1. 12/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Political Outlook2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/11/political-outlook-2014-indonesia-menuju-negara-korporasi-2/ 1/6
Political Outlook 2014: Indonesia Menuju ‘Negara
Korporasi’
March 11th, 2014 by kafi
oleh: M Ismail Yusanto
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai tahun politik karena pada tahun ini ada peristiwa politik
penting yang bakal menentukan wajah Indonesia lima tahun mendatang, yakni Pileg (pemilihan
anggota legislatif) dan Pilpres (pemilihan presiden). Tentu menarik untuk dikaji: siapa yang
bakal menjadi kampiun dalam kontes lima tahunan ini; kira-kira seperti apa wajah perpolitikan
Indonesia pada tahun 2014 ini; serta bagaimana implikasi sosial-ekonomi-politik terhadap
negeri Muslim terbesar di dunia ini pada masa mendatang.
Negara Korporasi
Satu gejala paling menonjol yang tengah melanda partai politik di Indonesia pada beberapa
waktu terakhir ini adalah masuknya para pengusaha di jajaran puncak pimpinan partai. Sebut
saja, Hary Tanoe, Bos MNC Grup, Wakil Ketua Umum Hanura; Rusdi Kirana, pemilik Lion
Grup, Wakil Ketua Umum PKB. Sebelumnya sudah ada Aburizal Bakrie, Bos Bakrie Grup,
Ketua Umum Golkar; Surya Paloh, Bos Grup Metro, Ketua Umum Partai Nasdem; Prabowo
yang juga memiliki jaringan usaha, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Praktis tinggal
PDIP, PBB, PPP, PKPI, PKS, PAN yang tidak dipegang oleh pengusaha meski tidak berarti
partai-partai itu steril dari pengaruh para pengusaha.
Mengapa para pengusaha itu ramai-ramai masuk ke dunia politik? Sudah bukan rahasia lagi,
selama ini memang terdapat simbiosis mutualitistis antara pengusaha dan penguasa.
Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk kepentingan bisnisnya, sementara para
politikus memerlukan dukungan dana untuk membiayai kegiatan politik mereka, yang pada
galibnya didapat dari para pengusaha.
Namun, membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti itu kini dipandang tidak
praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan lebih ringkas dan mantap jika kedudukan
politik itu ada di tangan pengusaha sekaligus, atau sebaliknya jaringan bisnis dimiliki oleh
seorang politikus. Dengan kata lain, akan lebih manjur bila pengusahanya adalah seorang
penguasa, atau penguasanya adalah seorang pengusaha. Tampaknya inilah tren atau
kecenderungan yang akan mewarnai peta perpolitikan negeri ini pada masa mendatang.
Bila kelak hal itu benar terjadi, maka Indonesia tengah mengalami transformasi menuju negara
korporasi (corporation state). Apa itu negara korporasi? Istilah negara korporasi muncul
pertama kali dalam pertemuan puncak mengenai lingkungan hidup beberapa tahun lalu di
2. 12/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Political Outlook2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/11/political-outlook-2014-indonesia-menuju-negara-korporasi-2/ 2/6
Argentina. Dalam diskusi mengenai kerusakan lingkungan, didapat kenyataan bahwa perusak
lingkungan terbesar bukanlah rakyat atau kelompok masyarakat, melainkan negara, yaitu
negara yang digerakkan oleh kaum pebisnis. Demi kepentingan bisnis, negara tak segan
merusak lingkungan. Negara semacam ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan negara
korporasi.
Jadi, negara korporasi adalah negara yang dihela oleh persekutuan antara kelompok politikus
dan kelompok pengusaha. Dalam negara korporasi, negara dijadikan sebagai intrumen atau
kendaraan bisnis. Keputusan-keputusan politik, karena itu, tidak sepenuhnya mengabdi pada
kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan bisnis.
