasilan yang
dicapai oleh setiap anggota,
2. Merangkum proses dan hasil yang dicapai,
3. Mengungkapkan kegiatan lanjutan yang penting
bagi anggota kelompok,
4. Menyatakan bahwa kegiatan akan segera
berakhir,
5. Menyampaikan pesan dan harapan.
e. Teknik Bimbingan Kelompok
Teknik bimbingan kelompok dipilih sesuai dengan topik atau tema yang akan dibicarakan
dalam bimbingan kelompok. Banyak teknik bimbingan kelompok yang bisa dipakai, karena
pembatasan halaman, pada modul ini hanya dibahas empat teknik yaitu diskusi kelompok,
sosiodrama, psikodrama, dan homeroome. Teknik-teknik lain silahkan dipelajari sendiri di luar
modul ini.
Penggunaan/implementasi teknik-teknik bimbingan kelompok dalam keseluruhan
tahapan bimbingan kelompok dilaksanakan pada tahap inti. Pada tahap inti diuraikan secara detail
16. tahapan yang dilakukan (sesuai teknik yang dipakai) dan dijelaskan pula kegiatan yang harus
dilakukan pemimpin kelompok. Pada tahap pembukaan, transisi, dan penutup disesuaikan dengan
tujuan dan hal-hal lain terkait teknik yang digunkan.
Keempat teknik (diskusi kelompok, sosiodrama, psikodrama, dan homeroome)
dijelaskan pada uraian dibawah sedangkan untuk beberapa contoh teknik lain dapat di simak pada
link https://....:
1) Diskusi Kelompok
a) Konsep Dasar
Metode diskusi kelompok adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana seorang
guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok siswa) untuk mengadakan percakapan
guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif
pemecahan atas masalah.
Dijelaskan bahwa diskusi kelompok adalah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang
yang tergabung dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat suatu masalah atau
bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan jawaban atau kebenaran atas suatu masalah
(Damayanti, Sudarmanto, & Rusman, 2013). Diskusi kelompok dapat pula diartikan sebagai
percakapan yang sudah direncanakan antara tiga orang atau lebih dengan tujuan untuk
memecahkan masalah atau untuk memperjelas suatu persoalan, di bawah pimpinan seorang
pemimpin (Romlah, 2006).
Sukerteyasa, Koyan, & Suarni (2014) menyatakan bahwa diskusi kelompok merupakan
suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka yang
informal dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan atau
pemecahan masalah. Diskusi kelompok merupakan suatu proses bimbingan dimana murid-
murid akan mendapatkan suatu kesempatan untuk menyumbangkan pikiran masing-masing
dalam memecahkan masalah bersama. Dalam diskusi ini tetanam pula tanggung jawab dan
harga diri (Djumhur & Surya, 1975)
Jadi diskusi kelompok adalah suatu percakapan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih
melalui proses bertukar pikiran dan argumentasi kearah pemecahan masalah secara bersama-
sama. Proses diskusi kelompok ini dapat dilakukan melalui forum diskusi diikuti oleh semua
siswa di dalam kelas, dapat pula dibentuk kelompok-kelompok lebih kecil. Yang perlu
17. diperhatikan ialah para siswa dapat melibatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif
di dalam forum diskusi kelompok.
b) Tujuan
Dalam pelaksanaan bimbingan kelompok, diskusi kelompok tidak hanya untuk
memecahkan masalah, melainkan juga untuk mencerahkan suatu persoalan serta untuk
pengembangan pribadi. Dinkmeyer dan Muro menyebutkan tiga macam tujuan diskusi
kelompok yaitu (1) untuk mengembangkan pengertian terhadap diri sendiri; (2)
mengembangkan kesadaran tentang diri (self) dan orang lain; (3) mengembangkan pandangan
baru mengenai hubungan antara manusia (Romlah, 2006).
Diskusi kelompok dapat dikatakan sebagai jantungnya bimbingan kelompok karena
hampir semua teknik bimbingan kelompok menggunakan diskusi sebagai cara kerjanya,
misalnya permainan peranan, karya wisata, permainan simulasi, pemecahan masalah,
homeroom, dan pemahaman diri melalui proses kelompok.
c) Tipe Diskusi Kelompok
Diskusi Kelompok dapat dilakukan dengan beberapa bentuk. Penggunaan model atau
bentuk dari diskusi kelompok disesuaikan dengan kebutuhan dari tema dan bentuk kelompok
yang ada. Beberapa bentuk atau tipe diskusi kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) The social problem meeting
Para siswa berbincang-bincang memecahkan masalah sosial di kelasnya atau di sekolahnya
dengan harapan setiap siswa akan merasa terpanggil untuk mempelajari dan bertingkah
laku sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Sebagai contoh: diskusi persoalan
komunikasi efektif antar siswa dan guru
2) The open-ended meeting
Para siswa berbincang-bincang mengenai masalah apa saja yang hubungannya dengan
kehidupan mereka sehari-hari dengan kehidupan mereka di sekolah dengan sesuatu yang
terjadi di lingkungan sekitar mereka. Sebagai contoh: tema diskusi persoalan korupsi dan
solusinya
3) The educational-diagnosis meeting
Para siswa berbincang-bincang mengenai pelajaran di kelas dengan maksud untuk saling
mengoreksi pemahaman mereka atas pelajaran yang telah diterima agar masing-masing
anggota memperoleh pemahaman yang baik/benar. Sebagai contoh: diskusi soal penerapan
ilmu matematika dalam berkehidupan di masyarakat
18. Selain bentuk-bentuk atau tipe diskusi kelompok di atas tipe kelompok diskusi juga
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk lain. Sebagaimana Sukardi & Kusmawati
(2008) membagi tipe kelompok diskusi berdasarkan tujuan-tujuan tertentu sebagaimana
berikut.
1) Dilihat dari jumlah anggota
Jika dilihat dari jumlah anggota, diskusi kelompok berbentuk kelompok besar dan
kelompok kecil. Kelompok besar berjumlah 20 orang atau lebih. Sedangkan kelompok
kecil berjumlah kurang dari 20 orang, biasanya sekitar 2-12 orang.
2) Dilihat dari pembentukan
Jika dilihat dari pembentukannya, diskusi kelompok berbentuk formal dan informal. Dalam
bentuk formal, proses pembentukannya sengaja untuk dibentuk suatu diskusi kelompok.
Sedangkan yang informal, proses terbentuknya diskusi secara spontan dan tanpa
direncanakan.
3) Dilihat dari tujuan
Jika dilihat dari tujuan diskusi kelompok ada dua macam yaitu pemecahan masalah dan
terapi anggota. Pemecahan masalah memiliki ciri utama menekankan pada hasil diskusi,
sedangkan terapi anggota menekankan pada proses diskusi.
4) Dilihat dari waktu diskusi
Jika dilihat dari waktu dalam diskusi, diskusi kelompok ada dua bentuknya, marathon dan
singkat/regular. Marathon dilakukan secara terus menerus tanpa jeda waktu selama 5-12
jam, sedangkan singkat atau regular dilakukan 1-2 jam dan dilakukan secara berulang-
ulang.
5) Dilihat dari masalah yang dibahas
Jika dilihat dari masalah yang dibahas, diskusi kelompok ada dua macam yaitu sederhana
dan kompleks/rumit. Sederhana mempunyai ciri utama masalah yang dipecahkan relatif
mudah, sedangkan kompleks/rumit masalah yang dipecahkan cukup sulit.
6) Dilihat dari aktivitas kelompok
Jika dilihat dari aktifitas kelompok, diskusi kelompok ada dua macam, yaitu terpusat pada
pemimpin dan demokratis (terbagi ke semua anggota). Diskusi yang terpusat pada
pemimpin cenderung anggotanya yang kurang aktif akan tetapi pemimpin yang lebih aktif.
