2. ▪ Distorsi informasi selalu terjadi pada supply chain. Distorsi ini terutama terjadi
pada data permintaan tempat pemain yang berada di hulu supply chain biasanya
tidak mendapat informasi permintaan yang sesungguhnya.
▪ Distorsi informasi mengakibatkan pola permintaan yang semakin fluktuatif ke arah
hulu supply chain. Meningkatnya fluktuasi atau variabilitas permintaan dari hilir ke
hulu suatu supply chain itulah yang disebut BULLWHIP EFFECT.
▪ BULLWHIP EFFECT mengakibatkan banyak inefisiensi pada supply chain. Misal,
pabrik memproduksi dan mengirim lebih banyak dari yang sesungguhnya
dibutuhkan akibat salah membaca sinyal permintaan dari pemain bagian hilir
supply chain. Kegiatan di pabrik dan pemasok menjadi lebih fluktuatif, sehingga
terkadang mereka harus lembur menghadapi pesanan yang berlebih atau
menganggur karena distributor/retail tidak memesan dalam waktu yang relatif
panjang akibat mereka melakukan forward buying.
3. ▪ Demand Forecast Updating
Ketika perusahaan pembeli (misal retail)
memesan barang kepada distributor, ukuran
pemesanan ditentukan berdasarkan ramalan
yang dibuat oleh retail. Apabila retail
menggunakan kebijakan persediaan reorder
point atau order-up-to level (ada batas
persediaan maksimum), parameter-parameter
persediaan seperti persediaan pengaman,
inventory maximum, reorder point, dsb juga
berubah dengan adanya pembaharuan ramalan
permintaan.
Pembaharuan seperti inilah yg bisa
mengakibatkan variabilitas order yang dipesan
retail lebih besar dibandingkan dg variabilitas
permintaan yang diterimanya dari pelanggan
akhir.
4. ▪ Order Batching
Order Batching diperlukan karena proses produksi dan pengiriman produk tidak akan ekonomis bila
dilakukan dalam ukuran kecil. Retail yang menjual rata-rata 6 unit suatu produk tertentu tidak akan
memesan tiap hari dengan rata-rata 6 unit ke pusat distribusi. Pengiriman tidak akan ekonomis bila
dilakukan dalam ukuran kecil, terutama jika jarak pengiriman jauh.
Permintaan pelanggan akhir yang relatif stabil dari hari ke hari akan berubah menjadi order mingguan
atau dua mingguan dari retail, sehingga pusat distribusi akan menerima order yang lebih fluktuatif
dibandingkan permintaan yang dihadapi retail.
▪ Fluktuasi Harga
Retail atau toko akan melakukan forward buying (membeli lebih awal) dan membeli lebih banyak dari
ukuran pesanan normal apabila terjadi penurunan harga yang bersifat temporer, sehingga pusat
distribusi akan mengalami peningkatan volume penjualan. Retail tidak akan memesan lagi dalam
waktu 2-3 bulan karena permintaan konsumen akhir yang tidak berubah. Akibat yang dtimbulkan
kemudian adalah stok menumpuk dan ongkos-ongkos produksi meningkat akibat lembur maupun
pengiriman cepat.
5. ▪ Rationing & Shortage Gaming
Rationing berarti hanya memenuhi 100 persen pesanan pelanggan, namun hanya sekian persen dari
volume yang dipesan.
Misal, jika persediaan ada hanya 800 unit dan pesanan seluruhnya 1000 unit maka hanya dialokasikan
80% dari permintaannya.
Sayangnya kekurangan stok seperti ini tidak terjadi setiap saat dan tidak mudah untuk diprediksi.
Akibatnya, sering kali pada saat persediaan sebenarnya cukup, pelanggan mengubah atau
membatalkan pesanan. Cara seperti ini merusak informasi pasar pada supply chain. Pemain yang ada
di bagian hulu tidak akan pernah mendapatkan informasi pasar yang mendekati kenyataan akibat
motif gaming dan spekulatif yang dilakukan oleh pelanggan mereka.
Pabrik dan pemain hulu lainnya tidak akan dengan mudah membedakan antara kenaikan pesanan
yang bermotif spekulatif dengan peningkatan pesanan yang murni merefleksikan peningkatan
permintaan dari pelanggan akhir.
6. 1. Information Sharing (terutama data dari pelanggan akhir)
Infromasi yang tidak transparan mengakibatkan banyak pihak pada supply chain melakukan
kegiatan atas dasar ramalan atau tebakan yang tidak akurat. Pabrik hanya mengetahui pola
permintaan berdasarkan order yang diterima dari pusat distribusi berdasarkan pola order dari
para retail. Oleh karena itu, penting untuk membagi informasi permintaan ke seluru pemain
pada supply chain. Barcoding, Electronic Data Interchange (EDI) maupun teknologi sejenis
lainnya bisa mentransmisikan data penjualan (Point Of Sales /POS) dari tempat produk dijual ke
para pemain supply chain yang berada di hulu.