Ketika AS menginvasi Irak, misalnya, sesungguhnya itu tidak berdasar pada satu pun alasan
rasional yang bisa diterima. Ketika para pejabat keamanan AS mengatakan invasi diperlukan
untuk menghancurkan senjata pemusnah massal, faktanya Irak ketika itu tidak memiliki senjata
yang dimaksud. Begitu juga ketika dikatakan invasi diperlukan untuk menumbangkan Presiden
Saddam Hussein, sebenarnya untuk menumbangkan Saddam tidak perlu sampai harus
melakukan invasi karena toh Saddam adalah boneka AS. Dia dulunya adalah agen CIA ketika
Bush senior menjadi direkturnya.
Jelas sekali, invasi itu dilakukan tidak lain demi memuaskan ambisi kaum pebisnis yang ada di
sekitar Presiden Bush, yaitu pebisnis senjata, minyak dan infrastruktur. Keluarga Bush sendiri
adalah pebisnis minyak. Dengan invasi yang dibiayai negara, senjata yang diproduksi oleh
pabrik-pabrik senjata yang dimiliki oleh para pejabat pemerintahan Bush tentu menjadi laku.
Ketika Irak sudah hancur, pemenang tender rekonstruksi Irak adalah Bechtel, sebuah
perusahaan konstruksi penyokong utama Presiden Bush. Lalu dari mana biaya ratusan miliar
dolar AS untuk rekonstruksi? Gampang saja. Semua diambil-kan dari minyak Irak yang sangat
melimpah itu. Jadi ini adalah bisnis besar. Sangat besar, sekaligus sangat jahat. Irak
dihancurkan oleh AS, lalu perusahaan AS juga yang memperbaiki, tetapi dengan duit dari Irak.
Oleh karena itu, dalam negara korporasi, isu lingkungan hidup, demokrasi, pluralisme, HAM,
terorisme dan sebagainya hanyalah topeng belaka untuk menutupi maksud sesungguhnya,
yakni eksploitasi penguasaan politik dan ekonomi. Sudah sangat banyak bukti yang
menunjukkan bahwa negara korporsi seperti AS tidaklah pernah sungguh-sungguh mengusung
nilai-nilai yang mereka gembar gemborkan itu. Coba, dimana nilai-nilai demokrasi serta
penghargaan terhadap HAM, lingkungan hidup dan pluralisme dalam invasi AS ke Irak,
Afganistan; juga ke perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan? Bila terorisme diartikan
sebagai usaha individu atau kelompok yang dalam mencapai tujuan menggunakan kekerasan,
siapa sebenarnya yang paling sering dan paling banyak menggunakan kekerasan? AS, bukan?
Dominasi korporasi terhadap negara semakin menguat bila korporasi multinasional
dipersilakan turut bermain sebagai kompensasi dari dukungan mereka terhadap elit politik
yang pengusaha itu. Sekarang saja, korporasi multinasional (TNC-Transnational Corpora-tion),
3. 12/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Political Outlook2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/11/political-outlook-2014-indonesia-menuju-negara-korporasi-2/ 3/6
melalui berbagai institusi baik negara kapitalis maupun organ-organ internasional seperti PBB,
IMF dan Bank Dunia, sangat mempengaruhi kebijakan sebuah negara.
Dengan kekuatannya itu, TNC bisa mendikte kebijakan negara tempat ia tinggal. Sebagai
contoh, karena kuatnya lobi, koalisi TNC bisa menaikkan sumbangan politisnya ke Partai
Republik yang berkuasa di AS ketika itu, dari US$ 37 juta (1992) menjadi US$ 53 juta (2002).
Kini 72 persen pundi partai itu dipasok TNC, terutama TNC agrobisnis (The New York Times,
9/9/2003). Sebagai imbalannya, Presiden Bush pada 2002, antara lain, meneken Farm Bill
senilai US$ 180 miliar untuk 10 tahun ke depan.