Sedangkan demokrasi, anggota dan pemimpin sama-sama aktif dalam memberikan saran
dan pendapat.
19. d) Prosedur Diskusi Kelompok
Menurut Tatiek Romlah (2006), pelaksanaan diskusi kelompok meliputi tiga langkah
yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
1. Perencanaan, meliputi
a. Merumuskan tujuan diskusi
b. Menentukan jenis diskusi (diskusi kelas, kelompok kecil, atau panel)
c. Melihat pengalaman dan perkembangan siswa
d. Memperhitungkan waktu yang tersedia untuk kegiatan diskusi
e. Mengemukakan hasil yang diharapkan dari diskusi, misalnya rangkuman,
kesimpulan atau pemecahan masalah.
2. Pelaksanaan
Fasilitator memberikan tugas yang harus didiskusikan, waktu yang tersedia untuk
mendiskusikan tugas itu dan memberitahu cara melaporkan tugas serta menunjuk
pengamat diskusi apabila diperlukan.
3. Penilaian
Fasilitator meminta pengamat melaporkan hasil pengamatannya, memberikan komentar
mengenai proses diskusi dan membicarakannya dengan kelompok.
2) Sosiodrama
a) Konsep Dasar
Kepribadian seseorang adalah keseluruhan peranan yang diperankannya dalam
kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan pekerjaan. seseorang
dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila ia dapat berperilaku sesuai dengan
perananan yang dimilikinya baik sebgai individu maupun makhluk sosial. Pribadi seorang
individu berkembang melalui proses bagaimana Ia mereaksikan terhadap stimulus-stimulus
dari lua dirinya dan bagaimana melakukan peranannya dalam hubungan dengan perasaan
orang lain dan dari status yang ia terima dalam menghadapi situasi yang berbeda-beda. Hal
inilah yang menjadi salah satu dasar dari berkembangnya konsep bermain peran baik itu
sosiodrama maupun psikodrama.
Bermain peran (role playing) dapat dipahami sebagai dramatisasi tingkah laku untuk
memfasilitasi peserta didik/konseli melakukan dan menafsirkan suatu peran tertentu. Role
playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang
diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau
kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang (Kanti & Sugiyo, 2014).
20. Menurut pendapat Moreno salah satu faktor penting yang menentukan dalam
permainan peran yang akan menghasilkan perubahan perilaku adalah pengurangan hambatan-
hambatan (Romlah, 2006). Hambatan biasa timbul adalah perasaan takut dikritik, takut
dihukum atau ditertawakan. Permainan peran menyediakan kondisi yang dapat
menghilangkan takut atau cemas karena dalam permaianan peran individu dapat
mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa takut kena “sanksi sosial” terhadap perbuatannya.
Siswa akan menyadari dan melakukan perilaku yang sudah jelas dan biasa dilakukan,
menemukan bahwa perilaku itu tidak efektif untuk dilakukan dan mengetahui sebab-sebabnya,
mencoba perilaku baru yang lebih efektif dan akhirnya melaksanakan pola-pola perilaku baru
yang ditemukan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Melalui role playing, siswa dapat
memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat dipraktekkan dalam hal pribadi
danhubungannya dengan sosial, termasuk ketika menghadapi konflik-konflik yang muncul.
Sebagai bagian dari teknik role playing sosiodrama sendiri dipahami sebagai
dramatisasi dari persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam pergaulan dengan orang lain.
Termasuk konflik yang sering dialami dalam pergaulan sosial. Untuk itu digunakan role
playing, yaitu beberapa orang mengisi peranan tertentu dan memainkan suatu adegan tentang
pergaulan sosial yang mengandung persoalan yang harus diselesaikan (Winkel & Hastuti,
2005). Sosiodrama sebagai sebuah permainan peranan digunakan untuk memecahkan masalah
sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Konflik-konflik atau permasalahan sosial
yang dilakukan dalam konsep drama adalah konflik-konflik yang tidak mendalam dan tidak
menyangkut gangguan kepribadian.
Dari sini dapat dipahami bahwa melalui sosiodrama atau permainan peran ini konseli
atau setiap anggota kelompok akan diajak untuk melakukan serangkaian peran yang
mencerminkan kehidupan nyata atau perilaku-perilaku sosial yang menjadi kepedulian
bersama setiap anggota. Dari peran yang dimainkan dilakukan diskusi dan pembahasan secara
mendalam untuk mendapatkan insight sehingga menjadi bahan pembelajaran sekaligus
refleksi bagi setiap anggota.
b) Tujuan Sosiodrama
Dalam penggunaan teknik sosiodrama terdapat beberapa tujuan dan manfaat yang
dapat diperoleh. Dijelaskan bahwa tujuan metode sosiodrama adalah agar siswa dapat
menghayati dan menghargai perasaan orang lain, dapat belajar bagaimana membagi tanggung
21. jawab, dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan,
dan merangsang kelas untuk berfikir dan memecahkan masalah (Kusumaningrum, 2014).
Dari apa yang disampaikan dipahami bahwa sosiodrama tidak hanya mengajarkan konteks
keterampilan sosial pada anggota melainkan nilai sosial psikologi dalam diri. Penggunaan
sosiodrama tidak hanya menegaskan pada tujuan kognisi tetapi lebih kepada nilai atau sikap
afeksi sebagai upaya pengembangan pribadi sekaligus pemecahan masalah serupa yang
mungkin dialami oleh anggota kelompok.
Sedangkan Romlah (2006) menegaskan bahwa sosiodrama merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk mendidik atau mendidik kembali dari kegiatan penyembuhan. Terkait dalam
penelitian ini tujuan sosiodrama bertujuan untuk memudahkan siswa dalam memahami etika
bergaul dengan lawan jenis. Selain konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya akan
tujuan dari sosiodrama beberapa manfaat yang dapat diperoleh akan penggunaan teknik
sosiodrama dalam konseling antara lain:
1) Membantu peserta didik/konseli memperoleh pemahaman yang tepat tentang
permasalahan sosial yang dialaminya.
2) Dapat mengembangkan keterampilan interaksi sosial yang efektif sehingga diharapkan
nanti tidak canggung menghadapi situasi dalam kehidupan sehari-hari.
3) Menghilangkan perasaan kurang percaya diri dan rendah diri yang tidak sesuai dengan
keadaan diri.
4) Membiasakan diri untuk sanggup menerima dan menghargai orang lain.
c) Prosedur Teknik Sosiodrama
Secara umum tahapan atau prosedur daalam sosiodrama setiap individu akan
memerankan suatu peranan tertentu dalam suatu situasi masalah sosial. Dalam kesempatan
itu, individu akan menghayati secara langsung situasi masalah yang dihadapinya. Kemudian
diadakan diskusi mengenai cara-cara pemecahan masalahnya. Sedangkan menurut Winkel &
Hastuti (2005) menjelaskan secara rinci langkah-langkah metode sosiodrama adalah dengan
urutan (a) Menentukan persoalan, (b) Menentukan para pemeran drama untuk membawa
adegan sesuai dengan situasi, (c) para pemain membawakan adegan secara spontan, (d) para
pemain melaporkan apa yang mereka rasakan selama drama, (e) para penyaksi berdiskusi.
Romlah (2006) menjelaskan pelaksanaan layanan konseling dengan metode
sosiodrama secara umum mengikuti langkah-langkah persiapan, membuat skenario
sosiodrama, menentukan kelompok yang akan memainkan sosiodrama, menentukan
22. kelompok penonton dan menjelaskan tugasnya, pelaksanaan sosiodrama, evaluasi dan diskusi,
ulangan permainan. Secara lebih detail pembagian tahapan kegiatan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Persiapan, yaitu mengemukakan masalah dan tema yang akan disosiodramakan.
