Hti bandung desak tutup total tempat hiburan malam!
Kepemimpinan ulama
1. 3/3/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kepemimpinan Ulama
Kepemimpinan Ulama
March 3rd, 2014 by kafi
Kepemimpinan umat di dunia idealnya dipegang oleh para ulama yang bertakwa. Pasalnya,
para ulama adalah pewaris para nabi (waratsah al-anbiya’), sementara para nabi—khususnya
Nabi Muhammad SAW—adalah pemimpin umat. Sebagai pemimpin umat, Nabi Muhammad
SAW membimbing umat sekaligus mengurus mereka dengan wahyu Allah SWT. Nabi SAW
bukan saja menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), yakni menyampaikan risalah (tabligh arrisalah), tetapi sekaligus juga menjalankan fungsi kepemimpinan (ri’ayah), yakni mengurus
umat dengan menerapkan syariah (tanfidz ar-risalah) atas mereka. Inilah yang membedakan
Nabi Muhammad SAW dengan para nabi yang lain.
Kepemimpinan atas umat setelah Nabi Muhammad wafat diteruskan oleh para khalifah. Para
khalifah tentu hanya menjalankan fungsi ri’ayah(mengurus umat), tidak menjalankan fungsi
kenabian (nubuwwah). Hanya saja, mereka tentu melakukan ri’ayah (mengurus umat)—
sebagaimana Nabi Muhammad SAW—berdasarkan syariah Islam. Dalam sejarah Islam yang
panjang, para khalifah—utamanya Khulafaur Rasyidin—adalah para ulama, bahkan mereka
adalah para ulama mujtahid. Umumnya para khalifah pada masa lalu bukan hanya imam
(pemimpin) dalam urusan kenegaraan, tetapi sekaligus juga imam dalam urusan
keagamaan. Pada masa Khulafaur Rasyidin, misalnya, imam shalat jumat atau shalat id adalah
khalifah. Demikian pula dalam shalat-shalat fardhu. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi
Muhammad SAW, ”Imam suatu kaum adalah yang paling banyak membaca/menguasai
Alquran.” (HR Malik).
Terkait hadits ini, para ulama bersepakat, bahwa imam (kepemimpinan) shalat suatu kaum
harus dipegang oleh orang yang paling banyak membaca, memahami dan menghafal Alquran;
atau yang paling faqih di antara mereka (Lihat: Al-Muntaqa’ Syarh al-Muwaththa’, I/424).
Dengan demikian, pemimpin negara, termasuk para pejabat negara di bawahnya, idealnya
adalah para ulama. Merekalah orang-orang yang paling banyak membaca, memahami dan
menguasai Alquran. Merekalah orang-orang yang paling faqih dalam ilmu-ilmu agama.
Merekalah yang diharapkan bisa mengurus negara dan umat berdasarkan Alquran dan asSunnah. Dengan kata lain, yang mesti menjadi pemimpin umat sejatinya adalah penguasa
ulama, yakni penguasa yang alim yang mengamalkan ilmunya; bukan ulama penguasa, yakni
ulama yang biasa menjilat para penguasa; bukan pula penguasa yang bukan ulama.
Terkait itu, ada sebuah riwayat, bahwa suatu ketika seseorang dari Bashrah di Irak memasuki
suatu daerah. Ia lalu bertanya kepada orang-orang yang dia jumpai di sana, ”Siapakah
pemimpin kalian di sini?” Mereka menjawab, ”Al-Hasan al-Bashri.” Dia bertanya lagi,
”Mengapa ia menjadi pemimpin kalian?” Jawab mereka, ”Karena kita semua membutuhkan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/03/kepemimpinan-ulama/
1/2
2. 3/3/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kepemimpinan Ulama
ilmunya, sementara ia tidak membutuhkan sedikitpun harta-harta kita.” (Syeikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. XVIII).
Dalam riwayat lain, dari penuturan Abu Thufail, dari az-Zuhri, disebutkan bahwa Nafi bin alHarits pernah mendatangi Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Nafi adalah penguasa wilayah
Mekah yang diangkat oleh Khalifah Umar ra. Khalifah Umar ra bertanya kepada Nafi’, ”Siapa
pemimpin di daerah Al-Wadi?” Jawab Nafi’, ”Ibnu Abza.” Khalifah Umar bertanya lagi, ”Siapa
Ibn Abza?” Jawab Nafi’ lagi, ”Dia adalah seorang qaridan seorang alim dalam bidang faraidh.”
(HR Muslim).
Orang yang juga pernah menjadi penguasa wilayah Mekah adalah Muhammad bin
Abdurrahman. Dia menjadi wali Mekah selama 20 tahun. Dia juga adalah seorang alim.
Tentang kehebatan ulama yang satu ini, Al-Harbi mengisahkan, ”Jika lawan debatnya sudah
ada di dekatnya, lawan debat itu pun gemetar…” (Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama
Salaf, hlm. XIX).
Sayangnya, di tengah-tengah kehidupan yang diatur dengan aturan-aturan sekuler dan bukan
aturan-aturan Islam, pertimbangan orang memilih dan dipilih sebagai pemimpin (baik kepala
negara/kepala daerah ataupun para wakil rakyat) bukanlah didasarkan pada tolok ukur Islam
atau berlandaskan Alquran dan as-Sunnah. Mereka yang terpilih hanyalah yang paling populer
di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, popularitas mereka sebagian karena keartisan
mereka atau ketokohan mereka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tingkat
ketakwaan ataupun keilmuan Islam. Bahkan sebagian besar dari mereka populer dan
mempopulerkan diri hanya karena selembar spanduk atau baliho yang kebetulan dipasang di
ratusan bahkan ribuan tempat. Umat sendiri hanya mengenal nama dan gambar/fotonya; tak
pernah tahu visi-misinya, penguasaannya atas ilmu-ilmu Islam, apalagi keshalihan dan
ketakwaannya. Akibatnya, wajar saja jika dalam sistem yang jauh dari Islam ini, lahir para
pemimpin dan wakil rakyat yang juga jauh dari Islam. Masihkah kita membiarkan semua ini
terus-menerus terjadi? Masihkah kita akan membiarkan kerusakan dan kehancuran bangsa
dan negara ini terus-menerus berlangsung akibat kepemimpinan yang tidak berdasarkan
syariah Islam dan dikelola oleh para pemimpin yang bodoh alias tidak memahami Islam? [] abi
Baca juga :
1. Meneladani Kepemimpinan Nabi SAW
2. Ulama Jawa Timur: Ulama Tidak Boleh Menukar Dakwahnya dengan Harta Dunia
3. MUI Riau: Semestinya Kepemimpinan Umat Menyatu dengan Kepemimpinan Negara
untuk Terapkan Syariah
4. Ulama dan Tokoh Kalsel Desak Penegakan Khilafah
5. Sertifikasi Ulama ala BNPT , Upaya Membungkam Ulama Istiqomah yang
Menyampaikan Kebenaran
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/03/kepemimpinan-ulama/
2/2