Contoh lain, dalam kasus blok kaya minyak Cepu, ExxonMobil—perusahaan minyak raksasa
dunia yang total sales-nya saja lebih besar dari GDP Indonesia, seperti ditulis Kwik Kian Gie
(Kompas, 23/2/2006)—bisa memaksa pemerintah AS untuk ikut campur tangan agar
perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok
Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil,
Duta Besar Ralph Boyce dan Presiden Bush. Kedatangan Menteri Luar Negeri AS
Condoleezza Rice, yang bersamaan dengan panasnya penentuan operator Blok Cepu, juga
bukan sebuah kebetulan meskipun Menko Perekonomian Boediono membantah ada intervensi
atau tekanan (Kompas, 16 Maret 2006).
Jadi, negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam
negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap
pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi,
yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. Di Indonesia, Pemilu 2014 bakal
menjadi pintu utamanya.
Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang ini berada di pucuk pimpinan
sejumlah parpol nantinya benar-benar naik ke tampuk kekuasaan— berdasarkan berbagai
hasil survai PDIP, Golkar dan Gerindra yang tampaknya akan memuncaki hasil pemilu 2014—
maka perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan semakin nyata. Lihat saja nanti,
keputusan-keputusan politik dibuat tidaklah sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi
untuk kepentingan bisnis. Kader partai yang duduk di parlemen pun kelak juga hanya akan
menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. Bila sebelum ini
telah lahir sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, maka ke depan UU semacam itu akan
lebih banyak lagi bermunculan. Ujungnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa
pemiskinan dan kesenjangan kaya-miski yang makin lebar.
Senjakala Politik Islam?
Kecenderungan kedua yang paling menonjol dalam peta perpolitikan Tanah Air adalah makin
mencairnya sekat-sekat ideologi di antara partai-partai yang ada, termasuk partai Islam. Bagi
sebagian pengamat, kecenderungan ini disambut baik sebagai pertanda makin dewasanya
para politikus dalam berpolitik dengan tidak lagi mempertentangkan ideologi sehingga
4. 12/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Political Outlook2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/11/political-outlook-2014-indonesia-menuju-negara-korporasi-2/ 4/6
memudahkan terjadinya koalisi bahkan kohesi antar partai politik. Hal ini dibuktikan dengan
terbentuknya koalisi besar yang digalang oleh Partai Demokrat di bawah SBYselama 10 tahun
pemerintahannya yang melibatkan hampir seluruh partai, termasuk partai Islam. Kalau ada
partai, yaitu PDIP, yang tidak masuk dalam koalisi, bukanlah karena alasan ideologis,
melainkan lebih karena alasan psikologis Megawati yang mangkel pada SBYkarena tidak
terus terang ketika mau nyapres pada 2004 lalu.
Pragmatisme bagi partai sekuler tidaklah terlalu mengherankan. Secara politik, pragmatisme
berangkat dari politik akomodasi, khususnya terhadap kekuatan politik Islam. Di negeri dengan
Muslim menjadi penduduk mayoritas, faktor Islam jelas tidak bisa diabaikan. Siapapun yang
akan menjadi kampiun dalam Pemilu 2014 nanti, pasti harus memberikan ruang akomodasi
kepada kekuatan politik Islam dengan memberikan sejumlah portofolio kabinet. Hanya dengan
itu stabilitas politik akan tercapai. Namun, pemberian ruang di sini lebih merupakan akomodasi
psikologis ketimbang politis. Maksudnya, dengan adanya sejumlah tokoh dari kalangan politik
Islam yang duduk tampuk kekuasaan, umat Islam merasa sudah terwakili, meski secara politik
sebenarnya kedudukan itu tidaklah memberikan efek bagi perubahan sistem politik.
Akomodasi psikologis sesungguhnya juga telah dilakukan di level partai. Di PDIP ada BM
(Baitul Mukminin). Di Partai Demokrat, begitu juga di Golkar dan Nasdem ada sayap HMI.