Kemudian diadakan tanya jawab untuk memperjelas masalah dan peranan-peranan
yang akan dimainkan.
2) Membuat skenario sosiodrama. Terkait dengan tahap ini, sebelum bermain peran,
Guru Bimbingan dan Konseling telah menyiapkan skenario sosiodrama terlebih
dahulu dan di dalam memainkan peran siswa tidak perlu menghafal naskah,
mempersiapkan diri, dan sebagainya. Siswa hanya melihat judul dan garis besar dari
isi skenarionya berkaitan etika bergaul dengan lawan jenis.
3) Menentukan kelompok yang akan memainkan sosiodrama, sesuai dengan kebutuhan
skenarionya Guru Bimbingan dan Konseling memilih individu yang akan
memegang peran tertentu. Dalam tahap ini, sebelumnya Guru Bimbingan dan
Konseling mengemukakan garis besar dari skenario tersebut. Kemudian memilih
kelompok siswa yang akan memerankan peran, serta mengatur situasi tempat
bersama-sama dengan siswa yang terlibat peran tersebut.
4) Menentukan kelompok penonton dan menjelaskan tugasnya. Kelompok penonton
adalah anggota kelompok lain yang tidak ikut menjadi pemain (apabila ada). Tugas
kelompok penonton adalah untuk mengobservasi pelaksanaan permainan. Hasil
observasi kelompok penonton merupakan bahan diskusi. Selain diperoleh dari
kelompok yang kebetulan tidak bermain, penelituan kelompok penonton atau
kelompok pengamat juga dapat ditunjuk Guru Bimbingan dan Konseling dari luar
anggota kelompok. Ditegaskan bahwa siswa yang tidak ikut memerankan peran atau
kelompok pengamat diminta supaya mendengarkan dan mengikuti dengan teliti
semua pembicaraan, tindakan-tindakan serta keputusan-keputusan yang dilakukan
para pemeran. Setelah pementasan selesai, Guru Bimbingan dan Konseling
mengatur diskusi untuk mengaplikasikan apa yang dilakukan oleh siswa yang
bermain peran sesuai dengan isi skenario.
5) Pelaksanaan sosiodrama. Pemimpin kelompok atau Guru Bimbingan dan Konseling
memberikan kebebasan kepada anggota kelompok yang mendapat peran untuk
melaksanakan peran yang dimainkan. Dalam permainan ini diharapkan terjadi
identifikasi antara pemain maupun penonton dengan peran-peran yang
dimainkannya. Siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan penghayatan
mereka pada saat memainkan peran.
6) Evaluasi dan diskusi. Setelah selesai permainan diadakan diskusi mengenai
pelaksanaan permainan berdasarkan hasil observasi dan tanggapan-tanggapan
penonton. Dalam tahapan ini diskusi diarahkan untuk membicarakan tanggapan
mengenai bagaimana pemain membawakan peranya sesuai ciri-ciri masing-masing
23. peran, cara memecahkan masalah, dan kesan-kesan pemain dalam memerankan
perannya.
7) Ulangan permainan. Dari hasil diskusi dapat ditentukan apakah perlu diadakan
ulangan permainan atau tidak.
3) Psikodrama
a) Konsep Dasar
Sejak kita kecil kita telah terbiasa dengan bermain dalam dunia kita sendiri. Semisal
saat dahulu anak perempuan sering bermain dengan boneka atau mainan atau saat kita sering
berdandan layaknya orang dewasa. Begitu juga dengan anak laki-laki yang senang bermain
perang-perangan. Konsep drama sebenarnya telah kita kenal jauh lama sebelum masa ini.
Drama yang dimainkan merupakan padangan anak kecil terhadap dunia nyata. Begitulah
pengalaman pribadi diungkapkan dalam drama dan dimainkan oleh orang lain.
Pengalaman-pengalaman melalui drama akan menimbulkan pemahaman serta
kesadaran bahwa pengalaman perseorangan bukanlah suatu milik pribadi yang tidak diketahui
oleh orang lain. Disinilah konsep dasar psikodrama secara mudah dipahami. Psikodrama
memberikan kesempatan bagi orang untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara berbeda
setelah kehidupan pribadi itu didramakan dan bahkan diperankan oleh orang lain yang berada
dalam kelompok bersama (Prawitasari, 2011). Hal ini akan membuat pribadi tersebut merasa
bahwa pengalamanya bukanlah sesuatu yang mempribadi tetapi juga pengelaman banyak orang
dan dapat dipahami oleh banyak orang pula.
Psikodrama merupakan permainan peran yang dimaksudkan agar individu yang
bersangkutan dapat memperoleh pengertian lebih tentang dirinya, dapat menemukan konsep
pada dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksinya terhadap
tekanan-tekanan terhadap dirinya (Corey, 2012). Psikodrama dipahami sebagai prosedur
penangan yang digunakan sebagai tempat belajar dan saling mendukung di antara anggota
kelompok di bawah bimbingan seorang terapis/Guru Bimbingan dan Konseling. Dalam
aplikasinya seorang terapi juga dapat berperan sebagai suber dukungan bagi anggota kelompok.
Terapi memposisikan dirinya sejajar dengan anggota sebagai mitra dalam upaya yang
dilakukan.
Psikodrama dalam bimbingan kelompok digunakan untuk memecahkan masalah-
masalah psikis yang dialami oleh individu. Dalam teknik ini siswa memerankan suatu peranan
24. tertentu tentang konflik atau ketegangan dapat dikurangi atau dihindarkan. Dipertegas lebih
jauh dijelaskan bahwa Psikodrama merupakan dramatisasi dari persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan gangguan serius dalam kesehatan mental partisipan, sehingga tujuannya ialah
perombakan dalam struktur kepribadian seseorang. Psikodrama bersifat kegiatan terapi dan
ditangani oleh seorang ahli psikoterapi (Winkel & Hastuti, 2005).
Pelaksanaan psikodrama tersebut membutuhkan latar atau panggung yang bebas dari
paksaan dan batasan kehidupan sehari-hari sehingga, pada saat yang sama, memberikan
keamanan bagi ekspresi diri dan eksplorasi. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok terapi
yang juga melibatkan pengaturan adegan sehingga individu juga berusaha menciptakan atau
menciptakan kembali suasana fisik dan emosional yang dikehendaki, tindakan menjadi
berubah. Tindakan yang terjadi disitu adalah berpusat pada masa kini (present centered)
berubah menjadi disini dan kini, dan seolah-olah berlangsung untuk pertama kali.
Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah
Atas tahun 2016 menyebutkan bahwa Psikodrama merupakan upaya memfasilitasi peserta
didik/konseli memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya sendiri, menemukan
konsep diri, menyatakan kebutuhan, dan menyatakan reaksi terhadap tekanan diri melalui
penghayatan situasi dramatis yang diperankannya.
b) Tujuan Psikodrama
Tujuan psikodrama adalah membantu peserta didik/konseli memperoleh pengertian
yang baik tentang diri sendiri sehingga dapat menemukan konsep diri, kebutuhan-kebutuhan,
dan reaksi-reaksi yang tepat terhadap tekanan yang dialaminya.
c) Komponen dalam Psikodrama
Metode psikodrama terdiri dari beberapa komponen pokok, yaitu: panggung permainan,
pimpinan permainan (director), pemeran utama atau individu yang menjadi pusat psikodrama
(protagonist), individu-individu yang membantu pemimpin psikodrama dan pemeran utama
dalam pelaksanaan psikodrama (auxiliary egos), dan penonton (Haskell dalam Romlah, 2006).