Kesalahan ramalan bisa dikurangi dengan pertukaran informasi yang lebih baik.
Model kolaborasi seperti CPFR (Collaborative Planning, Forecasting, and REplenishment)
merupakan solusi yang baik untuk menyinkronkan ramalah di sepanjang supply chain.
7. 2. Memperpendek/Mengubah Struktur Supply Chain
Semakin panjang dan kompleks struktur suatu supply chain, semakin besar kemungkinannya terjadi
distorsi informasi.
Contoh, Dell Computers bisa melejit dengan cepat mengungguli IBM dan Apple yang sudah lama di
bisnis komputer disebabkan oleh struktur supply chain Dell yang ramping dan pendek. Dell
menerima langsung pesanan komputer dari pelanggan akhir sesuai dengan spesifikasi yang mereka
inginkan. Dengan begitu, informasi permintaan tidak akan terdistorsi sehingga ramalan permintaan
serta keputusan stok dan pengadaan komponen/bahan baku dapat dilakukan secara lebih akurat.
3. Pengurangan Ongkos-ongkos Tetap
Biaya tetap yang tinggi mengakibatkan kegiatan produksi maupun pengiriman tidak bisa dilakukan
dalam jumlah yang kecil. Untuk mengatasinya dapat dilakukan pengurangan waktu setup produksi.
Banyak perusahaan di Jepang yang memiliki target waktu setup <10 menit atau disebut Single
Minute Exchange Dies (SMED).
Untuk kegiatan pengadaan, ukuran lot pemesanan bisa dikurangi dengan mengeliminasi kegiatan-
kegiatan administrasi yang berlebihan dan memakan waktu.
Inovasi pada manajemen transportasi dan distribusi banyak membantu pengurangan Bullwhip Effect.
Kegiatan Composite Distribution tempat produk yang berbeda-beda bisa diangkut pada sebuah truk
mampu menciptakan efisiensi, walaupun tiap-tiap SKU (Stock Keeping Unit) diangkut dalam jumlah
yang relatif sedikit.
8. 4. Menciptakan Stabilitas Harga
Untuk menghindari reaksi forward buying, frekuensi dan intensitas kegiatan promosi parsial
harus dikurangi dan lebih diarahkan ke pengurangan harga secara kontinue sehingga
menciptakan program seperti Every Day Low Price (EDLP).
Jika terjadi penurunan harga, semua pihak dalam supply chain harus mengetahui program
tersebut dengan baik, sehingga tidak keliru dalam menaksirkan permintaan yang sesungguhnya.
5. Memperpendek Lead Time
Lead time bisa diperpendek dengan mengubah struktur/konfigurasi supply chain (misal dg
pemasok lokal), mengubah mode transportasi (dari perkapalan ke pengiriman udara), atau
dengan cara-cara inovatif seperti crossdocking dan perbaikan manajemen penanganan order,
penjadwalan produksi maupun pengiriman yang lebih baik.
9. BE = CV (order) / CV (demand)
Dengan,
CV (order) = s (order) / mu (order)
CV (demand) = s (demand) / mu (demand)
10. Contoh 1
Sebuah retail mencatat data penjualan harian suatu
produk kosmetik selama 60 hari.
Data order ke distributor dicatat untuk periode yang
sama.
Data penjualan ke pelanggan akhir maupun data
order ke distributor ditunjukkan pada tabel
disamping.
Hitunglah amplifikasi variabilitas permintaan yang
terjadi di retail tersebut!
Besarnya amplifikasi permintaan (bullwhip) adalah
= 1,261/0,267
= 4,73
Nilai diatas menunjukkan bahwa variabilitas
permintaan meningkat (teramplifikasi) 4,73 kali yg
merupakan akibat dari kebijakan order retail tersebut.
11. ▪ PENGUKURAN AMPLIFIKASI PERMINTAAN BISA DILAKUKAN DALAM 4
KATEGORI, YAITU:
1) Pengukuran untuk tiap produk di tiap retail/toko (BE1). Jadi, kalau ada P produk
yang berbeda (dalam satu keluarga produk yang dipasok oleh satu distributor) dan
R toko atau retail yang menjual produk tersebut, maka akan ada sebanyak P x R
angka amplifikasi yang akan diperoleh.
2) Pengukuran untuk setiap produk tempat penjualan di semua toko/retail
diagregasikan (BE2). Pengukuran akan dilakukan setiap produk, sehingga akan
diperoleh angka amplifikasi permintaan sebanyak jumlah produk (P).
3) Pengukuran untuk setiap retail (BE3). Disini permintaan maupun order setiap
produk yang sejenis akan diagregasikan dan jumlah pengukuran yang diperoleh
adalah sebanyak retail (R).