Dengan pragmatisme, sekat ideologis menjadi kabur. Walhasil, partai-partai yang ada makin
sulit dibedakan karena pemikiran dan praktik politik sebuah partai politik sama saja dengan
yang lain. Politik Islam ideologis juga makin tidak mendapat tempat dalam pentas politik
nasional karena telah disisihkan oleh politik pragmatisme tadi.
Dalam perspektif idealistik, makin menggejalanya pragmatisme, terutama yang dilakukan oleh
partai Islam, adalah sebuah persoalan besar. Mengapa? Sesuai dengan asasnya, partai Islam
tentu didirikan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kepentingan umatnya. Karena itu,
perjuangan ideologis mestinya harus diutamakan ketimbang usaha pragmatis demi meraih
kekuasaan semata-mata dengan mengabaikan ideologi partai yang sejatinya menjadi alasan
keberadaan (raison d’etreatau raison to be) sekaligus ruh dari sebuah partai.
Oleh karena itu, munculnya wadah alternatif yang mampu menampung spirit politik Islam
ideologis sesungguhnya amat dinantikan oleh umat, yang dalam berbagai survei, terbukti tak
henti merindukan kejayaan Islam kembali. Apalagi dalam situasi saat kepercayaan masyarakat
kepada parpol yang ada terus mengalami penurunan. Apatisme terhadap terhadap politik yang
juga makin meningkat. Ini ditunjukkan oleh tingginya angka golput di banyak Pilkada sehingga
bukan tidak mungkin akan berlanjut pada Pileg dan Pilpres mendatang. Dalam situasi
demikian, kemunculan wadah politik Islam alternatif yang bisa dipercaya tentu akan
membangkitkan harapan masyarakat terhadap kebaikan di masa mendatang.
Sementara itu, dalam konteks negara korporasi, politik akomodasi sejatinya merupakan
bagian dari strategi kooptasi, dalam konteks negara korporasi, dilakukan melalui
5. 12/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Political Outlook2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/11/political-outlook-2014-indonesia-menuju-negara-korporasi-2/ 5/6
pendistribusian SDE (sumberdaya ekonomi) baik dalam bentuk pemberian jabatan, proyek
pemerintah atau bantuan tunai langsung. Strategi ini terbukti cukup ampuh menaklukkan
potensi oposisi dari kalangan manapun, baik dari kalangan aktivis LSM, ulama/kiai, kalangan
kampus, gerakan separatis, termasuk para elit partai politik Islam sekalipun. Lemahnya
kalangan oposisi itulah yang membuat gerakan yang hendak menggulingkan pemerintahan
SBYberulang kali gagal. Bila kalangan oposisi melemah, masih adakah potensi perubahan?
Di mana potensi itu berada? Bagaimana perubahan bisa terjadi? Di mana peran gerakan
politik Islam ideologis dalam perubahan itu?
Perubahan Politik dan Prospek Gerakan Islam
Perubahan politik secara sederhana bisa dirumuskan bakal terjadi ketika tekanan luar lebih
besar daripada daya dukung sistem dan organisasi dari sebuah rezim pemerintahan. Tekanan
luar bisa muncul akibat adanya krisis eksternal seperti gejolak moneter, juga karena
ketidakpuasan publik yang terus meningkat misalnya akibat naiknya harga-harga, korupsi
birokrat yang makin menjadi-jadi tanpa penanganan yang memuaskan dan sebagainya.
Apalagi bila ditambah dengan adanya ketidakpuasan internal akibat konflik kepentingan di
tubuh pemerintahan. Hal ini akan makin memperlemah daya dukung sistem dan organisasi
sedemikian sehingga gejolak bakal timbul dimana-mana.