Berikut adalah penjelasan mengenai psikodrama:
(1)Panggung permainan
25. Penggung permainan mewakili ruang hidup peran utama psikodrama. Panggung atau
tempat permainan hendaknya cukup luas untuk memberi ruang gerak yang cukup bagi
pemeran utama, pemimpin, dan individu-individu lain yang berperan dalam psikodrama
tersebut. Tempat permainan harus merupakan tiruan atau paling tidak secara simbolis
mewakili adegan-adegan yang diuraikan klien. Apabila tidak ada panggung, sebagian
ruangan dapat dijadikan panggung asal diberi batas yang jelas, dan para pemegang peran
keluar masuk tempat itu.
(2)Pemimpin psikodrama (Director)
Pemimpin psikodrama mempunyai 3 peranan, yaitu sebagai produser,
katalisator/fasilitator, dan pengamat atau penganalisis. Pemimpin membantu pemilihan
pemegang peran utama, dan kemudian menentukan teknik psikodrama yang mana yang
paling tepat untuk mengekplorasi masalah individu tersebut merencanakan pelaksanaannya,
menyiapkan situasi yang tepat, dan memperhatikan dengan cermat perilaku pemain utama
selama psikodrama berlangsung.
Dalam usaha bimbingan, director dalam psikodrama ini tidak mesti mereka yang ahli
persutradaraan. Mungkin bisa menggunakan naskah atau cerita karya orang lain untuk
didramakan.
Pemimpin kelompok juga harus mempunyai keberanian. Sebab teknik-teknik yang
digunakan mengandung beberapa resiko yang kadang-kadang belum diketahui. Ia harus
mempunyai keberanian untuk mencoba teknik-teknik yang diperkirakan mempunyai
pengaruh yang kuat pada anggota kelompok.
Seorang pemimpin harus mempunyai karisma, ia harus mempunyai antusiasme dan
spontanitas. Dengan menggunakan karismanya, seorang pemimpin harus mampu mendorong
anggota-anggota kelompoknya untuk dapat mengontrol dan berani menanggung resiko
dalam mencoba perilaku baru. Seorang pemimpin harus mempunyai kepercayaan kepada diri
sendiri, pengetahuan mengenai diri sendiri, dan pengalaman klinis.
(3)Peran utama (Protagonis)
Pemegang peran utama adalah individu yang dipilih oleh kelompok danpemimpin
kelompok untuk memerankan kembali kejadian penting yang dialami mulai dari kejadian
waktu lampau, apa yang terjadi sekarang, dan situasi yang diperkirakan atau terjadi. Dalam
26. psikodrama protagonis didorong untuk memerankan lakon seperti keadaan yang pernah atau
akan dialami.
Pola drama yang akan dimainkan harus mengandung atau berhubungan dengan kasus
yang dialami oleh klien, dimana dalam pelaksanaanya terdapat situasi-situasi yang
menimbulkan kekecewaan, ketakutan, kesusahan, kegembiraan, yang semua itu di atur dan
diarahkan oleh seorang director atau pembimbing. Pemeran utama berkewajiban mengajar
pemain lain yang terpilih bagaimana mereka harus membawakan perannya.
Pemimpin kelompok dapat memberikan saran-saran bagaimana sekenario masalah
dimainkan, tetapi pemeran utamalah yang menentukan apakah ia akan mengikuti saran
tersebut atau tidak. Pada akhir psikodrama, pemimpin dan pemeran utama dapat
menyarankan peran yang berbeda terhadap adegan yang sama untuk melihat apakah pemeran
utama dapat bereaksi lebih efektif.
Konsep dasar pendapat Moreno adalah bahwa pemain utama merupakan alat dari
kelompok. Apa yang di perankannya bersama dengan pemeran lainnya merupakan wakil
masalah kelompok. Dengan demikian psikodrama lebih merupakan proses kelompok
daripada hanya alat untuk menyembuhkan individu melalui kelompok.
(4)Pemeran pembantu (Auxiliary)
Pemeran pembantu atau pembantu terapis adalah siapa saja dalam kelompok yang
membantu pemimpin kelompok dan pemeran utama dalam produksi psikodrama. Fungsi
pemeran pembantu adalah mendorong pemeran utama agar terlibat secara mendalam ke hal-
hal yang terjadi saat ini. Dengan bantuan yang efektif dari pembantu terapis, psikodrama
dapat menjadi alat yang efektif untuk mengubah perilaku.
(5)Penonton
Penonton dalam psikodrama adalah anggota-anggota kelompok yang tidak menjadi
pemeran utama atau peran pembantu. Penonton memberikan dukungan yang sangat bernilai
dan memberikan balikan kepada pemeran utama. Setelah permainan selesai diadakan diskusi,
dan penonton diminta reaksinya secara spontan mengenai apa yang dilihatnya dan
memberikan pandangan dan sumbangan pikiran. Berbagai reaksi dan sumbangan dari
penonton tersebut akan membantu pemeran utama memahami akibat perilakunya terhadap
orang lain. Dengan demikian proses pengujian kenyataan telah berlangsung.
27. d) Prosedur Teknik Psikodrama
Prosedur khusus dalam psikodrama diberikan untuk mendukung perkembangan
ekspresi, kesadaran, pengetahuan, akan akibat perilaku seseorang tehadap perubahan perilaku
yang diinginkan. Beberapa prosedur yang umum digunakan adalah role presentation, role
reversal, soliloquy, aside, doubling, amplifying, mirror dan modelling (Prawitasari, 2011).
Role presentation atau penyajian peran dilakukan dengan cara mengenalkan peran
sederhana yang merupakan representasi dari kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh konseli.
Selain itu hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan secara simbolik akan aspek-aspek
pribadi (intrapersonal) atau interpersonal secara dramatisir untuk dapat melihat dari sudut
pandang berbeda. Berbeda dengan role reversal, konseli diajak untuk dihadapkan cara menukar
peran dengan orang lain untuk melihat konflik dan aspek-aspek yang muncul melalui kaca mata
yang berbeda.
Dalam soliloquy, individu yang berperan sebagai protagonis berlaku berpura-pura
sendiri dan tidak seorangpun mendengarkannya walaupun sudah dinyatakan dengan keras.
Soliloquy sendiri adalah istilah untuk seseorang yang berbicara tentang apa yang dia pikirkan,
tanpa atau seolah-olah tidak ada yang mendengarkan. Biasanya terjadi di dalam drama dan
teater serta dikenal dengan istilah monolog. Prosedur ini digunakan Guru Bimbingan dan
Konseling atau terapis sebagai sutradara untuk melihat ketidak selarasan atau selarasnya antara
perkataan dengan perilaku yang terwujud. Sedangkan aside adalah membolehkan protagonis
untuk menyuarakan perasaan dan atau pikirannya yang seakan tidak tepat kalau diucapkan
dengan keras pada kehidupan asli. Dalam bahasa sederhana kita sehari-hari sering kali
memikirkan sesuatu tetapi tidak disampaikan, aside merasionalkan hal itu untuk diutarakan saat
psikodrama.
Doubling merupakan sisi lain dari protagonis, dalam konsep ini para pemeran
pendukung atau pembantu menyatu dengan protagonis dengan menirukan gerakan dan
perkataan layaknya protagonis (double protagonis). Dalam hal ini double adalah terapis
pendukung bagi protagonis untuk sadar sepenuhnya dalam mengekspresikan dirinya.
Sedangkan amplifying seperti halnya namanya pelantangan maka peranya adalah menyuarakan
secara keras atau lantang tentang apa yang disampaikan oleh protagonis sebagai konsep yang
sederhana dari double. Hal ini sangat berguna bagi pemalu dalam kelompok.