4) Pengukuran untuk eselon (BE4). Hanya akan diperoleh satu ukuran bullwhip untuk
setiap eselon karena semua produk dan semua retail diagregasikan.
12. Contoh 2
Sebuah distributor menjual 3
macam produk kosmetik yang
sejenis melalui 2 retail.
data penjualan maupun order
dari distributor tersebut
dikumpulkan selama 6 minggu
seperti ditunjukkan pada tabel.
Dengan menggunakan data
diatas, diperoleh 3 x 2 = 6
ukuran bullwhip untuk
individual produk di tiap-tiap
retail (BE1).
13. Nilai-nilai BE1 diperoleh dg terlebih
dahulu mencari rata-rata (AVR) maupun
standar deviasi (STD) untuk penjualan
maupun pesanan mingguan.
Dengan mengetahui 2 parameter
tersebut, nilai-nilai koefisien variansi (CV)
bisa dihitung, baik untuk penjualan
maupun pesanan.
Tabel 9.3 memperlihatkan hasil
pengukuran bullwhip untuk 3 produk di 2
retail tersebut.
Tampak bahwa semua BE1 bernilai >1
yang berarti bahwa terjadi amplifikasi
permintaan untuk semua produk
tersebut.
14. Tabel 9.4 merupakan hasil perhitungan
nilai bullwhip untuk tiap produk, misal
P1 (Jual) = AVR Retail 1 + AVR Retail 2
= 118,17 + 57,50
= 175,67
P1 (Pesan) = AVR Retail 1 + AVR Retail 2
= 120 + 58,33
= 178,33
Tabel 9.5 merupakan hasil perhitungan
nilai bullwhip untuk tiap retail, misal
R1 (Jual) =P1 + P2 + P3
= 118,17 + 69,67 + 152
= 339,83
R1 (Pesan) = P1 + P2 + P3
= 120 + 67,50 + 150
= 337,50
15. Untuk mendapatkan nilai bullwhip bagi
eselon yang bersangkutan, secara
keseluruhan data dijumlahkan untuk
semua produk dan semua retail.
Tabel 9.6 menunjukkan data yang sudah
diagregasi disertai dengan nilai rata-rata
dan standar deviasi selama 6 minggu.
Perhitungan bullwhip untuk eselon ini dilakukan dg
cara yang sama, yaitu membagi nilai koefisien
variansi penjualan dengan nilai koefisien variansi
pesanan. Nilainya adalah 0,76.
Nilai yang <1 menunjukkan bahwa terjadi
penghalusan pola pesanan pada eselon yang
bersangkutan. Hal ini terjadi karena agregasi
pesanan ketiga produk dari 2 retail.
Pada dasarnya pengukuran diatas hanya memberikan informasi parsial karena bullwhip effect tidak
sepenuhnya bisa dilihat hanya dengan melihat perbandingan koefisien variansi antara penjualan
dengan pesanan. Besarnya inventory yang dimiliki dan backlog (kekurangan) yang dihadapi oleh masing-
masing pihak pada supply chain juga bisa dilihat untuk menganalisis bullwhip.
16. ▪ Permainan ini dirancang oleh Profesor John Sterman dari Massachusetts Institute of Technology (MIT),
yang merupakan lanjutan dari ide-ide Jay Forrester (seorang profesor di MIT yang banyak melakukan
studi tentang sistem dinamis.
▪ Beer game adalah salah satu cara sederhana untuk mendemonstrasikan terjadinya bullwip effect pada
supply chain. Perusahaan bisa menggunakan Beer Game ini untuk menyadarkan karyawan maupun
mitra bisnis mereka akan pentingnya koordinasi dan information sharing pada supply chain.
17. 1) Terima kiriman (persediaan bertambah) dan majukan inventory in transit
satu periode. Pabrik memajukan work in process satu periode.
2) Lihat incoming orders dan kirim sebanyak yang diminta. Kalau permintaan
lebih besar dari inventory, kirim sebanyak stok yang tersedia.
3) Catat inventory atau backlog pada record sheet. Backlog adalah akumulasi
kekurangan yang harus dipenuhi. Semua permintaan harus dipenuhi (tidak
ada lost sales).
4) Majukan order satu periode. Pabrik mengambil bahan baku sebanyak yang
tertulis di “production request”.
5) Tentukan besarnya pesanan dan catat dalam record sheet (pabrik memesan
ke lantai produksi/production request).
18.
19. Selama permainan tidak
diperbolehkan ada perundingan
antar pemain. Keputusan pesanan
tidak boleh dikomunikasikan
dengan pemain lain.
Setelah permainan selesai, semua
pemain harus menjumlahkan
persediaan maupun backlog untuk
seluruh periode.