Namun, gejolak yang terjadi di dalam masyarakat itu ada dua macam. Pertama: gejolak
sektoral yang bersifat temporal, seperti gejolak di kalangan buruh yang menuntut kenaikan
UMR; juga gejolak fundamental ideologis yang bersifat permanen, seperti penolakan terhadap
sekularisme. Tugas gerakan Islam adalah mentransformasikan gejolak jenis pertama menuju
jenis kedua yang dilakukan melalui dakwah politis baik lewat pergolakan pemikiran (ash-shira’
al-fikri) maupun perjuangan politik (al-kifah as-siyasi). Oleh karena itu, dakwah politis harus
makin gencar dilakukan. Memang, dalam situasi yang kental dengan suasana pragmatisme-
materialisme ini, tidaklah mudah untuk mengajak umat terlibat dalam perjuangan politik Islam
ideologis. Namun, dengan kesungguhan, kesabaran dan keikhlasan, terbukti dakwah semacam
ini terus menuai hasil dan dukungan yang makin besar.
Di tengah kesungguhan melakukan ikhtiar, gerakan politik Islam ideologis harus mewaspadai
setiap bentuk ancaman, gangguan dan rintangan yang menghadang. Gejolak politik yang
terjadi di kawasan Timur Tengah, khususnya di Mesir dan Suriah, memberikan pelajaran
kepada siapapun, negara Barat khususnya, akan potensi kekuatan Islam ideologis. Mereka
tentu tidak membiarkan potensi ini makin membesar. Segala daya upaya akan dilakukan (at all
cost), dari yang lembut sampai yang sangat kasar, untuk menghentikan laju gerakan Islam
politik ideologis itu. Di antaranya melalui isu terorisme. Ikhwanul Muslimin di Mesir sekarang
sudah ditetapkan sebagai kelompok teroris. Adapun untuk konsumsi domestik, pendiskreditan
gerakan politik Islam ideologis dilakukan dengan menebar opini bahwa gerakan ini
mengancam keutuhan negara Indonesia. Tidak pernah dijelaskan, ancaman itu dalam bentuk
apa. Padahal ancaman yang sesungguhnya, dan sekarang sudah terjadi, adalah dari arus
6. 12/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Political Outlook2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/11/political-outlook-2014-indonesia-menuju-negara-korporasi-2/ 6/6
politik liberalisme-kapitalisme yang menempatkan negara sekadar sebagai alat untuk
kepentingan para pebisnis lokal maupun internasional, serta para politisi yang rela menyusun
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang liberal demi meraih dukungan politik dari
negara-negara Barat.
Menghadapi tantangan, ancaman dan gangguan, mutlak diperlukan ketahanan, baik secara
internal maupun eksternal, pada diri gerakan politik Islam ideologis. Secara internal, ketahanan
itu dibentuk dari mekanisme penguatan kuantitas dan kualitas pengkaderan, kekokohan
memegang visi dan misi, penataan sistem dan administrasi, kepemimpinan, dana dan sarana,
dan yang tak kalah penting adalah kedekatannya selalu pada Allah SWT. Adapun secara
eksternal, ketahanan dibangun melalui perebutan pasar opini, yakni publik harus diyakinkan
bahwa perjuangan politik Islam ideologis adalah demi kebaikan negeri ini. Dukungan juga
harus terus digalang baik dari kalangan umat maupun dari person berpengaruh (ashabul
fa’aliyat) yang didekati secara personal maupun lembaga.
Akhirnya, kesungguhan, kesabaran dan keikhlasan serta pertolongan Allahlah yang bakal
menentukan keberhasilan perjuangan politik Islam ideologis setelah politik Islam pragmatis
menemui kegagalannya mengangkat harkat dan martabat Islam dan umatnya secara hakiki.
Insya Allah. []
Baca juga :
1. Political Outlook 2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
2. Political Outlook 2014: Selama Masih Demokrasi, 2014 Tetap Krisis!
3. Demokrasi dan Negara Korporasi
4. Forum Rektor: Indonesia Menuju Negara Gagal
5. [FOTO] HIP Edisi 2 HTI Kalbar : Pemilu 2014. Menuju Indonesia yang lebih baik?