28. Cermin atau mirror adalah suatu metode umpan balik supaya konseli melihat refleksi
dirinya. Cermin bersifat pengulangan dan berfungsi bagi konseli untuk melihat kembali apa
yang sudah dilakukan dan melihat secara lebih obyektif terhadap perilakunya. Modelling dalam
aplikasinya adalah bentuk permodelan atau demontrasi alternatif oleh anggota kelompok bagi
konseli. Modelling disini tidak bertujuan untuk mengajari secara langsung konseli tentang apa
yang harus dilakukan. Model lebih kepada upaya menyajikan wawasan atau bentuk perilaku
lain yang ada dalam kontek yang sama sebagai pengalaman baru dari sudut pandang yang
berbeda.
Dalam pendapat yang lain secara proseduratif Romlah (2006) menjelaskan pelaksanaan
psikodrama terdiri melalui tiga tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap
diskusi atau tahap berbagi pendapat dan perassaan. Berikut ini adalah uraian mengenai langkah-
langkah pelaksanaan psikodrama:
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota kelompok agar mereka siap
berpartisipasi secara efektif dalam permainan, menentukan tujuan-tujuan permainan, dan
menciptakan perasaan aman dan saling percaya dalam kelompok. Cara yang dapat dipakai
untuk menyiapkan kelompok adalah:
1) Pemimpin kelompok memberikan uraian singkat mengenai hakikat dan tujuan
psikodrama, dan anggota kelompok diminta untuk mengajukan pertanyaan bila ada hal-
hal yang belum jelas.
2) Pemimpin kelompok mewawancarai tiga anggota kelompok secara singkat dalam situasi
kelompok.
3) Anggota kelomppok membentuk kelompok-kelompok kecil dan diberi waktu beberapa
menit untuk membicarakan konflik-konflik yang pernah mereka alami yang ingin
mereka kemukakan dalam permnainan psikodrama.
Selain cara-cara yang berstruktur, tahap persiapan dapat dilakukan dengan
menanyakan kepada kelompok siapa yang dengan suka rela ingin mengungkapkan
masalahnya untuk dipsikodramakan. Teknik apapun yang dipakai, yang penting adalah
bahwa anggota kelompok mengetahui bahwa mereka aman dan tidak akan dipaksa untuk
memainkan masalahnya. Yang terpenting dalam tahap ini pemimpin kelompok dapat
menciptakan suasana yang dapat mendorong spontanitas.
b. Tahap Pelaksanaan
29. Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan pemain pembantu
memperagakan permainannya. Dengan bantuan pemimpin kelompok dan anggota
kelompok yang lain pemeran utama memperagakan masalahnya. Satu kejadian dapat di
peragakan dalam beberapa adegan. Adegan-adegan yang dibuat berdasarkan masalah-
masalah yang diungkapkan pemeran utaman. Psikodrama biasanya berkembang dari hal-hal
yang bersifat permukaan ke arah hal-hal yang lebih mendalam dan merupakan sumber
masalah klien. Lama pelaksanaan psikodrama berbeda-beda bergantung pada penilaian
pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional pemain utama dan anggota-
anggota kelompok yang lain.
c. Tahap Diskusi
Dalam tahap diskusi atau tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota kelompok
diminta untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap permainana yang
dilakukan oleh pemeran utama. Peranan pemimpin kelompok dalam tahap ini adalah
memimpin diskusi dan mendorong agar sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan
balikannya.
Tahap diskusi ini penting karena merupakan rangkaian proses perubahan perilaku
pemeran utama kearah keseimbangan pribadi. Menurut Blatner terdapat tiga cara dalam
proses pencapaian keseimbangan pribadi pemeran utama, yaitu: mengembangkan
pemahaman dan penguasaan terhadap konflik dan masalah yang dihadapi, memperoleh
dukungan dan balikan dari kelompok, dan mengadakan latihan perubahan perilaku baru
(Romlah, 2006).
4) Homeroom
a) Konsep Dasar
Menurut Pietrofesa, dkk. (1980) dalam Romlah (2006) teknik penciptaan suasana
kekeluargaan (homeroom) adalah teknik untuk mengadakan pertemuan dengan sekelompok
siswa di luar jam-jam pelajaran dalam suasana kekeluargaan, dan dipimpin oleh guru atau
Guru Bimbingan dan Konseling. Dalam hal ini yang ditekankan adalah terciptanya suasana
yang penuh kekeluargaan seperti suasana di rumah yang menyenangkan dan akrab, sehingga
siswa merasa aman dan diharapkan siswa bersedia mengungkapkan masalahnya yang tidak
dapat diungkapkan di kelas pada waktu jam pelajaran bidang studi.
30. Homeroom dipahami pula sebagai suatu program kegiatan yang dilakukan dengan
tujuan agar guru dapat lebih mengenal murid-muridnya lebih baik, sehingga dapat
membantunya secara efisien (Djumhur & Surya, 1975). Mugiarso (2004) mendefinisikan
homeroom sebagai teknik bimbingan kelompok yang bertujuan agar guru atau petugas
bimbingan dapat mengenal murid-murid secara lebih tepat sehingga dapat membantunya
secara lebih efektif. Dalam bahasan yang sederhana homeroom dapat kita pahami sebagai
suatu program pembimbingan siswa dengan cara menciptakan situasi atau hubungan bersifat
kekeluargaan.
Dari berbagai karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa homeroom merupakan
salah satu teknik dalam bimbingan kelompok yang dilakukan oleh guru atau guru pembimbing
dan siswanya dengan menciptakan suasana kekeluargaan yang bertujuan untuk mengenal
lebih dekat siswanya sehingga dapat membantunya menjadi lebih efektif.
b) Tujuan Teknik Homeroom
Ditegaskan bahwa kegiatan homeroom dilakukan dengan tujuan agar guru dapat
mengenal murid-muridnya lebih baik, sehingga dapat membantunya secara efisien (Djumhur
& Surya, 1975). Ditinjau dari pelaksanaan program bimbingan, kegiatan homeroom
mempunyai dua fungsi yaitu menyediakan program bimbingan yang sistematis dan
merupakan suatu proses penyaringan yang efektif terhadap siswa-siswa yang mempunyai
masalah yang lebih mendalam yang perlu dikirim ke Guru Bimbingan dan Konseling
(Romlah, 2006). Berhubung kegiatan homeroom ini erat kaitannya dengan suasana
kekeluargaan maka kondisi kekeluargaan ini sifatnya bebas dan menyenangkan untuk siswa
sehingga dengan begitu siswa akan mampu bersosialisasi dan terbuka dengan orang lain.
Suasana bebas tanpa tekanan memungkinkan murid-murid untuk melepaskan
perasaannya dan mengutarakan pendapatnya yang tidak mungkin tercetuskan dalam
pertemuan-pertemuan formal. Selain itu juga homeroom ini membantu siswa untuk
menghadapi dan mengatasi masalahnya. Sementara itu, Djumhur & Surya (1975) menyatakan
dalam program homeroom ini hendaknya diciptakan suatu situasi yang bebas dan
menyenangkan, sehingga murid-murid dapat mengutarakan perasaannya seperti di rumah.
Berhubung homeroom merupakan salah satu teknik dalam bimbingan kelompok, maka
fungsi utama dari homeroom ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan
sosialisasi murid. Apalagi bila guru atau guru pembimbing mampu menciptakan suasana yang
31. menyenangkan, maka situasi tersebut akan membuat siswa lebih terbuka dalam
mengungkapkan masalahnya seperti di rumah.
Lebih jauh berikut disajikan tujuan dari penggunaan teknik homeroom pada aplikasi
pelayanan konseling secara umum, antara lain:
a. Menjadikan peserta didik akrab dengan lingkungan baru
b. Untuk memahami diri sendiri (mampu menerima kekurangan dan kelebihan diri
sendiri) dan memahami orang lain dengan (lebih) baik
c. Untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok
d. Untuk mengembangkan sikap positif dan kebiasaan belajar
e. Untuk menjaga hubungan sehat dengan orang lain
f. Untuk mengembangkan minat dan keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler
g. Untuk membantu peserta didik dalam memilih bidang spesialisasi
h. Sadar akan kepentingan sendiri
Dari berbagai pendapat di atas tentang tujuan homeroom, dapat disimpulkan bahwa
tujuan homeroom antara lain:
a. Membantu mengatasi masalah siswa
b. Mengakrabkan siswa dengan situasi baru
c. Memahami diri dan menghargai pendapat orang lain
d. Melatih sosialisasi dan komunikasi dalam kelompok
e. Mengembangkan minat siswa
c) Prosedur Teknik Homeroom
Menurut Djumhur & Surya (1975) dalam kesempatan homeroom itu diadakan tanya
jawab, merencanakan suatu kegiatan, menampung pendapat, dan sebagainya. Pada kegiatan
homeroom dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok besar (antara 25-30 orang) dan
kelompok kecil (antara 5-10 orang). Homeroom dilaksanakan berdasarkan suatu jadwal
tertentu dalam ruang-ruang yang telah ditentukan. Kegiatan homeroom dilakukan dalam suatu
situasi dan suasana yang bebas serta menyenangkan. Program homeroom dilakukan secara
periodik dapat pula secara insidental sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Romlah (2006) pelaksanaan homeroom dapat pula dilakukan oleh guru, akan
tetapi guru tersebut perlu mendapat latihan khusus agar dapat melaksanakannya dengan baik.
Guru perlu dilatih keterampilan bimbingan tentang cara menciptakan lingkungan yang
menyenangkan dan suasa yang bersahabat agar siswa dapat lebih terbuka dalam
mengungkapkan perasaannya. Guru juga harus mempunyai minat dan motivasi untuk
membantu siswa, peka terhadap reaksi siswa, menjadi pengamat dan pendengar yang terlatih
dan memberikan respon yang membantu siswa. Latihan ketrampilan untuk guru yang akan
32. membantu pelaksanaan homeroom dapat dilakukan oleh Guru Bimbingan dan Konseling
sekolah yang telah mendapat pendidikan khusus. Materi yang diberikan saat latihan misalnya
mendengarkan secara aktif, cara merespon perasaan, dinamika kelompok, cara merespon
terhadap ungkapan non verbal, cara menggunakan teknik reinforcement secara sistematis dan
sebagainnya.
Hal-hal yang dibicarakan dalam kegiatan homeroom antara lain pemilihan lanjutan
sekolah, pembagian kerja dalam kegiatan kelompok, pemilihan pekerjaan, penggunaan waktu
senggang, perencanaan masa depan, dan hal lain yang dikemukakan siswa. Waktu
pelaksanaan kegiatan dapat dijadwalkan satu minggu satu kali pertemuan atau dua minggu
satu kali satu jam pelajaran dan didiskusikan dengan kepala sekolah serta guru-guru lain atau
menggunakan jam pelajaran yang kosong.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum teknik pelaksanaan
homeroom yaitu:
1. Menentukan jenis kelompok (kelompok besar dan kelompok kecil).
2. Membuat jadwal dan menentukan tempatnya.
3. Pelaksanaan kegiatan homeroom. Kegiatan homeroom dilaksanakan dalam suasana
yang menyenangkan, agar bisa membantu siswa dalam mengembangkan wawasannya
dan mengembangkan kemampuan bersosialisasinya. Karena homeroom dapat bersifat
preventif, kuratif dan korektif.
f. Etik dalam Bimbingan Kelompok
Pesoalan etik merupakan standar tingkah laku atau nilai yang diterapkan sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas dan atau wewenangnya. Etik dalam pelayanan bimbingan kelompok
merukapan standar yang berkaitan dengan tata pelaksanaan layanan, pemimpin kelompok serta
anggota kelompok.
Beberapa kode etik secara lebih rinci telah jelaskan secara detail dalam buku kode etik
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling indonesia (ABKIN, 2006). Setidaknya terdapat
beberap hal yang cukup penting untuk dipahami oleh Guru Bimbingan dan Konseling.
a. Hubungan Konselor dan Konseli
Guru Bimbingan dan Konseling mendorang pertumbuhan dan perkembangan konseli
melalui cara yang dapat meningkatkan minat dan kesejahteraan serta menungkatkan
pembentukan hubungan yang sehat. Guru Bimbingan dan Konseling berupaya secara aktif
utuk memahami perbedaan latar belakang kultural dari konseli yang mereka layani. Guru
33. Bimbingan dan Konseling juga mengeksplorasi identitas kultural sendiri dan begaimana hal-
hal tersebut dapat mempengaruhi nilai dan keyakinan mereka tentang proses pelayanan
tersebut.
Relasi seorang Guru Bimbingan dan Konseling dengan konseli ada untuk keuntungan
konseli dan bukan untuk keuntungan Guru Bimbingan dan Konseling. Seorang Guru
Bimbingan dan Konseling harus terus menerus bertanya pada dirinya sendiri “Kebutuhan
siapakah yang terpenuhi dalam hubungan ini, kebutuhan konseli atau kebutuhan saya?”.
Sehubungan dengan hal ini ada transimisi dari nilai-nilai pribadi yang tidak dapat dihindari
dalam suatu hubungan teraputik yang dekat. Tetapi yang merupakan isu dasar adalah
bagaimana supaya konseli mengambil manfaat dari hal ini tanpa melupakan kerentanan
konseli.
b. Kepemimpinan kelompok
Mempraktikkan kode etik membutuhkan kesadaran, secara personal maupun
profesional. Integritas adalah aset kunci untuk menjadi praktisi kode etis. Begitu juga dengan
penerapan kode etik dalam konseling kelompok, meskipun kelompok memiliki kekuatan
menyembuhkan yang unik yang dapat digunakan dalam mengubah serta mengembangkan
diri, kelompok juga memeiliki potensi untuk menjadikan masalah menjadi lebih buruk.
Sebagai Guru Bimbingan dan Konseling kelompok kemampuan, gaya, karakter,dan
kompetensi pemimpin kelompok dalam kelompok adalah suatu hal yang penting untuk
memberikan kontribusi dari kualitas hasil dari kelompok yang dipimpin. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam hal ini antara lain.
1) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai kode etik yang diterima secara umum.
2) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai bukti telah mengikuti pelatihan yang setaraf
dengan praktek kelompok.
3) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai bukti bahwa kepemimpinannya efektif ( data
pasca pelatihan dantindak lanjut setiap anggota menunjukkan bahwa mereka telah
mendapat keuntungan menjadi anggotapimpinan kelompok tersebut).
4) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai model konseptual yang baik untuk
menjelaskan perubahan-perubahan tingkah laku.
5) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai sertifikat-sertifikat, surat ijin surat ijin dan
bukti kualifikasi lainnya yang di perlukan yang secara umum diterima oleh disiplin
ilmunya.
6) Pimpinan kelompok yang tidak mempunyai surat mandat kerja (profesional credentials)
seharusnya melaksanakan tugas di bawah pengawasan (supervisi) seseorang yang
berkualitas dalam bidang kerja tersebut.
7) Pimpinan kelompok seharusnya menghadiri / mengikuti kursus – kursus penyegaran
kembali , lokakarya dan sebagainya untuk meningkatkan keterampilan dan keahliannya
serta mendapatkan evaluasi dari orang lain tentang keterampilan dan kerjanya.
34. 8) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai serangkaian aturan dasar yang jelas yang
menuntunnya dalam melaksanakan tugas kepemimpinan.
9) Pimpinan kelompok seharusnya paham benar akan undang-undang dan hukum-hukum
yang menagtur segala yang bersifat rahasia dan mengetahui situasi dan kondisi yang mana
rahasia-rahasia tersebut harus di bocorkan.
10) Pimpinan kelompok seharusnya tidak memihak salah satu anggota yang mempunyai
hubungan yang tidak baik dengan anggota lainya.
11) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai pemahaman yang jelas , yang di
kembangkan dari literatur-literatur hukum dan kerja, tentang hak-hak klien dan
seharusnya mengetahui bagaimana klien-klien tersebut bisa di lindungi. Pimpinan
seharusnya melindungi anggota dari ancaman-ancaman fisik, intimidasi, cercaan dan
tekanan teman sejawat.
12) Pimpinan kelompok seharusnya mengetahui permintaan dan harapan lembaga dimana
kelompok tersebut berada dengan memperhatikan loyalitas dan kerahasiaan.
13) Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai rencana yang jelas untuk identifikasi dan
intervensi dengan para pasien yang berbahaya dan berusaha bunuh diri yang memenuhi
syarat – syarat hukum.
(Wibowo, 2005)
c. Anggota Kelompok
1) Penyaringan
Guru Bimbingan dan Konseling menyaring peserta konseling/bimbimngan kelompok
yang prospektif. Dalam kisaran yang paling memungkinkan Guru Bimbingan dan Konseling
memilih anggota-anggota sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya kompatibel dengan tujuan
kelompok. Hal ini agar tidak menghambat proses kelompok dan yang tidak terganggu oleh
pengalaman kelompok tersebut.
Guru Bimbingan dan Konseling saat akan memberikan pelayanan kepada dua orang
atau lebih yang mempunyai hubungan, Guru Bimbingan dan Konseling hendaknya
mengklarifikasi sejak awal siapa yang akan menjadi konseli dan sifat hubungan konseling
yang dijalani. Jika diklarifikasi bahwa Guru Bimbingan dan Konseling akan masuk dalam
peran yang berpotensi konflik maka Guru Bimbingan dan Konseling dapat mengklarifikasi
atau mundur dari peran tersebut.
Ketika Guru Bimbingan dan Konseling hendak malakukan perekrutan anggota dengan
cara periklanan maka Guru Bimbingan dan Konseling memaparkan kualifikasinya dengan
cara yang tepat, tidak memalsukan, merancukan, menipu ataupun berlaku tidak jujur.
d. Kerahasiaan
Guru Bimbingan dan Konseling mengakui bahwa kepercayaan adalah batu fondasi
dalam hubungan konseling. Guru Bimbingan dan Konseling berusaha mendapatkan
kepercayaan konseli dengan menciptakan kemitraan yang berkelanjutan. Membangun dan
35. mematuhi batasan-batasan yang tepat dan menjaga kerahasiaan. Guru Bimbingan dan
Konseling mengkomunikasikan parameter kerahasiaan dalam suatu pola yang kompeten
secara kultural serta menghormati hak-hak konseli.
Dalam konseling kelompok Guru Bimbingan dan Konseling menjalaskan pentingnya
kerahasiaan dan parameter kerahasiaan untuk kelompok tertentu yang terkait disini. Guru
Bimbingan dan Konseling juga perlu mendiskusikan informasi rahasia dalam lingkungan di
mana Guru Bimbingan dan Konseling dapat menjadi privasi konseli. Guru Bimbingan dan
Konseling juga hanya mengungkapkan informasi kepada pihak ketiga hanya jika konseli telah
memberikan ijin.
e. Penghentian dan tindak lanjut
Kritik utama tentang penghentian tindak lanjut dalam penanganan konseling
kelompok adalah penghentian dalam jangka pendek dan tidak ada tindak lanjut yang di
berikan. Situasi ini seringkali terjadi apabila pimpinan kelompok berasal dari luar kota yang
sedang memberi pelatihan atau terapi pada suatu lokakarya.
4. Forum Diskusi
Petama, dalam kegiatan bimbingan kelompok melibatkan keaktifan siswa dan peran konselor
sebagai pemimpin kelompok. Dipahami bahwa terdapat perbedaan fungsi pemimpin kelompok
dalam layanan bimbingan kelompok maupun konseling kelompok. Apakah dimungkinkan terjadi
perubahan fungsi pada layanan sesi berikutnya!
Kedua, ada 4 teknik bimbingan kelompok yang diuraikan di dalam modul ini yaitu diskusi
kelompok, sosiodrama, psikodrama, dan home room. Pada hakekatnya tehnik diskusi kelompok
itu merupakan teknik utama semua teknik bimbingan. Bagaimana menurut pandangan bapak/ibu!
C. Penutup
1. Rangkuman
Bimbingan kelompok merupakan suatu proses yang mana Guru Bimbingan dan Konseling
terlibat dalam hubungan dengan sejumlah klien pada waktu yang sama. Bimbingan kelompok
memanfaatkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi
pengembangan pribadi dan/atau pengentasan masalah individu yang menjadi peserta.
36. Tujuan umum bimbingan kelompok untuk pengembangan kemampuan sosialisasi terutama
berkomunikasi. Sedangkan tujuan khusus bimbingan kelompok adalah pengembangan perasaan,
pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap dalam komunikasi verbal maupun nonverbal.
Kerahasiaan, kesukarelaan, dan keputusan diambil oleh klien sendiri merupakan tiga etika
dasar konseling (Munro,Matchei dan Small). Pada layanan bimbingan kelompok ketiga etika
itupun diterapkan. Media dalam bimbingan dan konseling kelompok adalah terwujudnya dinamika
kelompok yang merupakan sinergi dari semua faktor yang ada dalam suatu kelompok; artinya
merupakan pengerahan secara serentak semua faktor yang dapat digerakkan dalam kelompok itu.
Dinamika dimaknai juga sebagai suatu metoda dan proses yang bertujuan meningkatkan nilai-nilai
kerjasama kelompok. Artinya metoda dan proses dinamika kelompok ini berusaha menumbuhkan
dan membangun kelompok, yang semula terdiri dari kumpulan individu-individu yang belum
saling mengenal satu sama lain, menjadi satu kesatuan kelompok dengan satu tujuan, satu norma
dan satu cara pencapaian berusaha yang disepakati bersama.
Peranan pemimpin disesuaikan dengan sifat dan tujuan kelompok itu. Setiap pemimpin
kelompok (dalam hal ini Guru Bimbingan dan Konseling) harus menguasai dan mengembangkan
kemampuan (keterampilan dan sikap yang memadai untuk terselenggaranya proses kegiatan
kelompok secara efektif). Pemimpin kelompok harus terus menerus mengikuti perkembangan
kelompok itu dan mengetahui secara tepat tingkat kesiapan anggota-anggota kelompok. Di
samping itu pemimpin kelompok berkewajiban mendengarkan secara aktif segenap apa yang
diutarakan oleh anggota kelompok dan menangkap dengan baik bagaimana anggota itu
memandang dirinya sendiri. Hal itu semua dapat menjadi bahan yang amat penting bagi pemimpin
kelompok dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain seorang pemimpin
kelompok tidaknya hanya membutuhkan keterampilan melainkan juga kepribadian atau karakter
yang berkualitas guna memenuhi tanggungjaawab dan perannya sebagai konseor kelompok.
Kekuatan bimbingan kelompok sebagai salah satu layanan, adalah praktis, sebagai ajang
latihan untuk mengubah perilaku dapat digunakan untuk belajar mengekspresikan perasaan,
menunjukkanperhatian pada orang lain, berbagi pengalaman, dan meningkatkan kepercayaannya
pada orang lain, memberi kesempatan mempelajari ketrampilan sosial, saling memberi bantuan,
menerima bantuan, dan berempati, bertindak atau mempunyai manfaat sebagai miniatur sosial
untuk mempraktikkan dan menguasai perilaku-perilaku baru dalam satu situasi yang hampir sama
37. dengan lingkungan yang sebenarnya, dengan bimbingan kelompok individu mencapai tujuan, dan
berhubungan dengan individu-individu lain dengan cara yang produktif dan inovatif.
Di samping memiliki kekuatan, bimbingan kelompok juga memiliki keterbatasan sebagai
berikut : tidak semua individu cocok berada dalam kelompok, tidak semua individu bersedia
terbuka dan jujur menceritakan persoalan pribadinya, kurang mendapat perhatian dan tanggapan
sebagaimana mestinya, individu mengharap terlalu banyak dari kelompok, kelompok sering
dijadikan sarana untuk mencapai suatu tujuan, peran Guru Bimbingan dan Konseling lebih
kompleks, sulit terbina kepercayaan, Guru Bimbingan dan Konseling pada bimbingan kelompok
dan konseling kelompok membutuhkan latihan intensif dan khusus, kelompok tidak selalu efektif
untuk semua orang.
Terdapat empat tahapan bimbingan kelompok yaitu pembukaan, transisi, inti, dan
penutupan. Beberapa teknik yang dapat digunakan diantaranya adalah diskusi kelompok,
sosiodrama, psikodrama, dan homeroom. Metode diskusi kelompok adalah suatu cara penyajian
bahan pelajaran dimana seorang guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok siswa) untuk
mengadakan percakapan guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun
berbagai alternative pemecahan atas masalah.
Sosiodrama atau permaian peran mengisyaratkan setiap anggota kelompok diajak untuk
melakukan serangkaian peran yang mencerminkan kehidupan nyata atau perilaku-perilaku sosial
yang menjadi kepedulian bersama setiap anggota. Dari peran yang dimainkan dilakukan diskusi
dan pembahasan secara mendalam untuk mendapatkan insight sehingga menjadi bahan
pembelajaran sekaligus refleksi bagi setiap anggota. Sedangkan psikodrama merupakan permainan
peran yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian lebih
tentang dirinya, dapat menemukan konsep pada dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya,
dan menyatakan reaksinya terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya. Perbedaan yang paling
mendasar dalam sosiodrama dan psikodrama dalah bagaimana nilai sosial ditekankan lebih dalam
sosiodrama sedangkan psikodrama pengembangan diri melalui konsep psikis akan pemenuhan
kebutuhan menjadi dasar perlakuan.
Teknik penciptaan suasana kekeluargaan (homeroom) adalah teknik untuk mengadakan
pertemuan dengan sekelompok siswa di luar jam-jam pelajaran dalam suasana kekeluargaan, dan
dipimpin oleh guru atau Guru Bimbingan dan Konseling. Dalam hal ini yang ditekankan adalah
terciptanya suasana yang penuh kekeluargaan seperti suasana di rumah yang menyenangkan dan
38. akrab, sehingga siswa merasa aman dan diharapkan siswa bersedia mengungkapkan masalahnya
yang tidak dapat diungkapkan di kelas pada waktu jam pelajaran bidang studi.
Daftar Pustaka
Clark, M. A., Severy, L., & Sawyer, S. A. (2004). Creating connections: Using a narrative
approach in career group counseling with college students from diverse cultural
backgrounds. Journal of College Counseling, 7(1), 24–31.
Corey, G. (2012). Theory and Practice of Group Counseling, Eighth Edition. USA:
BROOKS/COLE. https://doi.org/10.1016/B978-012673031-9/50018-6
Damayanti, F. L., Sudarmanto, R. G., & Rusman, T. (2013). Penerapan Model Diskusi
Kelompok dengan Menggunakan Media Handout untuk Meningkatkan Aktivitas dan
Kreativitas. Jurnal Studi Sosial, 1(4).
Djumhur, I., & Surya, M. (1975). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV Ilmu.
Dykeman, C., & Appleton, V. E. (2002). Group Counseling: The Efficacy of Group Work.
Introduction to Group Counseling (3rd Ed.). Retrieved from
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=psyc4&NEWS=N&AN=
2005-02528-005
Gibbs, J. C., Potter, G. B., Barriga, A. Q., & Liau, A. K. (1996). Developing the helping skills
and prosocial motivation of aggressive adolescents in peer group programs. Aggression and
Violent Behavior, 1(3), 283–305.
Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2011). Bimbingan dan konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gladding, S. T. (2012). Konseling profesi yang menyeluruh. Jakarta: Indeks.
Horne, A. M., Stoddard, J. L., & Bell, C. D. (2007). Group approaches to reducing aggression
and bullying in school. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice, 11(4), 262.
Jacobs, E. E., Harvill, R. L., & Masson, R. L. (1994). Group Counselling. Strategies and Skills.
Second Edition (Pacific Grove. CA: Brooks/Cole Publishing Company. 1994).
Kanti, W. N., & Sugiyo, S. (2014). Efektivitas Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik
Role Playing untuk Meningkatkan Komunikasi Interpersonal. Indonesian Journal of
Guidance and Counseling: Theory and Application, 3(4).
Kusumaningrum, I. (2014). Meningkatkan Perilaku Prososial Rendah Melalui Layanan
Penguasaan Konten dengan Teknik Sosiodrama. Indonesian Journal of Guidance and
Counseling: Theory and Application, 3(3).
Morran, D. K., Stockton, R., & Whittingham, M. H. (2004). Effective leader interventions for
counseling and psychotherapy groups. Handbook of Group Counseling and Psychotherapy,
91–103.
Mugiarso, H. (2004). Bimbingan dan konseling. Semarang: UPT MKK UNNES.
Neukrug, E. (2011). The world of the counselor: An introduction to the counseling profession.
Nelson Education.
Peterson, N., & González, R. C. (2000). Career counseling models for diverse populations:
Hands-on applications by practitioners. Brooks/Cole Publishing Company.
Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Erlangga.
Jakarta: Erlangga.
39. Prayitno, E. A., & Amti, E. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta.
Jakarta: Rineka Cipta.
Romlah, T. (2006). Teori dan Praktek Bimbingan dan Konseling. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Rusman. (2010). Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi :
Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Stockton, R., & Morran, D. K. (1982). Review and perspective of critical dimensions in
therapeutic small group research. Basic Approaches to Group Psychotherapy and Group
Counseling, 37–85.
Sukardi, D. K., & Kusmawati, N. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di sekolah. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sukerteyasa, I. P., Koyan, I. W., & Suarni, N. K. (2014). Pengaruh Penerapan Metode Diskusi
Kelompok Berbasis Asesmen Diri (Self asessment) Dan Sikap Sosial Terhadap Prestasi
Belajar Pkn Siswa Kelas XI SMK Negeri 4 Denpasar. Jurnal Penelitian Dan Evaluasi
Pendidikan Indonesia, 4.
Sullivan, K. R., & Mahalik, J. R. (2000). Increasing Career Self‐Efficacy for Women: Evaluating
a Group Intervention. Journal of Counseling & Development, 78(1), 54–62.
Wibowo, M. E. (2005). Konseling Kelompok Perkembangan. UNNES Pers. Semarang: UNNES
Press.
Widaryati, S. (2013). Efektivitas Pengaruh Konseling Kelompok Terhadap Efikasi Diri Siswa.
PSIKOPEDAGOGIA Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 2(2), 94–100.
Winkel, W. S., & Hastuti, M. M. S. (2005). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan.
Yogyakarta: Media Abadi.
Yalom, I. D. (1995). The theory and practice of group psychotherapy. Basic Books (AZ).
Yalom, I. D., & Leszcz, M. (2005). The theory and practice of group psychotherapy, 5th ed. The
theory and practice of group psychotherapy, 5th ed.